161
BAB IV Hegemoni Di Ranah Seni Tradisi
A. Pengantar
Sesuai dengan sistematika penulisan tesis ini, pada bab II saya memaparkan posisi bidang kesenian seperti sastra dan teater, dalam upayanya
membicarakan dan mengkritik kondisi sosial-politik di Indonesia. Selain bidang- bidang tersebut, pada bab yang sama, kethoprak hadir sebagai pokok bahasan
dalam tesis ini. Setelah membicarakan mengenai beberapa bidang kesenian, serta menjelaskan posisi kethoprak di dalamnya, maka pada bab selanjutnya saya
membahas secara khusus objek material penelitian tesis ini. Pada bab III, saya memaparkan data-data yang terkait dengan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem.
Pemaparan mengenai apa yang terjadi di atas panggung pertunjukan serta apa yang disampaikan oleh para responden, menjadi sederet data yang terlihat
pada lapis pertama dari lakon Magersari dan Ledhek Bariyem. Tidak bijak rasanya bila hanya berpijak pada apa yang nampak. Maka pada bab IV ini, kedua
lakon tersebut akan dilihat lebih dalam pada lapisan selanjutnya, yaitu inti analisa berdasar pada teori hegemoni yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci, serta
globalisasi sebagai teori sekunder. Beberapa kata kunci dan langkah pembacaan teoritis Gramsci, akan dipergunakan untuk melihat sejauh mana teori hegemoni
bekerja dalam kedua lakon itu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
B. Seni Kethoprak sebagai Laku Politik
Dalam tulisannya, Julianti L Parani mengungkapkan bahwa pada awal mula peradaban, seni berfungsi sebagai bagian dari suatu ritual keagamaan atau
kepercayaan. Seiring dengan praktek kolonial bangsa Eropa, bermulalah bermacam penetrasi bidang kehidupan, tak terkecuali kepercayaan. Dalam
konteks seni di Indonesia, nilai-nilai sakral tersebut mulai mengalami proses transformasi, walaupun keterikatan dengan akar di masa lalu masih dipertahankan
oleh beberapa etnis di Indonesia. Yang lebih jamak, fungsi ritual suatu seni telah banyak beralih menjadi sesuatu yang bersifat hiburan belaka, tidak ada lagi jejak-
jejak fungsi komunikatif yang purba itu. Kandungan spiritualnya telah dicampuradukkan dengan aspek kebudayaan yang non-artistiknon-seni, seperti
politik, bisnis, hingga kepentingan ambivalen.
139
Pendapat yang diajukan oleh Julianti di atas tidak salah, terutama perihal beralihfungsinya kesenian ke arah aspek kebudayaan non-artistik ataupun non-
seni. Seiring perkembangan zaman, fungsi seni berkembang untuk memenuhi beragam kebutuhan masyarakat. Seni pada awalnya hadir sebagai bentuk
pemujaan, diletakkan sebagai sesuatu yang otentik, satu dan tak terganti. Namun bersama berjalannya waktu, mekanisme produksi secara teknis telah melahirkan
kemampuan untuk mereplikasi. Maka karya seni kemudian lahir secara massif dan kehilangan fungsi ritualnya. Karya seni pada masa kini hanya hadir sebagai
bentuk komunikasi profan. Ia tidak lagi berperan sebagai objek pemujaan agama. Nilai kultus beralih menjadi nilai estetis khususnya dalam seni yang
dipertunjukan. Eksistensi karya seni hadir antara dirinya dan penontonnya
139
Julianti L Parani, 2011, hal.4
163
penikmat karya seni. Hal tersebutlah yang kemudian membuka ruang bagi
‘fungsi politis’ dari karya seni.
140
Pada momen itu, semboyan l’art pour l’art dilihat oleh Walter Benjamin sebagai teologi negatif. Kemampuan mereproduksi secara teknis dan massif telah
menempatkan seni tidak lagi berada pada posisi yang netral, tanpa kepentingan apapun kecuali kepentingan pemujaan. Seni yang murni telah runtuh.
Tergantikan oleh seni yang melangkah dengan fungsi politis. Hal tersebut jelas mengejutkan. Namun itulah kenyataannya. Seni tidak lagi hadir hanya sebagai
dirinya, namun juga berbicara untuk hal di luar dirinya. Tarik menarik menyoal perdebatan seni yang politis, ataupun seni yang non-politis, tidak pernah sepi
hingga saat ini. Bahkan pertanyaan mengenai keterkaitan antara seni dan politik, bisa kita dapati dalam pengalaman sehari-hari. Misalnya saja, dalam sebuah
pembicaraan dengan seorang kawan, selepas menonton sebuah pertunjukan seni, saya menyatakan bahwa pertunjukan tersebut merupakan sebuah karya seni yang
sangat politis. Kawan saya kemudian bertanya “memangnya ada karya seni yang tidak politis?” Pertanyaan itu cukup mengganggu pikiran saya. Apakah memang
sebuah karya seni acapkali sengaja diciptakan dengan agenda politik tertentu? Apa tidak mungkin sebuah penciptakaan sebuah karya hanya memang hanya
dimaksudkan sebagai “seni untuk seni”? Perihal “eni untuk seni”, dalam bukunya yang berjudul seni dan kehidupan
sosial, G.V. Plekhanov mengutip sebuah artikel kritis dari Nikolay Gavrilovich Chernyshevsky, seorang tokoh demokrasi revolusioner Rusia, perihal
permasalahan tersebut. Gavrilovich mengatakan bahwa ide seni untuk seni sama
140
Khudori Husnan, Merosot Aura Kebangkitan Seni Politik: Sketsa Falsafat Walter Benjamin, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013
164
asingnya, dengan ungkapan seperti kekayaan untuk kekayaan, ilmu untuk ilmu, dan sejenisnya. Menurutnya, semua kegiatan manusia mesti mengabdi pada
kemanusiaan. Semua itu bertujuan agar apapun yang dilakukan oleh manusia tidak akan berakhir menjadi pekerjaan yang sia-sia dan keisengan belaka. Ia
menjelaskan lebih lanjut bahwa sesungguhnya kekayaan itu ada, agar manusia dapat menarik keuntungan darinya. Ilmu itu ada agar menjadi pedoman bagi
kehidupan manusia, dan seni itu ada untuk mengabdi pada tujuan yang lebih berguna. Bukannya hanya menjadi kesenangan yang tiada manfaatnya.
141
Sama halnya dengan seni, yang kini menjelma sebagai laku kerja dengan tujuan yang jauh lebih luas, dan lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia. Salah
satunya tujuan politik. Tidak dipungkiri, selalu ada upaya menempatkan seni sebagai upaya yang lebih dari sekedar seni. Seperti halnya fungsi seni dalam
kethoprak, yang memuat permasalahan sosial politik masyarakatnya. Contohnya saja pada masa rejim Orde Baru, kethoprak sempat digunakan sebagai
penyambung lidah kekuasaan. Pada kala rejim itu tumbang, hampir semua insan seni berbondong-bondong mengusung tema reformasi di segala lini, begitu pun
kelompok-kelompok kethoprak. Pasca reformasi, Indonesia dibanjiri oleh karya seni yang berbau politis. Melihat fenomena semacam itu, Lono Simatupang
berpendapat bahwa setiap aktivitas seni itu sendiri pada dasarnya merupakan aktivitas politis. Bukan dua hal yang terpisah. Pada titik ini, politik tidak
dimengerti sebatas ideologi tertentu. Politik dipahami sebagai praktik relasi kuasa yang berlangsung dalam pembentukan makna, nilai dan tindakan yang
mengikutinya. Ia menambahkan, bahwa hal tersebut terjadi karena peristiwa seni
141
G.V. Plekhanov, 1957, Seni dan Kehidupan Sosial, Foreign Languages Publishing House. Moscow, hal.1
165
senantiasa mengarahkan pemaknaan, penilaian, dan menuntun perlakuan tertentu demi menanggapi suatu gejala atau pun ide. Pengarahannya disampaikan melalui
berbagai teknik dan teknologi. Baginya, seni adalah kata kerja, bukan kata benda.
142
Sehingga seni itu selalu bermakna. Seni bukanlah sesuatu yang begitu saja mati setelah diproduksi. Seni sendiri adalah kerja tiada henti, menuju titik
tertentu sebagai orientasi. Tidak ada seni yang tanpa makna nonsense Pendapat itu rasanya tidak
berlebihan. Albert Camus, dalam tulisannya yang berjudul Seni dan
pemberontakan, berpendapat bahwa mungkin saja kita dapat mengutuk ketidakadilan, dan menuntut suatu keadilan total, melalui perlawanan atau
pemberontakan. Kala seni menuntut keadilan, tidak lantas membuat kita menilai bahwa dunia telah menjadi buruk secara total. Sama halnya pada saat seni
mempertanyakan tentang kenyataan ketidakadilan, tidak lantas membuat seni menjauhi kenyataan tersebut.
143
Seni yang tidak menjauhi kenyataan dan mempertanyakan ketidakadilan, melahirkan pemberontakan. Seni selalu
menghadirkan gairah untuk melawan dan memberontak. Karena sesungguhnya sebagian urgensi pemberontakan itu bersifat estetik.
144
Pemberontakan yang estetis. Sepertinya kita akan susah-susah gampang mendapatinya di wilayah kesenian. Pada bab II sempat disebutkan bahwa hampir
semua lini kesenian memunculkan seniman yang lantang membicarakan pemberontakan melalui karya yang diciptakannya. Namun terlalu dini kiranya bila
142
tulisan ini dipresentasikan Lono Simatupang dalam peluncuran buku Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, dengan judul “kajian tentang Seni Pertunjukan Indonesia, di
Kampus II Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 5 Desember 2014.
143
Albert Camus, 1998, Seni- Politik dan Pemberontakan, Bentang Budaya, Yogyakarta, hal. 9
144
Albert Camus, 1998, hal 4-5