Pentingnya Penelitian Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teoritis

16 menjadi isu yang berbau kedaerahan. Identitas kejawaan dan pengagungan terhadap Sultan sebagai simbol pemimpin Jawa Yogyakarta, menjadi ciri khas yang nampak dalam gerakan tersebut. Hatley tidak melihat teater dan kethoprak hanya sebagai dua bentuk pertunjukan yang menghibur. Akan tetapi juga melihat keduanya sebagai bagian dari gerakan yang melibatkan banyak orang, sebagai agen dari gerakan politik. Penelitian-penelitian yang saya ajukan di atas, merupakan hasil temuan yang menampilkan ketoprak sebagai salah satu bentuk kesenian pertunjukan Jawa, yang bersifat multidimensional. Pada penelitian pertama yang dilakukan oleh Afendy Widayat, Ia melihat bahwa kethoprak dapat mengakomodir kepentingan untuk menanamkan nilai moral kemanusiaan yang bersifat universal. Kethoprak menjadi semacam agen pendidikan dan penanaman nilai moral ideal dalam masyarakat. Ketoprak memikul tanggungjawab dalam proses transformasi nilai. Penelitian ini melihat bahwa seperti di banyak format seni pertunjukan tradisi, etika dan nilai moral kemanusiaan adalah poin penting yang harus disampaikan dan dipelihara di setiap generasi dalam masyarakat. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Annisa Sukada, lebih menekankan pada titik perubahan yang harus dilakukan oleh para seniman kesenian kethoprak. Perubahan ditujukan agar dapat bisa bertahan dan bersaing dalam era globalisasi sekarang ini. Sesungguhnya penelitian ini dapat dikatakan sebagai lagu lama dalam penelitian-penelitian terhadap tradisi yang hidup di dalam masyarakat. Tradisi yang merupakan hasil budaya masyarakat baik material maupun non material, dan di wariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17 harus dapat menyesuaikan diri dengan laju modernisasi, dan pastinya juga globalisasi. Hampir sama dengan penelitian Sukada, penelitian yang dilakukan oleh Retnowati, sedikit banyak juga berbicara tentang usaha kethoprak agar bisa tetap eksis dan survive di era sekarang ini. Penelitian ini memaparkan bahwa kethoprak telah dapat menciptakan solidaritas sosial, bahasa bersama dan nasionalisme. Dalam upaya penciptaannya itu, kethoprak harus melalui proses mimikri dengan ke-modern-an dan globalisasi. Daya juang yang tidak setengah- setengah, agar dapat tetap hidup dalam pikiran dan kebutuhan akan hiburan di masyarakat. Lain halnya dengan peneliti asal Australia yang cukup fokus mengulik mengenai kethoprak, Barbara Hatley. Ia banyak menjelaskan bahwa melalui kethopraklah, representasi kondisi sosial politik negeri ini dapat dilihat. Misal pada peristiwa menumbangan rejim Orde baru. Upaya untuk mengkritik pemerintah yang berkuasa pada masa itu, telah melahirkan karya-karya yang berorientasi pada penggalangan kesadaran masyarakat untuk lebih berani mengkritik penguasanya, dan menyentil pemerintah dalam penerapan sistemnya yang represif. Kethoprak tidak lagi berdiri sebagai alat hiburan, akan tetapi juga menjadi alat politik rakyat. Harus diakui, mungkin penelitian yang saya lakukan cukup berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yang mengetengahkan kethoprak sebagai objek materialnya. Kethoprak yang merupakan seni pertunjukan rakyat, merupakan magnet yang luar biasa untuk ditonton, sekaligus untuk dianalisa lebih dalam. Yang membedakan penelitian ini adalah karena tidak lagi melulu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18 meneropong kethoprak dari kacamata estetika, pendidikan transformasi nilai, ataupun dalam posisi sosialnya. Penelitian ini akan membawa kethoprak dalam pembicaraan di ranah politik. Penelitian ini hendak melihat potensi kethoprak sebagai kesenian sangat ketal dengan aktivitas kritik politik, terutama pada masa pasca reformasi. F.2. Kerangka Teoretis Perspektif politik, adalah pilihan objek formal dari penelitian ini. Kethoprak akan dilihat sebagai aksi politis masyarakat, dalam menyikapi kondisi politik negaranya. Kethoprak tidak hanya dijadikan sumber hiburan yang menyenangkan. Akan tetapi, kethoprak juga akan dilihat sebagai sebuah formula serius dalam ranah pembicaraan politik masyarakat. Melalui kacamata teori hegemoni yang diusung oleh Antonio Gramsci, sekelumit mengenai teori globalisi terutama yang berkaitan dengan budaya, kethoprak akan didedah lebih spesifik. pemikir tersebut, akan membantu kita membaca kethoprak dengan cara baca yang berbeda. F.2.1. Mengkritik Determinisme Ekonomi Di mulai sub-sub bab ini hingga seterusnya, saya hendak membicarakan peta teori Gramsci, terutama pembahasannya mengenai hegemoni. Peta teori ini, berdasar pada apa yang ia kritisi atau ia kembangkan dari pokok pikiran Marxisme awal. Melalui pijakan teori Marx, Gramsci mencoba untuk menyandingkan dengan kumpulan pengalaman yang didapatinya selama menjadi aktivis gerakan kiri, baik di partai sosialis, maupun patai komunis. Buah pikiran 19 yang menjadi pintu baru bagi semesta pemahaman mengenai aliran Marxis. Saya mengetengahkan alur peta ini, sebagai acuan untuk membaca objek material penelitian saya, yaitu gerakan politik dari kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem. Posisi Gramsci dalam peta aliran pemikiran Marxis, diletakkan pada kelompok Neo-Marxis, terutama pada Marxisme Hegelian. Posisi tersebut dijelaskan dalam buku George Ritzer dan Douglas J. Goodman yang berjudul Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxis. 7 Bukan tanpa alasan Gramsci di tempatkan pada posisi tersebut. Gramsci melakukan transisi penting mengenai konsep determinisme ekonomi Marx. Ia mengkritik konsep determinisme ekonomi yang bersifat fatalistik. Dalam pemikiran Marx, segala sesuatu sudah ditentukan oleh capital. Positivisme Marxisme ortodoks cenderung menggiring pada determinisme dan materialis objektif sejarah. 8 Determinisme ekonomi semacam inilah yang coba digugat oleh Gramsci. Gramsci menggugat determinisme secama itu, stelah ia melihat kondisi kelas pekerja, kala ia menjabat sebagai pimpinan PCI. Ia skeptis terhadap doktrin sosialis Internasional kedua dan ketiga, karena telah digerogoti oleh ‘scientisme kasar’ crude scientism dan ‘ekonomisme primitif’. Scientime kasar adalah keyakinan bahwa selalu ada kontradiksi inheren dalam moda produksi kapitalisme yang dapat dianalisis, diprediksi dan dikuantifikasi oleh hukum kapital Marx. Scientime kasar menghasilkan kekeliruan yang bernama “ekonomisme”. Dimana elemen semacam politik, budaya dan ideologi, terpisah dari elemen moda 7 George Ritzer dan Douglas J Goodman, 2004, Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo- Marxian, Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 99 8 Mengutip penyataan Femia, dalam Muhadi Sugiono, 2006, hal. 20 20 ekonomi produksi. Dengan kata lain, pada tingkatan base, terdapat segala hal yan berkaitan dengan uang, material, dan segala hal yang berkaitan dengan moda produksi. Lantas pada tingkatan super structure, terbangun institusi yang berkaitan dengan hal yang bersifat non material, baik itu yang bersifat sosial, politik, budaya dan lain sebagainya. Materlisme historis berisikan pendapat bahwa sejarah dapat dapat direduksi hanya sebagai menifestasi moda produksi, dan hanya dapat dianalisis sebagai proses objektif evolusi. 9 Hal tersebutlah yang dikritisi Gramsci. Menurutnya, hal tersebut mengabaikan keberadaan manusia masyarakat sebagai agen yang aktif dan sadar. Manusia buka semata-mata menerahkan diri pada dunia alamiah, namun aktf dengan berbagai mekanisme kerja dan tekniknya. 10 Manusia diposisikan sebagai agen sejarah, yang mampu melakukan perubahan sejarah. Karena sangat tidak mungkin bila hanya mengandalkan krisis ekonomi, untuk menghadapi kapitalisme. Meskipun ia mengakui bahwa ada sejumlah keteraturan dalam sejarah, ia menolak gagasan perkembangan sejarah yang otomatis dan tak terhindarkan. Maka pada titik ini, masyarakat haruslah dapat bertindak untuk mewujudkan revolusi sosial. Namun sebelumnya melakukan tindakan tersebut, masyarakat harus sadar terlebih dahulu mengenai situasi, hakikat serta sistem yang sedang dijalaninya. 11 Dalam menjalani revolusi sosial semacam itu, masyarakat paham pada apa yang diperjuangkannya. Bukan sekedar melakukannya secara buta. 9 Muhadi Sugiono, 2006, hal. 21-23 10 Muhadi Sugiono, 2006, hal. 24 11 George Ritzer dan Douglas J Goodman, 2004, hal. 99 21 F.2.2. Pengembangan Konsep Pertentangan Kelas Pada kala Gramsci memegang jabatan sebagai sekjen PCI, aroma subordinasi terasa sangat kencang berhembus di ranah kapitalisme Italia, khususnya di Turin. Dengan tingginya permintaan pasar terhadap produk dari pabrik mobil FIAT Fabrica Italiana Automobilii Torino, para pemilik modal berfikir untuk menggejot produktivitas buruhnya. Para buruh terkesan hanya selayaknya menjalankan ban berjalan, yang terus menerus tiada henti. Karena bila mereka berhenti, maka keuntungan akan pabrik berkurang. Federich Taylor dalam bukunya The Principles as Scientific Management 1911 yang melihat manusia sebagai “mesin” istimewa, yang dapat disesuaikan untuk kebutuhan industri modern. Pemikiran Taylor, ditentang oleh Gramsci. Ia melihat bahwa Taylorisme dapat mematikan sikap kritis para buruh, juga memelihara penindasan terhadap mereka. rasionalisasi pekerjaan hanya akan menumbuhsuburkan penindasan dan memperbesar keuntungan para pemilik modal. Taylorisme pada akhirnya akan membunuh kemampuan kritis kelas pekerja, serta membunuh tendensi alamiah mereka untuk mewujudkan organisasi-organisasi kolektif. 12 Jauh sebelum menuliskan penentangannya terhadap Taylorisme maupun Fordisme, Gramsci berhadapan dengan kondisi saat seusai perang dunia ke-2, pola industri Amerika, khususnya Ford banyak diadopsi di wilayah Eropa. Tak terkecuali di Italia. FIAT mengambil beberapa mekanisme “pengelolaan buruh”, sama seperti yang dilakukan oleh Ford di Amerika. Maka untuk menghalau pengaruh ini, Gramsci dan kawan-kawannya membentuk dewan buruh. Kekhawatiran meraka cukup beralasan, karena dengan penerapan Taylorisme 12 Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 129-130 22 yang didaku oleh Ford, akan berbengaruh pada buruh dari FIAT. Pemikiran bahwa kelas pekerja atau buruh adalah mesin, yang mampu mendukung kenaikan jumlah produksi, sehingga membuka ruang para pemilik modal untuk mengurusi masalah di luar proses produksi. Agar proses produksi tidak terganggu, maka para pemilik modal mulai masuk dan ikut mengatur ruang-ruang privat, seperti permasalahan seksual. Melihat realita semacam itu, Gramsci menyimpulkan bahwa hegemoni lahir di pabrik atau perusahaan. 13 Pada titik ini konsep pertentangan kelas yang diperkenalkan oleh Marx, hadir dan berkembang dalam pemikiran Gramsci. Bila dalam Marx, ide dari para pemilik modal diformulasikan agar dapat mengontrol para kelas pekerja, mekanisme untuk mengamankan posisi pemilik modal sebagai kelas yang berkuasa. Marx meletakkan kedinamisan dalam pertentangan kelas, melalui revolusi. Kelas pekerja dapat memproduksi ide mereka sendiri, baik dalam ranah industri maupun organisasi politik. Pandangan inilah yang menjadi modal bagi gerakan yang dilakukan oleh Gramsci dan kawan-kawannya. Terutama dalam merespon Amerikanisme dan Fordisme. Hal tersebut memantik kegusaran para pemilik modal. Mereka kemudian meminjam tangan negara untuk menekan laju perlawanan buruh, dengan cara kekerasan. Negara, berfungsi sebagai pelindungan bagi kepentingan para pemilik modal masyarakat kapitalis. Mekanisme itu dilaksanakan melalui jalur kekerasan coercion yang dilakukan oleh tangan-tangan penegak disiplin negara, serta melalui bantuan para intelektual tradisional, agar terbangun ‘persetujuan’, 13 Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 131 23 yang hadir melalui ideologi sebagai bentuk hegemoni. Hegemoni yang dihayati, amini sebagai sebuah kebutuhan, tanpa perlu difikirkan kembali. Bila negara dalam hal ini penguasa dapat menyingkirkan oposisi, serta mendapatkan kepatuhan dan persetujuan dari kawan sekutunya, maka di pada tahap inilah hegemoni dominan dapat dikatakan mencapai keberhasilannya. Gramsci memaknai pertentangan kelas adalah aksi yang harus dilakukan oleh kelas pekerja. Melalui aksi federasi buruh, dan juga tani, bahaya yang dihadirkan oleh masyarakat kapitalis dapat ditangkal. Kedua kelompok itu adalah ujung tombak perubahan. Meskipun Gramsci mengakui arti penting dari faktor struktural, namun faktor tersebut tidaklah mampu untuk menggiring kelas tersubordinasi dapat melawan kelas yang berkuasa. Ia menekankan arti penting pembangunan ideologi revolusioner yang dikembangkan oleh masyarakat. Gagasan mengenai hal ini dikembangkan oleh para inteletual, yang kemudian akan disebarkan pada masyarakat. Masyarakat tidak dapat secara mandiri menghasilkan pemikiran semacam ini, sehingga fungsi intelektual sangatlah diperlukan. Kala masyarakat telah mampu memahaminya, pada tahap kemudian akan dapat didorong adanyanya revolusi sosial. F.2.3. Konsesus Sebagai Orientasi Hegemoni Gramsci’s main concern became why men were committed to certain beliefs and to a certain system and what was need to make the accept a new system of values. Here he lighted on the notion of hegemony, which he maintained was implicit in the ideas of Lenin. … hegemony was what was secured through the “spontaneous consensus” which the mass of populace gave to the mode of life impressed on society by the dominant group, a consensus given because of the prestige and trust the dominant group enjoy due to its position. Alastair Davidson, 1968: 32-33. 24 Gramsci, sebagai salah satu tokoh penting Marxisme, banyak memberikan sumbangan dan pengembangan penting bagi aliran Marxisme tradisional. Terutama dalam dengan mengangkat hegemoni dominan sebagai titik penting pembicaraan dalam pemikirannya. Mesti dicatat, bahwa Gramsci memang tidak menuliskan teorinya secara lengkap dan final. Muhadi Sugiono mengatakan bahwa pemikiran Gramsci lebih bersifat sementara, karena diperoleh dari catatan yang berserak, terfragmentasi dan tidak lengkap, sehingga wajar bila melahirkan banyak interpretasi. Terlepas dari kenyataan itu, namun tema tunggal yang diusungnya adalah hegemoni. 14 Baginya, konsep hegemoni benar terjadi terutama di kalangan kelas pekerja di Italia. Ia melihat bahwa kelas pekerj dengan suka rela menerima nilai yang ditanamkan oleh kelas penguasa atau kelas yang mendominasi. Hegemoni dominan bekerja guna memperoleh kepatuhan, dan dipercayai sebagai sesuatu yang dibutuhkan. Konsep ini, seringkali dikaitkan dengan konsep kesadaran palsu yang dimaksudkan oleh Karl Marx. Keduanya berhubungan sangat erat. Kelas penguasa mendapatkan kepatuhan dari kelompok yang didominasi melalui 2 dua cara, yaitu melalui jalan kekerasan coersi dan jalan konsensus consent. Cara kekerasan sringkali dianggap sebagai cara lama dan kuno, namun cukup efektif dan cenderung dapat dengan cepat mendapatkan kepatuhan dari kelas yang didominasi. Karena kelas penguasa yang mendominasi kerap menggandeng negara beserta aparatnya. Sedangkan pada cara kedua, yaitu konsensus consent, kelas penguasa akan mengupayakan kepatuhan dari kelas 1414 Muhadi Sugiono, 2006, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 18-19 25 yang didominasi dengan cara yang cenderung halus. Kelas penguasa menanamkan doktrin melalui sistem-sistem yang dipercayai oleh kelas yang didominasi. Disinilah hegemoni dominan bekerja. Hegemoni dominan bekerja secara cerdas, dengan bentuk kepemimpin budaya yang dijalankan oleh kelas yang berkuasa. Menurut Ritzer, hegemoni dominan mempertentangkan cara-cara dengan kekerasan coersi yang dijalankan oleh kekuasaan legislatif atau eksekutif, atau diekspresikan melalui campur tangan kekerasan dari aparat negara. 15 Hegemoni merupakan rantai kemenangan yang diperoleh dari mekanisme konsensus, bukan melalui kekerasan dan terhadap kelas yang didominasi. Hegemoni tidak lain adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangkan yang ditentukan oleh kelas penguasa. 16 Hegemoni dominan merupakan sebuah sarana budaya dan ideologi, dimana kelompok kelas penguasa, mempertahankan dominasi mereka dengan mengamankan kepatuhan dari kelompok yang didominasi. Hal ini dicapai dengan pembangunan negosiasi dari konsensus politik dan ideologi yang menggabungkan kedua kelompok dominan dan mendominasi. Budaya yang dibentuk merupakan penjelmaan dari hegemoni dominan. Gramsci melihat bahwa kelompok yang berkuasa akan selalu berusaha untuk melanggengkan dominasi dan kekuasaannya, melalui berbagai kontrol sosial. Baginya kontrol melalui cara kekerasaan coersi, bukanlah cara kerja hegemoni dominan. Hegemoni dominan dikatakan dapat bekerja, bila kelompok yang didominasi, atau masyarakat kebanyakan dapat secara suka rela memeluk 15 George Ritzer dan Douglas J Goodman, 2000, hal. 100 16 Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 120-121 26 dan menyakini apa yang ditanamkan oleh kelompok penguasa. Hegemoni dominan dapat sukses diraih, apabila mencapai konsensus consent. Hegemoni dominan adalah suatu organisasi konsensus. Menurut Dominic Strinati, hal tersebut berarti bahwa kelompok yang didominasi menjalani penerimaan konsensual. Dimana kelompok yang didominasi menerima ide, nilai dan kepemimpinan dari kelompok penguasa atau dominan. Gramsci sendiri lagi-lagi menegaskan bahwa hegemoni dominan semacam ini tidak didapatkan melalui jalan kekerasan ataupun mekanisme indoktrinasi ideologi, akan tetapi karena keinginan mereka sendiri. 17 Hegemoni dominan memiliki tingkatan sesuai penguasaan kepatuhan pada kelas yang didominasi. Gramsci, seperti yang dikutip dari Femia, membagi hegemoni dominan menjadi 3 tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah hegemoni integral. Hegemoni ini ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Ada persatuan moral dan intelektual yang kokoh, dan memiliki hubungan yang organis antara kelompok yang menguasai dan yang didominasi. Selain itu, tidak ada hubungan antagonis sama sekali di antara keduanya. Kedua, hegemoni decadent atau merosot. Hegemoni ini menunjukkan bahwa upaya penanaman hegemoni sudah dilakukan, dan semua nampak dikuasai, namun tetap menyisakan celah dan masalah. Bila pada permukaan semua terlihat sudah bersatu, baik kelompok yang menguasasi dengan kelompok yang didominasi, pada kenyataan tetap hadir potensi disintegrasi. Potensi itu dapat sewaktu-waktu membuncah. Sedangkan yang ketiga, adalah hegemoni yang minimum. Hegemoni ini 17 Dominic Strinati, 1995, An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London, hal. 154 27 menduduki tingkat yang paling rendah. Hegemoni ini bersandar pada pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politik dan intelektual. Pada saat yang bersamaan masyarakat pun enggan ikut campur tangan dalam merumuskan kehidupan bersama. Hingga pada akhirnya, semua arah hegemoni ditentukan oleh kelompok penguasa. 18 Berdasar pada pengalamannya, Gramsci mencontohkan bahwa kekuatan kelompok penguasa pada umumnya berasal dari kelas pemilik modal, berupaya membentuk konsesinya, atas latar ekonomi. Untuk memperoleh konsensus, maka kelas yang didominasi pada kasus ini adalah kelas pekerja, diajak untuk memikirkan persoalan mereka, berupa kesejahteraan dan upah yang layak. Bukan tanpa alasan para pemilik modal mengajak para pekerja untuk membahas hal tersebut. persoalan semacam itu merupakan kunci masuk agar dominasi yang dimiliki oleh para pemilik modal dapat tetap aman. Dengan masuknya pemikiran para pemilik modal dalam pembicaraan mengenai kesejahteraan para pekerjanya, maka mereka dapat melanggengkan dengan mudah kepatuhan dan nilai-nilai subordinasinya. Ide-ide mereka diakui, sebagai sebuah hegemoni. Kelompok yang didominasi kehilangan kesadaran, terutama kesadaran kelas dari sejarahnya. Kehilangan kesadaran ini tidak hanya melalui jalan kekerasan, akan tetapi juga melalui jalan konsensus dalam moral dan intelektual. Konsensus harus disertai kesepakatan dari aliansi, tahap inilah yang disebut sebagai blok historis. Menurut Nezar dan Andi, blok historis ini terbentuk apabila kelas penguasa berhasil memunculkan keseimbangan dalam menjaga 18 Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 125-126 28 hegemoninya, melalui kepemimpinan dan dominasi. Blok ini ini mewakili tatanan sosial tertentu. Karena di sinilah hegemoni dominan direproduksi ke dalam lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi, salah satunya pendidikan. 19 Peran inteletual amat diperlukan di sini. Terutama sebagai agen dalam pembentukan blok historis. Gramsci membagi kelompok intelektual menjadi 2 dua, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Kelas penguasa membutuhkan para agen untuk menanamkan “kesadaran baru”. Di sinilah peran para intelektual tradisional dianggap sangat penting. Intelektual ini hadir untuk bekerja demi kepentingan kelas penguasa, atau dari kelas selain dari kelas penguasa, namun dirinya terpisah dari kelas asal. Berbeda dengan intelektual tradisional, intelektual organik merupakan intelektual yang lahir setiap kelas, yang berpikir untuk bergabung dan mengorganisir kelas yang didominasi. Intelektual organik dapat saja berasal dari intelektual tradisional, yang secara sadar menginggalkan posisi mereka sebelumnya. Demi memperjuangkan kepentingan kelas yang didominasi. Pada Marxisme, salah satu konsep kunci lainnya adalah adanya pertentangan kelas. Bila pada Marxisme tradisional, yang saling bertentang adalah kelas kapitalis pemilik modal dengan kelas pekerja buruh. Namun pada proses hegemoni, Gramsci mengatakan bahwa pertentangan kelas seringkali terbentur dengan upaya netralisasi oleh kelompok penguasa. Mereka melemahkan melalui mekanisme pengawasan dan iming-iming kenaikan upah yang jauh lebih baik pada kasus kelas pemilik modak dan buruh. Hingga pertentangan kelas, menjadi 19 Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 127 29 sebuah ilusi. Kelas pekerja buruh menginternalisasi pengawasan dan iming- iming tersebut sebagai sesuatu yang memang dibutuhkannya. Mereka menjadikan hal tersebut sebagai konsensus dan meligitimasinya sebagai budaya. Konsensus terselubung semacam ini semakin memperkuat hegemoni dominan kelompok penguasa. Konsesus masuk dalam gejala integrasi budaya. Integrasi juga masuk melalui pendidikan dan mekanisme kelembagaan. Menurut Gramsci, pendidikan tidak lagi mengusung semangat awalnya, yaitu membangun pola berpikir yang kritis dan sistematis dari kelompok buruh yang didominasi. Sedangkan keberadaan lembaga semacam lembaga keagamaan, sekolah, media massa dll, pun turut dalam penyebaran ideologi kelompok penguasa. Konsesus dibentuk guna melemahkan pertentangan kelas, kelompok yang didominasi ditundukkan melalui instrumen budaya, yaitu bahasa. Bahasa yang disampaikan merupakan bahasa pelayanan bagi kelompok penguasa. Konsensus yang merupakan kesadaran palsu itu, diyakini oleh kelas yang didominasi sebagai kepentingan mereka. Akan tetapi, Gramsci memandang bahwa kelas yang didominasi, tidak sepenuhnya berada di bawah pengaruh kesadaran palsu. Menurutnya, kelas yang didominasi dapat membangun kesadaran dan konsep hegemoninya tersendiri, sebagai mekanisme untuk melawan hegemoni dominan dari kelas penguasa. Blok historis yang dibentuk oleh hegemoni dominan dari kelas peguasa dibuat absen. Hegemoni tandingan counter hegemony dibentuk oleh kelas yang didominasi . Mereka membentuk blok historis baru. Mereka menyatakan kesejarahannya 30 sebagai kesadaran baru, yang berasal dari kondisi nyata yang dihadapinya. Blok historis ini pun kepentingan kolektif dari aliansinya. Gramsci berpendapat bahwa jikalau kelas yang didominasi menggabungkan seluruh sektornya, maka mereka akan dapat memecahkan permasalahan pokok masyarakat. Dalam hal ini, nilai, ideologi dan praktek dapat dirajut dalam blok historis baru, dan pada tahap selanjutnya dapat disebarluarkan pada masyarakat. Dalam upayanya mengontrol penguasa, kelompok yang semula didominasi, harus melibatkan kelompok atau pihak lainnya. Guna menghimpun kekuatan sosial bersama. Dari kelompok-kelompok kecil yang merasakan ketertindasan yang sama, mereka berangkat untuk saling menyatu, namun tetap menghormati perbedaan masing-masing, dalam sebuah payung bersama. Sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme. Selain itu, mereka mempersiapkan diri untuk memperkuat gerakan sebagai sebuah kombinasi dan aliansi strategis. Aliansi strategis ini akan menyatukan misi mereka guna melawan kelompok penguasa. Misi yang dihasilkan pada akhirnya akan menghadirkan jaringan kerja dan identitas kolektif. 20 Gramsci meletakkan perang posisi dengan basis gagasan untuk mengepung apparatus negara dengan suatu counter hegemony. Hegemoni ini diciptakan oleh organisasi massa kelas yang didominasi dan dengan membangun lembaga-lembaga serta mengembangkan budaya dari kelas yang sebelumnya didominasi. Melalui perang posisi dalam hegemoni tandingan ini, Gramsci berharap agar kaum buruh dan petani dapat diorganisir, agar mampu membangun 20 Daniel Hutagalung, Januari-Februari 2006, Laclau-Mouffe Tentang Gerakan Sosial, Majalah Basis No.01-02, Tahun LV. 31 pondasi baru. Hegemoni tandingan ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mewujudkan pondasi baru, yang terdiri dari budaya, kosmologi, maupun budaya alternatif, yang berasal dari kondisi dan kebutuhan mereka sendiri. 21 Pondasi baru ini menjadi gagasan yang mendorong kelas yang didominasi untuk melawan hegemoni dominan dari kelas penguasa. F.2.4. Globalisasi yang Membuka Batas Membaca kethoprak, khususnya lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, sepertinya akan jauh lebih lengkap bila menyertakan globalisasi sebagai pisau analisis sekunder. Terlebih lagi, seniman dari kesenian ini banyak mengambil fokus pada upaya untuk membendung dampak buruk yang dibawa oleh globalisasi. Sehingga teori globalisasi, khususnya yang berkaitan dengan budaya, dipakai untuk memindai kedua lakon tersebut. Globalization does not simply refer to the objectivness of increasing interconnectedness. It also refers to cultural and subjective matters [namely, the scope and depth of conciousness of the world as a single place]. Roland Robertson 1992 22 Globalisasi menurut Jan Aart Scholte, dapat diartikan sebagai suatu proses sosial yang didapatkan dari mekanisme penghapusan kualitas jarak dan batas. Sehingga setiap manusia dapat dengan bebas memperlakukan dunia sebagai satu kesatuan tempat. 23 Hingga kini tidak ada yang dapat dengan yakin menyebutkan waktu kelahiran globalisasi. Ada banyak versi mengenai hal tersebut. Namun banyak ahli menyebutkan bahwa globalisasi lahir tidak kurang dari 1980an. 21 Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 172-173 22 Jan Aart Scholte, John Baylis and Steve Smith Eds, 1999, The Globalization of World Politics; An Inroducction to International Relations, Oxford University Press 23 John Baylis dan Steve Smith eds, 1997, The Globalization of World Politics, Oxford, hal. 14 32 Awalnya dimulai dengan segala bentuk kemudahan di bidang transportasi dan komunikasi. Dunia tidak lagi terpisah, semua terhubung dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya, terutama di bidang ekonomi. Pada era itu, globalisasi kian intensif bergerak. Globalisasi sering identik dengan hubungan ekonomi yang tak bersekat oleh jarak atau pun batas wilayah. Profesor Joseph E Stilitz, peraih Nobel Ekonomi, berpendapat bahwa globalisasi dipahami sebagai aliran gagasan dan pengetahuan secara internasional, pemahaman budaya, munculnya kelompok masyarakat dunia, maupun pergerakan masalah lingkungan secara global. Lebih lanjut, ia mengatakan dengan bahasa yang sederhana, bahwa pada globalisasi sesungguhnya dititipkan harapan yang sangat besar. Harapan akan adanya peningkatan taraf hidup seluruh masyrakat dunia. Dengan cara memberikan akses bagi negara-negara miskin terhadap pasar di luar negeri, sehingga mereka dapat menjual barang-barang mereka. Mempermudah masuknya investasi asing, agar mereka mampu memproduksi barang-barang baru dengan harga lebih murah. Serta membuka batasan-batasn agar masyrakat dapat melakukan perjalanan ke luar negeri untuk menuntut ilmu, bekerja, mengirim dana untuk keluarga, juga membiayai usaha mereka. 24 Melihat harapan besar yang diemban oleh globalisasi, sepertinya gagasan ini adalah sesuatu yang cukup menjanjikan, khususnya bagi kesejahteraan masyarakat dunia. Tetapi pada kenyataannya, globalisasi menghasilkan kondisi yang jauh dari kata sejahtera, terutama bagi negara-negara miskin di dunia. Pro kontra mengenai globalisasi mulai mengemuka di banyak negara. Pengelolaan globalisasi yang diatur oleh mayoritas negara-negara maju, cenderung 24 Joseph E Stiglitz, 2007, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil, Mizan, Bandung, hal. 50 33 ditunggangi oleh kepentingan tertentu dari negara-negara tersebut. tidak ada upaya membuat aturan yang berimbang, sehingga denderung menghambat kemajuan dari negara berkembang dan negara miskin. 25 Komisi Dunia tentang Dimensi Sosial Globalisasi 26 melakukan suvei di 73 negara di seluruh dunia. Di seluruh dunia, kecuali Asia selatan, Amerika Serikat dan uni Eropa angka pengangguran meningkat dalam kurun waktu 1990-2001. Pengangguran pada saat itu mencapai angka 185,9 juta jiwa. 59 dari mereka tinggal di negara dengan tingkat kesenjangan yang meningkat, dan ada 5 yang tinggal di negara dengan tingkat kesenjangan menurun. Singkat kata, globalisasi mungkin dapat membantu beberapa negara, katakanlah, untuk meningkatkan PDB 27 produk domestik bruto , yaitu jumlah produksi barang dan jasa. Namun, hal itu bukan berarti dapat meningkatkan taraf hidup seluruh masyarakatnya. Justru timbul kekhawatiran bahwa globalisasi akan menciptakan negara-negara kaya dengan masyrakat miskin di dalamnya. 28 Negara-negara berkembang yang membuka diri bagi dunia luar tidak langsung meraup manisnya keuntungan dari globalisasi. Bahka jika terjadi kenaikan PDB, pertumbuhan yang terjadi mungkin tidak berkesinambungan. Dan, jika pertumbuhan itu berkesinambungan, sebagian penduduknya tidak merasakan dampaknya, atau merugi. 29 Globalisasi, mengadopsi sistem liberalisme klasik, yaitu meniadakan peran negara dalam urusan ekonomi internalnya. Lembaga ekonomi dan korporasi- korporasi, selaku pelaku para pasar bergerak ekspansif ke seluruh dunia, 25 Joseph E Stiglitz, 2007, hal. 51 26 Komisi ini didirikan pada tahun 2001 oleh Organisasi Buruh Internasional ILO 27 PBD adalah alat untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara. 28 Joseph E Stiglitz, 2007, hal .55-56 29 Joseph E Stiglitz, 2007, hal 79 34 khususnya negara dunia ketiga untuk melebarkan ekspansi perekonomian, dengan iming-iming untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui langkah ‘penyesuaian struktural’ di segala bidang. Keuntungan yang dijanjikan oleh sistem ini berupa peningkatan tingkat ekonomi. Karena terbukanya sekat dan cairnya aturan perekonomian di tiap negara, sistem ini banyak disambut oleh para pelaku pasar untuk dapat memperluas cakupan ruang gerak ekonominya. Namun ketiadaan atau minimnya peran negara dalam regulasi perekonomian berimbas pada kondisi tidak terlindunginya rakyat dari ekploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh para pelaku pasar, dalam mekanisme globalisasi Globalisasi tidak semata hanya di bidang ekonomi. Semua bidang juga mengalami penetrasi globalisasi. Tak terkecuali juga bidang politik, sosial, maupun kebudayaan. Globalisasi menjadi semacam pembuka kran lalu lintas kebudayaan. Dengan demikian maka tidak ada lagi sekat geografis maupun geopolitik. Peluang dan ancaman globalisasi dijelaskan dalam buku Lambert Ziudervaart, yang mempresentasikan buah pikir Joost Smiers, mengenai globalisasi. Menurut Smiers, globalisasi ekonomi sangat mengancam keberagaman kebudayaan banyak negara di dunia, terutama di ranah seni. Sebelumnya, komunikasi terekspresikan dalam bentuk pertentangan nan emosional, konflik-konflik sosial dan pertanyaan-pertanyaan mengenai status yang saling berbentrokan satu sama lain. Komunikasi, konflik dan pertanyaan dalam seni yang dinamis dan terus membangun diri. Namun dalam kacamata globalisasi, seni yang sedemikian itu harus “ditertibkan”. 30 Globalisasi menitipkan tugas penertiban melalui konsep masyarakat demokrasi. Masyarakat demokrasi 30 Joost Smiers, Lambert Ziudervaart ed, 2011, Art in Public; Politics, Economics, and a Democratic Culture, Cambridge University Press 35 dipahami sebagai ruang yang terbuka untuk banyak pertukaran ide dan perdebatan. Oleh karena, seni dan budaya menjadi hal yang amat penting bagi perdebatan demokrasi. Namun pada kenyataannya, kemampuan negara-negara berkembang untuk menyuarakan pendapatnya, justru terkikis oleh kendala baru dari luar. Sebagian besara dikarenakan lemahnya daya tawar yang diakibatkan oleh globalisasi. Misalnya saja, adanya syarat yang harus dijalani oleh negara berkembang, atas bantuan dana yang diberikan kepadanya oleh negara maju. Persyaratan itu seringkali melemahkan instiusi negara berkembang. Masyarakat cenderung melihat bahwa demokrasi telah dilecehkan. Meski globalisasi lah yang membantu penyebaran ideologi demokrasi, namun dalam pakteknya, justru melalui globalisasi proses demokrasi suatu negara dilemahkan. 31 Pisau analisis yang dipaparkan diatas, dirasa tepat untuk mengupas gerakan politik, yang diartikulasikan di dalam kethoprak. Kethoprak, khususnya lakon Magersari dan Ledhek Bariyem memiliki konteks yang harus dibaca pemaknaannya. Terutama dalam narasi politik di Indonesia. Pertunjukan kethoprak yang direpresentasikan dalam kedua lakon tersebut, berupaya untuk bersuara dalam wilayah politik, melalui jalur kebudayaan, terutama melalui tangan kesenian. Cukup pas dengan apa yang disinggung Gramsci dalam teorinya, mengenai mekanisme hegemoni yang dilakukan melalui tangan kebudayaan. Serta dalam lanskap teori globalisasi yang berkaitan dengan budaya. 31 Joseph E Stiglitz, 2007, hal. 60 36

G. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan field work yang berbasis pada proses pengumpulan data yang terkait dengan kesenian kethoprak, khususnya kethoprak Magersari dan Ledhek Bariyem. Penelitian ini menitikberatkan pada metode kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan lebih memfokuskan diri pada permasalahan kethoprak sebagai salah satu bentuk gerakan sosial politik masyarakat. Data dikumpulkan melalui wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah untuk memperoleh gambaran dari pengalaman nyata dari setiap responden, pengalaan menoton kedua lakon tersebut, dan mengkaji dokumen yang terkait secara mendalam. Penelitian ini akan mengkaji pengalaman langsung, dari para responden: pelaku pertujukan seni kethoprak yang dimaksud lived experience. Metode ini dipilih untuk dapat menghimpun keterangan detil dari pengalaman para pelaku kethoprak. Sehingga akan didapatkan gambaran mengenai hal-hal yang melatarbelakangi, proses, dan masalah yang mereka temui selama aktif dalam proses produksi kethoprak Magersari dan Ledhek Bariyem. Secara khusus, penelitian akan dilakukan berdasarkan: G.1. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertimbangan pemilihan lokasi tersebut adalah karena pertunjukan kedua lakon kethoprak yang diteliti dilakukan di wilayah ini. selain itu, kedua lakon kethoprak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37 iru merupakan hasil produksi dari dua 2 komunitas kethoprak yang ada dan berkegiatan secara aktif di wilayah Yogyakarta. Selain itu, konteks dari kethoprak yang dipertontonkan memang sengaja ditujukan untuk masyarakat Yogyakarta, dan memfokuskan pada permasalahan peristiwa politik di wilayah ini. G.2. Kelompok Sasaran Kelompok sasaran dari penelitian ini adalah para seniman kethoprak yang tergabung dalam komunitas Genitama dan Pastika, yang secara khusus terlibat dalam proses produksi kethoprak Magersari dan Ledhek Bariyem. G.3. Jumlah yang akan diteliti Penelitian ini akan mewawancarai perwakilan dari komunitas-komunitas. Perwakilan komunitas itu terdiri dari 4 empat orang penggiat kethoprak, dari komunitas Genitama dan Pastika sebagai sumber kunci. G.4. Sumber Data G.4.1. Data Primer Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan. Data primer penelitian berupa rekaman pertunjukan, naskah, hasil wawancara dan observasi yang dilakukan dalam rentang waktu semenjak bulan Mei 2015 hingga Oktober 2015. Data-data tersebut diperoleh langsung dari para seniman dan penggiat kethoprak khususnya untuk produksi kethoprak Magersari dan Ledhek Bariyem. 38 G.4.2. Data sekunder Data sekunder penelitian ini adalah data-data yang didapat dari berbagai sumber tertulis dan rekaman. Data-data itu terdiri dari buku, jurnal, tesis, disertasi, hasil penelitian, catatan komunitas, majalah, buletin dan rekaman video pertujukan kethoprak. G.5. Teknik Pengumpulan Data G.5.1. Pengumpulan Naskah Naskah merupakan data penting yang akan dianalisa dalam penelitian ini. Sehingga pengumpulan naskah dari dua 2 produksi kethoprak: Magersari dan Ledhek Bariyem adalah mekanisme yang wajib dilakukan dalam proses penelitian. G.5. 2. Wawancara yang mendalam Wawancara mendalam in-depth interview yang bersifat lama, terbuka dan terarah open-ended interview, dilakukan untuk menangkap pandangan dan pemikiran responden. Sehingga dapat terhindarkan hasil jawaban wawancara yang bersifat tertutup. Wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi yang sebanyak-banyaknya dan sedalam-dalamnya dari para respondenpelaku. Teknik wawancara mendalam ini dilakukan dengan cara melakukan tanya jawab, antara peneliti dengan responden, dengan bantuan interview guide panduan wawancara.

G. 5. 3. Observasi Langsung

Observasi langsung dilakukan dengan menonton pertujukan, mendatangi, berinteraksi dan melihat cara kerja dari tiap komunitas. Tujuan dari metode ini 39 adalah untuk menghimpun catatan atas pengamatan langsung, mengenai berbagai hal yang berkaitan dilakukan oleh komunitas tersebut. G.5.4. Dokumentasi Dokumentasi merupakan upaya untuk melakukan pengumpulan data yang terekam dalam dalam berbagai media. Dokumen-dokumen tersebut dapat berupa data-data yang sebelumnya sudah ada, dan juga yang yang dibuat pada saat proses penelitian terjadi.

H. Skema Penulisan

Skema Penulisan Penelitian ini adalah:

Bab I Pendahuluan

Bab ini merupakan bab pengantar yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah , tujuan penelitian, pentingnya penelitian, tinjuan dan kerangka teoritis, metode penelitian, pengolahan data, dan skema penulisan.

Bab II Kesenian dalam Gerakan Politik Pasca Reformasi

Pasca reformasi, sistem dan kondisi politik di Indonesia telah mengalami banyak perubahan, dan melibatkan banyak pihak dari sektor-sektor yang berbeda. Salah satunya kesenian. Pada bab ini, akan dipaparkan mengenai keterlibatan kesenian dalam ranah politik, terutama dalam upayanya melakukan kritik terhadap kondisi sosil politik di Indonesia. Sejauhmana kesenian melakukan gerakan politiknya. 40

Bab III Kethoprak yang Berbicara di Panggung Politik

Lebih lanjut, bab ini akan menelusuri seluk beluk permasalahan- permasalahan yang dihadirkan di atas panggung pertunjukan kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem. Kedua lakon kethoprak tersebut sengaja dibuat dan dibuat dengan latar peristiwa politik tertentu. Sehingga pada bab ini, akan dipaparkan data dan temuan yang didapatkan dari pertunjukan dan juga hasil proses wawancara dengan para responden.

Bab IV Hegemoni Di Ranah Seni Tradisi

Pada bab ini, kethoprak akan dianalisa menggunakan teori hegemoni yang diperkenalkan oleh Antoni Gramsci, serta teori sekunder mengenai globalisasi. Kethoprak akan diperiksa, dengan menggunakan alat baca hegemoni dan globalisasi. Tahapan untuk mencari siapa pemengang posisi intelektua, bagaimana blok historis dibangun dan konsesus semacam apa yang hendak ditanamkan, adalah agenda kerja pada bab IV.

Bab V Kesimpulan

Bab ini berisi pemaparan kesimpulan hasil penelitian mengenai pembacaan mengenai hegemoni dan globalisasi, yang disampaikan melalui pertunjukan dan konteks dari kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem.