49
merupakan sastarawan yang memiliki kerinduan pada perlawanan. Ia begitu lantang menyuarakan ketidaksukaannya terhadap Alexander I selaku penguasa,
melalui puisi-puisi yang dibuatnya. Ia mengajak rakyat untuk tidak tunduk dan tidak pasrah pada cambuk, penjara bawah tanah serta kursi penyiksaan. Namun,
sikap kerasnya berubah secara drastis, manakala pemerintahan Rusia berganti dipegang oleh Nikolas I. Pushkin berubah menjadi seorang seniman yang apatis
terhadap perlawanan melalui seni. Sikapnya dipengaruhi oleh peristiwa 14 Desember 1825. Ia dan banyak kaum terpelajar di masa itu, telah dilumpuhkan
secara paksa oleh Nikolas I dan tangan kanannya, Benkendorf. Mereka berusaha untuk meluruskan pena Pushkin untuk menjadi agen moral konvensional. Pushkin
muak pada “kebesaran moral” itu. Ia lebih muak pada seni yang menjadi alat yang mendatangkan keuntungan bagi penguasa pada saat itu.
36
Alasan itulah yang membuatnya ingin menaruh seni sebagai seni, tidak lagi sebagai sesuatu yang
dapat ditunggangi oleh penguasa. Melihat Pushkin, lantas apalah bedanya dengan kondisi yang dihadapi para
seniman di Indonesia, pada masa Orde Baru? Mungkin jawabnya tidak jauh berbeda. Pada jaman Orde Baru, sedikit banyak kondisi tersebut dapat ditemukan
juga. Tarik menarik kepentingan dalam kesenian tidak pernah sepi. Dalam upayanya menenggelamkan sisa-sisa gambaran Orde Lama, penguasa Orde Baru
menggunakan lini kesenian untuk menyebarkan doktrin kebencian dan ketakutan pada “hantu komunis” dari masa lalu. Bagi anak yang lahir pada tahun 70-80an,
mungkin pernah sekali atau bahkan berkali-kali menonton film berjudul Pengkhianatan G 30 S PKI, besutan Arifin C. Noer. Film tersebut merupakan
36
G.V. Plekhanov, 1957, hal. 4-5
50
salah satu upaya propaganda menabur ketakutan terhadap komunisme. Dalam film yang berdurasi lebih dari 4 jam itu, Soeharto dicitrakan sebagai sosok
pahlawan, sang penyelamat Indonesia dari rencana kudeta PKI. Dibalik semua propaganda yang dilakukan melalui pita seluloid itu, banyak dari anak-anak yang
setiap tahunnya dicekoki ketakutan terhadap PKI, tidak mengetahui bahwa ada ribuan rakyat ditangkapi, ditahan dan dibantai, demi menguatkan legitimasi
kekuasaan Orde Baru. Genosida yang belum ditemukan secara tertulis di dalam buku pelajaran sejarah di sekolah.
Tidak hanya melalui film, beberapa lini kesenian juga digunakan untuk menanamkan doktrin, dan menuai kepatuhan dari rakyat. Penguasa Orde baru
sangat sadar atas kekuatan yang terkandung dalam gerakan seni. Melalui kesenian yang digandrungi rakyatlah, kekuasaan Orde Baru mendekati dan menundukan
mereka. Kesenian dengan corak “penyuluhan” akan sangat mudah kita dapati dalam karya-karya beberapa seniman dan kelompok seni di masa itu. Lesenian
semacam ini dipelihara oleh negara. Sedangkan di sisi yang bersebrangan, kondisi semacam itu menghadirkan kegelisahan yang berkepanjangan. Seni dalam
kacamata para seniman tersebut adalah media untuk menyuarakan hati dan kemanusiaan. Seniman di sisi ini berkarya dan bergerak untuk mengkritisi rejim.
Gerakan semacam itu berhasil membuat Soeharto dan para pengikutnya gerah. Rejim mempersempit ruang bagi kesenian semacam itu. Tidak ada ruang
bagi perlawanan, walaupun dibungkus melalui lidah kesenian. Pada masa tersebut, sosok Soeharto hadir sebagai musuh bersama. Sejumlah seniman aktif berbicara
politik dan mengkritik rejim. Bersama para aktivis, mereka berupaya menggempur PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
ke atas, dan menggalang kekuatan di bawah. Gerakan menuju titik puncak reformasi.
Perjalanan panjang mencapai reformasi berbuah manis. Terbukti pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan dirinya lengser dari tampuk
kekuasaannya, sebagai respon dari gerakan rakyat di seluruh negeri. Selepas titik puncak reformasi, secara kasat mata kita melihat ada banyak perubahan yang
terjadi. Perjuangan politik masyarakat berangsur-angsur berubah. Reformasi sebagai sebuah fase yang dituju, ditunggu dan diperjuangkan dalam waktu
panjang, telah sukses diwujudkan. Rejim Soeharto berhasil digulingkan, sosok yang menjadi musuh bersama telah berhasil dilengserkan. Pada awal reformasi,
gegap gempita perubahan muncul di sana-sini. Kran-kran yang sebelumnya dimampatkan atau ditutup oleh kekuatan kekuasaan, akhirnya dapat dibuka
dengan volume yang sangat besar. Berbagai hal yang sebelumnya direpresi, akhirnya bebas menentukan nasibnya sendiri-sendiri. Begitu pun dengan kesenian.
Di sini era baru dimulai. Era yang menjanjikan kemerdekaan berekspresi. Era kemerdekaan berekspresi dan juga bereksistensi ini, tidak kemudian
diikuti dengan kesiapan untuk mengawal orientasi yang semula dituju. Bila mengibaratkan pencapaian reformasi sebagai proses dari sebuah eskalasi konflik,
pada saat titik puncak telah dilampaui, maka akan ditemu juga ada fase menurunnya. Walau sesungguhnya fase menurun dalam konteks ini, tidak bisa
serta merta dikatakan sebagai sesuatu yang negatif. Menurun di sini dapat diartikan sebagai penurunan tegangan perjuangan. Perjuangan ini tidak sepanas
sebelumnya, tidak semassif sebelumnya dan tidak seberdarah sebelumnya. Setelah tumbangnya rejim Soeharto, pada awal tahun 2000-an, banyak seniman dan
52
komunitas-komunitas seni yang mengalami kebingungan. Kebingungan akibat dari hilangnya sosok musuh bersama. Seniman dan komunitas-komunitas seni
kemudian mencari format baru. Format diri dan format musuh yang hendak dikritisi dan dilawan. Bila pada masa yang lalu, sosok musuh terlihat nyata dan
tungggal, Soeharto, maka pada masa setelah rejim itu tumbang, sosok musuh menjadi tak terlihat. Di titik inilah kemudian kesenian mulai mengidentifikasi
musuhnya masing-masing, berdasar dari pengalaman yang ditemukannya selama bersinggungan dengan kondisi sosial, politik dan juga ekonomi rakyat.
C. Sastra Geliat yang Tak Berkesudahan
C.1. Era Baru, Harapan Baru?
Kebenaran dalam kesusastraan adalah sebuah perlawanan, sejarah yang hanya diciptakan bagi pembenaran kekuasaan. Kebenaran di dalam
kesusastraan sama sekali tidak tergantung pada tanah dan kertas keduanya alat tulis Jawa kuno maupun komputer, melainkan oleh visi dalam kepala
yang dengan sendirinya antikompromi terhadap pemalsuan sejarah. Perangkat sastra seperti kertas dan disket bisa terpendam, dilupakan, dan
dimusnahkan, tapi kesusastraan akan tetap hadir sebagai pembenaran dan pojok bisu mana pun, karena kehidupan sastra berada dalam pikiran.
37
Hendak mencari tahu sejarah suatu bangsa di suatu masa? Maka lihatlah karya sastranya. Tidak ada yang bisa menyangkal, atau pun tidak mengindahkan
posisi sastra dalam pergulatan politik suatu bangsa. Kita bisa meminjam catatan sastra sebagai bagian dari catatan sejarah. Ya walaupun, memang kita harus jauh
lebih jeli membacanya, karena karya sastra pun adalah sebuah karya seni, yang tidak lepas dari kemungkinan penambahan dan pengurangan di sana-sini, demi
37
Seno Gumira Ajidarma, 2005, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Bentang Pustaka Yogyakarta, hal. 8
53
tujuan estetis. Namun lagi-lagi, kita akan selalu dapat melihat karya sastra sebagai salah satu rujukan untuk dapat mengenal, memahami dan bahkan memikirkan
jauh lebih dalam, mengenai kondisi suatu masyarakat, di suatu wilayah dan di suatu masa. Gambaran tersebut bisa saja kita dapatkan secara detil dari hasil karya
para sastrawannya. Sedikit mundur kebelakang, untuk melihat sedikit gambaran ranah sastra
di masa Orde baru, dimana mekanisme deideologi sastra lahir dan berkembang. Afrizal Malna, pada bukunya yang berjudul Sesuatu Indonesia, menyebutkan pada
kala itu amat terasa campur tangan pemerintah dalam dunia kesusastraan. Salah satu contoh yang diangkatnya adalah keputusan yang diterapkan di Taman Ismail
Marzuki, terkait masalah pencekalan terhadap Rendra dan Emha Ainun Najib. Mengenai hal ini, Goenawan Muhammad mengatakan bahwa kebebasan
sesungguhnya adalah milik kekuasaan, dan bukan semacam hak yang bisa dipakai siapapun, terutama seniman. Deideologi sastra juga hadir dalam kedekatan
sastrawan dengan pemerintahan atau partai politik tertentu. Sehinga kekritisan sastrawan menjadi lebih lemah.
38
Deideologi pada masa Orde Baru terbukti ampuh membungkam sebagian sastrawan, untuk diam dan tidak melawan.
Kala Reformasi mencapai puncaknya, yang ditandai oleh lengsernya Soeharto pada tahun 1998, menjadi momen yang menjanjikan kemerdekaan baru
di ranah sastra. Era penyensoran, pelarangan terbit atau pun pelarangan edar sudah usai. Berbagai isu yang semula dilarang, setelah reformasi dibicarakan secara
bebas. Selayaknya sebuah era yang baru, sastra dan sastrawannya juga menapaki tantangan yang baru.
38
Afrizal Malna, 2000, Sesuatu Indonesia, Bentang, Yogyakarta, hal. 478
54
Era reformasi, nampaknya tidak akan menjamin kehidupan sastra Indonesia lebih baik, kalau sastrawannya sendiri tidak bangkit. Sastrawan
sendiri harus mereformasi posisi dan perilakunya sebagai sastrawan. Tidak cukup dengan cara menuding, mengelak, memasang label reformasi di
kepalanya atau bersilat argumentasi, tetapi dengan karya-karya. Dan itu mutlak memerlukan kerja.
39
Tidak salah kiranya pernyataan Putu Wijaya di atas. Ia menampar cukup keras pipi para sastrawan di era reformasi. Mungkin ada benarnya, jika para
sastrawan mulai memikirkan dengan serius agenda kerja mereka, ketimbang larut terus menerus dalam euphoria kemenangan atas pencapaian reformasi. Tugas
sastrawan tidak selesai setelah rejim Orde baru runtuh, masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan, yaitu mereformasi kerja-kerja
kesusastraan mereka. Mereka pun harus mencoba merespon kebebasan yang telah diperolehnya sebagai agenda menghadapi reformasi.
Pembenahan ranah sastra di masa reformasi, dianggap tidak cukup hanya dilakukan dengan melakukan penggolongan sastrawan menurut titik waktu tahun
2000 saja. Dalam perdebatan para sastrawan dan pegiat sastra, pembenahan yang dimaksud adalah juga mengenai proses eksplorasi dan pembangunan paradigma
baru dalam dunia sastra. Membangun paradigma baru ini, merupakan fundamen penting bagi proses berkarya yang akan terus bertumbuh secara dinamis dan
berani. Kebebasan atas represi menjadi kunci untuk menciptakan karya yang bertujuan untuk mengartikulasikan diri secara terbuka dan merdeka. Tema-tema
karya sastra menjadi melesat dengan isu-isu baru. Gegar dunia sastra seakan mampu menularkan semangat pembebasan yang
dihadirkan oleh reformasi. Pada masa ini, sastra kehilangan musuh bersama.
39
Putu Wijaya dalam tulisannya pada https:putuwijaya.wordpress.com20071104sastra- reformasi diunduh: 15 Agustus 2015
55
Orientasi pembicaraan dan penciptaan sastra tidak lagi menujuk pada satu arah lagi. Namun menyebar, sesuai dengan pencariannya. Sebagian masih
membicarakan rasa traumatik dari masa lalu, sebagian lagi membuka perbincangan identitas. Isu mengenai perjuangan identitas menjadi gelombang
besar sastra di masa kini. Baik identitas etnisitas, keagamaan, gender maupun seksualitas.
C. 2. Identitas dalam Pasar
Selepas reformasi, gerakan untuk membicarakan isu-isu global seperti isu identitas, makin kuat berkembang. Berbekal standar isu kemanusiaan global,
pembicaraan mengenai isu ini masuk keruang-ruang penciptaan karya sastra lokal. Salah satunya pembicaraan mengenai pelanggarakan kemanusiaan yang terjadi
pada masa pra reformasi. Reformasi tahun 1998, yang dirayakan sebagai titik puncak pencapaian dari keterkekangan rejim Orde Baru, menyisakan banyak
catatan hitam. Salahsatunya kasus pelanggaran HAM terhadap masyrakat etnis Cina. Beberapa sastrawan membicarakan perihal itu di dalam karya-karyanya.
Salah satunya dalam novel berjudul Putri Cina yang ditulis oleh Shindunata. Novel tersebut membicarakan posisi masyarakat enis Cina di Indonesia.
Bagaimana pun kuatnya ikatan hidup mereka dengan Jawa dikisahkan kedua tokoh tersebut hidup di tengah masyarakat Jawa, mereka tetap menjadi liyan.
Bila boleh meminjam istilah dari tulisan Aprinus Salam, sastra semacam ini merupakan salah satu bentuk sastra traumatik. Pada masa pasca reformasi,
karya sastra seperti ini hadir untuk menjadi mekanisme penyembuhan bagi luka- luka sosial-politik di masa lalu. Pasca Orde Baru, sastra traumatik juga kerap
mengangkat permasalahan politik di tahun 1965. Walaupun tema ini muncul, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
namun tidak terlalu populer dibanding tema lainnya. Hal tersebut disoroti Aprinus sebagai dampak dari kekecewaan sastrawan terhadap rejim Orde Baru yang
represif. Tema-tema yang tampil yaitu seputar kebobrokan negara, korupsi, nepotisme, kolusi, demonstrasi menentang ketidakadilan aparatus negara,
kebusukan politik nasional atau aparat pemerintah, dan sebagainya.
40
Tema- tema tersebut masih hidup, guna membicarakan dampak berkepanjangan dari
kekuasaan rejim. Sastra traumatik semacam ini muncul, namun belum mampu menandingi beberapa tema lainnya, yang jauh lebih populer pada masa pasca
reformasi. Salah satunya sastra yang mengangkat tema religiusitas. Habiburrahman El Shirazy, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadya dan Pipit
Senja yang tergabung dalam kelompok Forum Lingkar Pena FLP, menjadi deretan nama dengan magnet yang besar dalam dunia kesusastraan Indonesia.
Novel-novel yang ditulis oleh mereka sangat kental dengan identitas ke-Islam- annya. Hampir di seluruh novel yang mereka buat, kental dengan nuansa religius.
Para sastrawan yang bergiat di wilayah ini, ingin menjadikan karya sastra sebagai bagian dari dakwah atau syiar agama. Sastra religius semacam ini meraih
kepopuleran yang cukup tinggi, dengan jumlah permintaan pasar yang tinggi pula. Lantas adapula karya yang mulai berjejal, dan dengan cepat bermunculan
di era ini. Karya-karya dengan tema seksualitas. Pada era Orde Baru, sebagian dari kita mungkin sudah mengenal penulis seperti Motinggo Busye, Fredy S
ataupun Abdulah Harahap. Mereka bukan orang baru dalam wilayah penulisan novel dengan tema erotis di Indonesia. Selepas reformasi, arus tema penulisan
semacam itu bangkit kembali sebagai karya sastra. Sederet penulis perempuan
40
Aprinus Salam, NOVEL INDONESIA SETELAH 1998:dari Sastra Traumatik ke Sastra Heroik, hal.7