Lakon Kethoprak di Mata Mereka

130 bagian dari laku kehidupan sosialnya. Kehidupan sosial yang dimaksudkannya adalah proses belajar bersama mengenai tatanan hidup bermasyarakat. Ia berusaha untuk mengingatkan masyarakat bahwa hidup bersama di kampung semestinya: jangan sampai kehilangan tenggang rasa, jangan kehilangan gotong royong, jangan kehilangan pluralitas dan janganlah sampai berkonflik. Bondan, yang pagi itu diwawancari di teras rumahnya, menerangkan lebih lanjut. 92 Menurutnya, sebab terjadinya konflik biasanya karena adanya perbedaan. Dalam lakon Magersari ikon perbedaan diwakilkan dalam penggambaran karakter tokoh- tokohnya. Misal ada tokoh beretnis Cina, etnis Jawa, karakter waria dan lain sebagainya. Karakter-karakter yang jarang dipertemukan dalam satu lakon kethoprak. Para seniman kethoprak biasanya menghindari pertemuan karakter seperti itu. Lazimnya bila mementaskan lakon kethoprak Cina 93 , maka akan khusus menampilkan tokoh-tokoh Cina, cerita yang berasal dari Cina, dan bersetting layaknya di daerah Cina. Bila ceritanya bukan tentang Cina, maka tidak akan ada pemeran ataupun cerita tentang orang Cina yang akan dimunculkan. Semua serba terpisah. 94 Hal tersebut tidak berlaku dalam lakon Magersari. Semua dipertemukan, dan berinteraksi dengan sangat baik. Melalui lakon Magersari, Bondan ingin menunjukan fakta bahwa di sebuah kampung, ada banyak macam etnis dan karakter. Ada beragam manusia yang hidup bersama. Ada Cina, Jawa dan juga etnis lainnya. Walau sejarah telah memperlihatkan adanya catatan hitam mengenai benturan atau konflik antara etnis Cina dan etnis lainnya Jawa misalnya. Di 92 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 93 Lakon kethoprak yang bercerita mengenai legenda, masyarakat atau budaya Cina. 94 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 131 situlah letak keistimewaan kesenian. Melalui kesenian, khususnya kethoprak, Bondan menggambarkan bahwa baik antara Cina dan Jawa, memiliki hubungan yang sangat baik. Bahkan faktanya hingga saat ini, etnis Cina dan Jawa dapat terus berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik dan lancar. Mereka terbukti mampu membangun paseduluran. 95 Pernyataan Bondan, diamini oleh Baso Rangga, salah seorang pemain pendukung dari lakon tersebut. Rangga melihat lakon Magersari pun sebagai lakon yang membicarakan mengenai perbedaan. Lakon yang dimaksudkan untuk mengajak masyarakat untuk dapat urip guyub rukun. “Tidak peduli kamu tuh kaya, miskin, kamu dari mana, agamamu apa, kamu tidak boleh membeda- bedakan sifat, pribadi, agama, suku, ras dan lain sebagainya”. Sebagai seorang pemain, ia sangat berharap bahwa melalui pementasan Magersari yang dilakukan di 3 tiga wilayah, dapat membantu masyarakat untuk memperdalam wawasannya mengenai nilai-nilai kerukunan. Ia kadang masih melihat ada sebagian orang yang berkata “ nek agamamu kuwi, ya kumpul karo wong agamamu wae” kalau agamamu itu, ya berkumpulah dengan orang seagamamu saja. Hal tersebut berpotensi membangun sekat yang tebal antara satu dengan lainnya, sehingga konflik berdasar perbedaan dapat dengan mudah terjadi. 96 Bondan mengatakan bahwa seringkali, bila perbedaan itu ditunggangi kepentingan politik dari pihak-pihak tertentu. Sangat mudah kiranya, perbedaan menjadi alasan terjadinya perpecahan. Ia mengakui bahwa pementasan Magersari, diawali dengan itikad meminimalisir kemungkinan konflik pasca Pemilihan Pemerintah Daerah pilkada Kota Yogyakarta. Ia berkata “saya dan beberapa 95 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 96 Wawancara dengan Baso Rangga, dilakukan bulan Mei 2014. 132 kawan-kawan, kok punya pikiran bahwa jangan-jangan pilkada di kota Yogyakarta sama dengan pilkada di tempat lain. Bila sudah selesai, maka di tempat itu akan terjadi konflik. Bila berbeda pilihan politiknya, akan jadi persoalan. Hal itu bisa berakibat pada munculnya dendam. Kemudian terjadi saling tidak menghargai dan tenggang rasanya hilang. Lantas kami membutuhkan satu cerita yang memang konteksnya kota Jogja. kota Jogja itu terdiri dari kampung-kampung, dan kita mengambil beberapa kasus untuk diangkat dalam Magersari.” Magersari memang sengaja ditujukan dengan misi menghidupi pluralisme. Ia dan kawan-kawannya mengajak masyarakat Yogyakarta untuk kembali menekuni nilai-nilai tradisi Jawa, yang diterapkan dalam setiap laku hidup sehari-hari. 97 D.2. Tatanan dan Tuntunan ala Orang Jawa Masyarakat etnis Jawa, seperti etnis lainnya, memiliki nilai dan tradisi yang diturunkan sari setiap generasi ke generasi. Upaya untuk menjaga nilai dan tradisi itu masih dilakukan hingga detik ini, karena keduanya dipercaya sebagai pedoan hidup untuk menjadi manusia secara personal, maupun sosial. Pada tataran sosial, aturan bermasyrakat yang sesuai dengan nilai dan tradisi, kerap dipahami sebagai tatanan dan tuntunan ala orang Jawa. Bagi Erwin salah seorang pemain lakon Ledhek Bariyem, kethoprak penuh dengan petunjuk untuk tatanan, terutama nilai-nilai dan tata cara budaya Jawa, yang penuh kesopanan. Ia mengatakan bahwa lakon Ledhek Bariyem selayaknya lakon-lakon kethoprak lainnya, sarat dengan tata aturan dan unggah-ungguh. Lihat 97 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 133 saja dari cara bertutur istri pak Warjudi, meskipun ia marah, tidak setuju dengan apa yang dilakukan suaminya, ia tidak menanggalkan kesopanan dan rasa hormat pada sang suami. Sebagai istri ia tetap memiliki hak untuk mengingatkan sang suami, di kala suaminya bersalah. Dia tidak hanya diam. Menurut Erwin, bu Warjudi tidak lantas menyampaikannya dengan kasar dan kurang ajar. Laku inilah yang dinamakan laku orang Jawa. Selain bicara mengenai tingkah laku sopan yang berasal dari aturan tradisi Jawa, Erwin juga melihat bahwa Ledhek Bariyem memiliki agenda lain. Agenda yang dimaksudnya adalah usaha untuk mengajak masyarakat Jawa dapat berfikir secara rasional. Ia mencontohkan berdasar cerita dari lakon yang dimainkannya. Pada lakon Ledhek Bariyem, masyarakat yang ada dalam lakon sangat percaya bahwa hanyu Bariyem dapat hidup kembali dan menuntut balas kematiannya. Menurutnya, hal tersebut tidaklah dapat diterima oleh akal sehat. Sehingga upaya untuk mengajak berfikir rasional adalah agenda penting lainnya dari lakon ini. Tuntunan yang hendak disampaikan adalah anjuran agar masyarakat Jawa tidak perlu lagi percaya pada ha-hal mitos dan seperti soal hantu. Karena kepercayaan semacam itu selain menyesatkan, juga memberikan peluang bagi orang-orang yang hendak memanfaat kesempatan itu untuk kepentingan pribadi mereka seperti yang dilakukan oleh tokoh Lurah Sarjana. 98 Sejauh pengalaman menonton kethoprak, walau melalui proses meraba- raba, Rinal Khaidar Ali yang merupakan salah satu penonton pementasan lakon Magersari di wilayah Jetis, sangat yakin bila semua pementasan kethoprak pasti membawa misi tertentu. Ada semacam misi pendidikan yang diembannya. 98 Wawancara dengan Herwiyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. 134 Kethoprak adalah media yang paling baik untuk pendidikan semacam itu. Masyarakat jauh lebih menyukainya. Demi tetap menanamkan tuntunan dan tatanan yang termaktub dalam prinsip tersebut, kethoprak melaksanakan tugasnya sebagai pendidikan bagi masyarakat Jawa. 99 D.2. Politik Kekuasaan dalam Kethoprak Mencermati lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, kita akan dengan mudah mendapatkan adegan-adegan konflik yang disebabkan oleh kekuasaan. Tema kekuasaaan bukan hal baru dalam kethoprak, tema ini biasa menjadi sentral dari sebagian besar lakon kethoprak. Bukan tanpa alasan bila tema tersebut selalu hadir di atas panggung kethoprak. Semenjak abad ke-4, yaitu di masa saat Hinduisme berkembang, seni pelakonan bergerak sesuai dengan konsep kekuasaan yang ada pada saat itu. Patronase antara rakyat dan rajanya, banyak diilustrasikan dalam pertunjukan yang dibuat pada masa tersebut. Sebagai sebuah seni lakon, kethoprak mewarisi konsep patronase sebagai semesta pembicaraan dalam kethoprak. Herwiyanto, yang kerap dipanggil Erwin, pemain kethoprak asal Bantul Yogyakarta, ikut berbicara mengenai topik ini. Menurutnya, topik pembicaraan dalam kethoprak sangat kompleks. Namun tidak dapat dijauhkan dari pembicaraan mengenai permasalahan seputar istana dan strata kehidupan masyarakat. Erwin berargumen “karena problem itu sangat mudah untuk dikemas dalam pertunjukan kethoprak. Sesungguhnya kethoprak memotret realita, dan kemudian mempertunjukannya kepada penonton. Problem-problem dalam 99 Wawancara dengan Rinal Khaidar Ali, dilakukan bulan Mei 2014. 135 kethoprak itu ada dalam kehidupan nyata, dan saya tidak mengada-ada. Dalam kethoprak pembicaraan tentang kekuasaan selalu ada. kekuasaan Selalu menjadi sumber konflik dan menjadi benang merah untuk mengikat suatu pertunjukan. Pada akhirnya, konflik selalu saja tentang harta, tahta dan wanita. Semua berkaitan dengan kekuasaan”. 100 Sejurus dengan Erwin, Ari Purnomo sang penulis naskah, sekaligus sutradara lakon Ledhek Bariyem, mengatakan bahwa masalah yang berkaitan dengan harta, tahta dan wanita pasti selalu muncul dalam setiap lakon kethoprak. Konflik kekuasaan merupakan peristiwa yang sering didapati dalam setiap pementasan kethoprak. Misalnya saja seperti yang diilustrasikan dalam lakon Ledhek Bariyem, yang mengisahkan isu pemilihan lurah di suatu wilayah. Dalam pertarungan kekuatan antar calon lurah yang diikuti oleh Pak Warjudi dan Lurah Sarjana, nyatanya telah menyeret masyarakat sebagai korbannya. Ia memunculkan peristiwa politik yang biasanya melibatkan konflik 2 dua kekuatan besar kekuasaan, dan biasanya rakyat kecillah yang sering menjadi korban. 101 Mengenai lakon Ledhek Bariyem, Ari mengungkapkan “pada awalnya, saya menuliskan kegelisahan saya secara pribadi. Saya ingin menyampaikan semacam pelajaran politik dalam lakon Ledhek Bariyem yaitu, saat bila ada 2 dua kekuatan besar beradu, imbasnya pasti pada masyarakat. Baik langsung maupun tidak langsung. Sebenarnya pada sosok seorang pemimpin, secara pribadi kok saya belum melihat adanya sebuah kepentingan yang murni. Kalau pun dia punya tujuan yang benar, kadang-kadang ditunggangi. Ini yang kadang membelokkannya dari tujuan awal. Sehingga hal ini yang membuat saya 100 Wawancara dengan Herwiyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. 101 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 136 mengambil cerita Ledhek Bariyem. Dimana ternyata kedua pemimpin yang diharapkan salah satunya baik, ternyata tidak ada yang baik sama sekali. Saat tujuan yang baik itu ditunggangi oleh kepentingan yang tidak baik, pada akhirnya pasti akan mengorbankan masyarakat kecil.” 102 Lakon Ledhek Bariyem dikategorikan sebagai kethoprak garapan, karena sudah banyak mengadopsi unsur-unsur dari kesenian yang lain. Selain itu isu yang dibawakannya pun adalah isu yang sangat kontekstual. Sesuai dengan kondisi sosial politik Indonesia di saat ini. Melihat waktu pementasan, Lakon Ledhek Bariyem dipentaskan tepat sebelum peristiwa Pemilihan Umum pemilu berlangsung. Namun sesungguhnya, Ari Purnomo sudah lama menyelesaikan tulisan mengani lakon tersebut. Pada sekitar 2 dua atau 3 tiga tahun yang lalu, jauh sebelum ada isu pemilihan presiden pada tahun 2014. Pada momen dan kesempatan yang tepat, yaitu pada tahun 2014 lakon tersebut akhirnya dapat diproduksi. Terlebih lagi, Ari melihat bahwa kala itu sedang terjadi iklim politik di Indonesia. Sehingga menurutnya, hal tersebut menjadi momen yang sangat menarik untuk dihadirkan ke atas panggung pertunjukan. Ari mengatakan bahwa ia belajar dari “politik terkini” . Diakui atau tidak, menurutnya negara kita adalah negara yang besar, negara yang kaya. Mengapa kita belum jua dapat menyejahterakan masyarakatnya? Kegelisahan semacam itulah yang menginisiasi dibuatnya lakon kethoprak, sebagai respon terhadap kondisi politik yang sedang berlangsung di Indonesia. 103 Tidak berbeda jauh dengan Ari, Bondan Nusantara membuat naskah Magersari sebagai respon terhadap peristiwa politik pada tahun 2012, di kota 102 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 103 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 137 Yogyakarta. Yogyakarta pada kala itu sedang menghadapi peristiwa pemilihan kepala daerah pilkada, khususnya pemilihan walikota. Lelaki ini berpandangan bahwa peristiwa pilkada kota Yogyakata harus ditanggapi lebih serius, pada jalur kesenian. Tidak hanya untuk golongan seniman saja, akan tetapi lebih ditujukan pada masyarakat kota Yogyakarta. Ia dan kawan-kawan dari komunitas Genitama dan Pastika bersama-sama menggalang dukungan masyarakat, agar tercipta iklim politik yang kondusif ditengah masyarakat, demi mendapatkan sosok pemimpin yang tepat. 104 Walau naskah Magersari dibuat dan dipentaskan dalam rangka merespon peristiwa Pilkada, namun lakon tersebut tidak secara eksplisit membicarakan peristiwa politik tersebut. Bondan menegaskan bahwa mereka hanya mengambil satu kasus tertentu. Pesan yang ingin disampaikan melalui Magersari adalah bahwa “Jogja itu satu”. Perbedaan yang begitu beragam, termasuk perbedaan pilihan politik, tidak boleh mencerai beraikan masyarakat Jogja. Semangat menghargai keberagaman itulah yang hendak disebarkannya. Selain itu, ia berkeinginan agar masyarakat jauh lebih kritis dalam menyikapi perbedaan, dan tidak melulu mau dibodohi penguasa. Ada banyak peran yang dihadirkan dalam Magersari. Salah satunya tokoh preman, bernama Karta Bendho. Ia tidak menempatkan tokoh preman sebagai sumber masalah dalam lakonnya. Ia berkata “saya justru mengambil tokoh premannya sebagai tokoh yang protagonis. Justru dia yang menyelesaikan persoalan. karena saya selama ini melihat stigma terhadap preman, kan kasihan juga. Mereka selalu dipojokan, nah pada lakon ini, tokoh utamanya justru 104 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 138 preman, atau lebih tepatnya mantan preman”. Mantan preman itulah yang berusaha menjadi penengah serta pengingat, agar masyarakat dapat menerima perbedaan, dan berani melawan penguasa yang melenceng dari amanatnya. 105 Selaras dengan judul yang diusung, lebih jauh Bondan juga menyinggung sikapnya dalam memperjuangkan keistimewaan pada kala itu. Ia mengatakan “jangan lupa pada waktu itu juga kita sedang memperjuangkan tentang keistimewaan. Hal itu kita masukan dalam satu dialog khusus pada saat tokoh terakhir muncul, tokoh pangeran, bahwa jogja ini milik raja, tanahnya milik keraton. Bila bahwa ada yang tidak sependapat, ya silahkan, Tapi faktanya kan begitu. Kalau tidak ada keraton Jogja, maka tidak akan ada kampung-kampung itu juga. secara halus bahwa tanah ini bukan milik kalian, tapi milik Sultan. Sultan menghendaki ini agar tidak diperebutkan, sebagai alat untuk menguasai. Tapi tidak secara 100 lakon ini mengatakan bahwa ini keistimewaan. tidak.” Baik lakon Magersari maupun Ledhek Bariyem, senyatanya menonjolkan permasalahan politik kekuasaan sebagai isu utama yang dipermainkan di atas panggung. Politik kekuasaan kiranya menjadi isu intrinsik yang mendarah daging dalam penceritaan lakon-lakon kethoprak. Bukan tanpa tujuan, seperti sempat disinggung sebelumnya, kethoprak memiliki fungsi vital lainnya, yaitu fungsi sebagai pendidikan politik bagi rakyat, khususnya rakyat Jawa. Mengenai pendidikan politik bagi penonton atau masyarakat, Ari Purnomo menegaskan bahwa semenjak dulu Kethoprak sudah melaksanakan fungsi itu. Tidak pernah berubah. 106 105 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 106 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 139 Seperti Ari, Rinal sebagai penikmat kethoprak melihat potensi tersebut. Ia berpendapat bahwa kethoprak memiliki fungsi pendidikan, salah satunya pendidikan politik. Hal tersebut didapatnya dari cerita-cerita yang ditampilkan dalam kethoprak, selalu membicarakan mengenai konflik kekuasaan, dan selalu berikatan dengan permasalahan keraton dan para pejabatnya. Misi pendidikan yang dibawa kethoprak, menjadi semacam penyadaran bagi masyarakat untuk dapat lebih kritis terhadap kondisinya sendiri, juga kritis terhadap para pejabat yang berkuasa. 107 D.3. Imaji Pemimpin Idaman Dalam faham kekuasaan Jawa, apapun yang dikatakan raja adalah berlaku semacam “undang-undang”. Keputusan raja adalah mutlak dan tidak boleh dibantah oleh rakyatnya, termasuk oleh forum masyarakat desa. Bila raja tidak dapat langsung ikut campur tangan, maka mekanisme pengambilan keputusan dengan musyawarah lah jalan keluarnya, sejauh tidak bertabrakan dengan kepentingan raja dan kerajaan 108 . Pada masyarakat modern seperti sekarang ini, terlebih sistem politik kenegaraan demokrasi, rakyat tidak lagi menyerahkan keputusan negara pada kekuasaan mutlak sang raja. Setiap warga negara berhak ikut dalam menentukan arah kehidupan bernegara mereka. Maka musyawarah, ataupun pemungutan suara adalah mekanisme yang diterapkan dalam praktek politik bernegara sekarang ini. 107 Wawancara dengan Rinal Khaidar Ali, dilakukan bulan Mei 2014. 108 Ign Gatut Saksono-Djoko Dwiyanto, 2012, Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa, Ampera Utama, Yogyakarta, hal. 42 140 Meskipun mekanisme musyawarah dan pemungutan suara, yang berarti telah memindahkan kekuasaan negara ke tangan rakyat, tidak serta merta melunturkan sikap hormat rakyat Jawa terhadap rajanya. Raja masih ditempat sebegitu tinggi, sebagai pemimpin yang mengayomi rakyatnya. Selain itu raja masih diposisikan sebagai sosok panutan yang selalu diikuti laku dan perkataanya. Hal tersebut masih tercermin dalam penggambaran sosok raja dalam kesenian tradisi seperti kethoprak. Meskipun seorang raja atau pemimpin memiliki posisi yang begitu dihormati, namun masyarakat Jawa sedari dulu sangat sadar bahwa pemimpin pun adalah manusia. Sering dibuktikan dalam sejarah, bahwa para pemimpin sering kali tergelincir dalam kesalahan-kesalahan yang menyengsarakan rakyatnya. Menilik hal tersebut, kethoprak sebagai kesenian dan ekspresi yang lahir dari luar tembok kerajaan, menjadi penyalur suara dari rakyat kepada para pemimpinnya. DIsetiap jaman, para seniman kethoprak acapkali meyisipkan kritik terhadap para pemimpin melalui kethoprak. Ari Purnomo menyatakan bahwa kethoprak itu unik. Kethoprak selalu punya cara untuk mengkritik. Kritik yang dikatakan ala Jawa. Ari berkata “orang Jawa kan suka sekali memberi kritik atau masukan dengan perumpamaan-perumpamaan dan cara yang halus, sehingga yang dikritik tidak akan merasa sakit hati. Nek neng Jowo ki yo, oleh nabok neng ojo loro” Bila dalam istilah Jawa, boleh memukul namun jangan sampai sakit. 109 Kembali fokus pada pembicaraan mengenai pemimpin, masyarakat pada umumnya selalu memiliki dan memelihara imaji mengenai pemimpin idamannya. Imaji semacam itulah, yang digunakan sebagai mekanisme menilai para 109 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 141 pemimpinnya. Seperti yang disampaikan oleh Ari Purnomo “kita memimpikan pemimpin yang hebat, pemimpin yang adil poro marto”. Ari lantas mencontohkan Panembahan Senopati sebagai salah satu sosok pemimpin yang ideal dari masa lalu. Pada pandangannya, Panembahan Senopati merupakan pemimpin yang memiliki sikap tegas. Serta mampu membuktikan bahwa dirinya dapat mendorong masyarakat Jawa untuk betul-betul mengerti jati mereka. 110 Kompleksitas pembicaraan dan permasalahan mengenai kekuasaan dalam kepemimpan, adalah hal yang seringkali hadir sebagai pokok bahasan dalam lakon kethoprak. Dalam Ledhek Bariyem misalnya, Ari Purnomo sengaja membuat naskah lakon ini menjadi semacam tanggapan terhadap kondisi politik negeri, yang dibuat runyam oleh praktek politik, berupa pemilihan pemimpin, baik di pusat maupun di daerah. 111 Erwin yang berperan sebagai Browo dalam Lakon Kethoprak Ladhek Bariyem pun menguatkan pernyataan Ari. Di matanya, lakon Ledhek Bariyem bercerita mengenai 2 dua kubu yang saling bertarung memperebutkan posisi. Mereka baku adu strategi politik, demi mendapatkan kepercayaan warga kampung Klempis Ngasem. Pak Warjudi, bermaksud menakuti warga, namun tanpa diduga anak buahnya membuat kesalahan fatal. Mereka membunuh Bariyem. Pak Lurah Sarjana memanfaatkan peristiwa kematian Bariyem. Demi menyingkirkan saingannya. Ia menyuruh anak buahnya untuk menyaru sebagai hantu Bariyem, dan memberikan teror pada warga dan pak pihak pak Warjudi. Lurah Saranta, sosok yang dianggap sebagai pemimpin yang baik, dan ideal, ternyata bersifat sebaliknya. 112 Di sinilah sisi menarik dari lakon 110 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 111 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 112 Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. 142 Ledhek Bariyem. Konflik dan intrik politik dibuat sedikit rumit, dan tidak mudah untuk ditebak. Sempat disinggung sebelumnya, Herwiyanto menyatakan bahwa lakon Ledhek Bariyem memberikan semacam ajakan bagi masyarakat Jawa untuk tidak mudah percaya mitos. Ia mengatakan bahwa “itulah contoh yang ingin diperlihatkan, bahwa orang yang mudah percaya hal mistis, akan mudah tertipu. Padahal sesungguhnya, isu itu merupakan strategi dari pak Lurah Sarjana. Pak Lurah hendak memanfaatkan kisruhnya kondisi di masyarakat. Ia yang selama ini dianggap sebagai lurah yang baik, bijaksana, bahkan dermawan di mata warga, ternyata lebih busuk dibadingkan pak Warjudi. Pak Warjudi memang dikenal sebagai seorang jutawan yang menilai apapun dari segi uang, dan dianggap sebagai orang yang tidak baik. Namun ternyata Pak Lurah Sarjana lebih kejam. Bahkan menggunakan sosok Bariyem yang sudah meninggal, untuk alat kampanye. Orang yang membunuh itu kejam, tapi lebih kejam lagi orang yang menggunakan sosok yang sudah meninggal dan menjadikannya alat untuk mencapai kekuasaan”. 113 Selanjutnya, Erwin melihat lakon tersebut juga difungsikan untuk memperlihatkan realita politik saat ini: seseorang akan menggunakan berbagai cara, untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Kasus seperti itu ada di kehidupan nyata. Dimana setiap calon pemimpin berlomba-lomba mencari simpatisan dengan cara kampanye atau mengintervensi pilihan orang lain. 113 Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. 143 Mekanisme kampanye dan intervensi, jauh lebih mulus jalannya dengan dukungan kekuatan mitos, kekuasaan dan uang. 114 Kekecewaan rakyat tidak hanya berada pada awal proses pemilihan pemimpin, akan tetapi juga pada saat para pemimpin itu telah memegang tanggungjawab sebagai penguasa. Kala rakyat menitipkan mandatnya pada para pemimpin, dengan harapan dapat memberikan kesejahteraan yang adil dan merata. Tidak jarang, pelaksanaan mandat oleh pemimpin tidak sesuai dengan harapan, terpeleset pada penyelewengan. Mengenai hal ini Ari menangggapinya dengan mengatakan: bahwa belum ada pemimpin Indonesia yang benar-benar memikirkan rakyatnya. Meskipun tujuan sang pemimpin adalah tujuan yang baik, namun bila ditumpangi oleh kepentingan yang merugikan, akan dapat berakibat buruk pada rakyatnya. Ia mengatakan “ibaratnya njenengan punya baju kotor, pingin dikumbahke nangin le ngumbah nganggo banyu peceren, yo dadine tetep kotor” Ibaratnya kalau anda mempunyai baju kotor, akan tetapi hendak dicuci menggunakan air selokan, maka akan tetapi kotor. Menurutnya, niatan untuk memperbaiki kondisi masyarakat di negeri ini pasti ada, namun seringkali pilihan cara memperbaikinya yang salah. 115 Bila pada Ledhek Bariyem, ada tokoh Lurah Sarjana yang menipu masyarakat dengan menggunakan sosok hantu Bariyem, guna mendapatkan suara di pemilihan lurah. Maka di Magersari terdapat tokoh Den Bei Kenthus. Baso Rangga menggambarkan Den Bei Kenthus sebagai orang kaya yang mendominasi kepemilikan tanah di kampungnya. Ia yang sesungguhnya hanyalah pengurus tanah, telah mengaku-aku tanah istana sebagai tanahnya, ia menarik uang sewa 114 Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. 115 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 144 tanah dengan jumlah yang tinggi. Rangga menegaskan “Nek wong sugih koyo Den Bei Kenthus ki iso semeno-meno, dan wewenang yang dilakukannya jadi berlebihan”. 116 Orang yang dianggap dapat dipercaya, ternyata malah membohongi masyarakat kampung, untuk kepentingan pribadinya. Dari sekian lakon kethoprak yang mengulik permasalahan politik dan kekuasaan, harapan akan adanya pemimpin yang akan membawa pada kesejahteraan adalah mimpi yang masih dipelihara. Namun kadang kala kenyataan tidak berbanding lurus dengan impian. Pemimpin yang digadang-gadang akan menjadi pengayom rakyat, nyatanya meninggalkan dan mengorbankan mereka untuk kepentingan pribadinya pemimpin. Ari Purnomo mengungkapkannya secara jujur “terkadang mimpi itu dapat menimbulkan efek kekecewaan bagi kita. Saat kita berharap lebih pada seorang pemimpin, dan impian itu tidak berhasil, kita cenderung menyalahkan pemimpinnya. Ketimbang kita terus menyalahkan, semestinya kita lah yang mengintropeksi diri, mengapa hanya mengantungkan impian pada sosok pemimpin yang ideal? sedangkan “aku dewe iso nggawe sesuatu” aku sendiri dapat membuat sesuatu. Berdasar kekecewaannya pada impian, ia menyatakan: “bermimpilah kira-kira sesuatu yang bisa kita raih”. 117 D.4. Nguri-uri Kabudayan di antara Riuhnya Globalisasi Sepanjang pertemuan dan proses wawancara saya dengan beberapa responden, baik itu para penulis naskah, sutradara, pemain maupun penonton lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, ada hal menarik yang selalu muncul dari 116 Wawancara dengan Baso Rangga, dilakukan bulan Mei 2014. 117 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 145 pernyataan mereka. Pernyataan mengenai bagaimana mereka begitu bersemangat untuk menghidupkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai tradisi Jawa melalui kethoprak. Meski pada awalnya bukan hal ini yang saya tanyakan, namun pernyataan-pernyataan sejenis selalu muncul dari tiap responden. Sehingga saya pikir poin ini tidak mungkin bisa saya abaikan. Pada sub bab mengenai tatanan dan tuntunan ala orang Jawa, saya sempat menyinggung mengenai adanya semangat untuk menanamkan prinsip-prinsip hidup ala Jawa. Sejurus dengan itu, dari data yang diperoleh melalui proses wawancara, para seniman kethoprakjuga dirasakan oleh penonton merasakan kegaluan. Di era yang serba modern, dimana hal-hal yang berbau tradisi semakin lama semakin dilupakan. Rinal mengakui, sepanjang pengalaman menonton kethoprak ia merasa bahwa orientasi pertunjukan kethoprak, salah satunya mengarah pada tuntunan hidup orang Jawa. Selain semangat untuk menularkan emahaman mengenai tuntunan, ia juga menangkap adanya kegelisahan masyarakat Jawa, yang diekspresikan melalui pesan-pesan dalam lakon kethoprak. Kegelisahan akan hilangnyanya jati diri manusia Jawa pada masa kini. 118 Selain kekhawatiran lunturnya identitas ke-Jawa-an dari masyarakat Jawa, para seniman secara ekplisit, mengkhawatirkan hilangnya minat masyarakat Jawa terhadap kesenian kethoprak. Sepanjang karirnya sebagai seniman kethoprak, Ari Purnomo bercerita bahwa ia pernah merasakan gelombang naik turun yang dialami kethoprak di beberapa masa. Menurutnya, pada masa sekitaran tahun 1980-an pekerjaan sebagai seniman kethoprak adalah sebuah profesi yang cukup menjanjikan. Dahulu kethoprak adalah tontonan yang selalu dinantikan oleh 118 Wawancara dengan Rinal Khaidar Ali, dilakukan bulan Mei 2014. 146 banyak orang. Pengalaman memperlihatkan bahwa pemain kethoprak yang berpredikat sebagai bintang panggung, otomatis akan dipuja layaknya pesohor di masa sekarang ini. Pada kisaran tahun 70-80an hiburan rakyat masih sangat terbatas. Tidak semua orang dapat memiliki televisi, atau pun radio. Karena masyarakat membutuhkan hiburan, maka pilihan mereka jatuh pada pertunjukan- pertunjukan yang dipentaskan secara langsung, salah satunya kethoprak. 119 Seiring berkembangnya media informasi dan elektronik, radio mengambil posisi penting dalam kehidupan masyarakat pada masa itu. Begitu kethoprak masuk radio, penggemarnya bertambah semakin banyak. Perkembangan teknologi yang diiringi kemampuan masyarakat untuk membeli atau mengaksesnya, jelas berdampak pada kelangsungan pertunjukan panggung seperti kethoprak. Jumlah penonton kethoprak panggung berkurang. Ari mengatakan “Wong ngruke radio ae iso ngrasake kethoprak, ngopo kudu ndelok mendengarkan dari radion saja bisa, mengapa harus menonong langsung. Kemudian masuk era televisi, kethoprak disebarluaskan melalui media ini. Bertambahlah sumber hiburan. Kethoprak panggung semakin terdesak. Media semacam radio dan televisi pada masa itu mengajukan dua sisi mata uang. Pada satu sisi, media tersebut memberikan keuntungan dengan menyebarluaskan kethoprak secara massif, ke dalam ruang- ruang privat masyrakat. Namun di sisi lain, media semacam ini juga mematikan kethoprak yang melakukan pertunjukan secara langsung di atas panggung dan ruang publik. 120 Pada kisaran waktu antara pertengahan tahun1990-an hingga awal tahun 2000-an, kethoprak panggung dan juga kethoprak tobong yang dulu sempat 119 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 120 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 147 berjaya, mengalami masa sulit. Masyarakat Jawa yang dibombardir berbagai jenis hiburan melalui media canggih, telah kehilangan minat pada tontonan ala kethoprak. Jumlah penonton menurun dengan pesat, berimbas pada jumlah pendapatan para senimannya. Para seniman yang semula menggantungkan hidupnya pada kelompok kethopraknya, harus memutar otak untuk dapat menyambung hidup. Pada akhirnya, satu persatu seniman, mundur dari kelompok tobongnya, mereka beralih profesi. Para bintang kethoprak sesekali masih manggung pada acara-acara tertentu. Namun sangat sulit untuk memprediksi kapan akan ada tanggapan dari para pemesan pementasan. Namun mereka tetap harus memiliki pekerjaan pokok lainnya untuk dapat bertahan hidup. Pada masa itu lahan kethoprak mengalami fase sepi produksi. Erwin sempat merasakan kondisi tersebut. Lelaki yang lebih suka disebut sebagai pejuang kethoprak, ketimbang disebut sebagai seniman kethoprak ini menjelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan banyak faktor. Antara lain: biaya produksi kethoprak yang sangat mahal, proses produksi yang memakan waktu lama, dan kalah bersaing dengan kesenian-kesenian yang formatnya lebih baru serta lebih praktis. Diakuinya, posisi kethoprak tergeser dengan adanya pilihan seni pertunjukan lainnya 121 . Hingga pada kisaran tahun 2000an, terjadi masa kebangkitan kethoprak. Kebijakan daerah, yang merupakan implikasi dari status keistimewaan Yogyakarta, menjadi salah satu jalan keluarnya. Permasalahan yang membelit kelangsungan hidup kesenian ini, seperti minimnya alokasi dana dan langkanya jumlah pementasan kethoprak, telah terpecahkan. Pendanaan ini merupakan dukungan penting dari pemerintah daerah, 121 Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. 148 dalam upayanya melestarikan budaya Jawa. Lanjut Erwin, pada sekitar 3-4 tahun belakangan ini, masyarakat Yogyakarta sedang mendem kethoprak. Maka kehadiran lakon-lakon kethoprak dengan format yang lebih segar, menambah variasi tontonan untuk mereka. Ledhek Bariyem contohnya. Keberhasilan lakon ini, adalah juga karena dukungan pendanaan yang terbilang cukup, proses produksi yang baik, promosi yang gencar dan penentuan segmentasi penonton yang tepat. Kethoprak semacam ini menyasar segman penonton anak muda. Terutama karena format yang ditampilkan adalah format kethoprak garapan, yang sangat disukai oleh penonton tingkatan usia itu. 122 Selain kekhawatiran hilangnya minat masyrakat terhadap seni tradisi seperti kethoprak, dari beberap responden yang diwawacarai, didapti pula kekhawatiran hilangnya ke-Jawa-an dari orang Jawa. Globalisasi yang dengan mudahnya menghadirkan budaya-budaya global, telah membuktikan kemampuannya, dalam menyingkirkan nilai dan prinsip hidup orang lokal. Kegelisahan tersebut ditangapi Ari Purnomo sebagai bentuk kegamangan orang Jawa terhadap budayanya sendiri. Ia menandaskan bahwa kegamangan itu muncul, karena orang Jawa belum mempunyai landasan yang kuat tentang cara memahami jati dirinya. Pernyataan menarik yang diangkapkannya adalah “Kalau saya boleh berbicara agak sombong. Mengapa kita tidak bisa memahami jati diri sebagai masyarakat Jawa? Padahal Jawa kan sangat lengkap. Kalau kita sudah ngomong tentang Jawa itu wong Jowo kuwi ora ono kurange, kurange Jawa ki kur ra iso dadi agama Jawa itu kurangnya apa, kurangnya Jawa hanya tidak bisa menjadi 122 Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. 149 agama. Betul tho? Kalau Jowo punya nabi, Jowo sudah jadi agama. Dalam perjalanannya kegelisahan itu menumpuk, dan tanpa disadari telah mengarahkan pada pola pemikiran dalam bentuk penulisan naskah Ledhek Bariyem. Ya harus diakui kalau saya bangga sebagai orang Jawa. Jawa itu lengkap sekali, apa-apa ada. Kadang-kadang ada hal yang tidak bisa terungkap, tapi sesungguhnya bisa dirasakan. Pada saat saya menulis, saya seperti menganalisa perasaan dan peristiwa-peristiwa, dan akhirnya mencerminkan apa yang menjadi kegelisahan saya. Saya merasa kegelisahan itu terakumulasi di alam bawah sadar”. 123 Kegelisahan yang mengendap dan muncul sebagai harapan, dalam bentuk naskah dan pementasan lakon kethoprak. Bondan Nusantara, Ari Purnmo, Baso Rangga dan Herwiyanto, secara terpisah menyatakan hal yang hampir sama. Mereka merasa bahwa laku kethoprak yang dijalaninya selama ini adalah bagian dari nguri-uri kabudayan. Sebagai masyrakat Jawa yang sadar akan kekayaan budayanya, mereka merasa bahwa pengaruh dari luar modernitas dan globalisasi, membuat masyarakat Jawa “jauh” dari budaya tradisinya. Kethoprak menjadi media yang tepat untuk menghubungkan keduanya. D.5. Dilema Pergerakan dalam Seni Tradisi Bila pada masa sebelumnya, kethoprak sempat mengalami jumlah pertunjukan, namun pada awal tahun 2000-an ada perubahan yang cukup signifikan. Kesenian ini mulai menggeliat dan bergerak secara massif untuk mementaskan lakon-laonnya, baik di dalam gedung-gedung pertunjukan, maupun 123 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 150 di ruang publik lainnya. Bahkan seperti halnya di masa lalu, beberapa seniman mulai memasukkan kethoprak sebagai kerangka kerja politik dalam dunia kesenian. Kita tidak akan asing melihat pertunjukan lakon kethoprak yang kental dengan nuansa politik. Karena bila kita kembali pada pemaparan mengenai kesenian ini di bab yang lalu, kita juga sangat mudah mendapti kethoprak yang berkubang dengan pembicaraan politik. Beberapa seniman mengartikan produksi kethoprak yang semacam itu sebagai kerja idealis, terutama yang berkaitan dengan penyebaran kesadaran politik masyarakat. Ari urun bicara mengenai hal ini. Ia mengatakan ada saatnya seorang seniman harus memiliki kerja-kerja idealis. Kerja idealis yang dimaksudkannya dalam arti harus mampu mengenyampingkan tujuan yang melulu berorientasi pada materi. Ia menceritakan “Jujur saja pertunjukan Ledhek Bariyem itu low budget. Saya memberikan pemahaman bahwa pertunjukan ini adalah kerja idealis, temen-temen punya tanggungjawab. Artinya saya tidak ingin mengikat mereka. Kalau mereka keberatan dengan proses tersebut, karena tidak akan mendapatkan sesuatu, ya monggo saja tidak ikut. Tapi bila sudah berkomitmen, ya mari kita lanjutkan sampai selesai”. Sebagai pemain kethoprak, Ari tidak memungkiri bila sebagian dari kerja-kerja yang dilakukannya adalah kerja pesanan, sehingga seringkali ia harus mengorbankan idealismenya. Namun bila ia melulu bicara idealisme, ia tidak akan dapat menghidupi dirinya sendiri. Sehingga perlu ada 2 dua hal yang berjalan secara bersamaan. 124 Dalam proses pementasan lakon Ledhek Bariyem, Ari Purnomo melibatkan banyak pemain dari generasi muda. Hampir 95-nya berusia di bawah 124 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 151 40 tahun. Alasan Ari mengajak mereka adalah untuk menciptakan ruang berekspresi bagi para pemain muda, yang dirasa masih minim. Ari tidak menyangkal bahwa jika saja naskah itu dibawakan oleh para pemain dari generasi tua, hasilnya akan jauh lebih bagus. Akan tetapi hal tersebut tidak akan memberikan efek apa pun pada pemainnya. Jikalau ia mengajak para pemain generasi muda, kesempatan itu akan memberikan mereka bekal pengalaman, untuk pementasan-pementasan selanjutnya. Ia berharap dapat memberikan pengalaman dan ruang yang baik untuk para pemain muda. 125 Melalui kethoprak pula, minat para pemain muda dapat ditampung. Mereka sangat terbuka pada penyampaian misi tertentu. Mereka sangat menikmati berbagai proses eksplorasi dan improvisasi. Rata-rata mereka sangat bersemangat untuk ikut mengembangkan kesenian ini. Pemain dari generasi ini, sangat penuh idelisme untuk melakukan perubahan. Antusiame Bondan terhadap pemain generasi muda pun dinyatakan dengan gamblang “saya selalu percaya pada anak- anak muda, bahwa mereka punya bayangan sendiri, punya kreasi sendiri, punya hak sendiri untuk menentukan inti pesan sebuah lakon”. 126 Rangga menambahkan, pelibatan generasi muda dalam kethoprak. Tidak lain adalah untuk memperjuangkan kethoprak agar dapat tetap hidup dan diterima oleh masyarakat. Generasi muda banyak membuat terobosan baru. Mereka terbuka untuk mencoba hal baru, akan tetapi dengan catatan tetap menjaga prinsip pokok dalam pertunjukan kethoprak. Bila Ari, Bondan dan Rangga melihat generasi muda sebagai pemain potensial di masa kini dan mendatang. Maka Erwin memandang generasi muda penonton yang menerima pesan dan pengetahuan 125 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 126 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 152 melalui medium kethoprak. Menurutnya, generasi muda merupakan bagian dari masyarakatnya, mereka adalah kelompok yang paling berdaya untuk melakukan perubahan. Untuk itu, transfer pengetahuan perlu dilakukan melalui kethoprak. Dalam menjalankan fungsinya sebagai media transfer pengetahuan, kethoprak tidak hanya berlaku sebagai tontonan, akan tetapi juga menjadi tuntunan dan tatanan bagi masyarakat, khususnya generasi muda. 127 Generasi inilah dianggap sebagai generasi produktif, yang mampu membawa perubahan bagi kondisi sosial-politik di masyarakat. Mereka diajak untuk dapat kritis terhadap kondisi masyarakat dan negaranya. Bondan Nusantra menyatakan bahwa ia beserta kawan-kawan seniman kethoprak, selalu berupaya mengkritik permasalahan kontekstual negara, dalam kethoprak yang menjelma sebagai sebuah gerakan. Bagi Bondan, kethoprak diposisikan sebagai senjata untuk nurani masing-masing penontonnya. 128 Perihal posisi kethoprak sebagai media penyebaran semangat dan kritik sosial-politik bagi masyarakat, Ari mengatakan bahwa dalam skala yang lebih besar, pasti ada kadar pembicaraan sosial-politik di kethoprak, kesenian ini menjadi semacam pendidikan sosial-politik, yang hadir dengan bahasa yang sederhana, tanpa kerumitan yang mengada-ada. 129 Dengan formulasi yang tidak rumit serta dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari, memudahkan masyarakat untuk mencerna pesan yang disampaikan. Mendukung pernyataan itu, Rangga 127 Wawancara dengan Baso Rangga, dilakukan bulan Mei 2014. 128 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 129 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 153 merasa bahwa kethoprak dapat menjadi gerakan yang disukai oleh masyarakat. Baginya masyarakat masih agak sulit bila didekati secara formal. 130 Bondan sendiri menyatakan bahwa ia menyengaja menjadikan kethoprak sebagai media menyampaikan pesan. “kalau saya membuat kethoprak, pasti ada sesuatu yang ingin saya sampaikan di luar konteks cerita. Misalnya saat kami membuat lakon Lebak Saijah Adinda, fokus dari pesan kami adalah mengenai anti korupsi. Bila seniman lain hanya ingin menggarap cerita kethoprak menjadi bagus tanpa pesan tertentu. Saya tidak begitu. Saya selalu menggarap cerita kethoprak sebagai sarana untuk menyampaikan apa yang sedang kita gelisahkan bersama. Termasuk kegelisah di bidang politik”. 131 Sejarah pernah mencatat bahawa ibu dari Bondan Nusantara, yaitu Theresia Khadariah mengalami masa penahanan di penjara dan bebas pada tahun1980-an. Selepas keluar dari penjara, sang bunda kembali menggeluti dunia kesnian kethoprak. Theresia Khadariah ikut bergabung dalam kelompok kethoprak “Sapta Mandala” di bawah naungan Kodam VIIDiponegoro. Ia tidak hanya berlaku sebagai pemain, akan tetapi juga dijadikan guru bagi para pemain muda dalam kelompok tersebut, termasuk Bondan Nusantara. Pengalaman Bondan menjadi anak dari mantan tahanan politik tapol, menyatukannya dengan keluarga dari mantan tapol lainnya. Hingga pada tahun 2000, ia dan beberapa kawan yang memiliki bermacam latarbelakang profesi, beraliansi untuk melakukan gerakan rekonsiliasi bagi para mantan tahanan politik, dengan semua pihak yang berkaitan dengan kasus tahun 1965. Aliansi itu 130 Wawancara dengan Baso Rangga, dilakukan bulan Mei 2014. 131 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 154 mengusung nama Syarikat, 132 mereka bergerak hingga tahun 2010. Gerakan yang dilakukan oleh aliansi tersebut bukan tanpa hambatan. Stigma PKI, komunis, penjahat dan sederet stigma hitam lainnya, meneror gerakan mereka. Masyarakat luas belum sepenuhnya dapat menerima, sehingga masih menyisakan sikap was- was bagi terhadap para mantan tapol, yang sesungguhnya hampir semuanya sudah sepuh atau berusia lanjut. Namun berkat kerjasama dengan organisasi pemuda Nahdhatul Ulama, kekhawatiran itu sedikit dapat diredam. Mereka para pemuda NU juga bagian dari representasi kelompok yang berrekonsiliasi. Sejarah mencatat bahwa pada masa 1965 kelompok NU juga berada di dalam pusaran peristiwa. 133 Bondan lantas menjelaskan, hal tersebut bukan lah kesalahan pihak NU semata. Pihak penguasa rejimlah yang bersalah. Mereka rejim mengatur secara sistematis konflik di kalangan rakyat. Bondan secara gamblang mengatakan “nah awal tujuannya adalah memberi penyadaran pada NU terutama bahwa bagaimanapun juga mereka pernah melakukan kesalahan dengan membantai banyak orang yang dituduh PKI. Tapi sesungguhnya, NU pun korban dari kekuasaan Orde Baru yang arogan, yang berkeinginan membasmi PKI, PKI juga korban dari kekuasaan yang ingin menghapuskan komunisme, jadi muaranya terdapat di kekuasaan. Masyarakat dibuat saling berkonflik, konflik horisontal”. 134 Setelah bergerak selama 10 tahun di hampir seluruh wilayah Jawa khususnya wilayah DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur, mereka memutuskan 132 Organisasi yang terdiri dari para aktivis, mantan tapol dan keluarga keluarga mantan tapol, yang berusaha untuk melakukan rekonsiliasi dan rehabilitasi bagi para mantan tapol dan keluarga, agar mendapatkan kembali hak mereka. 133 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 134 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 155 untuk berhenti. Mereka melihat adanya perubahan yang signifikan. Seperti berkurangnya kebencian terhadap para mantan tapol kasus 1965. Walau terasa adanya sikap yang sedikit berubah, namun mereka sadar bahwa belum sepenuhnya masyarakat kita dapat berdamai dengan stigma dan segala tuduhan dari masa lalu. Hal tersebut memerlukan komitmen bersama dan proses gerakan yang amat panjang. Mengenai komitmen dan proses, Bondan merasa pada titik itulah sepertinya kethoprak belum dapat konsisten, selayaknya gerakan berbasis organisasi. Dalam pandangannya, kesenian dapat disikapi sebagai sebuah gerakan, asal bukan dibuat hanya menjadi sekedar event saja. Gerakan semestinya memiliki konsistensi, kontinuitas, serta program yang terpola. Bondan mengakui “ itulah kelemahan kami. Para seniman Jogja, meskipun punya pemikiran seperti itu membuat perubahan, mereka jarang mau membuat program jangka panjang, dan memikirkan bagaimana cara menggunakan kesenian sebagai alat penyadaran. Paling rutin setahun 2 dua kali, setelah itu selesai. Maka dari itu kami mengambil kesimpulan, yo raiso nek ngerubah, sejauh tidak ada program yang rinci, rigid, dan matang perencanaannya sampe ke depan.” 135 Namun dari semua pernyataan dan gegap semangat menggerakan, yang mereka bawa dalam lakon yang dipentaskan, di sisi lain masih terasa kegamangan atas semangat tersebut. Kita mungkin dapat melihat kilas balik dari sub bab mengenai imaji pemimpin idaman, dimana Ari Purnomo menyatakan kekecewaan dan tidak lagi dapat memancangkan harapan pada pemimpin. Sehingga ia lebih percaya pada kemampuan rakyat untuk mengatasi masalahnya sendiri, tidak lagi 135 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 156 mengharap pada pemimpinnya. 136 Aroma kegamangan tidak hanya pada tataran harapan terhadap pemimpin atau penguasa. Akan tetapi juga pada tataran gerakan. Bukan pada kegamangan atas ketidakmampuan untuk menggerakan dan menyadarkan masyarakat. Namun pada tataran keyakinan bahwa kesenian ini dapat membuat perubahan di wilayah praksis sosial-politik Indonesia. Bondan Nusantara meyakini kesenian sebagai alat penyadaran hati nurani, yang dapat menggerakan masyarakat. Namun baginya, kethoprak tidak dapat ditempatkan sebagai alat untuk merubah jaman. Bondan sadar bahwa sehebat apapun kesenian mengkritik, atau sekeras apapun mekanisme penyampaiannya, kesenian tidak akan bisa merubah kondisi masyarakat secara langung. Melalui kethoprak, kesadaran sosial-politik masyarakatlah yang digugah, dan masyarakat pula lah yang akan melakukan perubahan. Bondan menjelaskan “bahwa yang bisa kami lakukan ya sudah kami lakukan, silahkan anda lihat dan anda tonton, kalau tidak bermanfaat ya anggap saja sebagai hiburan, ya terima kasih”. Bondan berkeyakinan bahwa yang sesungguhnya dapat merubah kondisi semacam itu hanyalah politik. Bukan kebudayaan, hanya politik. Menurutnya, kita bisa melihat Rian Tiarno, Remmy Silado atau pun WS Rendra yang beraksi keras terhadap politik kekuasaan. Namun mereka tidak bisa langsung menghancurkan rejim Soeharto dengan tangan kesenian. 137 Di balik segala kegamangan terhadap perubahan yang mungkin bisa dilakukan langsung oleh kethoprak, Bondan tetap optimis pada kethoprak sebagai penggerak dan pembangun kesadaran masyarakat. Menurutnya, masyarakat Jawa sangatlah dinamis. Mereka selalu memiliki kebutuhan untuk mendialogkan 136 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 137 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 157 kegelisahannya melalui media yang disukainya. Salah satunya kethoprak. Mereka tidak dapat terus ditekan selayaknya pada tahun 50-an atau 60-an. Oleh karena itu, eksistensi kethoprak harus tetap hidup, melalui geraknya yang lentur. Kethoprak terus dihidupi oleh konteks masalah sosial-politik yang dibicarakannya. Di panggung kethoprak lah rakyat membicarakan masalah mereka, dengan sesama mereka dan untuk mereka. Tuturan kethoprak menjelma menjadi bagian dari kritik politik rakyat. Bondan menutup sesi wawancara itu dengan mengatakan “pokoknya kalau kami mengalami sesuatu yang tidak adil, ya akan kami sampaikan. Kami tidak berpihak pada siapapun. Kalau penguasanya baik, ya kita katakan baik. kalau penguasanya jelek, ya kita katakan jelek dan kita kritik. Itu saja.” 138

E. Kesimpulan

Di tengah tarik menarik sikap optimisme dan pesismisme terhadap gerakan yang dilakukan oleh para seniman dari tiap lini kesenian, para seniman kethoprak pun ikut ambil bagian. Penelitian ini hendak menelisik hal tersebut dalam 2 dua lakon kethoprak, yaitu Magersari dan Ledhek Bariyem. Pada awalan pemaparan data, saya menuliskan pengalaman menonton, yang sesekali saya padukan dengan cuplikan-cuplikan dialog dari kedua lakon tersebut. Selain mengandalkan ingatan pada saat saya menonton langsung, saya juga menggunakan naskah dari kedua lakon tersebut, untuk melengkapi penggambaran dari pementasan tersebut. Isi naskah yang saya dapatkan langsung dari para penulisnya, tidak selalu sama dengan isi dialog atau alur yang dipentaskan di atas panggung. Menurut Ari 138 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 158 Purnomo, selaku penulis naskah Ledhek Bariyem, hal tersebut sangat lumrah, karena naskah pasti akan mengalami pengembangan dan penyesuaian selama proses latihan. Bila dirasa ada hal yang kurang tepat, mereka akan mendiskusikannya, dan mengubah sesuai dengan kebutuhan dari pementasan. Selain sebagai penulis naskah, baik Bondan Nusantara dan Ari Purnomo juga mengambil peran sebagai sutradara. Keduanya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses produksi lakon-lakon tersebut. Pemikiran yang mereka tuangkan dalam bentuk naskah, tidak sepenuhnya dihasilkan oleh mereka seorang diri. Dari hasil wawancara, ditemukan pula adanya proses diskusi mengenai konteks permasalahan yang ingin diangkat sebagai isu yang dibicarakan dalam lakon. Sehingga baik penulis naskah, sutradara, pemain maupaun para pendukung lainnya, memiliki andil untuk memberikan masukan yang berguna bagi lakon yang dibuat. Keterlibatan pemain tidak melulu hanya pada tataran pendalaman peran saja. Akan tetapi juga dalam proses penentuan misi atau pesan yang hendak disampaikan dalam pementasan sebuah lakon kethoprak. Mereka tidak sekedar mendapatkan naskah dan memerankannya di atas panggung, akan tetapi mereka juga memiliki tanggungjawab untuk dapat memahami isi pesan, dan menyampaikannya kepada penonton. Sedangkan di tataran penonton, saya mencoba menggali informasi mengenai apa yang dipahami oleh penonton, setelah melihat pementasan tersebut. Sejauh mana penonton dapat menangkap pesan yang disajikan di depan mata mereka. Lakon Magersari menceritakan kehidupan warga penghuni Sultan Gound, di wilayah Yogyakarta. Kethoprak yang ditulis oleh Bondan Nusantara ini 159 mengusung misi Guyub Rukun. Lakon kethoprak tersebut dibuatnya untuk merespon peristiwa politik yang hendak terjadi di kota Yogyakarta. Berangkat dari kegelisahan dan kekhawatiran akan terjadinya kerusuhan seperti yang terjadi di wilayah lain, Bondan membuat lakon Magersari untuk dapat mencegah terjadinya konflik untuk kepentingan politik di wilayah kota Yogyakarta. Dalam lakon ini dipertunjukan bahwa potensi konflik atau perpecahan masyarakat, biasanya dipicu oleh adanya perbedaan. Selain itu, lakon ini juga berusaha memperlihatkan adanya fenomena penyelewengan mandat yang seringkali dilakukan oleh para pejabat atau pemimpin. Lakon ini mencoba mengkritik penyalahgunaan kepercayaan semacam itu. Sedangkan lakon Ledhek Bariyem yang bergenre horror-humor, adalah lakon kethoprak yang cukup rumit. Bila dibandingkan dengan cerita dari lakon- lakon kethoprak yang lain, Ledhek Bariyem merupakan lakon yang tidak mudah untuk ditebak alurnya. Dua tokoh yang saling memperebutkan posisi lurah: pak Lurah Sarjana dan pak Warjudi, sama-sama melancarkan taktik politiknya masing-masing. Lakon ini memperlihatkan adanya kepentingan-kepentingan politik para pemimpin, yang seringkali menjadikan rakyat sebagai korbannya. Tidak seperti lakon kethoprak lainnya, yang menggiring para penontonnya untuk langsung mengerti maksud dari lakon yang dilihatnya, pertunjukan ini mengajak penonton untuk mencermati alur, memahami dan mengambil pelajaran secara mandiri. Dari proses observasi, pembacaan naskah dan wawancara, didapati bahwa pembicaraan mengenai kekuasaan, tuntunan serta tatanan bermasyarakat, imaji pemimpin yang ideal, permasalahan ke-Jawa-an yang mulai tergerus globalisasi, 160 hingga pemahaman mengenai kethoprak sebagai gerakan, menghiasi seluruh pembahasan bab ini. Kesemuanya hadir dari kegelisahan para seniman, mengenai konteks sosial-politik masyarat. Seniman mengartikulasikan permasalahan sosial- politik masyarakat, melalui kethoprak. Masyarakat bebas menerimanya, baik sebagai bagian dari dialog konteks permasalahannya, atau hanya sekedar hiburan semata. 161

BAB IV Hegemoni Di Ranah Seni Tradisi

A. Pengantar

Sesuai dengan sistematika penulisan tesis ini, pada bab II saya memaparkan posisi bidang kesenian seperti sastra dan teater, dalam upayanya membicarakan dan mengkritik kondisi sosial-politik di Indonesia. Selain bidang- bidang tersebut, pada bab yang sama, kethoprak hadir sebagai pokok bahasan dalam tesis ini. Setelah membicarakan mengenai beberapa bidang kesenian, serta menjelaskan posisi kethoprak di dalamnya, maka pada bab selanjutnya saya membahas secara khusus objek material penelitian tesis ini. Pada bab III, saya memaparkan data-data yang terkait dengan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem. Pemaparan mengenai apa yang terjadi di atas panggung pertunjukan serta apa yang disampaikan oleh para responden, menjadi sederet data yang terlihat pada lapis pertama dari lakon Magersari dan Ledhek Bariyem. Tidak bijak rasanya bila hanya berpijak pada apa yang nampak. Maka pada bab IV ini, kedua lakon tersebut akan dilihat lebih dalam pada lapisan selanjutnya, yaitu inti analisa berdasar pada teori hegemoni yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci, serta globalisasi sebagai teori sekunder. Beberapa kata kunci dan langkah pembacaan teoritis Gramsci, akan dipergunakan untuk melihat sejauh mana teori hegemoni bekerja dalam kedua lakon itu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI