Konsensus Hegemoni di Ruang Seni Tradisi

199 lokal” selalu ditempatkan sebagai sesuatu yang harus dipaksakan ada ketika masyarakat akan “mengikuti arus modernisasi”, bukan sebagai salah satu kesatuan dari proses modernisasi itu sendiri. 166 Kegelisahan mengenai tergerusnya posisi kesenian lokal, seperti kethoprak, beserta nilai-nilai tradisinya, banyak diungkapkan oleh Bondan Nusantara, Ari Purnomo, Baso Rangga dan Herwiyanto. Maka upaya-upaya mereka sebagai seniman kethoprak, acapkali dimotivasi untuk nguri-uri kabudayan. Kekhawatiran akan hilangnya minat, baik dari seniman maupun penonton terhadap kethoprak, sepertinya cukup beralasan. Seperti yang diceritakan Ari Purnomo mengenai gelombang naik turun kethoprak di beberapa masa, memicu kegelisahan mereka seniman. Ada berbagai macam cara bertahan yang dilakukan, demi tetap hidup di dan menghidupkan kethoprak. Biaya produksi kethoprak yang sangat mahal, proses produksi yang memakan waktu lama, dan persaingan dengan kesenian-kesenian modern lainnya, adalah sederet masalah yang harus diselesaikan. Hingga pada kisaran tahun 2000an, terjadi masa “pencerahan” bagi kethoprak, khususnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Implikasi dari pengesahan status keistimewaan Yogyakarta, memberi peluang yang cukup baik pada pendanaan kegiatan kebudayaan kesenian. Hal tersebut dianggap sebagai jawaban atas permasalahan pendanaan, bagi sektor kesenian di DIY, tak terkecuali kethoprak. Permasalahan yang membelit kelangsungan hidup kesenian ini, sedikit banyak, telah terpecahkan. Pendanaan merupakan dukungan penting dari 166 Prof, Dr. Bambang Purwanto, M.A, dalam Seminar nasional “Pembangunan Dalam Perspektif Kebudayaan” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 6-8 Desember 2015. 200 pemerintah daerah. Herwiyanto menyatakan bahwa sekitar 3-4 tahun belakangan ini, masyarakat Yogyakarta sedang mendem sekaligus dimanjakan dengan pertunjukan kethoprak. Lantas dengan arus pendanaan dari pemerintah daerah, apakah seniman dan komunitas kethoprak dapat memelihara kemandirian dan kekritisannya? Belajar dari pengalaman di masa lalu, kala rejim Orde Baru menghidupkan kembali kethoprak dari mati surinya selepas peristiwa 1965, kethoprak kehilangan independensi atas tema, pesan dan bentuk pertunjukan. Sebagian komunitas kethoprak yang dilindungi oleh militer dan instansi pemerintahan Orde Baru, bergerak sebagai perpanjangan tangan kekuasaan, atasnama kampanye program pembangunan. Lantas bagaimana dengan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem? Meski berjejal dengan kritik sosial politik, keduanya tidak dapat melepaskan diri dari kerangka kerja kekuasaan. Bukan lagi kekuasaan pusat, namun kekuasaan daerah. Pada sub-bab mengenai tema Magersari, saya sudah memaparkan sedikit, dari banyak temuan mengenai konteks sosial politik yang sedang terjadi pada masa itu. Tercatat pada tahun 2011, kala Magersari dipentaskan, Yogyakarta sedang menjadi wilayah yang cukup disoroti. Status keistimewaan Yogyakarta sedang dipertaruhkan. Tidak hanya status yang dipertaruhkan, juga segala bentuk kekayaan bendawi dan non-bendawi di wilayah ini. Sebagian komunitas di Yogyakarta, ikut ambil sikap dan ambil bagian untuk memperjuangkan keistimewaan ini. Mereka menggelar berbagai macam acara dan kegiatan, untuk menjaring dukungan masyarakat terhadap penetapan keistimewaan Yogyakarta. Tak terkecuali para seniman kethoprak dan komunitas mereka. Dengan mengusung tema guyub rukun, dan membahas permasalahan 201 Magersari, sepertinya kita tidak dapat menyanggah bila produk kesenian ini juga ikut dalam konstelasi politik keistimewaan di Yogyakarta. Melalui lakon tersebut, masyarakat diajak untuk tetap berada pada kondisi tenang dan damai. Tidak ikut terlibat dalam konflik, baik konflik politik kepentingan prapasca pilkada, maupun konflik yang berkaitan keistimewaan Yogyakarta. Masyarakat diberikan pemahaman bahwa pemimpin, semestinya didengarkan dan dipatuhi. Pemimpin menjadi ikon penting, yang menjadi panutan bagi seluruh rakyatnya. Sehingga pemimpin yang ideallah yang semestinya menjadi pilihan seperti dalam lakon Ledhek Bariyem. Maka semenjak Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta disahkan pada tahun 2012, banyak pihak merayakannya. Keriaan ini nyatanya tidak dapat dinikmati oleh sebagian orang. Dampak dari pengesahan ini, mulai mengena pada banyak pihak. Dampak yang nampak adalah meningkatnya jumlah konflik tanah di provinsi ini. Pemberlakuan kembali Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918, mau tidak mau membuat beberapa pihak harus merelakan tanah beralih kepemilikan atau penggunaan. Lahan hutan, pantai, wedi kengser, tanah desa bahkan tanah tanpa sertifikat, akan beralih kepemilikan menjadi Hak Milik KasultananPakualaman. Peralihan kepemilikan tanah pada KasultananPakualaman yang berbadan hukum khusus, dengan nama Badan Hukum Warisan Budaya, dikelola secara swasta. Tanah atau lahan yang dimiliki pun, dikelola untuk kepentingan swasta. Beberapa lahan itu diarahkan untuk penyediaan kegiatan ekonomi. Salah satunya untuk mendukung program pemerintah pusat, yaitu Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia MP3EI. Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, 202 program ini merupakan bagian dari kerangka kerja global yang diikuti oleh pemerintah Indonesia. Dengan membuka diri pada penanaman modal asing, dan menyediakan kebutuhan negara lain melalui program ini, otomatis program adalah salah satu bentuk globalisasi. Melalui MP3EI, globalisasi mengantarkan pasar untuk mendapatkan legitimasi dari kekuasaaan negara untuk memperlancar praktek kapitalismenya. Cara pengelolaan globalisasi semacam ini telah mencabut sebagian besar kedaulatan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Termasuk kemampuan untuk membuat keputusan di bidang penting mempengaruhi kehidupan masyarakat. Hal tersebut tentu saja memperlemah demokrasi. 167 Budi Winarno, dalam bukunya yang berjudul Globalisasi: Peluang dan Ancaman bagi Indonesia mengatakan bahwa ketika perekonomian nasional suatu negara telah terintegarasi pada pasar global, maka perekonomian ini tidak lagi dapat terbebas dari pengaruh kekuatan politik dan ekonomi eksternal. 168 Karena begitu pemerintah sebuah negara memutuskan ikut dalam penerapan kebijakan pasar bebas pasar global demi merebut peluang datangnya investasi dari luar, maka negara tersebut telah memberikan kesempatan pada dirinya untuk bisa dipengaruhi oleh kekuatan dari luar. Lakon Magersari, dalam upayanya mendukung keistimewaan yang bersifat lokal, pada kasus ini, telah ikut membuka pintu bagi pasar global. Isu dan pesan yang dibawa, baik oleh Magersari: mengenai guyub rukun dan keistimewaan, serta Ledhek Bariyem: mengenai kepemimpinan dan politik, sedikit banyak menjalankan kerangka kerja hegemoni dominan. Semenjak pembentukan 167 Joseph E Stiglitz, 2007, hal. 56 168 Budi Winarno, 2008, Globalisasi: Peluang dan Ancaman bagi Indonesia, Erlangga, Jakarta 203 blok historis, dimana masyarakat diperkenalkan dengan blok pengetahuan sesuai misi dari seniman dan komunitas, hingga pengumpulan konsensus, berupa produksi pemahaman yang diamini dan klaim sebagai kesadaran kolektif. Pada poin ini, kesenian kethoprak menjadi alat bagi kelas penguasa. Kethoprak baik disadari ataupun tidak, pendukung agenda kapitalisme global. Dukungan ini menjadi bagian dari hegemoni dominan dari atas panggung seni tradisi. Dimana mereka ikut serta dalam mendokrtin masyarakat melalui ideologi, sehingga pada tahap selanjutnya, doktrin tersebut menjadi keinginan kolektif. Tod Jones seorang ahli Antropologi asal Belanda, berpendapat kecenderungan penggunaan produk budaya seperti kesenian, tidak lantas absen di masa pasca reformasi. Selepas reformasi, terjadi proses desentralisasi politik dan melemahnya pengaruh pemerintah pusat. Hal tersebut menciptakan peluang adanya persaingan untuk merebut dominasi. Kesenian-kesenian daerah sedang dihidupkan kembali melalui pertautannya dengan negara. Akan tetapi pada masa sekarang ini, dukungan negara diberikan melalui unit baru yang lebih rendah, terkait dengan etnis tertentu. Tidak lagi melalui pemerintah pusat seperti di Orde Baru. Pada masa pasca reformasi, pemerintah telah mengurangi kontrol nya. Ada banyak kesempatan bagi pihak non-elite untuk menggunakan budaya atau kesenian sebagai alat untuk mempengaruhi keputusan politik dan sipil. 169 Dalam hal ini, melalui kedua lakon tersebut, kelas penguasa menggunakan citra etnis Jawa, sebagai identitas bersama. Politik budaya seringkali dimainkan oleh negara atau agen lainnya yang memiliki kekuasaan, guna memanipulasi simbol-simbol etnisitas. Dalam penelitian yang berjudul Konstruksi Citra dalam 169 Tod Jones, 2015, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad Ke- 20 hingga Era Reformasi, KITLV-Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia-Jakarta, hal. 231 204 Identitas Etnis, penggunaan simbol-simbol ini yang dikatakan oleh Waskito, sebagai siasat budaya etnis. 170 Budaya etnis Jawa yang mengejawantah dalan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, dirasa bukan hal asing bagi masyarakatnya. Pesan yang dibawa menjadi jauh lebih akrab dan mudah untuk dicerna karena dekat dengan keseharian mereka. Melalui proses menonton, keterikatan identitas etnis menjadi lebih mudah diciptakan, dibandingkan tidak melakukannya sama sekali. Budaya yang sama, unggah-ungguh yang sama, bahkan bahasa yang sama merupakan penghantar hegemoni dominan yang stategis. Hegemoni dominan yang masuk melalui kepemimpinan budaya, telah dinyatakan oleh Gramsci. Sepertinya memang sudah tidak jamannya lagi, untuk memperoleh kepatuhan, persetujuan dan dukungan dari kelas yang didominasi melalui cara koersi. Koersi selalu dianggap cara kuno, karena masih mengandalkan kekerasan sebagai ujung tombak penaklukan. Terlebih pada masa dimana perdamaian dikampanyekan untuk menjadi basis bagi tatanan kehidupan bermasyarakat. Pelaku kekerasan akan dihujat dan dianggap sebagai pelanggar kemanusiaan. Namun apakah setelah mekanisme koersi tidak berjalan, maka misi penaklukan selesai? Sepertinya tidak. Gramsci mengatakan: akan selalu ada kelas yang mendominiasi kelas penguasa dan kelas yang didominasi. Kelas yang mendominasi memperoleh kepatuhan dari kelas yang didominasi dengan jalan hegemoni dominan. Hegemoni dominan akan sangat berbahaya, apabila ideologi kelas penguasa menjadi sesuatu yang “alamiah”, tanpa perlu dipertanyakan lagi. Dalam kategori hegemoni dominan Gramsci, hegemoni semacam itu masuk dalam kategori hegemoni minimum. Hegemoni ini bersandar pada 170 Waskito, 2003 , Konstruksi Citra dalam Identitas Etnis, Jurnal Sejarah Tahun Kesembilan Nomer 1, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang , Malang 205 kesatuan ideologis para elit ekonomis, politik dan intelektual semata. Masyarakat kelas yang didominasi telah bersikap apatis, untuk ikut campur tangan dalam merumuskan kehidupan bersama. Hingga pada akhirnya, semua arah hegemoni ditentukan mutlak oleh kelompok penguasa. Sejauh ini, sebagian masyarakat Yogyakarta nampaknya tidak benar-benar berada dalam kategori hegemoni minimum. Mereka dengan kritis menolak untuk sepenuhnya patuh pada keputusan-keputusan yang merugikannya. Hal itu diperlihatkan munculnya inisiatif gerakan-gerakan masyarakat, terutama masyarakat yang terdampak hegemoni dominan, salah satunya melalui kebijakan pembangunan.

F. Hegemoni Tandingan: Potensi Bangkit dari Keterjerembaban

Bila pada proses pencetusan ide, niatan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem terkesan beroposisi dengan kekuasaan dan segala pengaruh globalisasi, namun temuan pada penelitian ini berbicara beda. Beberapa responden, seperti Ari Purnomo, Herwiyanto serta Baso Rangga secara lantang menyatakan bahwa kethoprak hadir untuk menjadi anomali di antara sekian banyak seni modern yang membawa pengaruh global, dan mengganggu tatanan kesenian lokal, seperti salah satunya kethoprak. Namun kenyataannya, keinginan untuk meng-konter pengaruh-pengaruh tersebut, tidak secara konsisten dapat diwujudkan. Diakui atau pun tidak, mereka belum benar-benar dapat berhasil menjadikan kethoprak, terutama yang direpresentasikan melalui lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, 206 untuk kembali sebagai kesenian mainstream dan menjadikannya kiblat hiburan dan pendidikan rakyat. Alih-alih melawan, keduanya pada titik tertentu mengadopsi nilai-nilai yang ditawarkan oleh pihak kelas penguasa. Pada titik ini, kedua lakon tersebut, belum dapat untuk mencapai posisi belum bisa dikatakan gagal sebagai hegemoni tandingan, dari globalisasi dan kekuasaan. Keduanya terjerembab dalam pola-pola lama. Yaitu menjadi salah satu kesenian yang mendukung kelas penguasa. Lakon Magersari, maupun Ledhek Bariyem, belum benar-benar mampu keluar dari lubang dominasi kekuasaan. Kethoprak berupaya keras untuk menjadi kesenian yang kritis, namun masih juga kesulitan mengatasi dan melepaskan diri dari meknisme media penyampai kepentingan tertentu. Kethoprak belum mampu melepaskan diri dari kepentingan kekuasaan yang masih sering menggunakan mereka, kethoprak dan senimannya sebagai inteletual tradisional. Alih-alih melakukan perlawanan, kesenian acapkali terjerembab dalam upaya mengukuhkan hegemoni dominan. Baik yang dibawa oleh penguasa maupun kepentingan pasar dalam globalisasi. Seperti yang telah dijelaskan pada bab I, Femia membagi hegemoni dominan menjadi 3 tiga tingkatan, berupa Hegemoni integral, decadent, dan minimum. Pada hegemoni integral, terdapat afiliasi massa yang mendekati totalitas. Dimana terdapat persatuan moral dan intelektual yang kokoh, dan organis antara kelas penguasa dan kelas yang didominasi. Tidak ada hubungan antagonis di antara keduanya. Pada hegemoni decadent, terdapat penanaman hegemoni, ternyata masih menyisakan celah dan masalah. Hegemoni ini berpotensi disintegrasi. Sedangkan hegemoni minimum adalah terdapat kondisi 207 kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politik dan intelektual. Kelas yang didominasi mengabaikan pernnya dalam urusan kehidupan bersama. Semua arah hegemoni ditentukan oleh kelompok penguasa. Pembagian hegemoni dominan tersebut berdasar pada tanggapan kelas yang didominasi masyarakat. Hegemoni dominan dapat saja dikatakan berhasil, namun dengan tingkatan yang berbeda-beda. Pada hegemoni integral, tidak didapatkan masalah yang berarti pada mekanisme penanaman doktrin dari kelas penguasa. Hegemoni lahir karena kebutuhan keduanya, dan bergerak secara organis. Pada hegemoni decadent, kondisi hegemoni terlihat baik-baik saja. Namun sebagian dari kelas yang didominasi mulai merasakan represi, dan berpontesi terjadinya sikap melawan pada hegemoni. Lain lagi dengan hegemoni minimum, hegemoni ini adalah tingkat hegemoni ideal yang diingin oleh kelas penguasa. Pada hegemoni ini, kelas yang didominasi menyerahkan segala keputusan pada kelas penguasa. Kelas yang didominasi tidak lagi berkeinginan memikirkan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Tingkatan paling penting yang menjadi pokok pemikiran Gramsci adalah hegemoni decadent. Tingkat dimana kelas yang didominasi mengalami kegelisahan atas hegemoni yang dilakukan oleh kelas penguasa. Pada hegemoni ini, kelas yang didominasi berpeluang melakukan pemberontakan atau tandingan. Konsep penting ini dipikirkan Gramsci sebagai dasar perlawanan masyarakat yang tertindas atau kelas yang didominasi. Hegemoni tandingan counter hegemony adalah jalan keluar, bagi kondisi yang sebelumnya telah dianggap lumrah. Pada titik ini, kelas yang didominasi mulai menyusun kesejarahan atas perlawanannya. 208 Kelas yang didominasi berupaya untuk merebut kembali dominasi atas diri mereka. Mereka harus berpolitik. The politic, menurut Chantal Mouffe dalam bukunya yang berjudul On Political, dipahami sebagai segala hal yang terkait dengan praktek pertarungan memperebutkan posisi dominasi, yang diperoleh melalui hegemoni kekuatan ide atau pun gagasan, yang kemudian ditantangkan oleh gagasan lainnya dari hegemoni tandingan counter hegemony. 171 Tidak ada pertarungan politik yang tidak melibatkan pertarungan gagasan atau ide. Keberadaan politik menjadi sah karena ide-ide atau gagasan-gagasan yang saling berebut dominasi dan berusaha menghegemoni masyarakatnya. Zizek mengatakan bahwa tidak ada politik, dengan catatan bila tidak ada pertarungan politik. Pertarungan politik di sini berarti juga pertarungan ide atau gagasan tadi. The Essense Politics tidak hanya sekedar pertarungan kekuasaan will to power, akan tetapi juga perjuangan gagasan, ide, keyakinan dan nilai-nilai. Inilah yang disebut sebagai pertarungan ideologi. 172 Kethoprak sebagai sebuah gerakan yang diinisiasi oleh masyarakat, berpotensi untuk melakukannya. Apakah benar kesenian berpotensi melakukan politik melalui hegemoni tandingan? Pertarungan politik dalam bentuk hegemoni tandingan, sepertinya tidak mustahil dilakukannya di dalam kethoprak. Berdasarkan atas kebutuhan untuk mengkritik hegemoni dominan, selalu melahirkan kebutuhan berpolitik untuk melakukan gerakan dari bawah, guna merubah yang ada di atas kekuasaan. Dimana ada tekanan represi, di sana ada 171 Disampaikan oleh Yasraf Amir Piliang dalam kuliah berjudul “Transpolitika” diakses 3 November 2015. 172 Disampaikan oleh yasraf Amir Piliang dalam kuliah berjudul “Transpolitika”, diakses 3 November 2015. 209 perlawanan. Kondisi Hegemoni, seberapa pun kokohnya, pasti selalu menyisakan celah untuk ruang-ruang pemberontakan. Kita dapat menyebutnya sebagai sebuah gerakan resistensi masyarakat terhadap keberadaan hegemoni dominan. Berdasar sejarah yang pernah dijalani oleh kesenian ini, kethoprak menunjukkan 2 dua wajah yang berlainan. Pada momen tertentu, mengambil laku politis untuk ikut dalam upaya menghegemoni rakyat, di momen yang lain ia memperlihatkan sikap melawan represi. Kethoprak sepanjang perjalanan berkeseniannya, juga pernah mengambil posisi biner kekuasaan. Meski berkali- kali jatuh sebagai bagian dari media hegemoni dominan, kethoprak kerap dijadikan media untuk mengungkapkan kritik dan kegelisahan rakyat. Tidak selalu menjadi corong bagi kepentingan kelas penguasa. Dalam kapasitasnya sebagai kesenian rakyat, harus diakui bila kethoprak berpotensi menjadi titik resistensi terhadap globalisasi. Bila produksi hegemoni dominan dapat lahir pada ruang seni pertujukan seperti kethoprak, maka hegemoni tandingan pun memiliki peluang yang sama. Kesenian ini dapat mengambil posisi sebagai tandingan dari kebijakan-kebijakan global, yang berpengaruh pada kebijakan-kebijakan di tingkat nasional salah satu contohnya MP3EI. Berbekal kesadaran akan adanya represi, yang mengatasnamakan pembangunan, masyarakat kelas yang didominasi dapat menginisiasi gerakannya. Kesadaran adalah fase lepas atau celah yang disisakan hegemoni dominan dalam mempengaruhi kelas yang didominasi. Organ dalam kelas yang didominasi mencari jalan untuk mengatasi kesadaran palsu dan konsensus yang telah ditanamkan melalui budaya. Organ-organ ini membentuk diri dalam sebuah aliansi gerakan rakyat kelas yang didominasi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI