Intelektual Tradisional dari Ranah Tradisional

194 Seperti pernyataan Chernyshevsky, perihal kegunaan seni untuk seni, Bondan pun seturut dengannya. Seniman tersebut mengatakan bahwa dirinya tidak melulu menaruh kesenian hanya sebagai kesenian, akan tetapi kesenian ditempatkan sebagai senjata untuk mendidik rakyat, melalui bahasa mereka sendiri. Mendidik rakyat melalui bahasanya sendiri, menjadi kata kunci dari peran para seniman dari kedua lakon itu. Bahasa adalah senjata. Bahasa inilah yang disampaikan dari atas panggung pertunjukan kepada khalayak penontonnya. Seperti yang sudah dinyatakan berkali-kali dalam sub bab ini. Pesan dengan bahasa tertentulah yang disampaian dan diharapkan dapat ditanggapi, sesuai dengan konsep para pemberi pesan. Dalam hal ini seniman. Seniman menjadi agen penting dalam penyampaian pesan tertentu. Melalui mereka lah, pembangunan pemahaman berupa blok historis dalam kerangka kerja hegemoni dapat terwujud. Pada konsep hegemoni Gramsci, para intelektual tradisionallah yang berperan menjadi agen membawa ideologi. Para inteletual ini bekerja secara kolektif di dalam sistem dan lembaga kerja keagamaan, pendidikan ataupun kebudayaan. Dalam penelitian ini, kethoprak menjadi salah satu lembaga kerja kebudayaan. Mekanisme kerja hegemoknik dimulai dengan blok historis yang dibentuk oleh seniman maupun komunitas. Di sini diciptakan bangunan sejarah, yang memblok pengetahuan lainnya, yang diasa mengganggu kerja hegemoni. Ideologi disebarkan melalui seni. Seni dan seniman menanamkan doktrin dari kelas penguasa melalui karyanya. Kita ambil contoh kasus Tolstoy seorang sastrawan dari Rusia. Pada suatu waktu Tolstoy diminta untuk menaikkan citra Stalin melalui naskah dramanya. 195 Karena Stalin sadar bahwa dirinya tidak akan bisa mengenyampingkan seni sebagai alat penggerak yang massif. Ia menggunakan seni sebagai alat untuk meraih simpati dan menggalang kekuasaannya. Ia menerapkan hegemoni dominan melalui tangan seniman dan kesenian. Seni tidak dipandang sebagai hiburan semata, akan tetapi juga sebagai sebuah kebutuhan, layaknya ideologi. Ideologi akan dipercayai, dipegang dan dijalankan, baik secara sadar maupun tidak . Dalam konteks lakon Magersari maupun Ledhek Bariyem, secara sadar para seniman walau tidak bisa dipastikan bahwa semuanya posisi mereka sebagai penyebar pesan. Bila Gramsci mengkategorikan mereka sebagai para inteletual, maka dalam skema hegemoni, khususnya hegemoni dominan, para seniman kethoprak yang mendukung kedua lakon ini, masuk dalam kategori inteletual tradisional. Mereka hadir untuk mengukuhkan doktrin dan dominasi dari kelas penguasa, terhadap kelas yang didominasi. Blok historis dikawal sedemikian rupa, untuk menghambat pengetahuan lainnya, selain doktrin tadi. melalui pesan yang dipertunjukan di atas panggung, kesadaran khalayak penoton dibentuk, untuk mencapai consensus, yang mengakomodir kepentingan kelas penguasa. Seperti yang disebuatkan sebelumnya, interletual tradisional ini, bergerak di dalam institusi keagamaan pendidikan hingga kebudayaan. Maka tidak mengherankan bila dalam kethoprak yang merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Jawa, lahirlah intelektual tradisonal. Intelektual tradisional dari ranah kesenian tradisional.

E. Konsensus Hegemoni di Ruang Seni Tradisi

196 Hubungan lokal dengan global sepertinya mustahil untuk dipisahkan. Seperti yang sudah saya paparkan pada bab II, kesenian yang lahir di wilayah lokal semacam sastra dan teater dikategorikan pun tidak dapat menghindarkan diri dari untuk menjadi bagian dari seni dunia. Perkembangan setiap ranah kesenian tersebut tidak lepas dari kecenderungan fenomena dan tren global. Pada ranah sastra, semangat untuk membicarakan identitas menjadi sebuah oase bagi semesta pembahasan kesenian ini. Pada masa Orde Baru tema tertentu tidak memperoleh kesempatan untuk muncul. Alasannya karena kesenian ini acapkali melancarkan kritik tajam terhadap rejim. Lantas pada pasca reformasi, para sastrawan sangat memanfaatkan kebebasannya. Mereka tal lagi takut bergiat untuk merepresentasikan identitas dan persoalan sosial-politik-budaya. Tak terkecuali permasalahan global dalam bentuk karya sastra dengan isu ‘universal’. Isu-isu seputar sastra poluler yang bertema religi, atau pun sastra serius yang bertema seksualitas, mendesak masuk dan saling berbaur tanpa batas yang jelas selain itu, karya berlatar ruang global, berupaya memanjakan mimpi khlayak pembacanya, mengenai kehidupan tanpa batas di ruang-ruang global. Pada kesenian teater, didapati kondisi yang hampir mirip dengan kesenian lainnya. Pada masa Orde Baru, kesenian ini sama berjuang dan mengkritik keras ulah rejim pada negara dan rakyatnya. Pada masa reformasi, orientasi pun mulai berubah. Tidak lagi mengutuki musuh bersama, namun mulai mencari arah pembicaraan yang berangkat dari konteks masyarakatnya. Konteks masyarakat di sini tidak melulu lahir dari wilayah lokal, namun juga mengusung isu global. Derasnya bantuan dana dari lembaga-lembaga pendanaan internasional, memberi peluang bagi seniman dan komunitas kesenian ini untuk perdebatkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 197 permasalahan universal mengenai kemanusiaan, baik di ruang lokal maupun global. Langkah menuju global, baik secara geografis maupun wacana, dalam wilayah kesenian modern menjadi sebuah hal yang wajar. Kala gerak globalisasi masuk ke wilayah ekonomi, sosial, politik, budaya dan bahkan kesenian, perubahan dalam proses berkarya, maupun hasil karya seni pun akan sangat lumrah terjadi. Globalisasi sendiri, tidak dapat terlepas dari mekanisme pasar dunia. Kebijakan di banyak negara tidak sepenuhnya dapat lepas dari pusaran kepentingan pasar global. Globalisasi sebagai sebuah mekanisme yang mengandalkan keterhubungan ekonomi, politik, maupun budaya, banyak menerima gugatan, oleh karena dampak buruk yang diakibatkan olehnya. Globalisasi sering dipersalahkan karena dianggap mengkhianati demokrasi, menaikan tingkat kemiskinan, menurunkan tingkat kesejahteraan, juga melunturkan nilai tradisi etnis tertentu. Mengenai lunturnya nilai tradisi bangsa, pembangunan modernisasi dianggap menjadi kontra-produktif. Globalisasi yang bergerak melalui pembangunan dan modernisasi dianggap sebagai perusak sejarah dan tradisi, serta mendistorsi normativitas etnis. Modernisasi menyaratkan homogenisasi untuk menjalankan dan memudahkan jalannya pembangunan. Apa yang menyangkut etnisitas disingkirkannya, tradisi yang dianggap kuno, tidak efisien, bahasa yang tidak mampu menyerap manfaat pembangunan dan menyebarkannya, sehingga 198 orang etnis dipaksa memahami bahasa modern yang dengan sendirinya mengikis bahasa ibunya. 164 Dalam gelombang besar globalisasi, tidak ada lagi batas geografis antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Gerak ekonomi, sosial, politik dan budaya dapat masuk dan menyebar dengan mudahnya, melalui mekanisme globalisasi. Penetrasi nilai-nilai global hadir pada ruang-ruang budaya lokal. Globalisasi pada tingkat lanjut kemudian menciptakan deteritori kebudayaan. Budaya global memberikan pilihan yang jauh lebih beragam dan menggiurkan dibandingkan budaya lokal. Hal tersebut jelas mengancam kebudayaan lokal. Sehingga pada tahap selanjutnya, keluaran yang dihasilkan adalah kearifan yang mengarah pada kearifan global, bukan kearifan lokal lagi. Irwan Abdullah melihatnya sebagai potensi masalah yang timbulkan globalisasi, yaitu kala kebudayaan tradisi atau daerah harus mengalami akibat-akibat sampingan dari adanya gerakan modernisasi yang dibawa oleh negara dan pasar. Kebudayaan harus menerima akibat dari proses perubahan sistem politik dan ekonomi yang berlangsung begitu cepat. 165 Di sisi lain, posisi biner antara yang tradisi dan modern, serta yang lokal dan global, dikritik oleh Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A. Menurutnya, pembangunan dan kemodernan acapkali dipahami sebagai sesuatu yang datang dari luar, sedangkan “tradisi, nilai, norma, agama dan hasil budaya lokal masing- masing” sebagai sesuatu yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia sebagai 2 dua hal yang saling bertentangan. Keadaan “mempertahankan tradisi dan budaya 164 Ubed Abdillah, 2002, Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Indonesia Tera, Magelang, hal. 81 165 Irwan Abdullah, 2015,hal. 199 lokal” selalu ditempatkan sebagai sesuatu yang harus dipaksakan ada ketika masyarakat akan “mengikuti arus modernisasi”, bukan sebagai salah satu kesatuan dari proses modernisasi itu sendiri. 166 Kegelisahan mengenai tergerusnya posisi kesenian lokal, seperti kethoprak, beserta nilai-nilai tradisinya, banyak diungkapkan oleh Bondan Nusantara, Ari Purnomo, Baso Rangga dan Herwiyanto. Maka upaya-upaya mereka sebagai seniman kethoprak, acapkali dimotivasi untuk nguri-uri kabudayan. Kekhawatiran akan hilangnya minat, baik dari seniman maupun penonton terhadap kethoprak, sepertinya cukup beralasan. Seperti yang diceritakan Ari Purnomo mengenai gelombang naik turun kethoprak di beberapa masa, memicu kegelisahan mereka seniman. Ada berbagai macam cara bertahan yang dilakukan, demi tetap hidup di dan menghidupkan kethoprak. Biaya produksi kethoprak yang sangat mahal, proses produksi yang memakan waktu lama, dan persaingan dengan kesenian-kesenian modern lainnya, adalah sederet masalah yang harus diselesaikan. Hingga pada kisaran tahun 2000an, terjadi masa “pencerahan” bagi kethoprak, khususnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Implikasi dari pengesahan status keistimewaan Yogyakarta, memberi peluang yang cukup baik pada pendanaan kegiatan kebudayaan kesenian. Hal tersebut dianggap sebagai jawaban atas permasalahan pendanaan, bagi sektor kesenian di DIY, tak terkecuali kethoprak. Permasalahan yang membelit kelangsungan hidup kesenian ini, sedikit banyak, telah terpecahkan. Pendanaan merupakan dukungan penting dari 166 Prof, Dr. Bambang Purwanto, M.A, dalam Seminar nasional “Pembangunan Dalam Perspektif Kebudayaan” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 6-8 Desember 2015.