74
masyarakat Jawa. Kethoprak dilirik menjadi salah satu alat propaganda Jepang. Dalam bukunya yang berjudul Kethoprak: Politik Masa lalu untuk Masyarakat
Jawa Masa Kini, Budi Susanto SJ menyinggung soal pasukan bangsa Jepang yang saat itu datang sebagai saudara tua bagi rakyat Indonesia. Mereka hendak
memperoleh kepercayaan rakyat Indonesia, melalui berbagai mekanisme. Salah satunya melalui kethoprak. Dari tontonan inilah, nasionalisme rakyat Indonesia
dibangkitkan. Guna melawan sekutu dan para elite priyayi Jawa yang menjadi perpanjangan tangan penjajah Belanda. Pihak Jepang berupaya memukul pihak
priyayi pendukung Belanda, dan menggalang dukungan bagi pihaknya. Dari kedua masa penjajahan tersebut, kethoprak diombang-ambingkan
kepentingan, baik kepentingan rakyat Indonesia, maupun penjajahnya. Baik penjajah Belanda, maupun Jepang sangat sadar akan potensi strategis politis
kesenian ini. Dengan menekan geliat kethoprak yang dirasakan membahayakan, penjajah Belanda berharap dapat menekan pula geliat perlawanan yang
dikobarkan melalui kethoprak. Lain halnya dengan pihak Jepang, terutama di kala mereka masuk ke Indonesia dan mengklaim diri sebagai saudara tua dari timur
jauh. Pihak Jepang secara asertif berusaha menghilangkan pengaruh Belanda di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Guna melunturkan pengaruh Belanda, pihak
Jepang memfungsikan kethoprak untuk mengadu rakyat kalangan bawah, dengan para priyayinya. Hingga pada saat Jepang secara jelas menjajah Indonesia,
kethoprak mengalami nasib seperti pada masa penjajahan Belanda. Kethoprak kembali dilarang karena membahayakan posisi penjajah Jepang. Kethoprak
kembali mati. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
E. 2. Kethoprak, antara Bertahan dan Melawan
Setelah Indonesia merdeka, semua hal yang sebelumnya telah mengalami kematian, dibangkitkan kembali. Tak terkecuali kethoprak. Penataan negara
dilakukan bersama-sama dengan penataan kebudayaan dan keseniannya. Di bawah kepemimpinan Soekarno, dimana politik ditempatkan sebagai panglima,
kerja-kerja kebudayaan pun berada dalam satu komando yang sama. Pada kisaran tahun 1955 hingga tahun 1965 kelompok kethoprak yang jumlahnya cukup
banyak, mulai menggabungkan diri pada 2 dua partai politik yang kuat pada masa itu. Partai Nasional IndonesiaPNI dan Partai Komunis Indonesia PKI.
Keduanya berdiri sebagai partai politik yang berafiliasi dengan lembaga kebudayaan yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat, salah satunya
kethoprak. PNI berafiliasi dengan Lembaga Ketoprak Nasional, sedangkan PKI berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat LEKRA. Badan Kontak
Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia BAKOKSI pada tahun 1964 telah menaungi 371 paguyuban kethoprak.
67
Pada masa itu kethoprak lebih banyak digunakan sebagai sarana pendidikan politik rakyat, yang menekankan pada
penanaman sikap egaliter dan anti-feodal.
68
mekanisme pendidikan politik rakyat melalui kethoprak sebagai kesenian, dirasa sangat efektif. Sehingga pergerakan
seni ini semakin lama semakin berkembang, atas dukungan lembaga kebudayaan dan pemerintah di masa tersebut.
Setelah kemenangan Orde Baru, hal-hal yang berbau komunisme serta berdekatan dengan PKI, dihapuskan. Tak terkecuali kethoprak. Dengan
67
Mahandis Y. ThamrinNGI http:nationalgeographic.co.idberita201304ketoprak-jawa- pernah-dibunuh-dua-kali diunduh:27 Agustus 2015
68
Barbara Hatley, 2008, Javanese performances on an Indonesian stage; Contesting culture, embracing change, KITLV Press Leiden
76
dibubarkannya LEKRA, maka hal tersebut menjadi titik balik bagi kondisi kesenian kethoprak. Tidak sedikit para seniman kethoprak, yang ditahan, dibuang,
atau bahkan dibantai atas dasar kegiatan keseniannya, yang berafiliasi dengan PKI dan LEKRA. Militer pada masa itu kemudian mengambilalih kesenian.
Kethoprak dijadikan senjata kebudayaan yang melayani kepentingan Orde Baru, alih-alih membersihkan kesenian itu dari semua unsur ideologi komunisme.
Misalnya saja pada Pada bulan September 1971, Kodam VIIDiponegoro menyenponsori pendirian group Kethoprak Sapta Mandala. Selain itu, ada pula
Wringin Mataram yang dikendalikan oleh Korem 0357.
69
Anggota kedua kelompok kethoprak bentukan militer tersebut, sebagian besar diisi oleh para
seniman kethoprak yang berasal dari kelompok “Budi Rahayu” dan “Dahono Mataram”. Keduanya merupakan kelompok kethoprak yang lolos dari proses
“pembersihan” Orde Baru. Keberadaan kelompok kethoprak di masa Orde Baru, mengalami pengawasan yang sangat ketat. Bukan hanya karena kesenian ini
sangat dekat dengan sejarah komunisme di negara ini, akan tetapi karena kethoprak disadari dapat menjadi mesin politik yang sangat dekat dengan rakyat.
Program pemerintahan Orde Baru, khususnya yang berkaitan dengan kesenian, diarahkan untuk mendukung ketertiban dan pembangunan nasional.
Maka pada masa itu kita tidak asing dengan program pembinaan kesenian. Kethoprak pada Orde baru juga hadir sebagai media pendidikan dan kampanye
dari beberapa lembaga pemerintah, salah satunya di bawah naungan Departemen
69
http:www.kompasiana.comisharyantosapta-mandala-dalam- kenangan_552befb16ea83486688b45aa diakses: 27 Agustus 2015
77
Penerangan.
70
Seniman dan kelompok kethoprak tersebut mendapat perlakukan khusus dari militer dan instansi yang menaunginya. Karena mereka ikut andil
dalam penyebarluasan program pemerintah dikala itu. Semisal kampanye hidup sehat, program keluarga berencana, penataran Pancasila, hingga perayaan hari-
hari besar nasional.
71
Menurut Barbara Hatley, pemerintah Orde Baru pada masa itu lebih fokus pada kerja-kerja untuk penyediaan fasilitas, dana dan penyelenggaraan
pertunjukan-pertunjukan besar. Namun hanya pertunjukan tertentu lah yang dapat dipentaskan, yaitu jenis pertunjukan resmi, berbau seni tradisi dan bermuatan
nilai-nilai yang mendukung program pembangunan pemerintah. Sedangkan unsur- unsur yang danggap liar, kasar, ataupun berpotensi mengkritik kebijakan
pemerintahan akan disingkirkan ataupun disensor dengan ketat.
72
Hampir mirip nasibnya dengan jathilan atau kuda lumping.
Pada masa Orde Baru, Budi Susanto SJ menuliskan bahwa sesungguhnya kajian mengenai kesenian tradisi di Indonesia menanggung beban ganda. Pertama,
karena para elit pejabat pemerintah menganggap bahwa kesenian tersebut sama sekali tidak mencerminkan keagungan negara di masa lalu. Kedua, karena
kesenian itu dianggap sebagai pertunjukan yang tidak halus, sehingga dinilai tidak dapat memberi sumbangan yang efektif bagi program modernisasi pembangunan
yang digalakkan oleh pemerintah.
73
Jadi tidak mengherankan bila jathilan, kethoprak atau kesenian tradisi lainnya, mengalami transformasi yang berbeda
70
Dr. I Made Bandem dan Sal Murgiyanto, 1996, Teater Daerah Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, hal. 32
71
Mahandis Y. ThamrinNGI http:nationalgeographic.co.idberita201304ketoprak-jawa- pernah-dibunuh-dua-kali diunduh: 27 Agustus 2015
72
Barbara Hatley, 2014, Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta, hal .4
73
Budi Susanto, 1997, Ketoprak: The Politics of The Past in the Present- Day Java, hal. 11
78
dari bentuk sebelumnya. Demi memenuhi standar kehalusan, ketertiban dan fungsi sebagai perpanjangan tangan rejim.
Tekanan yang dialami oleh komunitas-komunitas kesenian kethoprak, telah memampatkan fungsi pendidikan politik yang sebelumnya telah
diembannya. Di bawah pengawasan yang ketat dari militer dan institusi pemerintahan di masa itu, komunitas-komunitas tersebut tidak dapat bergerak
secara bebas untuk melakukan kritik politik. Selain itu, dengan diposisikannya kethoprak sebagai media penanam doktrin, menjauhkannya dari benturan-
benturan kepentingan politik. Disadari atau tidak, kesenian kethoprak pada saat itu telah didepolitisasi oleh rejim Orde Baru. Posisi politisnya dibunuh, karena
kekuatan dan afiliasinya di masa lalu. Tarikan paling jelas mengenai penggambaran kontestasi politik dalam
pementasan kethoprak adalah dalam pelakonan naskah tokoh Ki Ageng Mangir. Tokoh Ki Ageng Mangir pada masa Orde Lama seringkali dipentaskan dan
menjadi sosok pahlawan. Sosok Ki Ageng Mangir digambarkan berani melawan kekuasaan sang raja Mataram, Panembahan Senopati. Sedangkan pada masa Orde
Baru, sudut pandang itu dibalik. Bila sebelumnya tokoh Ki Ageng Mangir dijadikah tokoh pahlawan, tidak berlaku pada mas Orde Lama. Ki Ageng Mangir
berubah menjadi tokoh jahat karena pemberontakannya. Sedangkan sang raja Mataram Panembahan Senopati, berganti menjadi sosok pahlawan. Ilustrasi
implisit tersebut mewakili kondisi perubahan ideologi politik dan penguasa Indonesia pada kedua masa itu.
74
74
www.nationalgeographic.co.idberita201304ketoprak-jawa-pernah-dibunuh-dua-kali diakses:27 Agustus 2015
79
Lantas kala reformasi telah direngkuh, posisi kethoprak sempat mengalami kondisi sepi. Sepinya pementasan kethoprak tidak hanya dikarenakan perubahan
iklim politik di Indonesia. Akan tetapi juga karena dampak modernitas di kalangan masyarakat, khusunya masyarakat Jawa. Munculnya alternatif hiburan
melalui radio, televisi dan internet, ternyata dapat menggilas minat masyarakat untuk menonton pertunjukan kethoprak secara langsung. Beberapa komunitas
kethoprak terpaksa menghentikan pertunjukan regularnya, karena tidak lagi mampu untuk membiayai produksi yang jumlahnya tidak sedikit.
Dengan kondisi yang tidak terlalu stabil untuk terus berkesenian, beberapa komunitas kethoprak hanya mengandalkan undangan untuk acara-acara tertentu.
Dengan catatan, para seniman kethoprak tidak sepenuhnya menggantungkan hidupnya padanya. Tapi nyatanya kethoprak masih tetap memiliki nafas panjang.
Ada saja cara kethoprak untuk dapat bisa bertahan dan hidup lama. Seperti ilustrasi awal yang sempat saya berikan pada sub bab ini, pada kisaran tahun
2000an, kethoprak mulai menunjukan geliatnya lagi. Atas semangat pelestarian kesenian tradisi, beberapa instansi dan organisasi terkait, kembali membangkitkan
kethoprak dari kematiannya yang kesekian kali. Seniman kethoprak pun kian membenahi diri dengan format kethoprak yang makin mutakhir, mereka memutar
otak agar pengalaman di masa lalu tidak terulang kembali. Perbaikan semua elemen penetasan di lakukan, promosi gencar dilakukan dan regenasi terus
digalakkan.
75
Kini kita dengan mudahnya menonton kethoprak Mataram konvensional, yang rutin dipentaskan di auditorium RRI, yang terletak di jalan Gejayan
75
Berdasar hasil wawancara dengan Bondan Nusantara, Ari Purnomo dan Herwiyanto.