Pengantar KETHOPRAK YANG BERBICARA BUKAN DI PANGGUNG

90 Setelah cukup lama hidup dan bertahan dalam format pertunjukan di tempat terbuka semenjak tahun 1887-1908, pertunjukan ini kemudian mulai dilirik sebagai pertunjukan yang potensial untuk dikembangkan. R.M.T. Wreksadiningrat lah yang memiliki ketertarikan untuk membawa dan mempertunjukan kethoprak ini secara serius di halaman rumahnya. Pada tahun 1908, Wreksadiningrat bersama dengan Ki Wisangkara dan Mbok Gendra, membuat pertunjukan kethoprak yang dapat ditonton oleh siapa saja, tanpa dipungut biaya. Sepeninggal Wreksadiningrat, Ki Wisangkara lah yang melanjutkan Kethoprak Wreksatama. Selain Wreksatama, muncul pula kelompok kethoprak Krida Madya Utama pada tahun 1925. Ki Jagatrunarsa merupakan tokoh di balik kelompok itu. Ia mengemas pertunjukan kethoprak dengan lebih serius. Ki Jagatrunarsa mementaskannya di gedung pertunjukan, dari pasar malam di daerah Klaten, ke Prambanan, dan selanjutnya ke Yogyakarta. 81 Dengan masuknya kethoprak Krida Madya Utama ke Yogyakarta, maka dimulailah era baru bagi kethoprak yang tumbuh di Yogyakarta, yaitu kethoprak Mataram. Kethoprak ini kembali melakukan pertunjukannya di halaman rumah para bangsawan, seperti pada masa Wreksadiningrat. Pada masa Ki Jagatrunarsa, kethoprak tidak hanya diiringi oleh alunan irama dari lesung, akan tetapi sudah mendapatkan tambahan alat musik gamelan, berupa saron, kempul dan gong. Bahkan alat musik yang dikenalkan oleh bangsa Belanda, semacam biola, mandolin dan gitar pun mulai digunakan dalam pertunjukan ini. Pada masa ketoprak Mataraman, lelaguan atau tembang yang sebelumnya sudah ada, dikembangkan lagi. Meskipun sudah mulai ditambahi dengan beberapa alat musik 81 Herry Lisbijanto, Kethoprak, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 5-9 91 yang diperkenalkan oleh bangsa Belanda, namun keberadaan alat musik gamelan, adalah keharusan bagi pertunjukan kethoprak. Kethoprak konvesional dari waktu ke waktu mengalami perubahan, karena kethoprak sendiri sangat terbuka pada hal-hal baru, meski masih memegang erat prinsip tradisi. Bila pada masa penjajahan Belanda, kethoprak sudah mengecap alat musik lainnya sebagai pengiring, namun pada masa kini, format tersebut tetap masuk dalam jenis kethoprak konvensional. Cirinya pun mulai sedikit bergeser. Bondan Nusantara, mengutarakan bahwa pada masa kini yang disebut sebagai kethoprak konvensional, memiliki ciri : a Tidak menggunakan skenario atau naskah penuh, b Dramatika lakon mengacu pada wayang kulit purwa, c Dialog bersifat improvisasi, d Akting dan bloking bersifat intuitif, e Tata busana dan tata rias realis, f Musik pengiring: gamelan Jawa slendro dan pelog, g Menggunakan keprak dan tembang, h Lama pertunjukan sekitar 6 jam atau lebih, dan i Tema cerita dan pengaluran bersifat lentur. 82 Seiring berjalannya waktu, ada kebutuhan untuk menyesuaikan pertunjukan kethoprak dengan perkembangan jaman. Pertimbangan mengenai mempertahankan format kethoprak dengan format awal, atau mengembangkannya sesuai dengan tuntutan jaman, menjadi perdebatan yang cukup alot. Sehingga lahirlah format kethoprak garapan, sebagai pengembangan dari kethoprak konvensional yang sudah ada sebelumnya. Bondan Nusantara menceritakan ihwal pencetusan awal keberadaan kethoprak garapan. Seingatnya, keputusan untuk mengembangkan kethoprak garapan terjadi dalam sebuah lokakarya kethoprak pada tahun 1974. Ia sangat ingat betapa sulitnya mengajak para seniman 82 Bondan Nusantara, seperti dikutip oleh AfendyWidayat, 1997, dalam Kethoprak: Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural, hal. 3