Rumusan Masalah Manfaat Penelitian Teori Perilaku

semakin sulit pengobatannya oleh karena resistensi terhadap OAT Obat Anti Tuberkulosis.

1.2. Rumusan Masalah

Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kegagalan pengobatan lini pertama pada pasien TB MDR di Poli DOTSMDR RSUP HAM?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian TB MDR di Poli DOTSMDR RSUP HAM.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengaruh faktor predisposisi terhadap kejadian TB MDR di Poli DOTSMDR RSUP HAM 2. Untuk mengetahui pengaruh faktor pendorong terhadap kejadian TB MDR di Poli DOTSMDR RSUP HAM 3. Untuk mengetahui pengaruh faktor pendukung terhadap kejadian TB MDR di Poli DOTSMDR RSUP HAM

1.4. Manfaat Penelitian

Data atau informasi hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi Poli DOTSMDR RSUP HAM dalam menanggulangi masalah kegagalan pengobatan lini pertama pada pasien TB MDR Universitas Sumatera Utara 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis Paru

2.1.1 Definsi

Tuberkulosis adalah penyakit radang parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sebanyak 80 dari infeksi bakteri ini menyerang organ paru, sedangkan 20 ekstrapulmonar Djojodibroto, 2012.

2.1.2 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien

Menurut Kemenkes RI 2011, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu: • Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru; • Bakteriologi hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis: BTA positif atau BTA negatif; • Riwayat pengobatan TB sebelumnya, pasien baru atau sudah pernah diobati • Status HIVHuman Immunodeficiency Virus pasien. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat. Saat ini sudah tidak dimasukkan dalam penentuan definisi kasus. a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena 1 Tuberkulosis paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan parenkim paru, tidak termasuk pleura selaput paru dan kelenjar pada hilus. 2 Tuberkulosis ekstra paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lai Universitas Sumatera Utara b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis, terutama ditujukan pada TB Paru 1 Tuberkulosis paru BTA positif a Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPSSewaktu Pagi Sewaktu hasilnya BTA positif. b 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. c 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non-OATObat Anti Tuberkulosis. 2 Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. b Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberculosis. c Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien dengan HIV negatif. d Ditentukan dipertimbangkan oleh dokter untuk diberi pengobatan. c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu: 1 Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan 4 minggu. Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif 2 Kasus yang sebelumnya diobati a Kasus kambuh Relaps Universitas Sumatera Utara Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap didiagnosis kembali dengan BTA positif apusan atau kultur. b Kasus setelah putus obat Default Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. c Kasus setelah gagal Failure Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 3 Kasus Pindahan Transfer In Adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya. 4 Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang a Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya. b Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya. c Kembali diobati dengan BTA negatif.

2.1.3 Cara Penularan

TB ditularkan melalui udara secara langsung, yaitu melalui hubungan dekat antara penderita dengan orang yg tertular, misalnya berada di dalam satu ruangan kerja atau kamar tidur. Droplet yang mengandung basil TB yang keluar bersamaan dengan batuk, melayang di udara hingga kurang lebih dua jam, tergantung pada kualitas ventilasi ruangan. Jika droplet tersebut terhirup oleh orang yang sehat, droplet tersebut akan terdampar pada dinding sistem pernapasan. Droplet yang masuk memiliki ukuran yang berbeda-beda, droplet yang berukuran besar akan menetap di saluran pernapasan bagian atas, sedangkan droplet yang berukuran kecil akan masuk ke alveoli di lobus manapun; tidak ada predileksi lokasi terdamparnya droplet berukuran kecil Djojodibroto, 2012. Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Manifestasi Klinis

Gejala TB Paru bervariasi tergantung pada usia dan keadaan penderita saat terinfeksi. Gejala umum berupa demam dan malaise. Gejala demam bersifat hilang timbul, dimana timbul pada petang dan malam hari disertai dengan berkeringat. Demam ini mirip dengan demam yang disebabkan oleh influenza namun kadang-kadang dapat mencapai suhu 40°-41°C. Malaise yang terjadi dalam jangka waktu panjang berupa pegal-pegal, rasa lelah, anoreksia, nafsu makan berkurang, serta penurunan berat badan. Pada wanita dapat terjadi amenorea Djojodibroto, 2012. Gejala respiratorik berupa batuk kering ataupun batuk produktif merupakan gejala yang paling sering terjadi dan merupakan indikator yang sensitif untuk penyakit tuberkulosis paru aktif. Batuk ini sering bersifat persisten karena perkembangan penyakitnya lambat. Gejala sesak napas timbul jika terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus yang menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura, ekstensi radang parenkim atau miliar. Nyeri dada biasanya bersifat nyeri pleuritik karena terlibatnya pleura dalam proses penyakit. Hemoptisis mulai dari yang ringan sampai yang masif mungkin saja terjadi Djojodibroto, 2012.

2.1.5 Diagnosis

Seseorang didiagnosa menderita TB Paru jika ditemukannya kuman TB pada pemerikasaan dahak mikroskopis, yang merupakan program TB nasional dalam penegakan diagnosa utama. Pemeriksaan dahak dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu SPS, • S Sewaktu : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. • P Pagi : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Universitas Sumatera Utara • S Sewaktu : dahak dikumpulkan di Fasyankespada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Pemeriksaan biakan dilakukan untuk menegakkan diagnosa pada pasien tertentu, yaitu pasien TB ekstra paru, pasien TB anak, pasien TB BTA negatif. Pada pasien dengan HIVAIDS Acquired Immunodeficiency Syndrome, diagnosis TB Paru ditegakkan dengan sebagai berikut, • TB Paru BTA Positif,yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif. • TB Paru BTA Negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran klinis dan radiologis mendukung TB atau BTA negatif dengan hasil kultur TB positif Kemenkes RI, 2011.

2.1.6 Pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip – prinsip, yaitu : • OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal monoterapi. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap OAT-KDT lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. • Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung DOT = Directly Observed Treatment oleh seorang Pengawas Menelan Obat PMO. • Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. - Tahap Awal Intensif Pada tahap intensif awal pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif konversi dalam 2 bulan. Universitas Sumatera Utara - Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistensehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia 1. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia: • Kategori 1 : 2HRZE4HR3. • Kategori 2 : 2HRZESHRZE5HR3E3. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan HRZE • Kategori Anak: 2HRZ4HR • Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu kanamisin, sapreomisin, levofloksasin, etionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol. 2. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap OAT-KDT. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. 3. Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniasid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan kontinuitas Universitas Sumatera Utara pengobatan sampai selesai. Satu 1 paket untuk satu 1 pasien dalam satu 1 masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: 1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. 2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep 3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien a. Paduan OAT lini pertama dan peruntukkannya 1. Kategori-1 2HRZE 4H3R3 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: - Pasien baru TB paru BTA positif. - Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif - Pasien TB ekstra paru Tabel 2.1 Dosis Paduan OAT KDT untuk Kategori 1 Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE 15075400275 Tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH 150150 30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT 38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT 55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2 Dosis Paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1 Tahap Pengobatan Lama Pengobatan Dosis per hari kali Jumlah harikali menelan obat Tablet Isoniazid 300 mg Kaplet Rifampisin 450 mg Tablet Pirazinamid 500 mg Tablet Etambutol 250 mg Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56 Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48 2. Kategori -2 2HRZES HRZE 5H3R3E3 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: • Pasien kambuh • Pasien gagal • Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat default Tabel 2.3 Dosis Paduan OAT KDT untuk Kategori 2 Berat Badan Tahap Intensif tiap hari RHZE 15075400275 + S Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH 150150 + E 400 Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu 30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg Streptomisin inj. 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol 38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg Streptomisin inj. 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol 55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT Universitas Sumatera Utara + 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol 71 kg 5 tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj. 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2 Tahap Pengob atan Lama Pengob atan Tablet Isoniazid 300 mgr Kaplet Rifamp isin 400 mgr Tablet Pirazin amid 500 mgr Etambutol Strept omisi n injeks i Jumlah harikal i menela n obat Tablet 250 mgr Tablet 400 mgr Tahap Intensif dosis harian 2 bulan 1 bulan 1 1 1 1 3 3 3 3 - - 0,75 gr - 56 28 Tahap Lanjuta n dosis 3x seming gu 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60 3. OAT Sisipan HRZE Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan 28 hari. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.5 Dosis Paduan KDT untuk Sisipan Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE 15075400275 30-37 kg 2 tablet 4KDT 38-54 kg 3 tablet 4KDT 55-70 kg 4 tablet 4KDT 71 kg 5 tablet 4KDT Tabel 2.6 Dosis Paduan Kombipak untuk Sisipan Tahap Pengobata n Lama Pengobatan Tablet Isoniazid 300 mg Kaplet Rifampisi n 450 mg Tablet Pirazinami d 500 mg Tablet Etambut ol 250 mg Jumlah harikal i menela n obat Tahap Intensif dosis harian 1 bulan 1 1 3 3 28 b. Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida misalnya kanamisin dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua. Universitas Sumatera Utara

2.1.7 Pemantauan dan Hasil Pengobatan

1. Pemantauan kemajuan pengobatan Semua pasien harus dipantau untuk menilai respon pengobatan. Pemantauan yang regular akan memfasilitasi pengobatan lengkap, identifikasi dan tata laksana reaksi obat tidak diinginkan. Semua pasien, PMO, dan tenaga kesehatan sebaiknya diminta untuk melaporkan gejala TB yang menetap atau muncul kembali, gejala efek samping OAT atau terhentinya pengobatan. Berat badan pasien harus dipantau setiap bulan dan dosis OAT disesuaikan dengan perubahan berat badan. Pemantauan kemajuan hasil pengobatan dilaksanakan pada akhir bulan kedua dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah LED tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali sewaktu dan pagi. Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Universitas Sumatera Utara Tindak lanjut hasil pemriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.7 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak Tipe Pasien TB Tahap Pengobatan Hasil Pemeriksaan Dahak Tindak Lanjut Pasien baru dengan pengobatan kategori 1 Akhir Intensif Negatif Tahap lanjutan dimulai. Positif Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif: - tahap lanjutan tetap diberikan. - jika memungkinkan, lakukanbiakan, tes resistensi atau rujuk kelayanan TB- MDR Pada bulan ke-5 pengobatan Negatif Pengobatan dilanjutkan Positif Pengobatan diganti dengan OAT Kategori 2 mulai dari awal. Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR Akhir Pengobatan AP Negatif Pengobatan dilanjutkan Positif Pengobatan diganti dengan OAT Kategori 2 mulai dari awal. Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR Universitas Sumatera Utara Pasien paru BTA positif dengan pengobatan ulang kategori 2 Akhir Intensif Negatif Teruskan pengobatan dengan tahap lanjutan. Positif Beri Sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, teruskan pengobatan tahap lanjutan. Jika setelah sisipan masih tetap positif: - tahap lanjutan tetap diberikan - jika memungkinkan, lakukanbiakan, tes resistensi atau rujuk kelayanan TB- MDR Pada bulan ke-5 pengobatan Negatif Pengobatan diselesaikan Positif Pengobatan dihentikan , rujuk ke layanan TB- MDR Akhir Pengobatan AP Negatif Pengobatan diselesaikan Positif Pengobatan dihentikan , rujuk ke layanan TB-MDR Pengobatan dihentikan , rujuk ke layanan TB-MDR Pengobatan dihentikan , rujuk ke layanan TB-MDR Universitas Sumatera Utara Apusan dahak BTA positif pada akhir fase intensif mengindikasikan beberapa hal berikut ini: - Supervisis kurang baik pada fase inisial dan ketaatan pasien yang buruk. - Kualitas OAT buruk. - Dosis OAT dibawah kisaran yang direkomendasikan. - Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah kuman yang banyak. - Terdapat komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau respons terhadapn terapi OAT lini pertama 2. Tatalaksana Pasien yang Berobat Tidak Teratur Tabel 2.8 Tatalaksana Pasien yang Berobat Tidak Teratur Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan: - Lacak pasien - Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur - Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan: Tindakan-1 Tindakan-2 - Lacak pasien - Diskusikan dan cari masalah - Periksa 3 kalidahak SPS dan lanjutkan pengobatan sementara menunggu hasilnya Bila hasil BTA negatif atau Tb extra paru: Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai Bila satu atau lebih hasil BTA positif Lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai Lama pengobatan sebelumnya lebih dari 5 bulan Kategori-1: Mulai kategori-2 Kategori-2: rujuk, mungkin kasus TB resistan obat. Universitas Sumatera Utara Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih 2 bulan Default - Periksa 3 kali dahak SPS - Diskusikan dan cari masalah - Hentikan pengobatan sambil menunggu hasil pemeriksaan dahak. Bila hasil BTA negatif atau Tb extra paru: Pengobatan dihentikan, pasien diobservasi bila gejalanya semakin parah perlu dilakukan pemeriksaan kembali SPS dan atau biakan Bila satu atau lebih hasil BTA positif Kategori-1 Mulai kategori-2 Kategori-2 Rujuk, kasus TB resistan obat. 3. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif • Sembuh Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang follow-up hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya. • Pengobatan Lengkap Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya. • Meninggal Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. • Putus berobat Default Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. • Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. • Pindah Transfer out Adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan register lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. Universitas Sumatera Utara • Keberhasilan pengobatan Treatment success Jumlah yang sembuh dan pengobatan lengkap. Digunakan pada pasien dengan BTA + atau biakan positifKemenkes RI, 2011.

2.1.8 Strategi DOTS

Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD International Union Against Turberculosis and Lung Disease mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS Directly Observed Treatment Short-course. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu: 1 Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan. 2 Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. 3 Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien. 4 Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif. 5 Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif cost- efective. Di Indonesia, strategi DOTS pertama kali dilakukan uji coba pada tahun 1995 dan kemudian diimplementasikan secara luas dalam sistim pelayanan kesehatan dasar. Fokus saat ini adalah meningkatkan cakupan DOTS ke seluruh penyedia pelayanan kesehatan di Indonesia disertai peningkatan mutu pelayanan. Langkah awal dengan memperkuat jejaring puskesmas, lalu strategi inovasi lainnya seperti perencanan spesifik daerah dalam upaya menjangkau populasi yang sulit mendapatkan akses pelayanan akibat sosial ekonomi maupun geografis, keterlibatan Rumah Sakit Hospital DOTS Lingkage, TB pada anak, Universitas Sumatera Utara TB di rumah tahananlembaga pemasyarakatan, penanganan kasus resisten serta penanganan koinfeksi TB-HIV.

2.2. TB MDR Multidrugs Resistant Tuberculosis

2.2.1. Definisi TB MDR

Kebal obat atau resistensi terhadap obat berarti kuman TB Mycobacterium tuberculosis tidak dapat lagi dibunuh oleh OAT yang dipakai saat ini. Resistensi ini dimulai dari yang sederhana yaitu mono resistan sampai dengan Multidrugs Resistant MDR dan eXtensive Drugs Resistant XDR.Secara umum resitensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi : a. Resisten primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan b. Resisten initial ialah apabila tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah c. Resisten sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan Kemenkes RI, 2013. Saat ini menurut WHO Indonesia menduduki peringkat ke delapan dari 27 negara dengan jumlah kasus MDR tertinggi. Survey resistensi OAT di provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa angka TB MDR pada pasien yang belum pernah mendapat pengobatan OAT sebelumnya sekitar 2 dan sekitar 16 bagi yang pernah mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya. Faktor utama penyebab terjadinya resistensi kuman terhadap OAT adalah ulah manusia, baik penyedia layanan, pasien, maupun programsistem layanan kesehatan yang berakibat terhadap tatalaksana pengobatan pasien TB yang tidak sesuai dengan standar dan mutu yang ditetapkan.

2.2.2. Suspek TB MDR

Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dengan salah satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini: 1. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 kasus kronik Universitas Sumatera Utara 2. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2. 3. Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di Fasyankes Non DOTS. 4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1. 5. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan. 6. Pasien TB kambuh. 7. Pasien TB yang kembali berobat setelai lalaidefault. 8. Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR 9. ODHA Orang Dengan HIVAIDS dengan gejala TB-HIVKemenkes RI, 2013.

2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya TB MDR

Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDR akan menyebabkan lebih banyak OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis. Kegagalan ini bukan hanya merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. TB resistensi OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menyebabkan terjadinya penularan dari pasien TB-MDR ke.orang lain masyarakat. Faktor penyebab resitensi OAT terhadap kuman M. tuberculosis antara lain : 1. Faktor Mikrobiologik - Resisten yang natural - Resisten yang didapat - Amplifier effect - Virulensi kuman - Tertular galur kuman –MDR 2. Faktor Klinik a. Penyelenggara kesehatan - Keterlambatan diagnosis - Pengobatan tidak mengikuti guideline - Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat Universitas Sumatera Utara resitensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan misal rifampisin atau INH - Tidak ada guideline - Tidak ada kurangnya pelatihan TB - Tidak ada pemantauan pengobatan - Fenomena addition syndromeyaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan yang pertama maka ”penambahan” 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten. - Organisasi program nasional TB yang kurang baik b. Obat - Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien - Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan komplit atau sampai selesai gagal - Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada diare - Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang - Regimen dosis obat yang tidak tepat - Harga obat yang tidak terjangkau - Pengadaan obat terputus c. Pasien - PMO tidak ada kurang baik - Kurangnya informasi atau penyuluhan - Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll - Efek samping obat - Sarana dan prasarana transportasi sulit tidak ada - Masalah sosial - Gangguan penyerapan obat Universitas Sumatera Utara 3. Program - Tidak ada fasilitsa untuk biakan dan uji kepekaan - Amplifier effect - Tidak ada program DOTS-Plus - Program DOTS belum berjalan dengan baik - Memerlukan biaya yang besar 4. Faktor HIV-AIDS - Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar - Gangguan penyerapan - Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar 5. Faktor Kuman Kuman M. tuberculosis super strains - Sangat virulen - Daya tahan hidup lebih tinggi - Berhubungan dengan TB-MDR

2.2.4. Diagnosis TB MDR

Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberculosis. Semua suspek TB MDR diperiksa dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus dahak pagi hari. Uji kepekaan M.tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi untuk uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TB MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian TB Nasional Kemenkes RI, 2011.

2.3. Teori Perilaku

Perilaku adalah semua aktivitas atau kegiatan manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut Skiner dalam Notoatmodjo 2003, perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut terori “S-O-R” atau Stimulus Organisme Universitas Sumatera Utara Respons. Skiner membedakan adanya 2 respons, yaitu Respondent Respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan stimulus tertentu atau disebut juga eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap dan Operant Respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsangan tertentu yang disebut juga sebagai reinforcing stimulation atau reinforcer karena memperkuat respons, dimana sebagian besar perilaku manusia adalah operant response. Berdasarkan bentuk respons terhadap stimulus, perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu 1. Perilaku tertutup covert behavior Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tertutup covert. Respons ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuankesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 2. Perilaku terbuka overt behavior Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata dan terbuka. Respons ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Pemberian respons sangat bergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari individu yang bersangkutan. Hal ini berarti meskipun diberikan stimulus yang sama pada beberapa individu, namun respons dari tiap-tiap individu akan berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. 2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang. Universitas Sumatera Utara Beberapa teori yang mengungkap determinan perilaku dari analisis faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, salah satunya adalah teori Lawrence Green 1980. • Teori Lawrence Green Green menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku behaviour causes dan faktor diluar perilaku non- behaviour causes. Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor. a. Faktor-faktor predisposisi predisposing factors, yang terwujud dalam pengetahuan,, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya. b. Faktor-faktor pendukung enabling factors, yang terwujud dalam lingkungan fisik, tesedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya. c. Faktor-faktor pendorong reinforcing factors yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan

Dokumen yang terkait

Faktor-faktor yang Memperngaruhi Kegagalan Pengobatan Lini Pertama pada Pasien TB MDR di Poli DOTS/MDR RSUP HAM Medan

4 44 118

Karakteristik Penyakit Hepatitis B Kronik pada Pasien Rawat Jalan di RSUP HAM Medan pada Januari 2012 sampai Desember 2013

12 96 61

Faktor yang Berhubungan dengan Gagal Konversi Pasien TB Paru Kategori I pada Akhir Pengobatan Fase Intensif di Kota Medan

14 102 133

Studi Kasus Mycobacterium Tuberculosis yang resisten Terhadap Antibiotik Lini Pertama pada Pasien Tuberkulosis di RSUP Fatmawati

1 30 91

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan TB paru dan MDR TB di Indonesia - Perbandingan Nilai Neutrofil Limfosit Rasio (NLR) pada Pasien Tuberkulosis Paru dan Multi-Drug Resistant (MDR) TB di RSUP H. Adam Malik Medan

1 4 56

Faktor-faktor yang Memperngaruhi Kegagalan Pengobatan Lini Pertama pada Pasien TB MDR di Poli DOTS/MDR RSUP HAM Medan

0 0 31

LEMBAR PENGESAHAN Faktor-faktor yang Memperngaruhi Kegagalan Pengobatan Lini Pertama pada Pasien TB MDR di Poli DOTSMDR RSUP HAM Medan NAMA : Dhiyanisa Nadhira L NIM : 100100167 Pembimbing Penguji I

0 0 15

Cara kerja penelitian ‘Faktor yang Berhubungan dengan Gagal Konversi Pasien TB Paru Kategori I pada Akhir Pengobatan Fase Intensif di Kota Medan’

0 0 33

Faktor yang Berhubungan dengan Gagal Konversi Pasien TB Paru Kategori I pada Akhir Pengobatan Fase Intensif di Kota Medan

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian - Faktor yang Berhubungan dengan Gagal Konversi Pasien TB Paru Kategori I pada Akhir Pengobatan Fase Intensif di Kota Medan

0 0 6