The Jaksa Position Jalan Palatehan
143
Secara eksplisit, Santema telah memberikan sebuah deskripsi mengenai hal mistik yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, sihir yang dipercaya oleh
masyarakat Indonesia telah membuat Santema dalam mengalami kemenduaan, antara ingin mempercayai dan menyangkal. Namun demikian, Santema sebagai seseorang yang
berasal dari Eropa, telah mengalami ambivalensi saat di Indonesia. Hal ini dapat dicermati ketika Santema berupaya mengajak para pembaca artikelnya untuk berharap agar sihir
Indonesia dapat bekerja untuk menjaga suatu benda peninggalan suci. Dengan demikian, kondisi yang dialami oleh Santema melalui artikel ini adalah sebuah pencarian diri di
dalam ruang antara in between, karenanya ia berada pada sikap ambivalen.
b. East is West, and West is, Well...
43
Pada artikel ini Dachlan Cartwright mengawali tulisannya dengan mengutip beberapa kalimat dari seri novel Athony Burgess, The Long Day Wanes alias The Malayan
Trilogy. Novel yang berlatar di Malaysia ini sengaja dipilih oleh Cartwright untuk mencoba memberikan deskripsi kepada para pembaca tentang Timur dihadapan Barat.
Oleh karena itu, beberapa kalimat dari novel pertama dari trilogi karya Burgess, Time for a Tiger, disajikan kembali oleh Cartwright sebagai berikut:
‘East? They wouldn’t know the East if they saw it…That’s where the East is, there,’ he waved his hand wildly into the black night. ‘Out there, west. You wasn’t there,
so you wouldn’t know. Now I was. Palestine Police from the end of the war until we packed up. That was the East. You was in India, and that’s not the East any more
than this is…’ ”
Berdasarkan kutipan di atas, Timur menjadi sebuah pertanyaan. Timur tidak diketahui. Sementara itu, barat tidak dipertanyakan. Timur berada diluar barat. Dalam hal
ini Timur menjadi subjek Timur menggunakan huruf ‘T’ besar, sedangkan barat hanya menjadi penunjuk arah barat menggunakan huruf ‘b’ kecil. Dengan demikian, terdapat
43
Jakarta Expat 74
th
Edition, p.6.Written by Dachlan Cartwright. He is a retired teacher and librarian from Bandung Institute of Technology.
144
kontradiksi mengenai Timur sebagai subjek, dan barat sebagai sebuah arah. Kontradiksi ini pun semakin ditegaskan oleh Cartwright dengan memberi contoh sebagai berikut:
This illustrates the contradiction between cultural perception and geography, which places Australia and New Zealand, far to the “East of Suez”, in the “West”, and
southwest Asian countries, and, until recently, even North African countries as far west as Morocco, in the “Near” or “Middle” “East.”
Dalam hal ini yang hendak disampaikan oleh Cartwright adalah kontradiksi antara persepsi budaya dan geografi. Secara geografi, ia memberikan contoh seperti Australia dan
Selandia Baru, jauh ke “Timur dari Suez”, di “Barat”, dan negara-negara Asia barat daya, dan, sampai saat ini, bahkan negara-negara Afrika utara sejauh barat Maroko, di “Dekat”
atau “Tengah” “Timur”. Dengan demikian, terdapat pembedaan antara “Timur” sebagai sebuah subjek dengan “timur” sebagai penanda arah, yang mana dalam geografi dikenal
delapan arah mata angin, seperti, utara, timur laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, dan barat. Sementara itu, kontradiksi dalam persepsi budaya dipaparkan Cartwright sebagai
berikut:
Traditionally, the “West” was seen as thrusting, rationalist, materialistic and technically superior, whereas the “East” was timeless, spiritual, exotically mystical,
and technically backward.
Di sini, Cartwright menjelaskan bahwa secara tradisional, Barat dipandang sebagai memberi dorongan, rasionalis, materialistis dan lebih unggul, sedangkan Timur
adalah abadi, spiritual, mistik yang eksotis, dan terbelakang. Jelas bahwa pembedaan dalam persepsi budaya antara Barat dan Timur ini bukan berdasarkan posisi geografis,
melainkan pada persoalan karakterisasi. Sayangnya, pada tulisan ini, Cartwright tidak menyinggung asal muasal kontruksi mengenai kontradiksi persepsi budaya yang telah
memiliki karakter masing-masing. Padahal, karakter Barat dan Timur merupakan hasil suatu konstruksi. Dalam perspektif kolonialisme, kontruksi persepsi budaya antara Barat
145
dan Timur adalah mekanisme yang telah dibuat oleh Barat. Hal ini dapat diketahui melalui sebuah kajian ilmu Orientalisme yang telah diproduksi oleh Barat di masa kolonial.
Demi upaya menegaskan kembali tentang Timur, Cartwright pun mengambil sebuah contoh lain tentang peristiwa perayaan Tahun Baru 2000, dimana saat sekelompok
pelajar dari Bandung Internasional School sedang berlibur di Bali. Dideskripsikan bahwa para pelajar bangun pagi-pagi dan berlari ke Pantai Kuta untuk menyaksikan matahari
terbit di milenium baru. Namun setelah beberapa saat dan menyadari tidak juga melihat adanya matahari, salah seorang pelajar jenius menyadari bahwa Pantai Kuta ternyata
menghadap ke barat. Dari contoh ini, Cartwright pun memberikan sebuah pandangan dengan mengatakan bahwa bisa saja agar adil, para pelajar membuat pernyataan antar
budaya, seperti pemahaman di sekolah mereka, bahwa antara Timur dan Barat memiliki perbedaan makna yang sedikit, atau para pelajar bisa saja lebih mengatakan
sebagai Millennially Apocalypse, yang mana dalam eskatologi Islam dipercaya sebagai salah satu tanda dari akhir dunia matahari akan terbit di barat.
44
Tidak cukup dengan beberapa contoh di atas, selanjutnya Cartwright pun mencoba untuk memperkenalkan teks dari The Ballad of East and West, puisi dari Robert Kipling.
Pada artikel ini, Cartwright menyajikan teks Kipling untuk mendeskripsikan Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat, sehingga Timur dan Barat tidak pernah bertemu, hingga
bumi dan langit dihadapkan pada kiamat sebagai hari penghakiman Tuhan. Tapi, tidak ada
44
“At New Year in 2000, a group of Bandung International School students, holidaying in Bali, rose early and jogged to Kuta Beach to watch the sun rise on the new millennium. Yes, Kuta Beach… After a while,
and no sun, one of these expensively educated geniuses realized that Kuta faces west. To be fair, they could have been making an intercultural statement. They could have been saying that, in our school, the difference
between “east” and “west” has little significance. Or they could have been even more millennially apocalyptical. In Islamic eschatology, one of the signs of the end of the world in that the sun will rise in the
west...”
146
batasan antara Timur maupun Barat, baik dari keturunan maupun kelahiran, ketika dua orang berdiri saling berhadapan saat akhir dunia datang.
45
Namun demikian, setelah Cartwright menyajikan persepsi budaya dan geografi antara Barat dan Timur, ia pun mencoba mengajak para pembaca Majalah JE untuk keluar
dari konteks persepsi budaya dan menjalankan misi untuk mengambil dan memadukan yang terbaik dari Timur dan Barat agar dapat menjadi toleran, hormat dan memiliki rasa
budaya global. Kecuali jika semua hal dibalik. Oleh karena itu, Cartwright merujuk kembali pada peristiwa milenium sebelumnya, yang mana para pencari dan peziarah,
termasuk tokoh-tokoh seperti Paracelsus, Blavatsky, Gurdjieff, Ouspensky, dan Husein Rofe telah membuat ‘Journey to the East’ untuk mencari kebajikan di Asia yang bisa
menerangi mereka tentang arti kehidupan.
46
Pada artikel ini, dapat dipahami bahwa Cartwright sebagai orang Barat menyadari keberadaan dirinya yang sedang berada di Timur. Meskipun Carthwright secara sengaja
mengangkat kembali tema binerisme terkait dengan Barat dan Timur, namun penegasan atas oposisi biner yang ia sampaikan tentunya telah mengantarkan para pembaca untuk
mengingatkan atau menegaskan kembali bahwa Indonesia adalah Timur. Sementara itu, terlepas dari persoalan binerisme, Cartwright mengakui kondisi pasca-kolonial di
Indonesia. Karenanya ia pun berani untuk mengajak para pembaca artikelnya guna mengambil dan memadukan yang terbaik dari Timur dan Barat. Dengan kata lain, melalui
sebuah artikel ini, Cartwright berupaya mengajak para pembaca Majalah JE, yakni para
45
“Oh, East is East, and West is West, and never the twain shall meet, Till Earth and Sky stand presently at God’s great Judgment Seat; But there is neither East nor West, Border, nor Breed, nor Birth, When two
strong men stand face to face, tho’ they come from the ends of the earth”
46
“So let’s not take the first line out of context, and surely our mission, including the “strong men and women” who read Jakarta Expat, is to take and blend the best of “East” and “West” into a tolerant,
respectful and flavor some global culture. Unless the whole thing gets reversed. Over the previous millennium, a host of seekers and pilgrims, including figures like Paracelsus, Blavatsky, Gurdjieff,
Ouspensky and Husein Rofe, made the ‘Journey to the East’, seeking in Asia sages who could enlighten them on the meaning of life.”
147
ekspatriat untuk melakukan suatu proses hibriditas antara Barat dengan Timur di dalam masyarakat Indonesia.
C.2.4. Culture: a. Islam in The Netherlands East Indies
47
Melalui artikel ini, Hans Rooseboom berupaya untuk memaparkan kisah mengenai Islam di masa Hindia Belanda. Rooseboom mengawali artikel ini dengan menuliskan
bahwa penyebaran Islam di Indonesia datang melalui sepanjang rute perdagangan kuno, yakni Malabar dan Coromandel, yang mana terletak di sekitar pesisir barat daya dan
tenggara India, sekitar jalur perdagangan kuno. Dimana kedua daerah ini telah menjadi pusat penting bagi perdagangan yang menghubungkan wilayah Asia Timur dengan Timur
Tengah dan Eropa. Serupa dengan penyebaran agama Hindu, yang mana pada beberapa abad sebelumnya telah dibawa ke Indonesia dengan jalur perdagangan kuno yang sama,
Islam telah diperkenalkan ke Nusantara oleh para pedagang dari bagian India.
48
Berdasarkan uraian di atas, Rooseboom telah berlaku anakronik ketika ia memaparkan Islam datang ke Indonesia. Padahal kedatangan Islam pada saat itu adalah ke
kepulauan Nusantara, sedangkan konsep maupun nama Indonesia belum ada pada saat itu. Sementara itu, konsep Nusantara ini pun muncul atas ambisi Kerajaan Majapahit untuk
menyatukan kerajaan-kerajaan di luar Jawa. Oleh karena itu, konteks yang disampaikan oleh Rooseboom mengenai kehadiran Islam di Indonesia tidak ditempatkan pada
pemahaman waktu yang sesuai.
47
Jakarta Expat 96
th
Edition, p.14. Written by Hans Rooseboom. He is a long term resident of Jakarta.
48
“Islam came to Indonesia by way of Malabar and coromandel, the respectively south-western and south- eastern coasts of india, along the age-old trade routes. Both regions were important centres of trade, staging
posts so to speak, connecting the eastern Asian regions with the Middle East and Europe. Similar to the spread of Hinduism, which several centuries previously had been brought to Indonesia along the same trade
routes, Islam was introduced to the archipelago by traders from the Indian subcontinent.”
148
Selanjutnya, melalui artikel ini, Rooseboom menguraikan dua hal seputar Islam di masa kolonial Belanda, yakni, persoalan jumlah penduduk Muslim di Nusantara dan para
Jamaah Haji yang pergi ke Mekah. Mengenai persoalan jumlah penduduk Muslim di masa kolonial,
Rooseboom merujuk
pada data
sensus penduduk
tahun 1905
yang memperkirakan jumlah penduduk Nusantara berjumlah 37 juta, dimana sekitar 35 juta,
atau hanya di bawah 95 adalah Muslim, 29,6 juta terdapat di pulau Jawa, sedangkan sebanyak 5,4 juta berada di luar pulau Jawa.
49
Bagi Rooseboom, persoalan jumlah penduduk Islam ini memiliki hubungan dengan dinamika Jamaah Haji yang berangkat ke Mekah. Rooseboom menguraikan bahwa
pada tahun 1859 jumlah Jamaah Haji diperkirakan sekitar 2.000, tahun 1886 sebanyak 5.000, lalu meningkat menjadi sekitar 7.000 selama dekade berikutnya, hingga pada tahun
1914 jumlah Jamaah Haji dari Nusantara meningkat menjadi 28.000, bahkan ia pun melompat jauh hingga satu abad selanjutnya, yakni memberikan data mengenai Jamaah
Haji yang berangkat ke Mekah pada tahun 2012 berjumlah lebih dari 200.000.
50
Terkait dengan keberangkatan penduduk Muslim ke Mekah di masa kolonial, Rooseboom membuat sebuah kesimpulan bahwa para Jamaah Haji telah memberikan
pengaruh pada perubahan masyarakat. Kesimpulan ini berdasarkan pengamatan pada peristiwa di tahun 1917 mengenai kemunculan berbagai sikap intoleransi dan perselisihan
antar agama yang menjadi persoalan umum. Oleh karena itu, sikap intoleransi ini telah memperkuat kecemasan yang berkepanjangan di kalangan penduduk Eropa dan
pemerintah kolonial. Para Jamaah Haji yang telah pulang dari Mekah dicurigai berkomplot
49
“The population census of 1905 estimates the total population of the archipelago at 37 million, of which some 35 million, or just under 95, were Muslims—29.6m on java and 5.4m on the outer islands.”
50
“Whereas in 1859, the yearly number of pilgrims was estimated to be 2,000, the corresponding figure in 1886 was 5,000, increasing to some 7,000 during the following decade. In 1914 the number of pilgrims from
the archipelago had increased to 28,000, and the 2012 number was over 200,000.”
149
untuk melawan sistem politik Belanda dan menabur benih intoleransi serta fanatisme agama.
51
Melalui artikel ini Rooseboom ingin mengatakan bahwa terdapat korelasi antara meningkatnya jumlah haji di Indonesia dengan sikap intoleransi dan fanatisme di dalam
masyarakat kolonial Belanda. Dengan kata lain, Rooseboom menilai bahwa para Jamaah Haji telah terlibat menumbuhkan sikap intolerensi dan fanatisme di dalam kehidupan
masyarakat. Bahkan, melalui artikel ini, Rooseboom ingin memberikan suatu wacana mengenai Islam di masa kolonial, yakni sebagai sumber kekhawatiran bagi pemerintah
kolonial Belanda dan para penduduk Eropa. Dengan demikian, Islam di masa kolonial telah memberikan dinamika yang cukup signifikan terhadap kehidupan kolonial Belanda,
terutama pada awal abad ke-20.