The Jaksa Position Jalan Palatehan

143 Secara eksplisit, Santema telah memberikan sebuah deskripsi mengenai hal mistik yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, sihir yang dipercaya oleh masyarakat Indonesia telah membuat Santema dalam mengalami kemenduaan, antara ingin mempercayai dan menyangkal. Namun demikian, Santema sebagai seseorang yang berasal dari Eropa, telah mengalami ambivalensi saat di Indonesia. Hal ini dapat dicermati ketika Santema berupaya mengajak para pembaca artikelnya untuk berharap agar sihir Indonesia dapat bekerja untuk menjaga suatu benda peninggalan suci. Dengan demikian, kondisi yang dialami oleh Santema melalui artikel ini adalah sebuah pencarian diri di dalam ruang antara in between, karenanya ia berada pada sikap ambivalen. b. East is West, and West is, Well... 43 Pada artikel ini Dachlan Cartwright mengawali tulisannya dengan mengutip beberapa kalimat dari seri novel Athony Burgess, The Long Day Wanes alias The Malayan Trilogy. Novel yang berlatar di Malaysia ini sengaja dipilih oleh Cartwright untuk mencoba memberikan deskripsi kepada para pembaca tentang Timur dihadapan Barat. Oleh karena itu, beberapa kalimat dari novel pertama dari trilogi karya Burgess, Time for a Tiger, disajikan kembali oleh Cartwright sebagai berikut: ‘East? They wouldn’t know the East if they saw it…That’s where the East is, there,’ he waved his hand wildly into the black night. ‘Out there, west. You wasn’t there, so you wouldn’t know. Now I was. Palestine Police from the end of the war until we packed up. That was the East. You was in India, and that’s not the East any more than this is…’ ” Berdasarkan kutipan di atas, Timur menjadi sebuah pertanyaan. Timur tidak diketahui. Sementara itu, barat tidak dipertanyakan. Timur berada diluar barat. Dalam hal ini Timur menjadi subjek Timur menggunakan huruf ‘T’ besar, sedangkan barat hanya menjadi penunjuk arah barat menggunakan huruf ‘b’ kecil. Dengan demikian, terdapat 43 Jakarta Expat 74 th Edition, p.6.Written by Dachlan Cartwright. He is a retired teacher and librarian from Bandung Institute of Technology. 144 kontradiksi mengenai Timur sebagai subjek, dan barat sebagai sebuah arah. Kontradiksi ini pun semakin ditegaskan oleh Cartwright dengan memberi contoh sebagai berikut: This illustrates the contradiction between cultural perception and geography, which places Australia and New Zealand, far to the “East of Suez”, in the “West”, and southwest Asian countries, and, until recently, even North African countries as far west as Morocco, in the “Near” or “Middle” “East.” Dalam hal ini yang hendak disampaikan oleh Cartwright adalah kontradiksi antara persepsi budaya dan geografi. Secara geografi, ia memberikan contoh seperti Australia dan Selandia Baru, jauh ke “Timur dari Suez”, di “Barat”, dan negara-negara Asia barat daya, dan, sampai saat ini, bahkan negara-negara Afrika utara sejauh barat Maroko, di “Dekat” atau “Tengah” “Timur”. Dengan demikian, terdapat pembedaan antara “Timur” sebagai sebuah subjek dengan “timur” sebagai penanda arah, yang mana dalam geografi dikenal delapan arah mata angin, seperti, utara, timur laut, timur, tenggara, selatan, barat daya, dan barat. Sementara itu, kontradiksi dalam persepsi budaya dipaparkan Cartwright sebagai berikut: Traditionally, the “West” was seen as thrusting, rationalist, materialistic and technically superior, whereas the “East” was timeless, spiritual, exotically mystical, and technically backward. Di sini, Cartwright menjelaskan bahwa secara tradisional, Barat dipandang sebagai memberi dorongan, rasionalis, materialistis dan lebih unggul, sedangkan Timur adalah abadi, spiritual, mistik yang eksotis, dan terbelakang. Jelas bahwa pembedaan dalam persepsi budaya antara Barat dan Timur ini bukan berdasarkan posisi geografis, melainkan pada persoalan karakterisasi. Sayangnya, pada tulisan ini, Cartwright tidak menyinggung asal muasal kontruksi mengenai kontradiksi persepsi budaya yang telah memiliki karakter masing-masing. Padahal, karakter Barat dan Timur merupakan hasil suatu konstruksi. Dalam perspektif kolonialisme, kontruksi persepsi budaya antara Barat 145 dan Timur adalah mekanisme yang telah dibuat oleh Barat. Hal ini dapat diketahui melalui sebuah kajian ilmu Orientalisme yang telah diproduksi oleh Barat di masa kolonial. Demi upaya menegaskan kembali tentang Timur, Cartwright pun mengambil sebuah contoh lain tentang peristiwa perayaan Tahun Baru 2000, dimana saat sekelompok pelajar dari Bandung Internasional School sedang berlibur di Bali. Dideskripsikan bahwa para pelajar bangun pagi-pagi dan berlari ke Pantai Kuta untuk menyaksikan matahari terbit di milenium baru. Namun setelah beberapa saat dan menyadari tidak juga melihat adanya matahari, salah seorang pelajar jenius menyadari bahwa Pantai Kuta ternyata menghadap ke barat. Dari contoh ini, Cartwright pun memberikan sebuah pandangan dengan mengatakan bahwa bisa saja agar adil, para pelajar membuat pernyataan antar budaya, seperti pemahaman di sekolah mereka, bahwa antara Timur dan Barat memiliki perbedaan makna yang sedikit, atau para pelajar bisa saja lebih mengatakan sebagai Millennially Apocalypse, yang mana dalam eskatologi Islam dipercaya sebagai salah satu tanda dari akhir dunia matahari akan terbit di barat. 44 Tidak cukup dengan beberapa contoh di atas, selanjutnya Cartwright pun mencoba untuk memperkenalkan teks dari The Ballad of East and West, puisi dari Robert Kipling. Pada artikel ini, Cartwright menyajikan teks Kipling untuk mendeskripsikan Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat, sehingga Timur dan Barat tidak pernah bertemu, hingga bumi dan langit dihadapkan pada kiamat sebagai hari penghakiman Tuhan. Tapi, tidak ada 44 “At New Year in 2000, a group of Bandung International School students, holidaying in Bali, rose early and jogged to Kuta Beach to watch the sun rise on the new millennium. Yes, Kuta Beach… After a while, and no sun, one of these expensively educated geniuses realized that Kuta faces west. To be fair, they could have been making an intercultural statement. They could have been saying that, in our school, the difference between “east” and “west” has little significance. Or they could have been even more millennially apocalyptical. In Islamic eschatology, one of the signs of the end of the world in that the sun will rise in the west...” 146 batasan antara Timur maupun Barat, baik dari keturunan maupun kelahiran, ketika dua orang berdiri saling berhadapan saat akhir dunia datang. 45 Namun demikian, setelah Cartwright menyajikan persepsi budaya dan geografi antara Barat dan Timur, ia pun mencoba mengajak para pembaca Majalah JE untuk keluar dari konteks persepsi budaya dan menjalankan misi untuk mengambil dan memadukan yang terbaik dari Timur dan Barat agar dapat menjadi toleran, hormat dan memiliki rasa budaya global. Kecuali jika semua hal dibalik. Oleh karena itu, Cartwright merujuk kembali pada peristiwa milenium sebelumnya, yang mana para pencari dan peziarah, termasuk tokoh-tokoh seperti Paracelsus, Blavatsky, Gurdjieff, Ouspensky, dan Husein Rofe telah membuat ‘Journey to the East’ untuk mencari kebajikan di Asia yang bisa menerangi mereka tentang arti kehidupan. 46 Pada artikel ini, dapat dipahami bahwa Cartwright sebagai orang Barat menyadari keberadaan dirinya yang sedang berada di Timur. Meskipun Carthwright secara sengaja mengangkat kembali tema binerisme terkait dengan Barat dan Timur, namun penegasan atas oposisi biner yang ia sampaikan tentunya telah mengantarkan para pembaca untuk mengingatkan atau menegaskan kembali bahwa Indonesia adalah Timur. Sementara itu, terlepas dari persoalan binerisme, Cartwright mengakui kondisi pasca-kolonial di Indonesia. Karenanya ia pun berani untuk mengajak para pembaca artikelnya guna mengambil dan memadukan yang terbaik dari Timur dan Barat. Dengan kata lain, melalui sebuah artikel ini, Cartwright berupaya mengajak para pembaca Majalah JE, yakni para 45 “Oh, East is East, and West is West, and never the twain shall meet, Till Earth and Sky stand presently at God’s great Judgment Seat; But there is neither East nor West, Border, nor Breed, nor Birth, When two strong men stand face to face, tho’ they come from the ends of the earth” 46 “So let’s not take the first line out of context, and surely our mission, including the “strong men and women” who read Jakarta Expat, is to take and blend the best of “East” and “West” into a tolerant, respectful and flavor some global culture. Unless the whole thing gets reversed. Over the previous millennium, a host of seekers and pilgrims, including figures like Paracelsus, Blavatsky, Gurdjieff, Ouspensky and Husein Rofe, made the ‘Journey to the East’, seeking in Asia sages who could enlighten them on the meaning of life.” 147 ekspatriat untuk melakukan suatu proses hibriditas antara Barat dengan Timur di dalam masyarakat Indonesia. C.2.4. Culture: a. Islam in The Netherlands East Indies 47 Melalui artikel ini, Hans Rooseboom berupaya untuk memaparkan kisah mengenai Islam di masa Hindia Belanda. Rooseboom mengawali artikel ini dengan menuliskan bahwa penyebaran Islam di Indonesia datang melalui sepanjang rute perdagangan kuno, yakni Malabar dan Coromandel, yang mana terletak di sekitar pesisir barat daya dan tenggara India, sekitar jalur perdagangan kuno. Dimana kedua daerah ini telah menjadi pusat penting bagi perdagangan yang menghubungkan wilayah Asia Timur dengan Timur Tengah dan Eropa. Serupa dengan penyebaran agama Hindu, yang mana pada beberapa abad sebelumnya telah dibawa ke Indonesia dengan jalur perdagangan kuno yang sama, Islam telah diperkenalkan ke Nusantara oleh para pedagang dari bagian India. 48 Berdasarkan uraian di atas, Rooseboom telah berlaku anakronik ketika ia memaparkan Islam datang ke Indonesia. Padahal kedatangan Islam pada saat itu adalah ke kepulauan Nusantara, sedangkan konsep maupun nama Indonesia belum ada pada saat itu. Sementara itu, konsep Nusantara ini pun muncul atas ambisi Kerajaan Majapahit untuk menyatukan kerajaan-kerajaan di luar Jawa. Oleh karena itu, konteks yang disampaikan oleh Rooseboom mengenai kehadiran Islam di Indonesia tidak ditempatkan pada pemahaman waktu yang sesuai. 47 Jakarta Expat 96 th Edition, p.14. Written by Hans Rooseboom. He is a long term resident of Jakarta. 48 “Islam came to Indonesia by way of Malabar and coromandel, the respectively south-western and south- eastern coasts of india, along the age-old trade routes. Both regions were important centres of trade, staging posts so to speak, connecting the eastern Asian regions with the Middle East and Europe. Similar to the spread of Hinduism, which several centuries previously had been brought to Indonesia along the same trade routes, Islam was introduced to the archipelago by traders from the Indian subcontinent.” 148 Selanjutnya, melalui artikel ini, Rooseboom menguraikan dua hal seputar Islam di masa kolonial Belanda, yakni, persoalan jumlah penduduk Muslim di Nusantara dan para Jamaah Haji yang pergi ke Mekah. Mengenai persoalan jumlah penduduk Muslim di masa kolonial, Rooseboom merujuk pada data sensus penduduk tahun 1905 yang memperkirakan jumlah penduduk Nusantara berjumlah 37 juta, dimana sekitar 35 juta, atau hanya di bawah 95 adalah Muslim, 29,6 juta terdapat di pulau Jawa, sedangkan sebanyak 5,4 juta berada di luar pulau Jawa. 49 Bagi Rooseboom, persoalan jumlah penduduk Islam ini memiliki hubungan dengan dinamika Jamaah Haji yang berangkat ke Mekah. Rooseboom menguraikan bahwa pada tahun 1859 jumlah Jamaah Haji diperkirakan sekitar 2.000, tahun 1886 sebanyak 5.000, lalu meningkat menjadi sekitar 7.000 selama dekade berikutnya, hingga pada tahun 1914 jumlah Jamaah Haji dari Nusantara meningkat menjadi 28.000, bahkan ia pun melompat jauh hingga satu abad selanjutnya, yakni memberikan data mengenai Jamaah Haji yang berangkat ke Mekah pada tahun 2012 berjumlah lebih dari 200.000. 50 Terkait dengan keberangkatan penduduk Muslim ke Mekah di masa kolonial, Rooseboom membuat sebuah kesimpulan bahwa para Jamaah Haji telah memberikan pengaruh pada perubahan masyarakat. Kesimpulan ini berdasarkan pengamatan pada peristiwa di tahun 1917 mengenai kemunculan berbagai sikap intoleransi dan perselisihan antar agama yang menjadi persoalan umum. Oleh karena itu, sikap intoleransi ini telah memperkuat kecemasan yang berkepanjangan di kalangan penduduk Eropa dan pemerintah kolonial. Para Jamaah Haji yang telah pulang dari Mekah dicurigai berkomplot 49 “The population census of 1905 estimates the total population of the archipelago at 37 million, of which some 35 million, or just under 95, were Muslims—29.6m on java and 5.4m on the outer islands.” 50 “Whereas in 1859, the yearly number of pilgrims was estimated to be 2,000, the corresponding figure in 1886 was 5,000, increasing to some 7,000 during the following decade. In 1914 the number of pilgrims from the archipelago had increased to 28,000, and the 2012 number was over 200,000.” 149 untuk melawan sistem politik Belanda dan menabur benih intoleransi serta fanatisme agama. 51 Melalui artikel ini Rooseboom ingin mengatakan bahwa terdapat korelasi antara meningkatnya jumlah haji di Indonesia dengan sikap intoleransi dan fanatisme di dalam masyarakat kolonial Belanda. Dengan kata lain, Rooseboom menilai bahwa para Jamaah Haji telah terlibat menumbuhkan sikap intolerensi dan fanatisme di dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, melalui artikel ini, Rooseboom ingin memberikan suatu wacana mengenai Islam di masa kolonial, yakni sebagai sumber kekhawatiran bagi pemerintah kolonial Belanda dan para penduduk Eropa. Dengan demikian, Islam di masa kolonial telah memberikan dinamika yang cukup signifikan terhadap kehidupan kolonial Belanda, terutama pada awal abad ke-20.

b. Bandung Heritage Walk

52 Melalui artikel ini, Bob Holland menarasikan tulisannya dengan latar semasa kolonial. Secara tegas, ia pun secara langsung mengawali tulisannya dengan menyatakan bahwa semuanya dimulai pada awal 1800an ketika penjajahan Belanda, yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Daendels, memutuskan untuk membangun jalan di seluruh Jawa dan disebut sebagai Jalan Raya Pos, yang sebagian besar dibangun untuk tujuan pertahanan. Di samping itu, tujuan utama pembangunan jalan ini untuk membuka akses ke banyak daerah tertinggal di Jawa, termasuk lembah Bandung– yang sekarang menjadi tempat tinggal lebih dari sepuluh juta orang. 53 51 “These observations, dating from 1917, conclude with the remark that the reverse side of this change was that intolerance grew and religious strife became more common. This, in turn, strengthened the lingering anxiety among the European section of the population and the colonial government. Returning hajjis were suspected of plotting against the political system and sowing intolerance and fanaticism.” 52 Jakarta Expat 101 st Edition, p.6.Written by Bob Holland. 53 “It all started back in the early 1800s when Dutch colonialists, led by Governor General Daendels, decided to build a road across Java called the Grote Postweg, which was mainly constructed for defence purposes. This major undertaking opened up access to many underdeveloped areas of Java, including the Bandung Basin - now home to over ten million people.” 150 Berdasarkan teks di atas, Holland sebagai seorang ekspatriat telah berlaku mengagung-agungkan keunggulan kolonial. Dalam hal ini, kolonial Belanda dinilai telah berjasa dalam pembangunan jalan di pulau Jawa untuk membuka akses ke banyak daerah tertinggal. Sebaliknya, dengan dalih membuka akses maupun sebagai tujuan pertahanan, pada kenyataannya pembangunan Jalan Raya Pos yang dilakukan kolonial Belanda adalah untuk mempercepat dan memperlancar arus perpindahan barang dari pelosok daerah di Jawa ke pelabuhan di utara, yang mana selanjutnya akan dibawa oleh kolonial Belanda ke Eropa. Oleh karena itu, pada artikel ini Holland telah menyembunyikan wacana arus perdagangan di balik pembangunan jalan yang diprakarsai kolonial Belanda. Sementara itu, dalam narasi perjalanan Holland mengelilingi Kota Bandung, yang di mulai dari titik 0 km, di depan Hotel Savoy Homann, Jalan Asia Afrika, mengatakan bahwa Daendels telah memproklamirkan Bandung sebagai tempat yang akan dibentuk menjadi pusat layanan wisatawan sepanjang jalan trans Jawa. Bahkan, Holland pun memaparkan berbagai bangunan, seperti, Hotel Preanger yang dibangun pada tahun 1929 dirancang oleh seorang Arsitek Belanda kelahiran Jawa, yakni Wolff Schoemaker, yang kemudian menjadi pengajar di Bandoengsche Technische– sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung. Kemudian Holland memaparkan beberapa bangunan yang terkait dengan nama Schoemaker, seperti, di Jalan Braga terdapat gedung tua Majestic Cinema, yang sekarang telah menjadi Museum Konferensi Asia Afrika, dan Societeit Concordia Club House yang sekarang disebut sebagai Gedung Merdeka. 54 54 “Our walk started from the 0km marker, opposite the Savoy Homann on Jalan Asia Afrika. This landmark is where Daendels first proclaimed the place from which Bandung would be established as a new centre to service travellers along the Trans-Java road. Nearby is the Preanger Hotel, which was built in 1929 by a Java-born Dutch architect, Wolff Schoemaker, who went on to be lecturer at the Bandoengsche Technische - now the Bandung Institute of Technology.Our small tour group walked to other buildings close by, many of these also associated with Schoemaker’s name. On Jalan Braga we visited the old Majestic Cinema, now the Asian-African Conference Museum, and what used to be the Societeit Concordia Club House, now called Gedung Merdeka” 151 Holland pun kembali menekankan bahwa kota Bandung telah dibangun oleh kolonial Belanda, yakni Daendels, dan dimaksudkan sebagai sebuah pusat kota untuk melayani para wisatawan. Di samping itu, Holland juga memaparkan bahwa beberapa bangunan tua di kota Bandung, seperti Hotel Preanger, Musium KAA dan Gedung Merdeka, dibangun oleh seorang arsitek Belanda kelahiran Jawa, Wolff Schoemaker. Dalam hal ini, Holland telah berupaya untuk mengingatkan peran kolonial Belanda dalam membangun kota Bandung. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kolonial Belanda diposisikan sebagai pihak yang telah banyak membangun dan merubah kota Bandung, awal mula adalah sebuah lembah, dan kini telah menjadi sebuah kota metropolis. Dengan kata lain, Holland ingin berupaya menegaskan kembali keunggulan Belanda di masa kolonial. Lepas dari masa kolonial dan melaju ke masa pasca-kolonial, Holland memaparkan sebuah perjalanan bersama teman-temannya saat mengelilingi kota Bandung. Holland menyadari bahwa meskipun ia telah tinggal di Bandung selama bertahun-tahun, namun ia jarang berkelana ke jantung kota Bandung untuk melihat lebih dekat apa yang ada di sana. Holland pun menduga bahwa hal ini adalah kasus umum bagi banyak ekspatriat lain yang tinggal di Bandung – kota yang dulu dikenal sebagai Paris of Java. Sementara itu, para orang asing dinilai lebih sering duduk di depan Hotel Savoy Homann untuk menikmati bir dingin di sore hari atau menghadiri beberapa acara malam, sehingga tidak pernah mengambil waktu untuk menjelajahi ikon bangunan kota Bandung. 55 55 “Having lived in Bandung for many years, I have rarely ventured into the heart of Bandung to take a closer look at what’s there. And I suspect this is the case for many other expats living in Bandung and weekend visitors from Jakarta who have been deterred by the heavy traffic congestion downtown; missing out on discovering the fascinating early history of the city and its significant heritage – the city once known as the Paris of Java. Whilst we had often sat out in the front of the Savoy Homann to enjoy a cold beer in the afternoon, or attended some evening events there. I had never taken time to explore this iconic building and the many others like it nearby. ” 152 Melalui artikel ini Holland mencoba untuk memberikan sebuah asumsi atas keberadaan para ekspatriat di kota Bandung yang lebih sering duduk di depan Hotel Savoy Homman daripada melihat kota Bandung. Dengan kata lain, para ekspatriat dinyatakan sebagai sebuah kelompok yang enggan berbaur dengan masyarakat sekitar. Para ekspatriat lebih cenderung untuk memilih duduk bersama ekspatriat lainnya di sebuah tempat yang sering dijadikan sebagai tempat berkumpul, seperti Hotel Savoy Homman. Selain itu, Holland pun menyampaikan perihal gaya hidup para ekspatriat yang lebih sering bersantai untuk menikmati sebuah bir dingin. Dengan demikian, melalui artikel ini setidaknya terdapat dua persoalan, pertama, cara pandang Holland yang telah mengagung-agungkan keunggulan kolonial, atau dalam wacana kolonial disebut sebagai superioritas Barat. Dan kedua, Holland telah memberikan deskripsi tentang gaya hidup para ekspatriat di Bandung. C.2.5. Literature: a. Unravelled Raffles 56 Terry Collins melalui artikel ini pada dasarnya berupaya untuk mengingatkan kembali para pembaca Majalah JE tentang Sir Thomas Stamford Raffles. Berawal dari adanya jajak pendapat yang dilakukan oleh BBC pada tahun 2002, yang mana menempatkan sang petualang dan penjelajah seperti Walter Raleigh terdaftar dalam 100 Britons Greatest, telah membuat Collins untuk mencoba mempertanyakan mengapa Raffles tidak masuk ke dalam daftar tersebut. Oleh karena itu, Collins pun sengaja membaca sebuah buku biografi Raffles karya Tim Hannigan, dengan tujuan ingin berbagi gagasan bahwa Raffles adalah manusia hebat; menemukan Borobudur, mendirikan 56 Jakarta Expat 84 th Edition, p.6.Written by Terry Collins. 153 Singapura dan memiliki sebuah hotel yang dinamakan Raffles sehingga terlihat menjadi kebanggaan yang cukup. 57 Melalui buku biografi Raffles karya Hannigan, Collins mengupas kisah perjalanan Raffles dan menguraikan berbagai kisah tentang Raffles, seperti, pernah menjadi Letnan Gubernur Jawa, petugas East India Company, berlayar ke Penang dan menjadi asisten sekretaris Gubernur Penang Malaysia, pernikahan Raflles dengan Olivia pada bulan April 1805, hingga tugas Raffles untuk mengumpulkan informasi tentang Jawa. Menurut Collins, Hannigan telah melakukan sebuah –mekanisme nilai tukar – penulisan biografi yang memukai tentang Raffles. Melalui sebuah buku karya Hannigan, Collins melihat kekayaan latar belakang tentang sejarah Jawa di masa sebelumnya, mulai dari kehidupan di kesultanan, kerajaan Mataram, Majapahit hingga tentang bagaimana agama-agama tiba seiring dengan kedatangan para pedagang, yang mana orang Jawa masih relevan dengan hal mistisisme. Bahkan, di akhir artikel ini, Collins merasa tidak mampu memuji Hannigan yang telah bekerja sangat cukup, tetapi ia memiliki satu peringatan tentang buku ini dengan mengatakan bahwa sebuah buku dengan begitu banyak kekayaan untuk siapapun yang tertarik mengenai Raffles dan Indonesia akan sangat menguntungkan dari sekedar indeks. 58 Melalui artikel ini, Collins bukan hanya berupaya untuk melakukan resensi atas sebuah buku mengenai biografi Raffles karya Hannigan, melainkan ia juga bermaksud 57 “Our heroes were the adventurers and explorers such as Walter Raleigh who brought us tobacco, potatoes and gold he’d pirated off Spanish buccaneers. In 2002 he was listed in a BBC poll of the 100 Greatest Britons. But Sir Thomas Stamford Raffles wasn’t. Until reading Tim Hannigan’s new published biography, I’d continued to share the notion that Raffles was a great man; discovering Borobodur, founding Singapore, and having a hotel named after him seemed to be credit enough.” 58 “Hannigan has done us a great service with his – erm– spellbinding biography. It is packed with a wealth of background about the earlier history of Java, life in the sultanates with their intrigues, of the Mataram and Majapahit kingdoms, about how religions arrived with ill-educated traders, and the still relevant Javanese mysticism, with footnotes where appropriate. I cannot praise Hannigan’s work highly enough, but have one caveat: a book with such riches for anyone with a smidgeon of interest in Raffles and Indonesia would greatly benefit from an index.”