137
struktur modernistik tahun dua puluhan dan tiga puluhan, serta pengembangan kembali arsitektur di tahun lima puluhan.
34
Bertolak dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa atas nama ‘estetika’ kekayaan arsitektur bangunan yang terdapat di Indonesia, seperti rumah tradisional
penduduk pribumi, candi, keraton, maupun bangunan kolonial Belanda, Heringa bermaksud ingin menyampaikan sisi lain dari keindahan alam di Indonesia. Dengan kata
lain, ia beranggapan bahwa estetika dari kekayaan arsitektur bangunan yang dimiliki Indonesia merupakan bagian dari sisi eksotisme.
Namun demikian, Heringa tidak serta merta langsung menganggap bahwa kekayaan arstitektur yang dimiliki Indonesia adalah murni karya pribumi Indonesia, tetapi
ia berupaya untuk menunjukkan percampuran yang terjadi di zaman kolonial Belanda. Dalam hal ini, Heringa menekankan bahwa para arsitek di masa kolonial telah
memberikan sumbangsih atas kekayaan arsitektur bangunan Indonesia yang acapkali memberikan kesan pada para wisatawan. Bahkan Heringa, lebih lanjut, menyatakan bahwa
Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels 1882-1947 secara khusus telah memainkan peranan penting dalam hal pembangunan di Hindia Belanda, melihat karir Ghijsels dalam jangka
waktu 20 tahun yang menghasilkan berbagai puluhan desain, banyak bangunan dirancang dan dibangun, seperti Stasiun Kereta Api Kota Batavia dan Hotel des Indes, yang mana
sebagian besar hingga saat ini dikagumi oleh banyak orang.
35
34
“Travellers in Indonesia are always impressed by the richness of its architecture. Besides traditional native structures, there are Hindu and Buddhist temples, such as the Prambanan and the Borobudur, the kratons
palaces of Javanese royalty in Yogyakarta, Surakarta and Cirebon, Islamic prayer houses and mosques, Chinese temples and houses in the coastal towns of Java. There is also the colourful colonial inheritance: the
17th century Dutch East Indies Company forts in the Moluccas, the old Dutch warehouses in Jakarta, 18th century country houses, neo-classical 19th century civil engineering projects, public buildings, factories and
railway stations dating from shortly after the turn of the century, modernistic structures from the twenties and thirties and the ‘redevelopment architecture’ of the fifties.”
35
“Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels 1882 – 1947, in particular, played an important role in this. His active career covered a period of 20 years during which he produced dozens of designs. Many of the
138
Di samping itu, Heringa juga mencoba untuk membuat periodisasi mengenai aktifitas pembangunan di zaman kolonial, seperti Pencerahan Dog Kennel, zaman
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di bawah pimpinan Daendels, dan peran arsitek swasta. Pada masa Pencerahan Dog Kennel, misalnya, Heringa memaparkan bahwa arsitektur
kolonial pada abad kesembilan belas ditandai oleh gaya bangunan Neo-klasik. Kemudian, pada zaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda di bawah pimpinan Daendels, Heringa
menguraikan bahwa Departemen Pekerjaan Umum Departemen van Burgelijke Openbare Weken - BOW bertanggung jawab untuk semua konstruksi sipil di bawah kendali
pemerintah Hindia Belanda. Dan terakhir, mengenai peran arsitek swasta, Heringa memberikan penjelasan bahwa biro arsitek swasta pertama kalinya didirikan menjelang
akhir hingga dekade pertama abad dua puluh. Biro ini memiliki gaya arsitektur tradisional berdasarkan campuran dari arsitektur klasik Barat dan ornamen Jawa Kuno, yang mana
pada saat ini masih dapat terlihat pada bangunan beberapa bank, perusahaan asuransi, rumah perdagangan, dan lembaga-lembaga Katolik Roma di Indonesia.
36
Dari artikel ini dapat dicermati bahwa Heringa berupaya untuk mengingatkan kembali berbagai bangunan peninggalan semasa kolonial dan perkembangan arsitektur di
Indonesia. Dari paparan artikel ini, penulis beranggapan bahwa Heringa ingin memperlihatkan kembali bahwa kekayaan arsitektur yang dimiliki oleh Indonesia saat ini
tidak terlepas dari tindak tanduk pemerintah kolonial Belanda. Dengan kata lain, Indonesia sebagai negara kolonial Belanda dianggap sebagai tidak mampu menghasilkan sebuah
buildings Ghijsels designed were built and the majority of these can still be admired today, including the Railway Station Kota Batavia and the Hotel des Indes.”
36
“Nineteenth-century colonial architecture was typified by Neo-classical building styles. Since the days of Governor General Daendels, the Department of Public Works Department van Burgelijke Openbare Weken
– BOW for short had been responsible for all civil construction under government control. The first private architects’ bureaux were founded towards the end of the first decade of this century. … The bureau’s
traditional architectural style, based on an amalgam of classical western architecture and Old Javanese ornamentation, found favour with a number of Indonesian banks, insurance companies, trading houses, and
Roman Catholic institutions.”
139
karya arsitektur modern yang otonom. Hal ini yang diperlihatkan oleh Heringa bahwa beberapa bangunan peninggalan kolonial pada saat ini memiliki kesan arsitektur klasik
kolonial sehingga memberikan kesan kehadapan para wisatawan. Dengan demikian, beberapa bangunan yang dimiliki Indonesia pada saat ini dapat dikatatan sebagai hasil dari
proses mimikri atau peniruan dari arsitektur bergaya Eropa, khususnya pada periode biro arsitek swasta yang telah dipaparkan oleh Heringa. Dalam hal ini, Indonesia ditempatkan
sebagai bangsa yang telah mengalami percampuran estetika maupun gaya arsitektur dengan kalangan Eropa, sehingga memberikan sebuah pemahaman bahwa bangunan yang
ada di Indonesia bukan hasil penciptaan murni dari pribumi Indonesia.
b. The Jaksa Position Jalan Palatehan
37
Lewat artikel ini, seorang ekspatriat bernama Kenneth Yeung berupaya untuk mendeskripsikan perubahan yang terjadi di Jalan Jaksa dan Jalan Palatehan dalam
beberapa dekade terakhir, yang mana kedua tempat ini telah melayani kebutuhan wisatawan asing dan ekspatriat di Jakarta. Jalan Jaksa digambarkan sebagai jalan sempit di
daerah Menteng yang menjadi satu-satunya tempat bagi para backpacker di Jakarta, bahkan populer bagi kalangan ekspatriat yang membutuhkan bir murah. Sedangkan
Palatehan, di Blok M, digambarkan sebagai tempat yang menghantui para pria Barat untuk mencari perempuan yang dapat menemani.
38
Yeung mencoba untuk memberikan gambaran singkat mengenai kedua jalan yang cukup populer bagi para orang asing di Jakarta, baik itu para backpacker maupun para
ekspatriat, yakni Jalan Jaksa dan Jalan Palatehan. Bahkan, Yeung memberikan kepopuleran dan kekhasan yang dimiliki dari kedua jalan ini. Jalan Jaksa sebagai tempat
37
Jakarta Expat 71
th
Edition, p.4.Written by Kenneth Yeung.
38
“Jalan Jaksa and Jalan Palatehan have been serving the needs of tourists and expatriates in different ways for decades. Jaksa, a narrow street in Menteng, is Jakarta’s sole backpacker strip and is also popular among
expats requiring cheap beer. Palatehan, in Blok M, is the main haunt for Western men seeking female company.”
140
minum bir yang murah bagi para ekspatriat, sedangkan Jalan Palatehan maupun Blok M, sebuah kawasan yang dapat dijadikan para ekspatriat untuk mencari perempuan lokal.
Dan, melalui artikel ini Yeung juga mencoba untuk memberikan sejarah singkat kedua jalan tersebut. Jalan Jaksa, misalnya, dijelaskan bahwa kawasan ini mendapatkan
keringanan pajak tertentu karena status khusus sebagai lokasi pariwisata, terutama dikarenakan tidak semua orang asing di Jalan Jaksa adalah orang Barat.
Di samping itu, terdapat beberapa pencari suaka dari Timur Tengah dan Pakistan, serta rombongan dari Afrika yang sering dikucilkan karena distereotipekan sebagai
gangster terkait keterlibatan mereka dengan obat-obatan terlarang dan kasus penipuan. Oleh karena itu, para pegawai Imigrasi sesekali merazia Jalan Jaksa, menargetkan para
orang asing agar dapat menunjukkan valid visa.
39
Pada artikel Yeung ini terdapat persoalan stereotipikal. Hal ini dapat dicermati ketika Yeung mencoba untuk mengungkapkan bahwa tidak semua orang asing yang
berkunjung ke Jalan Jaksa adalah kalangan Barat, tetapi terdapat orang-orang Timur Tengah, seperti Pakistan sebagai pencari suaka, dan banyak orang Afrika yang
distereotipekan sebagai kelompok kriminal. Dalam hal ini, Yeung secara implisit telah mendikotomikan dirinya sebagai bagian dari Barat sehingga membedakannya dengan
orang-orang Timur Tengah maupun Afrika yang tidak lain telah diidentifikasi sebagai Timur. Oleh karena itu, melalui artikel ini dapat diketahui bahwa terdapat persoalan
stereotipe mengenai Barat dan Timur yang diberikan oleh Yeung sebagai seorang ekspatriat kepada para ekspatriat lainnya, yakni para pembaca Majalah JE.
39
“Not all foreigners on Jaksa are Westerners. Some are asylum seekers from the Middle East and Pakistan. There’s a strong contingent of Africans, often unfairly ostracized and stereotyped as gangsters due to the
involvement of a few in drugs and scams. …. Immigration officials occasionally raid Jaksa, targeting any foreigner unable to produce a valid visa.”
141
C.2.3. Observations: a. A Million Dollar Treasure West Java
40
Ide dasar dari artikel yang dituliskan oleh Bartele Santema ini adalah sebuah perjalanan dirinya dalam mencari sebuah peta tua. Ia memulai narasinya dengan
mendeskripsikan anak-anak kampung yang mengintip dari balik jendela rusak. Dan tanpa rasa sungkan, ia pun mengatakan sebuah perkampungan miskin karena terdapat banyak
rumah yang hanya terbuat dari rotan dan bambu. Karenanya, ia merasa cukup beruntung memiliki mobil bermesin penggerak empat roda double gardan sehingga dapat berjalan
ke atas bukit curam, penuh dengan lubang dan hujan kecil yang telah membuat jalan licin dan bahkan lebih berbahaya. Selain itu, ia pun menceritakan membawa dua keponakannya
yang sedang berlibur di Indonesia untuk mencari sebuah harta, yang mungkin bernilai setengah juta dolar, bahkan memberikan nama perjalanan pencarian harta ini adalah
misteri paman Bartele di Timur Jauh.
41
Pada artikel berjudul “A Million Dollar Treasure West Java” ini, setidaknya terdapat dua persoalan yang telah dihasilkan oleh Santema, yakni, perkampungan miskin
dan Timur Jauh. Pertama, mengenai kondisi perkampungan miskin, Santema mengatakan bahwa terdapat banyak rumah yang terbuat dari bambu dan rotan, bahkan di balik barisan
jendela yang rusak anak-anak mengintip untuk melihat dirinya yang tengah mengendarai sebuah mobil. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa ia telah membandingkan dua hal
berbeda secara bersamaan, yakni, ia merasa sebagai seorang yang kaya karena memiliki
40
Jakarta Expat 50
th
Edition, p.11.Written by Bartele Santema.
41
“The kids in the kampong peeked from behind broken windows. It was a poor kampong and a lot of the houses were made of just rotan and bamboo. I was lucky to have a 4x4 car, the road up the hill was steep,
full of potholes and a slight rain made it slippery and even more dangerous. I brought my two nieces, who were in Indonesia for a holiday. I explained to them that the treasure I was looking for was probably worth
half a million dollars. They both stared motionless and empty eyed to the slippery road in front of them. My niece Aaltje had not seen much of me in her young life, and I am sure she viewed the ‘mystery’ uncle
Bartele in the Far East.”
142
mobil, sedangkan penduduk setempat dianggap sebagai orang yang miskin. Kedua, mengenai Timur Jauh, imaji ini muncul dalam pikiran Santema yang sedang mengajak
kedua keponakannya untuk mencari sebuah harta. Imaji ini adalah fantasi Santema yang menganggap dirinya sama seperti seorang pemburu harta karun layaknya pada beberapa
abad silam, yang mana Barat menjelajah hingga ke Timur Jauh untuk mendapatkan suatu harta tertentu. Dengan demikian, Santema telah menempatkan dirinya sebagai pihak Barat
yang sedang berburu harta di Indonesia. Harta yang dimaksudkan oleh Santema pada artikel ini adalah peta tertua Indonesia
yang dibuat oleh orang Sunda dan diperkirakan telah berumur lebih dari 400 tahun. Menurutnya, karena harta ini adalah benda pusaka atau peninggalan suci, maka tak
seorang pun mampu membelinya, bahkan seorang pemburu harta sekalipun tidak tahu dimana peta ini berada. Dan, ia kembali merasa telah beruntung karena dapat mengetahui
keberadaan peta ini dari seorang temannya, David Parry. Singkat cerita, pada akhir artikel ini, Santema menyatakan bahwa untuk saat ini
tidak banyak yang bisa dilakukan untuk peta tertua Indonesia ini sehingga ia membiarkan saja membusuk di pedalaman kampung. Meski demikian, ia tetap mempertanyakan apakah
peta tua akan benar-benar membusuk? Hingga ia pun mengalami keheranan karena ternyata peta tua ini dipercaya dapat memperbaiki dirinya sendiri, dan jujur, untuk suatu
barang yang telah lama, peta masih dalam kondisi yang luar biasa. Bahkan, di akhir artikel ini, Santema mengajak para pembaca artikelnya dengan mengatakan bahwa “mari kita
berharap bahwa setidaknya sedikit dari sihir Indonesia yang terkenal dapat bekerja untuk menjaga benda peninggalan suci yang indah”.
42
42
“So for now, not much else to do then just let the oldest map of Indonesia rot away in that far away kampong. But is it really rotting away? Apparently the map can repair itself and to be honest, the map is in
remarkable condition for something stuffed away that long. Let’s hope that at least a little bit of the famous Indonesian magic works for that beautiful sacred relic...”
143
Secara eksplisit, Santema telah memberikan sebuah deskripsi mengenai hal mistik yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, sihir yang dipercaya oleh
masyarakat Indonesia telah membuat Santema dalam mengalami kemenduaan, antara ingin mempercayai dan menyangkal. Namun demikian, Santema sebagai seseorang yang
berasal dari Eropa, telah mengalami ambivalensi saat di Indonesia. Hal ini dapat dicermati ketika Santema berupaya mengajak para pembaca artikelnya untuk berharap agar sihir
Indonesia dapat bekerja untuk menjaga suatu benda peninggalan suci. Dengan demikian, kondisi yang dialami oleh Santema melalui artikel ini adalah sebuah pencarian diri di
dalam ruang antara in between, karenanya ia berada pada sikap ambivalen.
b. East is West, and West is, Well...
43
Pada artikel ini Dachlan Cartwright mengawali tulisannya dengan mengutip beberapa kalimat dari seri novel Athony Burgess, The Long Day Wanes alias The Malayan
Trilogy. Novel yang berlatar di Malaysia ini sengaja dipilih oleh Cartwright untuk mencoba memberikan deskripsi kepada para pembaca tentang Timur dihadapan Barat.
Oleh karena itu, beberapa kalimat dari novel pertama dari trilogi karya Burgess, Time for a Tiger, disajikan kembali oleh Cartwright sebagai berikut:
‘East? They wouldn’t know the East if they saw it…That’s where the East is, there,’ he waved his hand wildly into the black night. ‘Out there, west. You wasn’t there,
so you wouldn’t know. Now I was. Palestine Police from the end of the war until we packed up. That was the East. You was in India, and that’s not the East any more
than this is…’ ”
Berdasarkan kutipan di atas, Timur menjadi sebuah pertanyaan. Timur tidak diketahui. Sementara itu, barat tidak dipertanyakan. Timur berada diluar barat. Dalam hal
ini Timur menjadi subjek Timur menggunakan huruf ‘T’ besar, sedangkan barat hanya menjadi penunjuk arah barat menggunakan huruf ‘b’ kecil. Dengan demikian, terdapat
43
Jakarta Expat 74
th
Edition, p.6.Written by Dachlan Cartwright. He is a retired teacher and librarian from Bandung Institute of Technology.