Analisis Wacana Kolonial Kontemporer
163
beberapa abad yang silam. Sutton sebagai seorang ekspatriat telah menggunakan fantasi dirinya sebagai bagian dari bentuk mekanisme wacana Orientalisme untuk menciptakan
suatu asumsi maupun deskripsi tentang Timur yang sangat berbeda dengan Barat, yang mana pada artikel ini membahas tentang Jawa.
Selanjutnya, pada artikel Sutton yang lain, Educating the Past, penulis mencermati bagaimana Sutton telah memberikan suatu deskripsi mengenai Indonesia sebagai bagian
dari Timur yang memiliki perbedaan fundamental dengan Barat. Dengan mengangkat tema seputar dunia pendidikan, pada artikel Educating the Past ini Sutton mencoba untuk
mengatakan bahwa Indonesia masih memiliki ketertinggalan dari Barat. Berdasarkan kacamata Sutton, Indonesia dinilai masih menjalankan sistem pendidikan yang lama,
seperti belajar hafalan maupun mengingat rumus. Sementara itu, pendidikan di Barat dinilai telah mengalami perkembangan maju dengan mengajarkan para siswa untuk
berpikir kreatif, menggunakan layanan internet, hingga mendapatkan pelajaran bahasa yang berbeda. Oleh karena itu, pada artikel ini Sutton telah merekonstruksi kembali
oposisi biner antara Barat dan Timur, yang mana Barat dianggap sebagai bangsa maju, sedangkan Timur sebagai bangsa yang sedang berkembang maupun tertinggal.
Sutton juga mengatakan bahwa pada saat ini pendidikan Indonesia masih menanggung beban historis untuk mengejar ketinggalan waktu setengah abad terakhir.
Bertolak dari sejarah pendidikan Indonesia, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Sutton mengingatkan kembali bahwa pendidikan Indonesia belum mencakup
semua golongan masyarakat. Pada akhir abad ke-19, Sutton memaparkan bahwa pendidikan hanya dapat diterima oleh masyarakat keturunan Eropa maupun Eurasia dan
kalangan elit pribumi, sedangkan orang-orang kampung di pedesaan, bahkan di pedalaman diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, pada masa kolonial kalangan Eropa “merasa
164
berhak” untuk mendapatkan superioritas mereka karena kalangan pribumi tidak mendapatkan pendidikan seperti kalangan Barat. Dengan kata lain, Sutton ingin
memperlihatkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia telah memiliki masalah sejak masa kolonial, sehingga pada saat ini masih tetap berada di bawah standar pendidikan Barat.
Meskipun Sutton pada artikel Educating the Past menyadari bahwa dampak kolonialisme masih dapat dirasakan hingga saat ini, namun kesadaran Sutton belum cukup kritis karena
tidak memberikan kritik atas aksi kolonialisme Belanda di Indonesia. Sutton seakan hanya memaparkan tanpa menindaklanjuti atas kondisi yang dialami Indonesia pada masa pasca-
kolonial. Dengan demikian, Sutton telah menegaskan kembali batasan antara Barat dan Timur melalui bidang pendidikan.
Mengenai rubrik Feature, khususnya artikel Building in the Dutch East Indie in the Colonial Period turut memainkan wacana kolonial dengan memberikan karakteristik
mengenai Indonesia. Pada artikel ini Heringa lebih banyak memberikan sajian tentang berbagai bangunan peninggalan kolonial Belanda. Meskipun artikel ini sempat
menyinggung tentang Candi Prambanan dan Borobudur, bangunan Keraton hingga Masjid, namun bangunan pemerintahan kolonial Belanda tetap menjadi fokus perhatian
Heringa yang utama dalam artikel ini. Fokus tersebut merupakan sebuah bentuk upaya pembuktian bahwa Barat dinilai lebih unggul daripada pribumi Indonesia mengenai
persoalan arsitektur. Terutama, Heringa berupaya untuk mengungkapkan bahwa Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels 1882-1947, dinilai telah sangat berperan penting dalam hal
pembangunan gedung-gedung di Hindia Belanda, seperti Stasiun Kereta Api Kota Batavia, dan Hotel des Indes di Jakarta. Oleh karena itu, melalui artikel ini Heringa berupaya untuk
mengajak para pembaca untuk mengingat kembali peninggalan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia yang telah memiliki pengaruh besar dalam hal modernisasi, bahkan
165
menyimpan suatu nilai yang tinggi dalam seni arsitektur. Dengan kata lain, pada artikel ini Heringa ingin menegaskan kembali perbedaan antara Barat dengan Timur lewat persoalan
arsitektur. Selanjutnya pada rubrik Observations, terutama artikel berjudul East is West, and
West is, Well..., yang dituliskan oleh Dachlan Cartwright turut memiliki kandungan wacana kolonial serupa dengan sebelumnya. Dari judul artikel ini saja telah menegaskan
secara lugas bahwa kata-kata ‘East is West’, dapat dipahami Timur adalah Barat. Sementara itu dari kata-kata ‘West is, Well…’, penuh interpretasi yang kompleks. “West
is,” yang diakhiri tanda koma dapat dipahami upaya dalam mendefiniskan Barat, sedangkan “Well…” yang diikuti dengan tanda titik-titik ini dapat dipahami “Baiklah”,
sebuah kata aksensuasi maupun ketegasan yang hendak dijabarkan. Dalam hal ini Cartwright mencoba untuk membandingkan Timur yang berbeda dengan Barat.
Penjelasan mengenai Timur pun semakin dipertegas ketika Cartwright mengutip beberapa kalimat milik Anthony Burgess 1956 dari novel Time for a Tiger, dengan
menuliskan, “Timur? ... Di situlah Timur, di situ. … Di luar sana, Barat. Kamu tidak ada di sana, sehingga kamu tidak akan tahu..... Oleh karena itu, melalui artikel ini Cartwright
mencoba untuk mengawali sebuah persoalan geografi mengenai Barat dan Timur kepada para pembaca Majalah JE.
Namun demikian, sebuah upaya Cartwright dengan mengutip beberapa teks “The Ballad of East and West”, dari puisi Rudyard Kipling semakin menunjukkan bahwa
terdapat batasan pada Barat dan Timur yang tidak akan pernah bertemu pada dunia nyata, bahkan hingga bumi dan langit dihadapkan pada hari kiamat. Dalam hal ini Carthwright
mencoba untuk memperlihatkan bahwa persoalan Barat dan Timur tidak hanya terletak dan sebatas pada persepsi geografi, tetapi terdapat perbedaan dalam persepsi budaya.
166
Secara tradisional, Barat dipandang sebagai pemberi, rasionalis, materialistis dan lebih unggul, sedangkan Timur dipandang sebagai yang abadi, spiritual, mistik, eksotis, dan
terbelakang. Dengan demikian, rujukan teks yang sengaja dipilih dan dihadirkan oleh Cartwright dalam artikel ini merupakan suatu upaya untuk membahas kembali persoalan
binerisme antara Barat dan Timur di masa pasca-kolonial. Binerisme ini menjadi pembedaan yang sangat fundamental maupun radikal untuk dapat memahami bentuk dan
karakteristik antara Barat dan Timur, yang mana dalam hal ini menyangkut para ekspatriat sebagai bagian dari Barat yang tengah berhadapan dengan Indonesia sebagai Timur.
Terkait persepsi budaya di masa pasca-kolonial, Cartwright pun mencoba untuk menyajikan suatu kejadian yang menarik mengenai sebuah peristiwa yang dialami
sekelompok pelajar pada saat perayaan tahun baru di Bali. Dari peristiwa ini, Cartwright mencoba untuk memberikan suatu deskripsi bahwa para pelajar memiliki pemahaman
yang sedikit atas persoalan antara Barat dan Timur di masa pasca-kolonial. Dengan kata lain, wacana tentang persepsi budaya antara Barat dan Timur yang diberikan oleh
Carthwright ini telah menjadi suatu rangkaian tanda dan praktek dalam merekonstruksi wacana tentang Indonesia yang adalah Timur di hadapan Barat. Bahkan hal ini dapat
terlihat dari sebuah ajakan Cartwright yang ditujukan kepada para pembaca Majalah JE untuk keluar dari konteks persepsi budaya, dengan memadukan yang terbaik dari Timur
dan Barat agar dapat menjadi toleran, hormat, dan memiliki rasa budaya global. Oleh karena itu, ajakan Cartwright ini telah mengarahkan para ekspatriat kepada berbagai tanda
maupun wacana mengenai Barat maupun Timur. Dengan melihat kembali pada judul artikel yang diberikan oleh Cartwright ini,
East is West, and West is, Well…, maka dapat dipahami terdapat kontradiksi antara Barat dan Timur. Kontradiksi ini dapat dipahami bukan hanya sekedar teks atau permainan kata
167
pada sebuah artikel, melainkan telah mengkonstruksi suatu wacana yang berefek kepada para pembaca Majalah JE. Wacana yang dimaksudkan pada artikel ini adalah gagasan
maupun konsep mengenai Barat dan Timur. Oleh karena itu, wacana kolonial mengenai Barat dan Timur bukan hanya terjadi di masa kolonial, melainkan melalui sebuah artikel
seperti East is West, and West is, Well… yang tersajikan di dalam Majalah JE ini tetap dilanggengkan oleh seorang ekspatriat seperti Cartwright di masa pasca-kolonial.
Selain itu, wacana kolonial yang turut memberikan karakteristik mengenai Indonesia juga terdapat pada rubrik Literature. Pada rubrik ini, terdapat dua artikel yang
dituliskan oleh Terry Collins, yakni Unravelled Raflles dan Indonesia, Etc. Exploring the Improbable Nation. Kedua artikel tersebut merupakan ulasan mengenai sebuah buku yang
terkait dengan Indonesia. Pada artikel yang pertama, Unravelled Raflles, Terry Collins mencoba untuk
memberikan sebuah resensi mengenai buku biografi Sir Thomas Raffles karya Tim Hannigan, “Raffles and the British Invansion”, yang terbit pada tahun 2012. Collins, yang
notabenenya adalah seorang ekspatriat berkebangsaan Inggris, menjelaskan bahwa Raffles memiliki serangkaian catatan dengan sejarah Indonesia. Di samping itu, berdasarkan
berdasarkan pembacaan biografi Raffles karya Hannigan, Collins berupaya menyampaikan beragam argumentasi dan menyatakan bahwa Raffles adalah sosok manusia yang hebat
pada masa kolonial Inggris. Dengan kata lain, Collins ingin menyampaikan bahwa Raffles sebagai seorang Inggris sekaligus Orientalis Barat adalah tokoh yang penting dalam
memberikan seluk beluk pengetahuan tentang Jawa. Hal serupa juga dilakukan oleh Collins pada sebuah artikel berupa resensi sebuah
buku berjudul “Indonesia Etc.: Exploring the Improbable Nation” karya Elizabeth Pizzani. Dalam hal ini, Collins kembali memberikan sebuah resensi sekaligus memainkan
168
perannya sebagai penerus informasi untuk mendeskripsikan isi buku tersebut. Resensi yang dibuat Collins ini pada dasarnya diperuntukkan bagi para ekspatriat yang sedang
berada di Indonesia agar dapat mengetahui tentang karakteristik Indonesia. Dengan demikian, artikel yang dituliskan oleh Collins ini dapat menjadi bekal bagi para ekspatriat
untuk memperoleh suatu deksripsi tentang Indonesia dan masyarakat di dalamnya, terlebih menjadi tertarik untuk membaca buku “Indonesia Etc.: Exploring the Improbable Nation”
karya Elizabeth Pizzani. Dari kedua uraian artikel yang dituliskan Collins di atas, dapat dipahami bahwa
rubrik Literature yang tersajikan oleh ekspatriat di dalam Majalah JE ini adalah sebuah upaya untuk meneruskan informasi atau menyebarkan wacana mengenai Indonesia lewat
suatu literatur. Di samping itu, buku-buku yang telah diulas oleh Collins, yakni Unravelled Raflles dan Indonesia, Etc. Exploring the Improbable Nation, telah memberikan suatu
karakteristik mengenai Indonesia, yang mana masih menjadi sumber literer bagi Barat. Oleh karena itu, Collins melalui artikel-artikelnya turut memainkan wacana kolonial
dengan memaparkan buku-buku mengenai Indonesia yang ditulis kalangan Barat. Selanjutnya, merujuk pada gambar lainnya, yakni Gambar 2, stereotipe tentang
Indonesia juga telah dimunculkan melalui sebuah foto masyarakat suku Dani yang diberikan sebuah judul Chatting on Facebook. Dimuatnya foto ini sebagai cover photo
Majalah JE pada edisi 78 telah menuai kritik dari para pembaca. Beberapa pembaca mengatakan bahwa Majalah JE telah melakukan tindakan ‘eksploitatif’ dan ‘rasis’ karena
telah memuat foto masyarakat suku Dani tengah berhadapan dengan sebuah laptop. Dalam hal ini, sebuah perdebatan muncul mengenai stereotipe rasis tentang masyarakat
Indonesia, pada khususnya masyarakat suku Dani.
169
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya mengenai stereotipe Timur, Majalah JE lebih cenderung untuk mengalihkan tuduhan eksploitatif dan rasis kepada persoalan
pandangan yang berbeda. Alih-alih pihak Majalah JE yang diwakili oleh Mark Twain memberikan pernyataan bahwa terkadang sebuah foto tidak sesuai dengan keinginan
semua orang. Namun demikian, merujuk kepada perspektif Orientalisme yang telah dibedah
oleh Edward
Said, maka
kita dapat
memahami bahwa
Barat telah
merepresentasikan Timur sebagai ras yang berbeda. Dalam hal ini terlihat bahwa Majalah JE mencoba untuk merepresentasikan masyarakat suku Dani kepada para pembacanya.
Bahkan, persoalan stereotipe ras ini terhubung dengan pembedaan yang fundamental antara Barat dengan Timur, yakni Barat sebagai pihak yang beradab maupun modern,
sedangkan Timur ditempatkan sebagai yang primitif maupun tradisional. Wacana kolonial mengenai karakteristik Indonesia tidak hanya terdapat pada
artikel dan foto, tetapi juga termuat dari kisah para ekspatriat. Dalam kisah Laila Airlie Dempster, misalnya, dengan membuat karya lukis yang lebih dominan bertemakan tentang
Indonesia, ia mencoba untuk merepresentasikan Indonesia, terutama mengenai orang- orang Indonesia, tradisi suatu masyarakat, serta pemandangan alam. Begitu pula dengan
Dave Metcalf, setelah berkecimpung di dunia fotografi dan petualangan ia menyadari bahwa Indonesia adalah salah satu negara di planet Bumi yang indah untuk dipotret.
Bahkan Metcalf dengan berani berpendapat bahwa tidak ada keindahan yang mampu menandingi Indonesia, karena di dalamnya terdapat keberagaman masyarakat, budaya,
arsitektur, maupun pemandangan yang luar biasa. Oleh karena itu, pandangan yang telah diberikan oleh Dempster dan Metcalf dapat dipahami sebagai kecenderungan orang asing
dalam mengenali suatu karakteristik Indonesia, yakni pada sisi eksotisme.
170
A.2. Stereotipe Indonesia
Serupa dengan cara mencermati karakteristik Indonesia melalui imaji dan teks, maka persoalan stereotipe Indonesia ini juga menempuh yang sama. Pada artikel The
Jaksa Position Jalan Palatehan, Kenneth Yeung berupaya untuk memberikan deskripsi atas kondisi perubahan kedua jalan ini, yang mana telah terkenal sebagai tempat yang
melayani kebutuhan para wisatawan asing dan ekspatriat di Jakarta dalam beberapa dekade terakhir. Dengan kata lain, Yeung secara implisit ingin menyampaikan bahwa
Jalan Jaksa dan Jalan Palatehan merupakan sebuah tempat bagi keberadaan para orang asing di Jakarta. Bahkan, dengan memberikan catatan tentang kondisi masa lampau kedua
jalan ini, Yeung juga ingin memberikan ragam wacana yang menarik bagi para orang asing selama berada di Jakarta, seperti kalangan Barat dapat menikmati berbagai suguhan
khas ‘Timur’; penginapan dan bir yang murah maupun hiburan malam di sekitar Jalan Palatehan.
Di samping itu, melalui artikel The Jaksa Position Jalan Palatehan ini, Yeung juga telah memberikan sebuah deskripsi mengenai keberadaan para orang asing. Yeung
menarasikan bahwa tidak semua orang asing di Jalan Jaksa adalah orang Barat, tetapi terdapat banyak pencari suaka dari Timur Tengah dan Pakistan maupun orang Afrika.
Bahkan Yeung meneruskan suatu wacana mengenai stereotipe orang Afrika sebagai kelompok kriminal karena terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarang dan kasus
penipuan. Dalam hal ini Yeung acuh dalam mempertanyakan dari mana asal stereotipe tersebut. Oleh karena itu, stereotipe ini menjadi sebuah pertanyaan, siapa yang telah
memberikan stereotipe negatif kepada orang-orang Afrika di Jalan Jaksa? Apakah stereotipe itu datang dari orang Indonesia?.
171
Penulis beranggapan bahwa persoalan stereotipe mengenai ras adalah bagian dari mekanisme pengetahuan Orientalisme. Sebagaimana Orientalisme telah mendeskripsikan
bahwa Timur memiliki beragam karakter maupun stereotipe, sehingga dalam hal ini Yeung telah terperangkap pada wacana Orientalisme terkait stereotipe orang Afrika
sebagai kelompok kriminal. Dengan demikian, melalui artikel The Jaksa Position Jalan Palatehan ini terdapat sebuah wacana kolonial kontemporer yang telah diberikan oleh
Yeung, yakni stereotipe mengenai orang-orang Afrika, atau dengan kata lain mengenai karakter dari ras Afrika – di masa pasca-kolonial.
Selanjutnya, pada rubrik Observations, penulis mencermati bahwa sebuah artikel, A Million Dollars Treasure West Java, juga bermaksud untuk memperlihatkan stereotipe
mengenai Indonesia. Pada artikel ini Santema telah mereproduksi wacana kolonial dengan mengatakan bahwa Indonesia tidak mengalami perubahan pesat layaknya negara-negara
Barat, khususnya mengenai rasionalitas. Dengan menceritakan kisah perjalanan dalam pencarian sebuah peta tua Indonesia, Santema menganggap bahwa peta tua yang masih
dalam kondisi baik dianggap sebagai bentuk ‘abadi’ milik bangsa Timur. Abadi yang dimaksudkan oleh Santema pada artikel ini adalah buah dari kebingungan dirinya ketika
melihat sebuah peta yang telah berumur ratusan tahun masih dapat terjaga dengan kondisi baik tanpa bantuan seorang ahli yang menjaga, sehingga ia menyatakan bahwa peta tua ini
dianggap mampu menjaga dan memperbaiki kerusakannya secara sendiri melalui hal mistik. Dengan kata lain, melalui artikel ini Santema memberikan suatu wacana tentang
Indonesia yang dianggap sebagai yang aneh maupun irasional. Dengan demikian, artikel yang disajikan oleh Santema ini telah memberikan sebuah wacana kolonial kontemporer
kepada para pembaca Majalah JE, yakni dengan memaparkan bahwa masih terdapat keanehan atau irasional di dalam masyarakat Indonesia pada masa kini.
172
Pada rubrik lainnya, yakni Culture, para ekspatriat kembali beraksi dalam memberikan stereotipe mengenai Indonesia. Pada artikel yang berjudul Islam in the
Nehterlands East Indies, misalnya, Hans Rooseboom berupaya untuk memaparkan tentang Islam di masa kolonial Hindia Belanda hingga Indonesia pada konteks kekinian. Melalui
artikel ini, Rooseboom secara rinci menguraikan beberapa peristiwa seputar Islam di Indonesia, seperti awal mula kehadiran Islam di Nusantara, jumlah penduduk Muslim pada
masa kolonial, hingga persoalan Jamaah Haji yang pergi ke Mekah. Dalam konteks kolonial, Rooseboom memaparkan bahwa pada tahun 1917 muncul
suatu perubahan terkait kemunculan sikap intoleransi dan perselisihan antar agama, sehingga menimbulkan kecemasan di kalangan penduduk Eropa dan pemerintah kolonial.
Menurutnya, perubahan ini sebagai ulah para Jamaah Haji yang telah pulang dari Mekah. Jamaah Haji dianggap telah membawa masyarakat pada gerakan separatisme maupun
pemberontakan. Bahkan, ia pun memberikan suatu sindiran dengan mengatakan bahwa meskipun terdapat peningkatan jumlah Jamaah Haji setiap tahun, mulai dari tahun 1859
hingga tahun 2012, namun pada kenyataan tidak turut menyebabkan intoleransi dan fanatisme agama berkurang di Indonesia. Dengan demikian, pandangan Rooseboom ini
telah dapat dicermati telah memiliki kandungan wacana kolonial, yaitu tidak mengalami perkembangan
yang dinamis,
bahkan secara
khusus masyarakat
Timur masih
distereotipekan sebagai pelaku tindak kekerasan, salah satu diantaranya adalah persoalan konflik agama.
Stereotipe mengenai Indonesia lainnya juga dapat dicermati pada sebuah cover photo yang menjadi muka Majalah JE. Cover photo Majalah JE, sebagaimana disajikan
pada bab sebelumnya, Bab III, turut memberikan sumbangan mengenai wacana kolonial. Oleh karena itu, sebuah foto yang dijadikan sebagai cover photo Majalah JE bukan hanya
173
sekedar sebagai pembungkus media, melainkan telah memberikan suatu tanda yang menghubungkan kepada penanda dan petanda.
Pada Gambar 3, misalnya, Majalah JE memuat sebuah foto Pocongan Cilik yang dijadikan sebagai cover photo untuk dihadirkan kepada para pembaca. Foto tersebut telah
menjadi petanda mengenai hantu, sehingga memberikan penanda bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki kepercayaan terhadap hal mistik dan gaib. Dengan kata lain,
foto tersebut telah mengantarkan kepada wacana mengenai Indonesia sebagai sebuah negara yang masih dilingkupi hal aneh kepada para pembaca Majalah JE. Dalam hal ini
muncul pertentangan antara Barat dan Timur, yang mana Barat selalu menempatkan dirinya sebagai yang normal sedangkan Timur dianggap masih memiliki serangkaian hal
aneh yang terdapat di dalam masyarakatnya. Selain memberikan sebuah foto Pocongan Cilik untuk dijadikan cover photo
Majalah JE pada edisi 80, para ekspatriat secara komprehensif juga mengulas berbagai hal yang berhubungan dengan hantu, mistik dan misteri di dalam masyarakat Indonesia. Sang
editor Majalah JE, Angela Richardson, melalui catatan editorial secara eksplisit mengatakan bahwa budaya Indonesia masih memiliki afiliasi yang sangat kuat dengan
dunia mistik dan kepercayaan tentang roh dan hantu dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa contoh pun disebutkan oleh sang editor untuk mendeskripsikan hal mistik dan
hantu masih yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia, seperti, masyarakat Bali menyajikan suatu persembahan, dan masyarakat Jawa yang mempercayai penampakan
hantu dapat terlihat ketika saat matahari terbenam. Oleh karena itu, cover photo Majalah JE yang memuat foto pocongan cilik ini dapat dipahami bukan hanya sebagai sebuah
karya fotografi, melainkan telah mengantarkan para ekspatriat kepada sebuah stereotipe
174
tentang Indonesia, yakni sebagai bangsa Timur yang aneh berbeda dari kebiasaan kalangan Barat.
Kemudian, melalui kisah kehadiran para ekspatriat di Indonesia kita juga dapat mengetahui bagaimana stereotipe mengenai Indonesia di dalam persepsi orang asing.
Semisal kisah Roberto Puccini yang ingin datang ke Indonesia, yang mana beberapa temannnya berkata “It’s dangerous Don’t go there”. Dalam hal ini, teman-teman Puccini
yang merupakan kalangan Barat telah memiliki sebuah wacana tentang Indonesia. Ironisnya, wacana yang ada di dalam benak orang asing mengenai Indonesia adalah
tempat berbahaya. Teman-teman Puccini tersebut, entah sudah pernah atau belum ke Indonesia, tanpa ragu untuk memperingatkan dengan keras agar ia tidak pergi ke
Indonesia. Oleh karena itu, dari kisah Puccini ini dapat dipahami bahwa masih terdapat stereotipe negatif mengenai Indonesia yang bersemayam di dalam pikiran orang asing.
Setelah mengetahui beragam wacana kolonial yang menyelimuti Indonesia, dapat diketahui bahwa pada dasarnya para ekspatriat telah memoles kembali wajah Barat di
masa pasca-kolonial. Dengan menggunakan wacana Orientalisme dalam memandang maupun menempatkan Timur seperti Indonesia, para ekspatriat telah melanjutkan
kekuasaan wacana kolonial. Para ekspatriat terus mereproduksi wacana kolonial untuk disajikan kepada para pembacanya, bahkan semakin diperbaharui dengan melihat kondisi
kontemporer Indonesia. Oleh karena itu, wacana yang termuat pada rubrik dan beragam artikel di dalamnya, cover photo maupun kisah para ekspatriat, telah memberikan kembali
karakteristik maupun stereotipe mengenai Timur di masa pasca-kolonial, yakni melalui suatu cara Barat dalam merepresentasikan Timur McLeod, 2000:40.
Selain itu, pemaparan di atas juga dapat dipahami sebagai bentuk dari Latent Orientalism, yang berarti semacam cetak biru, dan Manifest Orientalism, yang tidak lain
175
hanya mempersoalkan perbedaan antara Barat dan Timur, sehingga dunia masih saja dibangun dari rancangan fundamental yang sama McLeod, 2000:43. Dalam hal ini, perlu
untuk dipahami bahwa Majalah JE telah berhasil memainkan perannya sebagai sebuah media untuk disajikan kepada para ekspatriat, dengan memberikan beragam arus wacana
informasi dan pengetahuan, tanpa terkecuali mengenai Indonesia. Oleh karena itu, makna yang terkandung pada Majalah JE tidak bebas nilai dari wacana kolonial, terutama ketika
terutama dikarenakan para ekspatriat tetap mencari dan mengkonstruksi segala perbedaan yang terdapat pada keduanya, Barat dan Timur.
Akhirnya, setelah menganilisis wacana kolonial kontemporer yang tersajikan oleh para ekspatriat di dalam Majalah JE, dapat diketahui bahwa muncul wacana yang serupa
seperti yang pernah dilakukan oleh para kolonialis dalam menghadirkan karateristik dan stereotipe tentang Timur, khususnya dalam kasus ini adalah Indonesia. Barat, melalui para
ekspatriat, kembali merekonstruksi karakteristik atas perbedaan yang radikal dan berbagai stereotipe tentang kehidupan masyarakat di luar Barat. Hal ini dapat dilihat dari wacana
yang diusung oleh para ekspatriat melalui Majalah JE dalam memberikan citra mengenai Indonesia di masa pasca-kolonial. Para ekspatriat mereproduksi wacana kolonial dengan
kondisi kontemporer di Indonesia, baik melalui foto yang dijadikan sebagai cover photo, ragam rubrik yang didalamnya memuat suatu artikel, hingga pandangan yang diberikan
oleh para ekspatriat mengenai kisah kehadiran mereka di Indonesia, yang mana kesemuanya tersajikan di dalam Majalah JE.
Dari pemaparan mengenai karakteristik dan stereotipe tentang Indonesia yang telah dibahas tersebut, maka persoalan yang muncul terkait wacana kolonial kontemporer ini
adalah bagaimana kondisi para ekspatriat di masa pasca-kolonial. Oleh karena itu, guna mendapatkan jawaban atas persoalan tersebut, penulis berupaya untuk melakukan suatu
176
langkah lanjutan guna memeriksa hingga menemukan kondisi sebenarnya atas kehadiran para ekspatriat maupun atas sajian tentang Indonesia yang termuat di dalam Majalah JE.
Dan selanjutnya, langkah yang penulis lakukan adalah membawa persoalan ekspatriat ke dalam teori Ruang Ketiga Homi K. Bhabha, terutama guna memberikan tafsiran atas
identitas ekspatriat di masa pasca-kolonial.