Kisah Para Ekspatriat EKSPATRIAT DI JAKARTA EXPAT

80 daur ulang kaca dan alumunium, memproduksinya di Italia dan menjualnya kepada para konsumen di Asia. Terkait dengan Indonesia, ia pun sengaja pindah ke Jakarta karena mendapatkan pengalaman ketika menemui beberapa pelanggan kaya yang berasal dari Indonesia sering berkata “Wow”. Atas pengalaman ini, ia memberanikan diri untuk datang dan melihat kondisi di Jakarta, serta mencoba untuk menemukan berbagai kompetitornya. Meskipun teman-temannya berkata “It’s dangerous Don’t go there”, namun ketika ia tiba di Jakarta dan tidak menemukan produk furniture dapur ala Italia, akhirnya ia pun memberanikan diri untuk mencoba membuka bisnis di Jakarta. Bahkan, ia pun menegaskan bahwa betapa sulitnya menemukan orang yang sungguh-sungguh ingin berinvestasi, bukan hanya mengenai mebel, melainkan juga pegawai. JE edisi 52:8 Pengalaman serupa juga dialami oleh Ian Smith 4 , seorang pria yang berasal dari Sunderland, Inggris. Sejak pertengahan tahun 1994 Smith telah berada di Indonesia, dan kini pun ia tengah bekerja sebagai salah satu direktur pada sebuah perusahaan pengembangan permukiman. Bagi Smith, peluang bisnis telah membuat hidupnya berhasil di Indonesia, sehingga ia pun tidak memiliki rencana untuk kembali ke Inggris dalam jangka panjang, kecuali hanya untuk sekedar liburan. Terlebih karena Smith akan merasa rindu dengan beragam hal seperti, kemacetan, banjir, golf, makanan, teman-teman dan orang-orang sekitarnya. JE edisi 57:8 4 “From Sunderland in the North East of England. For a total of more than 16 years in 2 seperate periods since mid-1994 until now. I’m a Chartered Surveyor and work in the real estate business. Like any real estate market, in the shorter term there will be ups and downs, but I believe over the longer term the trend will be steadily upwards. … I currently have no plans to return home to UK except for holiday. I’d miss the macet, the banjir, my friends, the golf, the food and the people although not necessarily in that order.” 81 Hal sama juga dialami oleh Stephane Poggi 5 , seorang desainer muda berusia 34 tahun yang berasal dari Prancis. Pertama kali ia mendarat di Indonesia adalah pada tahun 2001. Awal mula kedatangan Poggi disebabkan oleh ajakan seorang teman yang membutuhkan bantuannya untuk mengurus sebuah perusahan furniture yang khas berdesain gaya Prancis. Sebagai lulusan interior design, akhirnya Poggi pun bekerja untuk melakukan manajemen perusahaan temannya. Dan waktu yang berjalan cepat telah membuat dirinya tidak merasa telah menghabiskan waktu selama tujuh tahun di Jakarta. Dengan melihat peluang bisnis di Jakarta, kini Poggi pun memutuskan untuk fokus dan membangun gerai design miliknya sendiri, Stephanoccelli Interior Design. Terkait dirinya sebagai seorang designer interior, Poggi pun memiliki pandangan bahwa rumah kolonial dan kuil tua China adalah sebuah bangunan atau ruang di Indonesia yang memiliki nilai estetik, sehingga menjadi penting untuk dapat melihat dan mengerti bagaimana cara orang hidup sebelum kehadiran manusia di masa kini. Bahkan, ia menganggap bahwa secara kultural hal tersebut penting untuk mengerti masa lalu dan dapat digunakan untuk masa depan. JE edisi 66:10 Dari ketiga kisah para pebisnis asing di atas, dapat dipahami bahwa kesemuanya ingin mencoba meraih peruntungan di Indonesia. Namun, ada yang beberapa catatan yang menarik untuk dicermati, semisal kisah Roberto Puccini ketika ia ingin berkunjung ke Indonesia, yang mana beberapa temannnya berkata “It’s dangerous Don’t go there”. Peringatan ini tentu saja bukan hanya sekedar sebuah peringatan, melainkan sebuah pandangan dari mereka sebagai orang asing yang beranggapan bahwa Indonesia adalah 5 “I am French, 34 years old. I graduated from a French school and I am an interior designer. I landed in Indonesia in 2001. A friend of mine needed help to handle her furniture factory which was oriented in French style design. After seven years of management, I decided to focus on my main activity and created Stephanoccelli Interior Design. I would say colonial houses or old authentic Chinese temples. To see and understand the way people lived before us is important. I think that culturally, it is important to understand the past to be able to handle the future.” 82 sebuah negara yang berbahaya. Selain itu, Ian Smith juga memiliki pandangan mengenai Indonesia, khususnya Jakarta, yang dianggap selalu mengalami macet dan banjir. Bahkan Stephane Poggi, ketika ditanya mengenai salah satu bangunan estetik di Jakarta, ia pun lebih memilih rumah kolonial dan kuil tua China daripada berbagai bangunan yang ada di Jakarta. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa Poggi cenderung menegasikan bangunan- bangunan yang telah dibuat oleh orang Indonesia pasca-kolonial. Dengan kata lain, bangunan yang dibuat orang Indonesia pasca-kolonial tidak mampu mengungguli nilai estetik bangunan kolonial maupun kuil tua China. A.3. Perusahaan Dunia yang kini terhubung di bawah atap globalisasi tampaknya telah memudahkan manusia untuk dapat berpindah dari satu negara ke negara yang lain. Apalagi ketika sebuah perusahaan tempat seseorang bekerja mempunyai jaringan internasional di berbagai negara belahan dunia. Hal ini yang terjadi pada Anna Rohm 6 setelah tinggal hampir 6 tahun untuk bekerja di kawasan Timur Tengah, seperti, Uni Emirat Arab, Mesir dan Yordania. Oleh karena itu, ia pun berkeinginan untuk mencoba merasakan kehidupan di negara Asia lainnya. Dan Jakarta sebagai salah satu kota di Asia yang memiliki ikatan dengan perusahaan tempat ia bekerja telah memudahkan dirinya untuk datang ke ibukota Indonesia. JE edisi 59:6 Senada dengan pengalaman Mario Babin 7 , seorang CEO asal Kanada, yang bekerja pada sebuah perusahaan di bidang pelayanan perpindahan dan kesehatan dengan jaringan 6 “I lived in the Middle East for almost 6 years in UAE, Egypt and Jordan. Having worked a good amount of time in the Middle East I wanted to try out Asia. I came to Jakarta initially besides the fact that it was Asia because of the Mandarin Oriental Hotel chain.” 7 “I’m originally from Montreal, Canada. I look after two companies; Global Assistance and Healthcare and Global Assistance Medical Centre. We have a network of correspondents around the world for emergency assistance in 78 countries. I came here in 1995 for a year, and a year became a second year, and a second year became a third year. …. I’ve been here for 16 years Before Indonesia I was in Vietnam, Korea, Australia, China and Switzerland. …. Indonesia comes with the good and bad like every country. Everybody stresses 83 korespodensi di 78 negara. Awal mula ia datang ke Indonesia pada tahun 1995 untuk jangka waktu selama satu tahun, dan satu tahun menjadi tahun kedua, dan tahun kedua menjadi tahun ketiga, hingga ia telah berada di Indonesia selama 16 tahun. Meskipun sebelumnya ia pernah berada di Vietnam, Korea, Australia, China dan Swiss, namun baginya Indonesia adalah sebuah negara yang menarik. Menurutnya, Indonesia sama seperti setiap negara lainnya yang juga memiliki kebaikan dan keburukan. Di Jakarta, ia melihat bahwa setiap orang mengalami stress karena kemacetan, akan tetapi jika dicermati kembali dimana ia sedang berada, Jakarta merupakan sebuah tempat yang fantastik untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Bahkan ia menyarankan bahwa hidup di Jakarta bisa menjadi tempat yang indah dan sangat baik jika dapat belajar untuk mengelola stres. JE edisi 54:8 Begitu pula dengan Jean-Baptiste Mounier 8 , seorang Prancis yang bekerja sebagai seorang konsultan Informasi Teknologi IT. Pekerjaan telah membawa dirinya ke seberang lautan, yakni ke Indonesia. Dengan melihat kondisi Jakarta yang sangat padat, ia pun beranggapan bahwa Jakarta membutuhkan hiburan, tempat bermain yang tidak berada di ruang terbuka. Oleh karena itu, ia menciptakan sebuah permainan berbasis teknologi, yang pada khususnya ditujukan untuk kalangan anak muda. Dalam hal ini, ia menyakini bahwa tidak ada permainan di dalam ruang tertutup yang cukup untuk kalangan anak muda di Jakarta. Bahkan, ia beranggapan bahwa orang Indonesia tidaklah gila untuk melakukan aktifitas di luar ruangan. JE edisi 51:8 about traffic, but overall we have our ups and downs and if you look at where you are, it’s a fantastic place to live. Life can be very good here if you learn to manage the stress. Once you manage the stress it’s a beautiful place to be.” 8 “I am come from France, Grenoble, near the Alps. I started in the overseas army by working at the Economic Service of the French Embassy, in charge of the ITC market. For many years I was an IT Consultant. I am mainly involved in Web IT projects and more recently, we created Laser Game Indonesia The idea came a long time ago because I like games and I was looking for this kind of entertainment not long after I arrived in Jakarta. Of course, Jakarta needs entertainment, needs some playground, not much green space either… We believe that there are not enough indoor active games for the youngsters. What’s out there are outdoor games and Indonesians are not too crazy on outdoor activities.” 84 Dari ketiga kisah orang asing di atas, yang mana mereka bekerja pada perusahaan berskala internasional dengan mudah dapat berpindah ke negara lain. Anna Rohm, misalnya, memiliki keinginan untuk dapat merasakan bekerja dan tinggal di negara-negara Asia lainnya seperti Indonesia. Begitu pula dengan Mario Babin yang tidak menduga bahwa dirinya dapat tinggal di Indonesia bertahun-tahun. Bahkan Jean-Baptiste Mounier yang terbawa hingga ke seberang lautan, dari Eropa ke Indonesia, hingga ia dapat mewujudkan idenya untuk membuat sebuah permainan berbasis teknologi. Hal tersebut didasarkan pada penilaiannya mengenai orang Indonesia yang membutuhkan sebuah permainan di dalam ruangan. A.4. Pengajar Berkaitan dengan maraknya fenomena sekolah bertaraf internasional, pada khususnya sekolah-sekolah yang ditujukan untuk anak-anak para ekspatriat, serta lembaga pengajaran bahasa asing, seperti Bahasa Inggris, maka Native Teacher adalah salah satu lowongan pekerjaan yang sangat banyak dicari di Indonesia pada saat ini, terutama di Jakarta. Fenomena ini yang telah mendatangkan Catherine Parent 9 untuk menetap di Jakarta, yang mana sebelumnya ia tinggal di Lebanon dan Singapura. Bermula ia menjadi seorang pengajar Bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus, dan pada saat ini ia telah menjadi seorang pengajar di Jakarta International School. JE edisi 56:8 Pengalaman serupa juga terjadi pada Leonani dan Nani Nahooikaika 10 , dua perempuan bersaudara dari Haleiwa, Hawai, yang datang ke Indonesia karena Nani mendapatkan tawaran sebuah pekerjaan mengajar Hula. Dan kini keduanya bekerja 9 “I lived in Lebanon and Singapore and I also spent one year in Jakarta previously teaching English. … I am the dance teacher and this is my fifth school year, so four years in total at JIS.” 10 “We’re from Haleiwa. Nani was offered a job teaching hula in Indonesia. However, she refused to move to another country alone, so she convinced me to move with her. We both teach hula at Hawaii A Club Bali Resort in Anyer and are in charge of Hawaiian Activities at the Resort. We mainly teach hula to hotel staff and guests and are trying our best to bring the spirit of aloha from Hawaii to Indonesia. …. Life in Anyer is different Completely different from what life is like at home in Hawaii. Everything is very laid back.” 85 sebagai pengajar Hula di Hawaii A Club Bali Resort, Anyer, dan bertanggung jawab atas berbagai aktifitas Hawaii di Resort. Pekerjaan utama mereka adalah mengajarkan hula kepada staf hotel dan tamu, serta mencoba untuk membawa semangat aloha yang terbaik dari Hawaii ke Indonesia. Bagi mereka, hidup di Anyer sepenuhnya berbeda dengan di Hawaii, semuanya sangat bertolak belakang. JE edisi 49:10 Selain itu, ada juga Kristan Julius 11 , seorang Amerika yang telah tinggal di Jakarta lebih dari 20 tahun. Sebagai seorang pengajar internasional, ia telah mengajar di beberapa negara seperti Yugoslavia, Israel, dan Inggris. Baginya, setidaknya ada tiga hal yang paling ia sukai tentang Jakarta. Pertama, mengenai orang Indonesia, karena menurutnya tidak banyak orang yang bermurah hati di dunia ini sehingga ia banyak belajar tentang bagaimana cara hidup dari orang-orang Indonesia. Kedua, kehidupan Jakarta dengan gaya yang kacau, yaitu kehidupan malam sebagai kota pesta, yang mana komunitas ekspatriat dan tuan rumah orang Indonesia, keduanya saling tau bagaimana caranya membuat hal- hal yang menyenangkan. Dan yang terakhir, tempat ia bekerja di Jakarta International School JIS, menjadi tempat yang sangat menakjubkan untuk bekerja dengan sesama rekan dan orang muda. Meskipun ia sangat menyukai pekerjaan dan lingkungannya di Jakarta, namun kenyataan tidak sesuai dengan harapannya untuk tetap tinggal di Indonesia. Setetah 24 tahun mengajar di JIS, ia pun harus mengikuti sang suami yang berpindah kerja ke Jerman sebagai seorang konsultan. JE edisi 72:14 11 “I’m originally from the United States, but I have been living and teaching internationally in former Yugoslavia, Israel, England and Indonesia for most of my adult life. … First would be the people- there are no more generous-hearted people in the world. I have learned so much about how to live a full life from you all. Second, Jakarta’s lively chaotic lifestyle-it’s a night city and a party town. Both the expatriate community and our gracious hosts know how to have fun And last but not least, Jakarta International School, it has been the most wonderful place to work with talented colleagues and the best young people imaginable. … I had my own “Graduation” party at EP with around 200 members of my Jakarta community last month. It was wonderful to see so many friends together in one place After 24 years at JIS, my husband, Uwe, and I will be living in Duesseldorf, Germany, where he has accepted a consultancy.” 86 Dari ketiga pengajar ini dapat dipahami bahwa mereka memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing yang tidak dimiliki orang Indonesia. Karena itu, mereka mendapatkan peluang untuk bekerja di Indonesia. Catherine Parent, misalnya, sebelumnya ia pernah tinggal di Libanon dan Singapura hingga mendapatkan pekerjaan sebagai native teacher di Jakarta dan menjadi seorang guru di JIS. Begitu pula pada Leonani dan Nani yang berasal dari Hawaii untuk bekerja sebagai pengajar Hula di sebuah hotel kawasan Anyer. Leonani dan Nani menjalankan pekerjaan mereka hingga ke Indonesia, baik untuk sekedar hiburan maupun pertukaran budaya. Sementara itu, Kristan Julius yang telah datang ke Indonesia sejak awal tahun 90an dan mengajar di sebuah sekolah bertaraf internasional harus berhadapan dengan kenyataan yang mengharuskan dirinya pergi meninggalkan Indonesia. Dalam hal ini, Kristan Julius sebagai seorang ekspatriat yang telah lama tinggal di Indonesia juga belum dapat memastikan apakah ia dapat tinggal di sebuah negara tertentu untuk selamanya atau hanya sementara. A.5. Seniman Seperti yang telah dipaparkan oleh Erik Cohen bahwa ekspatriat juga mencakup para seniman, maka Laila Airlie Dempster 12 adalah salah satunya. Tahun 1971 adalah awal kedatangan dirinya ke Indonesia ketika menghadiri sebuah kongres Internasional gerakan spiritual yang disebut Subud. Sebagai seorang seniman yang telah melanglang buana ke banyak negara, ia merasa bahwa pekerjaan utamanya adalah mencakup seluruh dunia. Dengan membuat karya lukis yang lebih dominan bertemakan tentang Indonesia, maka ia pun mencoba untuk menyampaikan rasa cintanya kepada Indonesia, terutama terkait 12 “I came to Indonesia in 1971, to a big International congress of a world-wide spiritual movement called Subud. … I have worked primarily as a portrait artist all over the world, though now, established since 1971 in Jakarta, my work, aside from portraits also expresses my love for Indonesia, its people, traditions and landscapes.” 87 dengan orang-orang Indonesia, tradisi suatu masyarakat, serta pemandangan alam yang ada di Indonesia. JE edisi 66:10 Begitu pula dengan kisah seorang seniman Belanda, yaitu Gerard Mosterd 13 , yang di dalam dirinya mengalir darah Jawa dari sang Ibu. Sebagai seorang koreografer yang bergabung bersama kelompok ballet professional, ia telah menjadi seorang seniman yang dapat berpergian ke berbagai negara. Di samping itu, ia pun mendirikan sebuah tempat produksi bernama Kantor Pos yang ditujukan sebagai agensi pertukaran seniman di Asia dan Eropa dengan menyelenggarakan suatu pertunjukan antar seniman. Baginya, nama Kantor Pos sengaja dipilih untuk dapat mempersatukan Asia dan Eropa sebagaimana dengan memperlihatkan pertukaran antara kedua benua, karena keduanya dinilai bagian yang sama dari Eurasia, walaupun pada umumnya selalu dianggap sebagai dua identitas yang berbeda. JE edisi 70:14 Berdasarkan kisah kedua seniman yang beraktifitas lintas negara di atas dapat dikatakan bahwa mereka berupaya untuk sebuah pendokumentasian zaman, dan mencoba untuk mempertemukan ragam karakter yang berbeda. Sebagaimana merujuk pada pengertian seni, para seniman terus berupaya untuk menangkap situasi kondisi zaman hingga menuangkannya ke dalam sebuah sajian karya. Dempster, misalnya, berupaya memindahkan keindahan alam Indonesia ke atas kanvas. Sedangkan Mosterd mencoba untuk menampilkan gerakan tubuh orang-orang Asia dan Eropa di atas sebuah panggung. Bahkan upaya Mosterd tidak hanya berhenti sampai di situ, tetapi ia pun mencoba untuk 13 “I was born and raised in the Netherlands. My dad is a blond, my mum is black haired and almond eyed Asian, born in Medan within a mixed East Javanese family. … For eleven years I danced as a professional dancer worldwide with ballet companies and felt the desire to create physical theatre productions myself. I started my production company about three years ago. Kantor Pos is an agency, exchanging Asian and European performing arts. … The name is the Indonesian version of the Dutch word for post office, a place for international exchange of information. The name unites Asia and Europe as well as expressing the exchange between both continents. Asia and Europe are part of the same Eurasian continent but commonly regarded as two different identities.” 88 mempertemukan dua identitas yang berbeda, Asia dan Eropa. Dalam hal ini, ia menilai bahwa di samping perbedaan fisik, terdapat kecenderungan untuk memadukan, atau dapat dikatakan ingin menciptakan, suatu konsep maupun kondisi hibrid dan mimikri antara para seniman Asia dan Eropa. Dengan kata lain, Gerard menyadari lebih dulu bahwa ia telah mengalami hibriditas dalam kediriannya, yang mana dirinya terlahir dari pernikahan seorang Belanda dengan perempuan Indonesia. A.6. Liburan dan Petualangan Sebagai tempat yang menarik di wilayah tropis, sudah tak terbantahkan lagi bahwa Indonesia telah terbukti banyak menghadirkan para wisatawan dari berbagai mancanegara. Cuny Schuurmans 14 adalah seorang yang termasuk di dalamnya. Awal kedatangannya ke Indonesia pada tahun 1987 adalah hanya untuk berlibur, hingga akhirnya ia merasa jatuh cinta dengan Indonesia dan memutuskan untuk pindah secara permanen. Kemudian, ia pun membuka usaha perjalanan, yang mana kebanyakan para pelanggannya adalah orang asing, ekpatriat, dan berbagai perusahaan serta kedutaan. Meskipun telah cukup lama menetap di Indonesia, namun hingga saat ini ia belum mengetahui apakah suatu saat nanti akan kembali ke negara asalnya. Dalam hal ini ia merasa seperti telah kehilangan ‘sentuhan’ dengan negeri asalnya, yakni, Belanda, dan merasa bahwa Indonesia telah menjadi rumah baginya. Terkait perjalanan liburannya di Indonesia, Schuurmans menceritakan sebuah kisah perjalanannya pada tahun 80an yang menempuh waktu 7 hari dengan menggunakan 14 “We came in 1987 for a holiday and we loved it so much so we decided, also due to family ties, to move here permanently. ….Our clients are mostly foreigners, expats, both individuals and for companies. We also get many embassies booking through us. … Myself and my husband have done a lot of travelling, but we haven’t yet visited Kalimantan. Once we took a 7-day trip by boat to Irian Jaya and spent a week there which was a great experience. You spend the first few days getting accustomed to how sparsely dressed everyone is When we went there in the 80s, people had never seen a white person so they were so intrigued by us. Everyone would ask you for tobacco, not money. The women smoke and work and the men don’t seem to do much at all … We don’t know, although we don’t really feel at home in Holland anymore. We’ve lost touch. We definitely feel that home is here.” Cetak miring dari penulis 89 perahu ke Irian Jaya dan menghabiskan waktu seminggu untuk berada di sana. Selanjutnya, ia pun menceritakan bahwa pada hari-hari pertama di sana mencoba untuk terbiasa dengan semua orang Irian yang jarang berpakaian. Di samping itu, orang-orang Irian juga dideskripsikan begitu tertarik dengan kehadiran mereka karena tidak pernah melihat orang kulit putih. Bahkan, diceritakan bahwa semua orang Irian lebih cenderung akan meminta tembakau, bukan uang. JE edisi 56:8 Seirama dengan liburan, petualangan juga telah membawa Dave Metcalf 15 ke Indonesia. Sebagai seorang pengembara asal New Zealand, Metcalf telah mendatangi lebih dari 28 negara di dunia. Tahun 2000 adalah waktu pertama kalinya ia tiba di Indonesia karena ditempatkan di sebuah perusahaan. Namun, karena ia senang berkecimpung di dunia petualangan dan fotografi, terutama ketika ia menyadari bahwa Indonesia adalah salah satu negara di planet ini yang indah untuk dipotret, akhirnya ia rela mengundurkan diri dari tempatnya bekerja dan memutuskan untuk menjadi seorang fotografer. Baginya tidak ada keindahan yang mampu menandingi Indonesia karena terdapat keberagaman dari masyarakat, budaya, arsitektur, maupun pemandangan yang luar biasa. Pengalamannya selama bertualang di Indonesia telah mendapatkan banyak hal yang sangat menakjubkan, seperti keramah-tamahan hingga sikap saling menghormati dari orang setempat. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa Indonesia adalah surga bagi seorang fotografer yang menunggu untuk ditemukan. JE edisi 74:10 15 “I am originally from New Zealand. Thirty-three years ago I took my first overseas trip and I have never stopped travelling ever since. The wanderlust has taken me to over 28 Countries and I have had some incredible experiences. …I first came to Indonesia in 2000 and moved here with my family in 2001. At that time I was the Country Manager. I came up on an expat assignment. I became fed up with the corporate world some time ago and had a plan to return to Indonesia one day and take up photography full time. My travel experiences while I lived here gave me an appreciation for Indonesia and its people, and a belief that this is one of the most photogenic countries on the planet. It has so much diversity from people, cultures, architecture, unusual landscapes, and people, who love having their photos taken. Wherever I have traveled in Indonesia I have experienced the most wonderful hospitality and respect, and yes, people generally speaking love to have their photo taken. … But for me, nothing rivals Indonesia. It is a photographer’s paradise waiting to be discovered, so please come join” 90 Dari kedua kisah di atas, Cuny Schuurmans dan Dave Metcalf, mereka dapat dikatakan telah menambatkan hati di Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara tropis di dunia telah membuat mereka mendapatkan hal yang berbeda dibandingkan dengan negara asalnya. Di Indonesia pula, mereka mendapatkan liburan dan petualangan yang merubah jalan kehidupannya. Bahkan, Cunny Schuurmans telah memutuskan untuk tinggal permanen di Indonesia, sedangkan Dave Metcalf masih ingin terus mengeksplorasi Indonesia, yang dianggap sebagai surga dunia. Berdasarkan kisah Schuurmans, berawal dari sebuah perjalanan liburan yang membawanya ke Irian jaya telah meninggalkan bekas ingatan yang tidak terlupakan. Dari paparan kisahnya, dapat dicermati bagaimana ia menceritakan pengalamannya sewaktu berada di Irian Jaya; bertemu dengan suku yang jarang mengenakan pakaian, terlihat penasaran dan tertarik dengan kehadiran mereka sebagai orang kulit putih, hingga meminta tembakau kepada mereka, bukan uang. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa Schuurmans menarasikan orang-orang Irian Jaya dengan menggunakan wacana kolonial. Schuurmans menempatkan diri sebagai seorang yang modern, sedangkan orang Irian yang jarang mengenakan pakaian ditempatkan sebagai yang terbelakang. Oleh karena itu, pemposisian modern dan terbelakang adalah logika kolonial, yakni Barat penjajah adalah bangsa modern, sedangkan Timur terjajah adalah bangsa yang terbelakang. Begitu pula dengan Dave Metcalf yang tersihir atas eksotisme Indonesia. Eksotisme yang dimiliki Indonesia bukan hanya terletak pada alam, melainkan pada keragaman masyarakat, budaya, arsitektur, hingga pemandangan yang tidak biasa untuk ditemukan dimanapun. Oleh karena itu, ia pun rela untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang manajer. Bahkan ia dengan berani menyatakan bahwa Indonesia adalah surga yang ditunggu untuk ditemukan oleh para fotografer. Dengan demikian, kedua kisah 91 mereka, Schuurmans dan Metcalf, dapat dipahami sebagai kecenderungan orang asing melihat Indonesia dari sisi binerisme dan eksotisme, yang mana hal tersebut merupakan bagian dari karakteristik Timur dihadapan Barat. A.7. Mencari Negara Baru yang murah Tampaknya menjadi hal unik ketika ada seseorang mencari suatu negara yang ‘murah’ guna menjadi tempat persinggahan untuk jangka waktu sementara. Apalagi pada akhirnya orang tersebut telah menetap dalam jangka waktu yang cukup lama, bahkan belum memiliki rencana kepulangan ke negara asalnya. Hal itu yang telah dilakukan oleh Robert McKinnon 16 , seorang pria Skotlandia yang mengalami permasalahan visa saat berada di Australia hingga ia menemukan harga tiket yang termurah adalah ke Jakarta, Indonesia. Meskipun pada awalnya ia tidak memiliki gambaran tentang negara Indonesia, namun menjadi hal yang tidak terduga ketika menyadari bahwa dirinya telah berada di Indonesia lebih dari 20 tahun. Menurutnya, sejak tahun 1998 Indonesia telah mengalami perkembangan yang kuat dan sekarang menjadi tempat yang sangat baik untuk tinggal dan bekerja, juga sebagai tempat yang aman untuk hidup. Oleh sebab itu, ia sudah membuat rumah di Indonesia sehingga tidak berencana untuk pindah dari Indonesia. JE edisi 60:6 Kisah unik lainnya datang dari Tim Scott 17 , seorang Amerika yang datang ke Indonesia berawal dari penelusurannya di Google untuk mencari negara yang termurah 16 “I had to leave Australia because of visa problems, honestly, and the cheapest ticket out was to Jakarta. I had no idea about the country. I have now been here 22 years. I have made my home here. … All countries change. Indonesia has grown stronger since 1998 and is now a very nice place to live and work. It is also safer place to live. Apart from the people, I’d say the diversity of the food.” 17 “A Google search for “The cheapest countries to holiday in for one year” directed me to Asia, so I travelled through the Philippines, Thailand, Cambodia, Singapore and Indonesia. While visiting my good friend James Speck in Singapore he turned me on to his friend across the street and she said she was going to have a position open at the TV production company she works for in Jakarta. I sent a few emails, got an interview and three months later I’m living in Kemang and overseeing the production of Indonesian Idol Season 6 … When I first arrived I was very surprised how well I could produce TV here without knowing the language. But understanding the culture is another thing The biggest difficulty is the speed in which people work here and the level of quality they will accept. You could say that the TV industry here is about 20 years behind the West, so pushing for the ultimate best quality is very difficult and not something that the market is used to. I 92 sebagai tempat liburan untuk jangka waktu selama satu tahun. Karena itu, ia telah terbawa ke Asia; mulai dari Filipina, Thailand, Kamboja, Singapura lalu sampai ke Indonesia. Keberadaannya di Singapura adalah titik berangkat perjalanan hidupnya untuk berada di Indonesia. Ketika ia mengunjungi teman baiknya, James Speck di Singapura, seorang teman lainnya mengatakan bahwa terdapat lowongan pekerjaan di sebuah industri televisi di Jakarta. Kemudian, ia pun mengirim beberapa surat elektronik hingga mendapatkan sebuah panggilan wawancara. Dan tanpa diduga tiga bulan kemudian ia telah tinggal di Kemang dan bekerja untuk mengatur produksi suatu program televisi. Terkait pekerjaannya di industri televisi, Scott menceritakan bahwa ketika tiba pertama kali ia sangat terkejut seberapa baik dapat menghasilkan sebuah program televisi di Jakarta tanpa mengetahui bahasa. Akan tetapi, ia beranggapan lain bahwa kecepatan adalah inti orang bekerja di Jakarta, sedangkan tingkat kualitas akan diterima begitu saja. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa industri televisi di Indonesia masih berada sekitar dua puluh tahun di belakang Barat, sehingga untuk mendorong produksi dengan kualitas terbaik adalah akhir yang sangat sulit dan bukan sesuatu yang dapat digunakan untuk pasar. Bagi Scott, hidup di Jakarta tidak pernah membosankan. Ia sangat menikmati kehidupan dengan banyak orang, mall, maupun aktifitas malam, dan juga terkadang pergi keluar kota, seperti Bali atau Bandung untuk beberapa kali dalam sebulan. Namun jika sedang mengalami hari yang buruk dalam pekerjaannya, ia hanya akan pergi ke sebuah, yakni kafe Eastern Promise di Kemang untuk sekadar melepaskan penat dan tertawa dengan para ekspatriat lainnya. JE edisi 79:10 think I say, “This is good but it’s not good enough, it must be great” five times a day. … Life in Jakarta is never dull. I really enjoy the people, the malls and the nightlife but I need some blue sky and fresh air quite often. I try to sneak away to Bali or Bandung a couple times a month. If it’s an unusually bad day at work you’ll find me at Eastern Promise in Kemang venting to the smirking, chuckling expats that have been here much longer than me.” Cetak miring dari penulis 93 Tanpa melalui perencanaan sebuah perjalanan, Robert McKinnon dan Tim Scott akhirnya dapat tiba hingga bekerja di Jakarta, Indonesia. McKinnon, misalnya, dapat dikatakan bahwa ia bertaruh nasib ketika memilih untuk memutuskan membeli tiket ke Jakarta. Bahkan tanpa menduga, ia telah menghabiskan waktu selama 22 tahun hingga telah membuat rumahnya sendiri. Begitu juga dengan yang dialami oleh Tim Scott, penelusurannya di Google telah membawa dirinya dari benua Amerika hingga benua Asia. Namun demikian, perpindahan Scott ke Indonesia tidak begitu saja melepaskan sisi Amerika Barat di dalam dirinya. Hal ini terlihat dari pernyataan yang diberikan olehnya ketika mengatakan bahwa industri televisi di Indonesia tertinggal 20 tahun dari Barat. Bahkan, ia pun menegaskan bahwa kualitas terbaik dari sebuah produksi program televisi adalah akhir. Dengan kata lain, ia beranggapan bahwa pasar di Indonesia lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas, sehingga menjadi wajar apabila orang-orang di industri televisi, misalnya, bekerja dengan memakan waktu yang cukup banyak. Oleh karena itu, representasi diri Scott sebagai ekspatriat yang merupakan bagian dari identitas Barat mengandung wacana superior atau unggul dibandingkan dengan Timur seperti Indonesia. A.8. Keniscayaan Siapa yang dapat mengetahui akhir dari perjalanan seseorang? Pertanyaan ini kiranya yang melandasi kisah Dan Boylan 18 , seorang Amerika yang lahir di Boston. Ia telah meninggalkan Boston di usia mudanya untuk bekerja dan tinggal di Hong Kong 18 “I was born in one of the most historic parts of the United States, the outskirts of Boston. I left Boston in my 20s for Hong Kong and have worked, lived, and had some seriously close scrapes, in more than 40 countries since. My trip has been fast and wild and I thank destiny I am still here. … I first visited in 1991 when I was 20. As a journalist I covered 1998 and as a Fulbright Scholar I lived south of Blok M in 2001- 2002. Those who love Jakarta love her because she is where genesis meets the apocalypse and it often feels like Van Gogh has painted the street scenes that pass before me. Rumbling bajajs, old Javanese compassion in an Ibu’s eyes, saffron coloured water spraying from pipes as school children sing and the call to prayer wakes you long before sunrise. Jakarta is the biggest city in the tropics and one of the world’s greatest and she has taught me so much over the years and I love her for her flaws as well as her beauty.” 94 selama beberapa waktu. Sebagai seorang jurnalis, pembuat film, dan pencipta puisi telah membawanya menjalani lebih dari 40 negara dengan perjalanan waktu yang relatif singkat. Pertama kali ia mengunjungi Jakarta adalah pada tahun 1991. Kedua kalinya ketika ia bekerja sebagai jurnalis yang ditugaskan untuk meliput peristiwa 1998. Dan ketiga, saat ia menerima beasiswa Fulbright pada tahun 2001. Oleh karena itu, ia merasa bahwa keberadaannya di Indonesia adalah suatu keniscayaan. Di samping itu, Boylan menganggap bahwa Jakarta merupakan sebuah kota terbesar di wilayah tropis dan salah satu tempat terbaik di dunia, sehingga telah menjadi inspirasinya. Ia pun mengatakan bahwa untuk mencintai Jakarta sama dengan seperti mencintai seorang perempuan, karena awal mula pertemuan memberikan penyingkapkan dan itu sering terasa seperti karya Van Gogh pada lukisan pemandangan jalan; kegaduhan bajai, perasaan haru yang terlihat pada mata seorang perempuan tua, seruling pipa berwarna kuning sebagai nyanyian anak sekolah, dan panggilan doa Adzan Subuh yang membangunkan tidur sebelum matahari bersinar. JE edisi 80:10 Hal sama juga diamini oleh Warwick Purser 19 , seorang Australia yang kini telah berstatus menjadi Warga Negara Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia. Ia telah mendapatkan Naturalisasi karena kontribusinya yang memperkenalkan produk kerajinan lokal ke pangsa pasar Internasional, terlebih karena dirinya telah menghabiskan waktu lebih dari empat puluh tahun tinggal di Indonesia. Berawal dari 19 “A one week honeymoon in Bali in 1969, aged 22. I was on my way to London to start work in a big international travel agency. The one week became two weeks, then three weeks because I kept delaying my departure. On the sixth week after totally falling in love with Indonesia I sent a message and advised the company in London I would not be taking up my new job. … To be honest in the beginning I recognized a good business opportunity as so little Indonesian craft product was finding its way to the international market. Out of Asia pioneered the large-scale export of Indonesian crafts and this found its way into some of the largest and most prestigious retailers in the world. Once I saw how the business so visibly changed the lives of the crafts people involved, and at times there were many thousands. … It was possibly the easiest decision in my life because after forty years living here I had been “groomed” for it for a long time. I had actually started the process to become an Indonesian citizen and had been warned it would take a long time. I was so lucky, when people at “the top” stepped in and the process was reduced to less than a month. I didn’t ask for special assistance and I was so honored when it was given.” 95 liburan bulan madu di Bali pada tahun 1969 telah membawa dirinya untuk pertama kali ke Indonesia. Setelah berbulan madu, seharusnya ia melakukan perjalanan ke London untuk mulai bekerja di sebuah biro perjalanan internasional. Namun waktu yang begitu cepat berlalu, satu minggu menjadi dua minggu, lalu tiga minggu, dan ia pun selalu menunda keberangkatannya, hingga minggu keenam dan setelah benar-benar merasa jatuh cinta dengan Indonesia, pada akhirnya ia memutuskan untuk tidak mengambil pekerjaan di London. Selanjutnya, berdasarkan pengamatannya mengenai produk kerajinan Indonesia yang masih sedikit menemukan jalan ke pasar internasional, maka ia pun mencoba sebuah peluang untuk menjalankan bisnis eksportir di sekitar kawasan Asia Tenggara. Karena, baginya perkembangan bisnis eksportir dapat mengubah kehidupan banyak orang yang terlibat pada kerajinan tersebut. JE edisi 84:10 Poin menarik dari kisah Dan Boylan dan Warwick Purser adalah ketidak-terdugaan mereka untuk tinggal di Indonesia. Awal kedatangan mereka di Indonesia sebelumnya hanya sebuah persinggahan, namun seiring berjalannya waktu telah berubah menjadi tempat mereka bernaung kehidupan. Bahkan, Warwick Purser pun telah mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Terkait hal ini, muncul satu pertanyaan tambahan mengenai identitas ekspatriat. Apakah orang asing yang sudah mendapatkan naturalisasi masih menyandang identitas sebagai ekspatriat? Pertanyaan ini akan penulis bahas dalam analisis mengenai identitas dan representasi diri para ekspatriat di dalam Majalah JE.

B. Ekspatriat dalam Meet the Expats

Melalui sajian dalam rubrik Meet the Expats pada Majalah JE di atas kita telah melihat latar belakang para pendatang atau orang asing melakukan sebuah upaya representasi diri sebagai ekspatriat. Dengan kata lain, Majalah JE telah berperan aktif dan kreatif dalam menghadirkan hingga memaknai ekspatriat sebagai identitas orang asing 96 kulit putih di Indonesia. Oleh karena itu, pembahasan mengenai identitas beserta representasi ekspatriat ini penulis lakukan sebagai berikut: B.1. Identitas Ekspatriat yang non-esensialis Ekspatriat sebagai gagasan identitas senyatanya telah menjadi suatu hal yang problematis dan memiliki beragam kompleksitas. Kompleksitas identitas ekspatriat dapat dicermati dari berbagai proses wacana yang terkandung di dalamnya seperti yang termuat di dalam Majalah JE. Melalui Majalah JE, identitas ekspatriat terkonstruksi dengan menggunakan logika perbedaan terhadap sesama orang asing, sehingga terdapat proses penginklusian dan pengeksklusian sesama orang asing maupun orang kulit putih yang sedang berada di Indonesia. Adanya proses penginklusian di dalam identitas eskpatriat ini tentunya menjadi telah terkait dengan wacana ras. Wacana ras seakan menjadi senjata mutakhir untuk mendapatkan legitimasi di dalam suatu kehidupan masyarakat yang majemuk, dan menegaskan bahwa mereka memiliki perbedaan yang cukup signifikan dari kebanyakan orang lainnya. Meskipun ada yang dieksklusikan, namun pada kenyataannya terjadi pembiasan identitas, semisal terhadap orang kulit putih yang acapkali disebut bule. Alih- alih alasannya hanya lebih didasarkan pada asal dan rentan waktu keberadaan orang asing yang sedang berada di luar negaranya, seperti di Indonesia. Berdasarkan data yang terdapat di dalam Majalah JE, identitas ekspatriat seakan telah menjadi milik kepunyaan orang kulit putih. Hal ini terlihat dari rubrik Meet the Expats, yang mana kesemuanya adalah adalah orang kulit putih; Anna Feliciano, Luke Rowe, Roberto Puccini, Ian Smith, Stephane Poggi, Anna Rohm, Mario Babin, Jean- Baptiste Mounier, Catherine Parent, Leonani dan Nani Nahooikaika, Kristan Julius, Laila Airlie Dempster, Gerard Mosterd, Cuny Schuurmans, Dave Metcalf, Robert McKinnon, 97 Tim Scott, Dan Boylan, dan Warwick Purser. Oleh karena itu, identitas ekspatriat terkonstruksi atas dasar kehadiran orang kulit putih, khususnya mereka yang ingin mendapatkan pandangan berbeda dengan orang asing lainnya. Bahkan mereka tidak tanggung-tanggung merepresentasikan diri sebagai ekspatriat melalui sebuah media yang hegemonik, sehingga berbeda dari orang asing imigran lainnya maupun orang kulit putih kebanyakan bule. Media ini tidak hanya berupa sebuah Majalah JE, akan tetapi juga disebarluaskan di dunia maya melalui sebuah laman www.jakartaexpat.biz yang kini telah bertransformasi menjadi www.indonesiaexpat.biz. Pada perkembangannya, wacana identitas ekspatriat telah terbungkus dengan berbagai wacana lainnya, semisal kisah atau latar belakang kehidupan para ekspatriat, semisal, keluarga, bisnis, perusahaan, pengajar, seniman, liburan dan petualangan bahkan hingga ada yang memaknainya sebagai sebuah keniscayaan. Padahal ekspatriat sebagai identitas bukan merupakan suatu hal yang penuh dan selamanya utuh fixity. Sebagai identitas yang juga memasuki dalam lingkup tatanan global, ekspatriat juga dapat dikatakan menjadi suatu proyek identitas untuk mempertahankan status diri mereka saat sedang berada diluar negaranya. Hal ini lebih disebabkan pada zaman globalisasi seperti saat ini, wacana identitas telah berkeliaran bebas kepada siapa saja yang bersedia dan berkeinginan untuk menggunakan atau merepresentasikannya. Dalam lingkup global, tidak tertutup kemungkinan juga bahwa identitas ekspatriat dapat menjadi suatu identitas hegemoni, yang mana seseorang tidak menginginkan untuk kembali pada ikatan primordial. Bahkan, ekspatriat sebagai sebuah wacana yang mengglobal terus melakukan suatu upaya konstruksi guna memapankan identitasnya sebagai wujud jati diri. Oleh karena itu, ekspatriat telah menjadi suatu identitas yang tidak terberikan begitu saja, tetapi 98 terkonstruksi atas keberadaan diri seseorang secara otonom maupun kelompok yang sedang berada di luar negara atau tanah airnya. Terkait mengenai identitas ekspatriat yang selalu berupaya melakukan konstruksi secara terus menerus, dapat dipahami bahwa identitas tersebut bukanlah sesuatu yang telah berakhir atau mencapai puncak ketetapannya, sehingga bukan menjadi hal yang mudah untuk melakukan proses pelacakannya. Apalagi jika dikaitkan dengan beragam pendefinisian tentang ekspatriat yang belum memiliki kepastian, terutama mengenai karakteristik ekspatriat sebagai sebuah identitas yang bukan terberikan sejak manusia lahir. Merujuk kembali pada pembahasan di dalam Bab I, baik Fechter maupun Upton, keduanya saling mendasarkan identitas ekspatriat kepada para respondennya masing- masing. Selain itu, penelitian yang telah mereka lakukan juga telah memposisikan identitas ekspatriat bagi orang asing kulit putih. Fechter 2007:3, misalnya, seluruh respondennya adalah Euro-Amerika yang sedang berada di Indonesia. Sementara itu, Upton 1998 lebih memfokuskan pada orang-orang Kanada yang tengah berada di Papua Nugini. Dengan demikian, dari kedua penelitian Fechter dan Upton, identitas ekspatriat muncul sebagai bentuk identitas para pendatang atau orang asing kulit putih di sebuah negara tertentu. Namun demikian, kemunculan pembedaan tersebut tentunya disebabkan karena adanya mobilitas perpindahan manusia. Perpindahan manusia adalah salah satu unsur utama yang membuat seseorang dapat menjadi ekspatriat. Perpindahan manusia ini telah menciptakan suatu relasi wacana identitas yang membedakan antara pribumi dengan non- pribumi. Pembedaan ini menjadi semakin terlihat jelas saat dimunculkan dalam bentuk representasi, karena di dalamnya terdapat proses identifikasi. Artinya, terjadi suatu 99 konstelasi identitas, dimana para pendatang ingin mempertahankan identitasnya agar tidak hilang ketika berhadapan dengan masyarakat lokal. Terjadinya konstruksi identitas ekspatriat dapat dipahami sebagai salah satu bentuk upaya yang dapat menjanjikan ketetapan identitas bagi mereka sehingga telah memunculkan batas spasial. Dalam hal ini, ekspatriat sebagai sebuah identitas telah melakukan pembedaan sesama orang asing di Indonesia. Dengan demikian, konstruksi suatu identitas tidak dapat terpisahkan dari proses identifikasi dan pembedaan. Merujuk pada pandangan Stuart Hall 1996:1 yang telah mengajukan sebuah pertanyaan untuk merefleksikan suatu identitas, yaitu Who needs ‘Identity’?, maka jika dikaitkan dengan persoalan ekspatriat, pertanyaannya pun akan berubah menjadi, “Siapa yang butuh identitas ekspatriat?”. Atas pertanyaan bernuansa esensialis ini, Hall juga menyediakan dua cara untuk dapat menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Pertama, mengamati sesuatu yang bercirikan khusus untuk membongkar konsep identitas yang esensial dengan melakukan kritik dekonstruksi 1996:2. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa ekspatriat sebagai gagasan merupakan suatu identitas yang kembali dimunculkan dalam dunia kontemporer. Ciri khas dari identitas ekspatriat ini adalah perpindahan negara atau keluar dari tanah airnya. Oleh karena itu, identitas ekspatriat bukan sebuah konsep identitas yang esensial. Sebelumnya Fechter telah mengingatkan sebuah artikel lama milik Erik Cohen 1977 yang memaparkan bahwa ekspatriat ditujukan bagi orang Barat yang telah tinggal di luar negeri untuk jangka waktu panjang, terutama seniman, kolonial dan mereka yang umumnya memiliki misi dari satu jenis atau lebih. 20 Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa konstruksi identitas ekspatriat bukanlah suatu hal yang baru terjadi pada era 20 Dalam Fecther, A. M. 2007. Transnational Live Ekspatriat in Indonesia. England: Ashgate. Hal. 1.