They Came to Java

135 Setelah melihat kondisi pendidikan pada saat ini, Sutton mencoba untuk kembali ke masa lalu dengan merujuk catatan sejarah pada akhir abad ke-19. Sutton menganggap bahwa pendidikan Indonesia dianggap cukup baik hanya untuk putra dan putri penguasa kolonial Belanda dan keturunan Eurasia. Sementara elit pribumi hanya diajarkan untuk mengambil alih tugas Belanda, dan orang-orang di kampung sengaja diabaikan. Misalnya, pada tahun 1853 di Surabaya, ada upaya yang dilakukan untuk mendidik rakyat dengan membuka Maatschappij tot Nut van het Algmeen Lembaga Kesejahteraan Umum sebagai sekolah dasar dengan tujuan mengajar anak-anak Jawa mengenai beberapa dasar pengetahuan, tapi sekolah itupun ditutup tujuh tahun kemudian. Bagi Sutton, meskipun ekspansi pendidikan dimulai dari tahun 1870an hingga 1896; Surabaya membuat dua belas sekolah dasar, delapan diantaranya dijalankan pemerintah, sementara dua lainnya adalah sekolah Katolik, namun ia menggangap bahwa sebagian besar masyarakat belajar di pesantren tradisional, dimana terdapat Kyai yang dihormati untuk mengajarkan para siswa cara membaca Alquran. 32 Dari pembacaan atas artikel yang ditulis bergaya satire di atas dapat diketahui bahwa Sutton mengingatkan kembali bahwa pendidikan atau dalam arti lainnya adalah pengetahuan menjadi sebuah persoalan yang dinilai sebagai faktor utama bagi kemajuan suatu bangsa. Namun demikian, secara implisit, narasi yang disampaikan oleh Sutton melalui artikel ini masih menempatkan pendidikan Indonesia berada di bawah taraf pendidikan Barat. Selain itu, ia menganggap bahwa pendidikan di Indonesia sebagai sebuah ironi, dimana sejak masa kolonial Belanda, pendidikan hanya dapat diraih oleh 32 “At the end of the 19th century, education was considered good enough only for the sons and daughters of the Dutch colonial masters and their Eurasian offspring. … Despite the ‘expansion’ of the 1870s, by 1896 Surabaya boasted a grand total of 12 primary schools, eight of which were government run, with attendance extended to five years, while two were Catholic. For the vast majority of the population any learning came in the traditional pesentran where respected kyai taught students how to read the Koran.” 136 sekelompok masyarakat, bahkan dengan tegas dikatakan bahwa orang-orang kampung tidak mendapatkan perhatian akses pendidikan. Di samping itu, Sutton juga menilai bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia lebih cenderung untuk belajar di pesantren kepada seorang Kiai yang mengajarkan cara membaca Alquran. Dalam hal ini, Sutton tampaknya belum begitu mengetahui, atau memang sengaja mengingkari, bahwa pembelajaran di pesantren bukan hanya untuk mengetahui cara membaca Alquran, melainkan juga mempelajari beragam ilmu, seperti ilmu alam, ilmu sosial, bahasa, hingga filsafat. Dengan demikian, melalui artikel ini dapat diketahui bahwa ketika Sutton menyatakan bahwa Indonesia masih harus mengejar ketertinggalan lima puluh tahun yang hilang untuk dapat sejajar dengan pendidikan ala Barat, sehingga hal ini merupakan penanda dari suatu wacana kolonial kontemporer yang muncul di masa pasca-kolonial. C.2.2. Feature: a. Building in the Dutch East Indie in the Colonial Period 33 Pada tulisan ini, Heringa memulai narasinya dengan mengatakan bahwa para wisatawan selalu terkesan dengan kekayaan arsitektur di Indonesia, di samping struktur asli bangunan tradisional, candi Hindu dan Buddha, seperti Candi Prambanan dan Borobudur, Keraton Kerajaan Jawa di Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon, Masjid sebagai rumah ibadah umat Muslim, Kuil maupun rumah-rumah Cina di kota-kota pesisir Jawa. Selain itu, ada juga warna-warni peninggalan kolonial; dari abad ke-17 benteng Perusahaan Hindia Belanda pada abad 17 di Maluku, gudang tua Belanda di Jakarta, rumah-rumah dinas pada abad 18, proyek teknik sipil bergaya neo-klasik abad 19, gedung- gedung publik, pabrik-pabrik dan stasiun kereta api tak lama setelah pergantian abad, serta 33 Jakarta Expat 66 th Edition, p.4. This article was taken from Ir. F.J.L. Ghijsels, Architect in Indonesia, initiated by R.W. Heringa, who is the grandson of F.J.L. Ghijsels. 137 struktur modernistik tahun dua puluhan dan tiga puluhan, serta pengembangan kembali arsitektur di tahun lima puluhan. 34 Bertolak dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa atas nama ‘estetika’ kekayaan arsitektur bangunan yang terdapat di Indonesia, seperti rumah tradisional penduduk pribumi, candi, keraton, maupun bangunan kolonial Belanda, Heringa bermaksud ingin menyampaikan sisi lain dari keindahan alam di Indonesia. Dengan kata lain, ia beranggapan bahwa estetika dari kekayaan arsitektur bangunan yang dimiliki Indonesia merupakan bagian dari sisi eksotisme. Namun demikian, Heringa tidak serta merta langsung menganggap bahwa kekayaan arstitektur yang dimiliki Indonesia adalah murni karya pribumi Indonesia, tetapi ia berupaya untuk menunjukkan percampuran yang terjadi di zaman kolonial Belanda. Dalam hal ini, Heringa menekankan bahwa para arsitek di masa kolonial telah memberikan sumbangsih atas kekayaan arsitektur bangunan Indonesia yang acapkali memberikan kesan pada para wisatawan. Bahkan Heringa, lebih lanjut, menyatakan bahwa Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels 1882-1947 secara khusus telah memainkan peranan penting dalam hal pembangunan di Hindia Belanda, melihat karir Ghijsels dalam jangka waktu 20 tahun yang menghasilkan berbagai puluhan desain, banyak bangunan dirancang dan dibangun, seperti Stasiun Kereta Api Kota Batavia dan Hotel des Indes, yang mana sebagian besar hingga saat ini dikagumi oleh banyak orang. 35 34 “Travellers in Indonesia are always impressed by the richness of its architecture. Besides traditional native structures, there are Hindu and Buddhist temples, such as the Prambanan and the Borobudur, the kratons palaces of Javanese royalty in Yogyakarta, Surakarta and Cirebon, Islamic prayer houses and mosques, Chinese temples and houses in the coastal towns of Java. There is also the colourful colonial inheritance: the 17th century Dutch East Indies Company forts in the Moluccas, the old Dutch warehouses in Jakarta, 18th century country houses, neo-classical 19th century civil engineering projects, public buildings, factories and railway stations dating from shortly after the turn of the century, modernistic structures from the twenties and thirties and the ‘redevelopment architecture’ of the fifties.” 35 “Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels 1882 – 1947, in particular, played an important role in this. His active career covered a period of 20 years during which he produced dozens of designs. Many of the