128
Suropati, Menteng, Jakarta. Dengan demikian, trick effects pada foto ini adalah sebuah pocong cilik dengan nuansa mistik.
Kedua, pose pada foto ini menggambarkan seorang anak kecil laki-laki yang sedang terikat dalam kain kafan. Dalam foto ini juga terlihat bahwa sang anak tidak
menghadap lensa kamera sang fotografer. Ketiga, daya tarik objek pada foto ini adalah tunggal. Meskipun pada bagian
belakang objek terlihat beberapa orang yang samar-samar blur, namun objek tersebut tidak dapat membangun sebuah foto menjadi sintaksis yang terdiri dari beragam objek.
Keempat, fotogenia pada foto yang dicetak portrait ini telah memberikan gambar menjadi lebih sempit hingga tidak dapat memperlihatkan kondisi maupun lokasi di sekitar
kejadian. Selain itu, foto ini juga menjadi terbatas karena hanya memperlihatkan sang anak yang dijadikan sebagai fokus pada lensa kamera.
Kelima, estetisisme foto ini menggambarkan bahwa masih terdapat hal mistik di dalam masyarakat Indonesia. Unsur-unsur yang ada pada foto ini, seperti pocong
dikodekan dalam sebagai afiliasi yang sangat kuat dengan dunia mistik dan kepercayaan tentang roh dan hantu dalam kehidupan sehari-hari.
Keenam, tidak ada sintaksis pada foto ini karena tidak terdapat foto lain yang membentuk suatu rangkaian kejadian yang saling berkesinambungan telah membuat
penanda konotasi hanya terdapat pada satu foto tunggal, yaitu yang termuat dalam Majalah JE, foto pocongan cilik.
c. Teks dan Imaji
Majalah JE pada edisi 80, terbit 24 Oktober - 06 November 2012, memuat sebuah foto dengan keterangan judul “Pocongan Cilik”. Pesan teks ini telah membuat suatu
konotasi terhadap pembacanya, sehingga imaji mengilustrasikan kata-kata sebagai sesuatu
129
yang menimbulkan beragam pandangan mengenai konteks foto. “Pocongan” telah menjadi sebuah konotasi mengenai masyarakat Indonesia yang masih dilingkupi nuansa
mistik, sedangkan “cilik” mengkonotasikan sifat maupun kondisi kekanak-kanakan. Dalam hal ini, teks yang tercantumkan dalam imaji berkembang dan mengeksplisitkan
sesuatu dari proyeksi imaji. Dengan demikian, teks pada foto ini memproduksi petanda secara retroaktif yang diproyeksikan ke dalam imaji, sehingga pesan konotatif dalam imaji
tersebut adalah mengenai karakteristik dan stereotipe Indonesia, yakni mistik atau irasional dan diposisikan sebagai subjek yang masih belum dewasa.
d. Insignifikasi Fotografis
Foto Pocongan Cilik telah memberikan penanda bahwa masyarakat Indonesia memiliki kepercayaan terhadap hal mistik dan hantu. Penanda ini yang menjadi proses
dialektis dalam memberikan imaji mengenai Indonesia yang mempercayai hal-hal tidak kasat mata. Meskipun foto ini diambil dalam sebuah acara yang bernuansa mistik, namun
pendokumentasian dalam sebuah foto, terutama ketika menjadi sebuah cover photo media, telah memberikan afiliasi terhadap dunia mistik dan kepercayaan tentang roh dan hantu
dalam kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat Indonesia. Dari ketiga foto yang tersajikan sebagai cover photo pada Majalah JE, dapat
diketahui bahwa setidaknya terdapat tiga unsur terkait wacana kolonial. Pertama, Majalah JE menghadirkan kembali stereotipe tentang pribumi melalui sebuah foto pernikahan
campur, sehingga para ekspatriat telah menghubungkan kepada wacana Timur yang feminin, memiliki sifat pasif ataupun menggoda Barat. Kedua, Majalah JE menampilkan
foto suku Dani yang dikontraskan dengan modernitas, sehingga telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang masih memiliki masyarakat primitif. Dengan kata lain,
melalui Majalah JE, para ekspatriat telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari
130
Timur yang tidak mengalami kemajuan seperti Barat. Dan yang terakhir, Majalah JE memberikan sajian tentang masyarakat Indonesia yang masih menyimpan kepercayaan
terhadap sesuatu hal yang mistis, atau dalam pandangan Orientalisme, hal ini telah menempatkan Indonesia sebagai yang aneh atau asing jika dibandingkan dengan Barat
yang mengunggulkan sisi rasionalitas. Oleh karena itu, sebuah foto bukan hanya sekedar hasil fotografi, melainkan dibalik sebuah foto terdapat muatan wacana yang tersembunyi.
Selain itu, ketiga foto yang telah diuraikan di atas juga dapat dipahami bahwa Majalah JE tengah menghadirkan wacana kolonial kontemporer. Namun demikian,
persoalan wacana kolonial kontemporer ini akan penulis bahas pada bab selanjutnya untuk di analisis lebih mendalam. Dan sebelum melangkah pada bab selanjutnya, terlebih dahulu
penulis akan menyajikan ragam rubrik yang terdapat di dalam Majalah JE. Hal ini dikarenakan penulis mencermati adanya wacana kolonial dalam berbagai rubrik maupun
artikel yang tersajikan di dalam Majalah JE. Oleh karena itu, rubrik maupun artikel yang termuat di dalam Majalah JE ini akan dipergunakan sebagai data dalam membahas analisis
wacana kolonial kontemporer pada bab selanjutnya.
C.2. Rubrik sebagai Wacana Pengetahuan
Penulis beranggapan bahwa Majalah JE sebagai sebuah media bagi para ekspatriat sangat sadar mengenai posisi dan status Indonesia yang notabenenya adalah negara dunia
ketiga dan pernah terjajah. Hal ini dapat dicermati melalui beragam rubrik, seperti Moment in History, Feature, Observations, Culture, dan Literature, yang masing-masing
didalamnya menyajikan artikel dengan memuat seputar Indonesia di masa kolonial. Oleh karena itu, beberapa artikel yang terdapat pada rubrik Majalah JE ini sengaja penulis
hadirkan kembali guna memperlihatkan bahwa para ekspatriat masih melanggengkan wacana kolonial tentang Indonesia.
131
C.2.1. Moment in History:
Pada rubrik Moment in History ini, Antony Sutton sebagai seorang ekspatriat acapkali memberikan kontribusi tulisan kepada Majalah JE. Tulisan yang dihasilkan oleh
Sutton lebih banyak memuat tentang Indonesia dengan corak tulisan bernuansa sejarah. Sebagaimana tulisan-tulisan Sutton dapat dicermati pada dua artikel, They Came to Java
dan Educating the Past di bawah ini.
a. They Came to Java
26
Pada artikel ini, dapat dipahami bahwa Antony Sutton bukan hanya ingin menceritakan bagaimana kehadiran orang asing di Jawa, melainkan juga bermaksud
memberikan beberapa pandangan mengenai Jawa di masa lampau, yang mana kesemuanya bermuara pada sisi eksostisme Jawa. Hal ini dapat dicermati ketika Sutton memulai narasi
artikel ini dengan mengutip sebuah pandangan dari seorang Alfred Wallace, yang berpendapat bahwa pada abad ke-19 Jawa merupakan “… pulau tropis terbaik di dunia.”
Selain Wallace, Sutton juga menyebutkan nama yang tidak begitu terkenal, yakni Nicolo Conti yang pernah berkunjung ke Jawa di abad ke-15 sebagai bagian dari sebuah
perjalanan yang berlangsung selama 25 tahun, dan tidak terlalu terkesan dengan orang- orang yang ditemuinya di Jawa, sehingga Conti mendeskripsikan bahwa mereka yang di
Jawa lebih kejam dan tidak manusiawi daripada bangsa lain; dirasa berdosa karena mengkonsumsi tikus, anjing dan kucing’.
27
Di samping itu, Antony Sutton pun bernostalgia atas pengalaman dirinya pada tahun 1980an ketika melakukan sebuah perjalanan ke Gunung Bromo. Bahkan, Sutton
26
Jakarta Expat 42
th
Edition, p.14. Written by Antony Sutton.
27
“For the first time in Java I was able to relate to Alfred Wallace, the famed Botanist and long beard grower who opined, back in the 19th Century that Java was ‘… the finest tropical island in the world.’ ….
Not so well known was Nicolo Conti who visited in the 15th Century as part of a journey that lasted 25 years. He also was none too impressed by the people he met on Java, describing them as ‘more inhuman and
cruel than any other nation.’Among their perceived sins was the consumption of ‘mice, dogs and cats’.”