Catatan Penutup EKSPATRIAT DI JAKARTA EXPAT

161 Pada artikel They Came to Java yang termuat di dalam rubrik Moment in History ini, Anthony Sutton mencoba untuk memperlihatkan bagaimana kalangan Barat dapat berfantasi ria dalam memandang Indonesia. Sutton, dengan mengutip pandangan Alfred Wallace, memaparkan bahwa pada abad ke-19 Jawa merupakan sebuah pulau tropis terbaik di dunia. Akan tetapi, jika kita menelisik lebih mendalam kisah perjalanan selama kehidupan Wallace, sebagaimana yang tertuang dalam biografinya, ia hanya mengunjungi Amazon dan beberapa kawasan di Asia Tenggara. Sementara itu, kawasan tropis lainnya seperti Afrika absen dari rekening penjelajahan sang petualang Wallace. Oleh karena itu, Wallace sebagai seorang Barat secara tidak sadar telah memfantasikan Jawa sebagai pulau tropis terbaik di dunia, sehingga telah meniadakan pulau tropis lainnya. Begitu pula dengan fantasi Sutton yang turut menceritakan pengalamannya saat mengunjungi Bromo pada tahun 1980an, dan menyandingkan hal tersebut dengan seorang petualang John Whitehead, hingga keduanya sama-sama menilai bahwa Jawa adalah tempat eksotis di wilayah tropis. Dengan demikian, dalam hal ini Sutton masih menggunakan sudut pandang yang sama dengan Wallace, yakni berkelanjutan dalam memberikan suatu sisi eksotisme tentang dunia Timur, seperti Indonesia melalui pulau Jawa. Di samping itu, bergerak mundur pada kisah di abad-abad sebelumnya, Sutton pun kembali memaparkan bahwa abad ke-16 adalah sebuah awal perlombaan untuk mendapatkan kepulauan Rempah di Nusantara. Karena itu, kehadiran Belanda maupun Inggris yang menjadikan Banten sebagai wilayah menetap kedua negara kolonial ini seakan telah menjadi lumrah. Namun demikian, pada artikel ini Sutton tidak serta merta menyinggung atau memberikan suatu penjelasan mengenai bagaimana bentuk kehidupan kolonialis di negara kolonial. Dengan kata lain, Sutton telah abai terhadap praktik kolonial sehingga tidak menarasikan apapun yang berkaitan dengan kondisi kehidupan para 162 kolonialis Eropa, seperti Belanda dan Inggris saat berada di seberang lautan negara-negara Barat seperti di Timur. Oleh karena itu, atas adanya artikel ini penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa Sutton telah memberikan beberapa wacana kepada para pembaca Majalah JE, di antaranya, legitimasi negara-negara Barat yang berlomba untuk mendapatkan Timur kolonialisme, melalukan dominasi dan menduduki Nusantara karena menyimpan kekayaan alam yang dapat menyediakan keuntungan bagi Barat, hingga Barat dianggap lumrah untuk dapat membuat berbagai aturan kolonial di tanah Timur. Selain itu, dengan mengutip catatan perjalanan Nicolo de Conti, Sutton pun telah mereproduksi kembali suatu ingatan kepada para pembaca Majalah JE bahwa pada beberapa abad sebelumnya, yakni di abad ke-15, Jawa dideskripsikan sebagai wilayah yang lebih kejam dan tidak manusiawi daripada bangsa lain; dirasa berdosa karena mengkonsumsi tikus, anjing dan kucing. Meskipun Sutton tidak mengafirmasi persepsi tersebut, namun ia tampaknya berupaya untuk memberikan sebuah deskripsi mengenai Jawa sebelum kedatangan bangsa Eropa Barat, yang mana masyarakat Jawa hidup dalam keadaan barbar bahkan dikatakan primitif. Dalam hal ini muncul wacana mengenai Timur yang seolah-olah butuh untuk diajarkan dan diperadabkan karena memiliki kemorosotan moral, sehingga kolonialisme telah menjadi dalih bagi para kolonialis Barat untuk melakukan penaklukan dan penjajahan. Melalui artikel They Came to Java ini juga, penulis mencermati bahwa gagasan pokok Sutton adalah bertujuan untuk mendeskripsikan Indonesia sebagai suatu realitas yang berbeda dari Barat. Dalam hal ini, Sutton merekonstruksi imaji Indonesia melalui fantasi dengan menjadikan Timur sebagai sesuatu yang tidak sama dengan Barat. Dengan kata lain, fantasi yang dilakukan oleh Sutton melalui artikel ini telah memberikan sebuah kesamaan dirinya seperti dengan yang telah dilakukan oleh para Orientalis Barat pada 163 beberapa abad yang silam. Sutton sebagai seorang ekspatriat telah menggunakan fantasi dirinya sebagai bagian dari bentuk mekanisme wacana Orientalisme untuk menciptakan suatu asumsi maupun deskripsi tentang Timur yang sangat berbeda dengan Barat, yang mana pada artikel ini membahas tentang Jawa. Selanjutnya, pada artikel Sutton yang lain, Educating the Past, penulis mencermati bagaimana Sutton telah memberikan suatu deskripsi mengenai Indonesia sebagai bagian dari Timur yang memiliki perbedaan fundamental dengan Barat. Dengan mengangkat tema seputar dunia pendidikan, pada artikel Educating the Past ini Sutton mencoba untuk mengatakan bahwa Indonesia masih memiliki ketertinggalan dari Barat. Berdasarkan kacamata Sutton, Indonesia dinilai masih menjalankan sistem pendidikan yang lama, seperti belajar hafalan maupun mengingat rumus. Sementara itu, pendidikan di Barat dinilai telah mengalami perkembangan maju dengan mengajarkan para siswa untuk berpikir kreatif, menggunakan layanan internet, hingga mendapatkan pelajaran bahasa yang berbeda. Oleh karena itu, pada artikel ini Sutton telah merekonstruksi kembali oposisi biner antara Barat dan Timur, yang mana Barat dianggap sebagai bangsa maju, sedangkan Timur sebagai bangsa yang sedang berkembang maupun tertinggal. Sutton juga mengatakan bahwa pada saat ini pendidikan Indonesia masih menanggung beban historis untuk mengejar ketinggalan waktu setengah abad terakhir. Bertolak dari sejarah pendidikan Indonesia, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Sutton mengingatkan kembali bahwa pendidikan Indonesia belum mencakup semua golongan masyarakat. Pada akhir abad ke-19, Sutton memaparkan bahwa pendidikan hanya dapat diterima oleh masyarakat keturunan Eropa maupun Eurasia dan kalangan elit pribumi, sedangkan orang-orang kampung di pedesaan, bahkan di pedalaman diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, pada masa kolonial kalangan Eropa “merasa