Kehadiran Orang Asing di Nusantara
36
langkah untuk pertama kalinya dalam mengidentifikasikan masyarakat ke dalam kelompok atau golongan maupun berdasarkan identitas masing-masing di Nusantara.
A.1. Penggolongan Masyarakat Asing di Masa Kolonial
Dari permulaan penduduk Batavia yang terdiri atas beragam golongan, hidup terpisah menurut adat-istiadat masing-masing, dan saling bertemu di tengah-tengah
keramaian pasar telah membuat masing-masing golongan memahatkan tempatnya sendiri- sendiri di dalam masyarakat. Pada awalnya pemerintah Hindia-Belanda menggunakan
kemajemukan yang terdapat di dalam masyarakat sebagai suatu konsep ekonomi, namun dalam perkembangannya diterapkan untuk maksud-maksud sosial dan politik Blusse
1988:7. Dengan kata lain, pemerintah kolonial telah melakukan proyek identifikasi di dalam masyarakat.
Seorang Sejarawan Niemeijer, misalnya, telah melakukan suatu upaya yang cukup menarik dalam menyajikan alur cerita tentang kondisi kehidupan masyarakat kolonial
abad 17 di Batavia. Niemeijer menguraikan bahwa telah terjadi konfrontasi di dalam masyarakat yang tinggal di Batavia, antara para pendatang dengan pribumi. Para
pendatang yang dimaksud adalah kalangan Eropa, India, Cina, maupun Melayu dan beberapa yang berasal dari mancanegara lainnya, sedangkan kalangan pribumi merujuk
pada beberapa kerajaan di Jawa, yang mana acapkali melakukan perlawanan terhadap para pendatang, khususnya ditujukan bagi orang-orang kulit putih Niemeijer, 2012:30.
Seiring dengan laju kehidupan sosial di dalam masyarakat yang semakin beragam, Belanda melakukan penggolongan masyarakat dengan menyematkan berbagai istilah-kata
dalam kehidupan sosial. Utamanya adalah orang Eropa sebagai kalangan dengan berstatus tinggi di dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, ada pula beberapa sebutan bagi
orang Eropa yang tinggal selama beberapa tahun atau sementara di Batavia, yakni Trekker
37
sebagaimana disebut oleh orang Belanda Blackburn, 2011:83, dan Blijvers untuk menyebut penduduk tetap, yang melihat Hindia-Belanda sebagai rumah tercintanya
Gouda, 2007:61. Selain itu, terdapat sebutan Inlander, istilah yang awalnya diperuntukkan bagi kalangan pribumi, dan selanjutnya ditujukan bagi keturunan dari para
wanita Eropa dan Asia apabila mereka tidak lagi diakui oleh sang ayah yang Eropa. Istilah inlander ini juga mengalami peyorasi dan berkonotasi merendahkan, yang bersangkutan
adalah orang yang status sosialnya ditempatkan lebih rendah dari status orang Eropa. Kemudian, ada pula istilah Casado yang ditujukan bagi para penjajah portugis dan
Indo-Portugis, secara khusus diperuntukkan bagi orang Portugis yang menikah dan menetap di wilayah Asia. Ketika Nusantara berada di bawah naungan pemerintah
HindiaBelanda, para casado ini mendapatkan porsi yang sangat terbatas dalam memainkan peran dan aktifitas perdagangan. Sementara para peranakan Portugis yang masih dapat
berbicara bahasa portugis mendapatkan sebutan sebagai Mardijker. Selain itu, terdapat juga istilah Mestizo yang ditujukan pada orang-orang berdarah
campuran, yaitu hasil pernikahan antara kalangan Eropa dengan Asia, khususnya dengan pribumi. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan Inlander, akan tetapi
cenderung tidak berkonotasi untuk merendahkan mereka yang lahir dari hasil perkawinan campur. Bahkan, ada juga istilah Masyarakat Merdeka, yaitu status masyarakat yang
dinyatakan sebagai orang bebas, mencakup para pengusaha Eropa, seperti Portugis yang terlibat dalam aktifitas perdagangan di Nusantara maupun orang-orang Eropa yang bukan
atau tidak lagi menjadi pegawai VOC. Status ini juga telah mendikotomikan orang yang bebas sebagai para pedagang dan pengusaha dengan orang yang menjadi budak di bawah
naungan suatu golongan masyarakat tertentu.
38
Untuk mempermudah kita dalam melihat kondisi beragamnya penduduk yang didasarkan pada pengolongan masyarakat, berikut ini adalah sebuah pemetaan laju
perkembangan kependudukan di Batavia. Pemetaan ini sekiranya dapat memberikan gambaran atas kondisi ruang masyarakat Batavia, yang mana ditempati oleh kalangan
bangsa Eropa, peranakan atau biasa disebut sebagai Mestizo, orang Cina, dan beberapa kelompok kecil bangsa-bangsa Asia lainnya.
3679 2407
1783 867
670
Diagram aneka golongan penduduk utama, 1699
Cina Merdeka
Eropa
4199 1038
1279 299 421
Diagram aneka golongan penduduk utama, 1739
Cina Merdeka
Eropa Lain-lain
Intramuros Batavia 1699 dan 1739 Blusse, 1998:155
Sajian diagram di atas merupakan suatu ilustrasi untuk dapat melihat dinamika penduduk di dalam kehidupan sosial Batavia. Berdasarkan diagram tersebut kita juga
dapat mengetahui bahwa kehadiran orang kulit putih di Batavia mengalami pasang surut. Kondisi pasang surut tersebut tentunya telah menjadi perhatian serius bagi Belanda,
terutama karena laju pertumbuhan Kota Batavia semakin dipenuhi oleh kalangan Cina. Padahal, jika ditelisik awal tujuan pembangunan Kota Batavia, Coen selaku pemegang
kekuasaan Belanda di Batavia menginginkan orang kulit putih untuk menjadi poros kekuatan perdagangan.
Sejak didirikan, Batavia dimaksudkan untuk menjadi sebuah wilayah jajahan, menempatkan kehadiran kalangan Eropa sebagai tulang punggung masyarakat yang baru
di tanah jajahan, didukung dan bertumpu dari ragam penduduk Asia, seperti India dan
39
Cina, serta pribumi. Oleh karena itu, dari diagram di atas kita dapat mengetahui bahwa para penduduk pribumi tidak berada dalam sebuah pemetaan maupun narasi kolonial
untuk diperhitungkan sebagai bagian yang cukup penting dari dinamika masyarakat. Dalam narasi kolonial kalangan Eropa, Belanda selalu menjadi pusat perhatian
bagi perkembangan Kota Batavia. Orang Belanda tinggal di lingkungan yang terhormat dan dikhususkan untuk orang Eropa saja, bahkan pemerintah Hindia-Belanda mengusir
pemilik rumah orang Indonesia dan Cina de Vries, 1972:28. Sementara itu, golongan penduduk lainnya seperti peranakan, orang-orang merdeka, maupun pribumi tinggal di
kampung masing-masing. Bahkan, penduduk pribumi tidak mendapatkan akses yang terbuka untuk masuk ke dalam wilayah Batavia karena Pemerintah Hindia-Belanda
menutup pintu bagi orang-orang pribumi, khususnya orang Jawa sulit memasuki Batavia dengan alasan mengingat mereka bisa disusupi oleh para infiltran dari Mataram dan
Banten – dua negara yang bermusuhan dengan Kompeni Blusse, 1998:156. Oleh karena itu, Batavia telah menjadi kota yang sangat tertutup bagi kalangan di luar orang kulit putih
atau golongan Eropa. Selain mengenai dinamika kehadiran orang kulit putih di masa kolonial, terdapat
satu fakta menarik mengenai meningkatnya jumlah orang eropa secara besar-besaran dalam waktu beberapa abad berikutnya. Menurut Lombard 2008:78, pada awal abad ke-
19, jumlah orang Eropa tidak lebih dari beberapa ribu saja, akan tetapi pada tahun 1850 mengalami peningkatan menjadi 22.000 orang. Selanjutnya, pada tahun 1872 orang-orang
Eropa berjumlah sebanyak 36.467 orang, tahun hingga membludak pada tahun 1905 menjadi 80.912 orang. Oleh sebab itu, kehadiran orang Eropa di telah memberikan
pengaruh yang signifikan bagi perkembangan masyarakat Hindia-Belanda di awal abad ke-20, terutama dalam menguasai tanah perkebunan dan perindustrian serta perdagangan.
40
Dengan demikian, upaya penggolongan masyarakat yang sengaja diciptakan oleh Belanda telah menjadi komponen penting untuk mengetahui dan memperlihatkan struktur, serta
stereotipe kehidupan sosial masyarakat atas hadirnya para pendatang, baik kalangan Eropa maupun Asia yang berada di Batavia.
A.2. Orang Kulit Putih di Masa Kolonial
Beberapa kalangan menjelaskan bahwa kehadiran orang kulit putih di Batavia memiliki beberapa persoalan, baik itu terhadap masyarakat Cina, Arab, Melayu maupun
Pribumi. Seorang Sejarawan Susan Blackburn, misalnya, memberikan penjelasan bahwa orang Eropa sendiri sangat ambivalen terhadap standar kehidupan perkotaan, bahkan
sebagian besar orang Eropa di Batavia ingin mempertahankan status dominan kelompok mereka di mata masyarakat 2011:50. Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dipahami
bahwa kehadiran orang Eropa di Batavia mengalami pergulatan di dalam kehidupan masyarakat Batavia yang sudah majemuk, pada khususnya kalangan Barat ingin
mendapatkan posisi yang tinggi dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Salah satu potret kehidupan masyarakat kolonial di Batavia pun dijelaskan oleh
Blackburn bahwa Orang Eropa jarang sekali bercerita mengenai penduduk Batavia lainnya, bahkan satu-satunya kontak mereka dengan penduduk pribumi adalah dengan
para para pelayan. Sementara itu, orang Eurasia sangat tidak menyukai dominasi Trekker, bukan karena tidak dapat bersaing dengan mereka, melainkan karena orang Eurasia tidak
dapat berbicara dalam bahasa Belanda yang baik serta tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang baik, bahkan telah menghadapi peraturan diskriminasi.
Sementara itu, keberadaan orang Cina dan Arab dianggap sebagai pengusaha yang sukses karena menginvestasikan kekayaannya dalam bidang properti. Sebaliknya, orang
Indonesia hanya menjadi pelayan dan melaksanakan tugas untuk orang Belanda, seperti
41
membawa obor di malam hari dan melaksanakan tugas ronda.
6
Dengan demikian, status dan kedudukan masyarakat pribumi, secara sosial maupun politis berada di bawah orang
asing. Sejarawan lainnya seperti Frances Gouda, setidaknya telah berupaya untuk
memberikan suatu deskripsi mengenai bagaimana praktik kolonial di Hindia-Belanda. Dalam paparannya, Gouda menjelaskan bahwa kehadiran orang kulit putih, yakni Belanda
sebagai bangsa kecil mampu melakukan praktik kolonial dengan waktu yang cukup lama di wilayah peradaban tua dunia seperti Indonesia. Meskipun Belanda dianggap sebagai
bangsa kecil karena tidak memiliki sarana kekuatan militer dan arogansi politik yang digunakan oleh bangsa-bangsa Eropa yang lebih berpengaruh di dunia, namun dalam
imajinasi imperium Belanda, ilmu pengetahuan “Oriental” telah menjadi alat kekuasaan, mengingat pamer kekuatan tanpa ilmu pengetahuan hanya akan sama dengan sikap
menyerang Goliat yang membabi-buta Gouda, 2007:87. Oleh karena itu, hal ini telah menandakan bahwa wacana seperti Orientalisme telah berhasil memainkan kekuataan
yang luar biasa untuk dapat melanggengkan kekuasaan kolonial di tanah jajahannya. Di samping itu, kolonialisme dengan sebuah wacana Orientalisme-nya telah
membentuk struktur-struktur pengetahuan manusia yang sudah ada, bahkan tidak ada cabang pengetahuan yang luput oleh pengalaman kolonial dalam sejarah dunia penjajah
dan terjajah. Wacana Orientalisme telah memberikan dan memainkan pengaruh yang besar bagi tatanan dunia, terlebih tak lekang digerus zaman sehingga tetap berlanjut di masa
pasca-kolonial. Namun demikian, penting kiranya untuk menelisik bentuk mekanisme penyebaran Orientalisme di masa kolonial.
6
Disarikan dari Susan Blackburn. 2011. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup - Komunitas Bambu. Hal 82-96.
42
A.2.1. Media di Masa Kolonial
Penemuan mesin cetak oleh Johannes Guttenberg pada tahun 1436 telah membuat dinamika dunia berubah sedemikian rupa. Media cetak telah menjadi alat kekuasaan untuk
suatu kepentingan tertentu. Pada masa kolonial, media pun digunakan untuk dijadikan sebagai alat kekuasaan dalam mengkonstruksi wacana kolonialisme Eropa dan wilayah
koloninya. Mulanya media yang hadir di masa pemerintahan Hindia Belanda adalah surat
kabar Bataviasche Nouvelles, terbit sejak tahun 1744. Surat kabar pertama ini lebih cenderung sebagai warta periklanan yang melayani kepentingan perdagangan maupun
kepentingan komersial lainnya seperti kegiatan pelelangan hasil perkebunan, pengumuman pemerintah jajahan, berita mutasi jabatan, lowongan pekerjaan serta informasi komersial
lainnya.
7
Dalam hal ini produksi wacana mengenai tanah koloni, seperti peristiwa, keadaan masyarakat maupun demografis, kurang mendapatkan perhatian dikarenakan
tujuan utama surat kabar adalah untuk menunjang keuntungan pemerintah Hindia Belanda dan para pedagang.
Namun demikian, pada masa peralihan Belanda-Inggris terbit sebuah surat kabar mingguan resmi, Java Government Gazette. Surat kabar ini terbit mulai tahun 1812 hingga
1816 di masa pemerintahan Inggris di Hindia Belanda, yang mana dipimpin oleh seorang Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Berbagai berita, seperti rincian kehidupan di
Jawa mulai dari pertanian, perdagangan, perbudakan, peperangan, hingga laporan militer disajikan kepada publik, bahkan persoalan yang terdapat di luar Jawa pun turut dimuat
dalam surat kabar ini.
8
Oleh karena itu, surat kabar Java Government Gazette lebih
7
Bedjo Riyanto. Mempermainkan Realitas Dalam Realitas Main-Main. Dalam Budi Susanto S.J. Ed. 2003. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 25.
8
Lebih lanjut dapat dilihat dalam catatan dan sumber buku Tim Hannigan. 2012. Raffles and the British Invasion of Java. Monsoon Books.
43
komprehensif jika dibandingkan dengan Bataviasche Nouvelles, terutama dalam membahas wilayah kolonial.
Satu abad berikutnya muncul The Colonial Magazine and Commercial Maritime Journal, yang terbit pada tahun 1840.
9
Sebagai sebuah media komunikasi di antara para kolonial Eropa, media ini telah memainkan perannya dalam menyebarluaskan wacana
Orientalisme. Bahkan, setiap tahunnya, media ini mampu menghasilkan tiga volume dengan ratusan halaman di dalamnya. Di dalam media cetak ini terdapat beragam tulisan
mengenai aktifitas kolonial, kondisi wilayah kolonial, keadaan maritim, laporan keuangan perdagangan, jumlah populasi, karakter masyarakat koloni hingga persoalan geografi.
Dengan demikian, sebagai sebuah alat kekuasaan, para kolonial menghasilkan serangkaian tulisan dan laporan yang terbungkus di dalam suatu media.
Sebagai contoh, guna menjelaskan suatu persoalan mengenai kolonialisme, The Colonial Magazine, pada sebuah artikel berjudul, “Colonization of Ancient and Modern
Nations”, memaparkan bahwa kolonisasi merupakan pendudukan dan pengolahan tanah yang terbuang dalam ketaatan kepada hukum utama surga, yang memutuskan bahwa
manusia harus berbuah dan berkembang biak, memenuhi bumi dan menaklukkannya. Bahkan melalui artikel ini juga ditegaskan bahwa catatan paling awal dari ras kita
kolonial terdiri dari sejarah migrasi sebagai bentuk peradaban.
10
Dengan demikian, paham kolonialisme yang diproklamirkan oleh kalangan Eropa dapat dipahami sebagai
bentuk peradaban yang mengusung keunggulan ras mereka. Terkait dengan kolonialisme yang terjadi di wilayah Nusantara, The Colonial
Magazine juga memuat beberapa artikel yang membahas tentang beragam kondisi, seperti di Batavia, Sumatra, Java, Sulawesi, hingga Papua. Semisal pada sebuah artikel berjudul,
9
Dapat dilihat pada laman https:www.nla.gov.aufergissn14614243.html Diakses 06 Februari 2015
10
The Colonial Magazine and Commercial Maritime Journal. 1840. Volume 1. Number. 1. Hal. 11.
44
“Effect of Climate Upon Man”, terpaparkan bahwa meskipun pulau Jawa secara umum dapat dianggap sehat, namun terdapat pengecualian pada wilayah pantai yang rendah dan
rawa di sekitar pulau, khususnya kota Batavia, yang mana dianggap sebagai pusat penyakit di Timur. Hal ini dikarenakan lingkungan Batavia yang tertutup pohon-pohon
dan semak-semak sehingga mencegah sirkulasi udara bebas.
11
Dalam hal ini dapat dipahami bahwa para kolonial telah menempatkan wilayah kolonial sebagai tempat
berpenyakit yang dapat mengancam kehidupan mereka. Dengan kata lain, wilayah koloni, seperti Batavia, dapat menyebabkan kematian para kolonial yang sedang berada di tanah
jajahan. Jadi, terdapat perbedaan yang sangat kontras antara kehidupan para kolonial di negara mereka yang sehat, sedangkan di wilayah kolonial terdapat jenis penyakit
berbahaya, semisal malaria. Di dalam The Colonial Magazine ini juga, para kolonial memaparkan beberapa
wilayah yang terdapat di Nusantara seperti, Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi dan Papua. Disebutkan bahwa Batavia sebagai ibukota Jawa dikatakan berutang untuk industri
pertanian dan keterampilan mekanik kepada sebagian besar orang Cina yang telah menetap di pulau Jawa.
12
Selain itu, tidak hanya mengenai Batavia, tetapi tercatat juga bahwa kehadiran Belanda bertujuan untuk menundukkan seluruh bagian dalam Sumatera
yang terletak di antara Padang di pantai barat, Siak, dan Indragiri di sebelah timur.
13
Sementara itu, dipaparkan bahwa pulau besar Kalimantan Borneo telah mengalami percampuran dengan pengungsi dari negara-negara atau wilayah lain, seperti,
orang China dengan rambut panjang, orang Makasar dengan gigi yang bersinar hitam dan memakan sirih; dengan pekerjaan yang sama untuk budak wanita, begitu juga dengan
kemampuan yang sama laki-laki; banyak dari mereka bekerja untuk mengarahkan layar,
11
Ibid. Volume 3. Number 10. Hal. 171.
12
The Colonial Magazine and Commercial Maritime Journal. 1841. Volume 5. Number 18. Hal. 192.
13
Ibid. Volume 6. Number 24. Hal. 489.
45
sehingga orang-orang ini telah banyak digunakan oleh Belanda, bahkan digunakan untuk menyampaikan informasi.
14
Selain itu, dalam The Colonial Magazine ini juga termuat penjelasan bahwa pada lingkup yang lebih luas, Nusantara dikenal sebagai awal navigasi Belanda karena terdapat
populasi yang banyak, kuat, suka berperang, dan komersial, serta telah membuat kemajuan peradaban daripada tetangga mereka, yang telah sepenuhnya bersujud, baik dalam pikiran
dan tubuh, hingga terkenal dapat melakukan otoritas kolonial Belanda, bahkan mereka dapat meyakinkan bahwa kejahatan mereka tidak berasal dari pihak berwenang di Eropa.
15
Dalam hal ini, para kolonial Belanda beranggapan bahwa wilayah Nusantara dapat diajak untuk menjalin kerja sama, yang sebagaimana bahwa awal hubungan Belanda dengan
beberapa kerajaan di Nusantara adalah perdagangan. Namun demikian, ada wacana menarik dari uraian di atas, para kolonial menegaskan bahwa kekacauan penaklukan
yang terjadi di wilayah kolonial bukan menjadi kejahatan pihak Eropa, melainkan lebih dikarenakan karakter masyarakat Nusantara yang kuat dan suka berperang.
Berdasarkan beberapa uraian yang terdapat pada The Colonial Magazine and Commercial Maritime Journal di atas, dapat dipahami bahwa kolonialisme Eropa bukan
hanya sekedar pada bentuk praktek perdagangan yang berujung hingga penaklukan, melainkan juga mengkonstruksi pengetahuan tentang wilayah-wilayah kolonial. Belanda,
pada khususnya, sebagai pihak kolonial atas beberapa wilayah di Nusantara turut mengkonstruksi pengetahuan yang subjektif terhadap kondisi maupun kehidupan
masyarakat Nusantara. Oleh karena itu, media di masa kolonial telah sangat berperan untuk menciptakan dan menyebarluaskan wacana pengetahuan guna melangsungkan
penguasaan atas wilayah kolonial.
14
Ibid. Volume 6. Number 24. Hal. 452.
15
Ibid. Volume 7. Number 28. Hal. 478.
46