Kehadiran Orang Asing di Nusantara

36 langkah untuk pertama kalinya dalam mengidentifikasikan masyarakat ke dalam kelompok atau golongan maupun berdasarkan identitas masing-masing di Nusantara. A.1. Penggolongan Masyarakat Asing di Masa Kolonial Dari permulaan penduduk Batavia yang terdiri atas beragam golongan, hidup terpisah menurut adat-istiadat masing-masing, dan saling bertemu di tengah-tengah keramaian pasar telah membuat masing-masing golongan memahatkan tempatnya sendiri- sendiri di dalam masyarakat. Pada awalnya pemerintah Hindia-Belanda menggunakan kemajemukan yang terdapat di dalam masyarakat sebagai suatu konsep ekonomi, namun dalam perkembangannya diterapkan untuk maksud-maksud sosial dan politik Blusse 1988:7. Dengan kata lain, pemerintah kolonial telah melakukan proyek identifikasi di dalam masyarakat. Seorang Sejarawan Niemeijer, misalnya, telah melakukan suatu upaya yang cukup menarik dalam menyajikan alur cerita tentang kondisi kehidupan masyarakat kolonial abad 17 di Batavia. Niemeijer menguraikan bahwa telah terjadi konfrontasi di dalam masyarakat yang tinggal di Batavia, antara para pendatang dengan pribumi. Para pendatang yang dimaksud adalah kalangan Eropa, India, Cina, maupun Melayu dan beberapa yang berasal dari mancanegara lainnya, sedangkan kalangan pribumi merujuk pada beberapa kerajaan di Jawa, yang mana acapkali melakukan perlawanan terhadap para pendatang, khususnya ditujukan bagi orang-orang kulit putih Niemeijer, 2012:30. Seiring dengan laju kehidupan sosial di dalam masyarakat yang semakin beragam, Belanda melakukan penggolongan masyarakat dengan menyematkan berbagai istilah-kata dalam kehidupan sosial. Utamanya adalah orang Eropa sebagai kalangan dengan berstatus tinggi di dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, ada pula beberapa sebutan bagi orang Eropa yang tinggal selama beberapa tahun atau sementara di Batavia, yakni Trekker 37 sebagaimana disebut oleh orang Belanda Blackburn, 2011:83, dan Blijvers untuk menyebut penduduk tetap, yang melihat Hindia-Belanda sebagai rumah tercintanya Gouda, 2007:61. Selain itu, terdapat sebutan Inlander, istilah yang awalnya diperuntukkan bagi kalangan pribumi, dan selanjutnya ditujukan bagi keturunan dari para wanita Eropa dan Asia apabila mereka tidak lagi diakui oleh sang ayah yang Eropa. Istilah inlander ini juga mengalami peyorasi dan berkonotasi merendahkan, yang bersangkutan adalah orang yang status sosialnya ditempatkan lebih rendah dari status orang Eropa. Kemudian, ada pula istilah Casado yang ditujukan bagi para penjajah portugis dan Indo-Portugis, secara khusus diperuntukkan bagi orang Portugis yang menikah dan menetap di wilayah Asia. Ketika Nusantara berada di bawah naungan pemerintah HindiaBelanda, para casado ini mendapatkan porsi yang sangat terbatas dalam memainkan peran dan aktifitas perdagangan. Sementara para peranakan Portugis yang masih dapat berbicara bahasa portugis mendapatkan sebutan sebagai Mardijker. Selain itu, terdapat juga istilah Mestizo yang ditujukan pada orang-orang berdarah campuran, yaitu hasil pernikahan antara kalangan Eropa dengan Asia, khususnya dengan pribumi. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan Inlander, akan tetapi cenderung tidak berkonotasi untuk merendahkan mereka yang lahir dari hasil perkawinan campur. Bahkan, ada juga istilah Masyarakat Merdeka, yaitu status masyarakat yang dinyatakan sebagai orang bebas, mencakup para pengusaha Eropa, seperti Portugis yang terlibat dalam aktifitas perdagangan di Nusantara maupun orang-orang Eropa yang bukan atau tidak lagi menjadi pegawai VOC. Status ini juga telah mendikotomikan orang yang bebas sebagai para pedagang dan pengusaha dengan orang yang menjadi budak di bawah naungan suatu golongan masyarakat tertentu. 38 Untuk mempermudah kita dalam melihat kondisi beragamnya penduduk yang didasarkan pada pengolongan masyarakat, berikut ini adalah sebuah pemetaan laju perkembangan kependudukan di Batavia. Pemetaan ini sekiranya dapat memberikan gambaran atas kondisi ruang masyarakat Batavia, yang mana ditempati oleh kalangan bangsa Eropa, peranakan atau biasa disebut sebagai Mestizo, orang Cina, dan beberapa kelompok kecil bangsa-bangsa Asia lainnya. 3679 2407 1783 867 670 Diagram aneka golongan penduduk utama, 1699 Cina Merdeka Eropa 4199 1038 1279 299 421 Diagram aneka golongan penduduk utama, 1739 Cina Merdeka Eropa Lain-lain Intramuros Batavia 1699 dan 1739 Blusse, 1998:155 Sajian diagram di atas merupakan suatu ilustrasi untuk dapat melihat dinamika penduduk di dalam kehidupan sosial Batavia. Berdasarkan diagram tersebut kita juga dapat mengetahui bahwa kehadiran orang kulit putih di Batavia mengalami pasang surut. Kondisi pasang surut tersebut tentunya telah menjadi perhatian serius bagi Belanda, terutama karena laju pertumbuhan Kota Batavia semakin dipenuhi oleh kalangan Cina. Padahal, jika ditelisik awal tujuan pembangunan Kota Batavia, Coen selaku pemegang kekuasaan Belanda di Batavia menginginkan orang kulit putih untuk menjadi poros kekuatan perdagangan. Sejak didirikan, Batavia dimaksudkan untuk menjadi sebuah wilayah jajahan, menempatkan kehadiran kalangan Eropa sebagai tulang punggung masyarakat yang baru di tanah jajahan, didukung dan bertumpu dari ragam penduduk Asia, seperti India dan 39 Cina, serta pribumi. Oleh karena itu, dari diagram di atas kita dapat mengetahui bahwa para penduduk pribumi tidak berada dalam sebuah pemetaan maupun narasi kolonial untuk diperhitungkan sebagai bagian yang cukup penting dari dinamika masyarakat. Dalam narasi kolonial kalangan Eropa, Belanda selalu menjadi pusat perhatian bagi perkembangan Kota Batavia. Orang Belanda tinggal di lingkungan yang terhormat dan dikhususkan untuk orang Eropa saja, bahkan pemerintah Hindia-Belanda mengusir pemilik rumah orang Indonesia dan Cina de Vries, 1972:28. Sementara itu, golongan penduduk lainnya seperti peranakan, orang-orang merdeka, maupun pribumi tinggal di kampung masing-masing. Bahkan, penduduk pribumi tidak mendapatkan akses yang terbuka untuk masuk ke dalam wilayah Batavia karena Pemerintah Hindia-Belanda menutup pintu bagi orang-orang pribumi, khususnya orang Jawa sulit memasuki Batavia dengan alasan mengingat mereka bisa disusupi oleh para infiltran dari Mataram dan Banten – dua negara yang bermusuhan dengan Kompeni Blusse, 1998:156. Oleh karena itu, Batavia telah menjadi kota yang sangat tertutup bagi kalangan di luar orang kulit putih atau golongan Eropa. Selain mengenai dinamika kehadiran orang kulit putih di masa kolonial, terdapat satu fakta menarik mengenai meningkatnya jumlah orang eropa secara besar-besaran dalam waktu beberapa abad berikutnya. Menurut Lombard 2008:78, pada awal abad ke- 19, jumlah orang Eropa tidak lebih dari beberapa ribu saja, akan tetapi pada tahun 1850 mengalami peningkatan menjadi 22.000 orang. Selanjutnya, pada tahun 1872 orang-orang Eropa berjumlah sebanyak 36.467 orang, tahun hingga membludak pada tahun 1905 menjadi 80.912 orang. Oleh sebab itu, kehadiran orang Eropa di telah memberikan pengaruh yang signifikan bagi perkembangan masyarakat Hindia-Belanda di awal abad ke-20, terutama dalam menguasai tanah perkebunan dan perindustrian serta perdagangan. 40 Dengan demikian, upaya penggolongan masyarakat yang sengaja diciptakan oleh Belanda telah menjadi komponen penting untuk mengetahui dan memperlihatkan struktur, serta stereotipe kehidupan sosial masyarakat atas hadirnya para pendatang, baik kalangan Eropa maupun Asia yang berada di Batavia. A.2. Orang Kulit Putih di Masa Kolonial Beberapa kalangan menjelaskan bahwa kehadiran orang kulit putih di Batavia memiliki beberapa persoalan, baik itu terhadap masyarakat Cina, Arab, Melayu maupun Pribumi. Seorang Sejarawan Susan Blackburn, misalnya, memberikan penjelasan bahwa orang Eropa sendiri sangat ambivalen terhadap standar kehidupan perkotaan, bahkan sebagian besar orang Eropa di Batavia ingin mempertahankan status dominan kelompok mereka di mata masyarakat 2011:50. Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dipahami bahwa kehadiran orang Eropa di Batavia mengalami pergulatan di dalam kehidupan masyarakat Batavia yang sudah majemuk, pada khususnya kalangan Barat ingin mendapatkan posisi yang tinggi dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Salah satu potret kehidupan masyarakat kolonial di Batavia pun dijelaskan oleh Blackburn bahwa Orang Eropa jarang sekali bercerita mengenai penduduk Batavia lainnya, bahkan satu-satunya kontak mereka dengan penduduk pribumi adalah dengan para para pelayan. Sementara itu, orang Eurasia sangat tidak menyukai dominasi Trekker, bukan karena tidak dapat bersaing dengan mereka, melainkan karena orang Eurasia tidak dapat berbicara dalam bahasa Belanda yang baik serta tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang baik, bahkan telah menghadapi peraturan diskriminasi. Sementara itu, keberadaan orang Cina dan Arab dianggap sebagai pengusaha yang sukses karena menginvestasikan kekayaannya dalam bidang properti. Sebaliknya, orang Indonesia hanya menjadi pelayan dan melaksanakan tugas untuk orang Belanda, seperti 41 membawa obor di malam hari dan melaksanakan tugas ronda. 6 Dengan demikian, status dan kedudukan masyarakat pribumi, secara sosial maupun politis berada di bawah orang asing. Sejarawan lainnya seperti Frances Gouda, setidaknya telah berupaya untuk memberikan suatu deskripsi mengenai bagaimana praktik kolonial di Hindia-Belanda. Dalam paparannya, Gouda menjelaskan bahwa kehadiran orang kulit putih, yakni Belanda sebagai bangsa kecil mampu melakukan praktik kolonial dengan waktu yang cukup lama di wilayah peradaban tua dunia seperti Indonesia. Meskipun Belanda dianggap sebagai bangsa kecil karena tidak memiliki sarana kekuatan militer dan arogansi politik yang digunakan oleh bangsa-bangsa Eropa yang lebih berpengaruh di dunia, namun dalam imajinasi imperium Belanda, ilmu pengetahuan “Oriental” telah menjadi alat kekuasaan, mengingat pamer kekuatan tanpa ilmu pengetahuan hanya akan sama dengan sikap menyerang Goliat yang membabi-buta Gouda, 2007:87. Oleh karena itu, hal ini telah menandakan bahwa wacana seperti Orientalisme telah berhasil memainkan kekuataan yang luar biasa untuk dapat melanggengkan kekuasaan kolonial di tanah jajahannya. Di samping itu, kolonialisme dengan sebuah wacana Orientalisme-nya telah membentuk struktur-struktur pengetahuan manusia yang sudah ada, bahkan tidak ada cabang pengetahuan yang luput oleh pengalaman kolonial dalam sejarah dunia penjajah dan terjajah. Wacana Orientalisme telah memberikan dan memainkan pengaruh yang besar bagi tatanan dunia, terlebih tak lekang digerus zaman sehingga tetap berlanjut di masa pasca-kolonial. Namun demikian, penting kiranya untuk menelisik bentuk mekanisme penyebaran Orientalisme di masa kolonial. 6 Disarikan dari Susan Blackburn. 2011. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup - Komunitas Bambu. Hal 82-96. 42 A.2.1. Media di Masa Kolonial Penemuan mesin cetak oleh Johannes Guttenberg pada tahun 1436 telah membuat dinamika dunia berubah sedemikian rupa. Media cetak telah menjadi alat kekuasaan untuk suatu kepentingan tertentu. Pada masa kolonial, media pun digunakan untuk dijadikan sebagai alat kekuasaan dalam mengkonstruksi wacana kolonialisme Eropa dan wilayah koloninya. Mulanya media yang hadir di masa pemerintahan Hindia Belanda adalah surat kabar Bataviasche Nouvelles, terbit sejak tahun 1744. Surat kabar pertama ini lebih cenderung sebagai warta periklanan yang melayani kepentingan perdagangan maupun kepentingan komersial lainnya seperti kegiatan pelelangan hasil perkebunan, pengumuman pemerintah jajahan, berita mutasi jabatan, lowongan pekerjaan serta informasi komersial lainnya. 7 Dalam hal ini produksi wacana mengenai tanah koloni, seperti peristiwa, keadaan masyarakat maupun demografis, kurang mendapatkan perhatian dikarenakan tujuan utama surat kabar adalah untuk menunjang keuntungan pemerintah Hindia Belanda dan para pedagang. Namun demikian, pada masa peralihan Belanda-Inggris terbit sebuah surat kabar mingguan resmi, Java Government Gazette. Surat kabar ini terbit mulai tahun 1812 hingga 1816 di masa pemerintahan Inggris di Hindia Belanda, yang mana dipimpin oleh seorang Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Berbagai berita, seperti rincian kehidupan di Jawa mulai dari pertanian, perdagangan, perbudakan, peperangan, hingga laporan militer disajikan kepada publik, bahkan persoalan yang terdapat di luar Jawa pun turut dimuat dalam surat kabar ini. 8 Oleh karena itu, surat kabar Java Government Gazette lebih 7 Bedjo Riyanto. Mempermainkan Realitas Dalam Realitas Main-Main. Dalam Budi Susanto S.J. Ed. 2003. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 25. 8 Lebih lanjut dapat dilihat dalam catatan dan sumber buku Tim Hannigan. 2012. Raffles and the British Invasion of Java. Monsoon Books. 43 komprehensif jika dibandingkan dengan Bataviasche Nouvelles, terutama dalam membahas wilayah kolonial. Satu abad berikutnya muncul The Colonial Magazine and Commercial Maritime Journal, yang terbit pada tahun 1840. 9 Sebagai sebuah media komunikasi di antara para kolonial Eropa, media ini telah memainkan perannya dalam menyebarluaskan wacana Orientalisme. Bahkan, setiap tahunnya, media ini mampu menghasilkan tiga volume dengan ratusan halaman di dalamnya. Di dalam media cetak ini terdapat beragam tulisan mengenai aktifitas kolonial, kondisi wilayah kolonial, keadaan maritim, laporan keuangan perdagangan, jumlah populasi, karakter masyarakat koloni hingga persoalan geografi. Dengan demikian, sebagai sebuah alat kekuasaan, para kolonial menghasilkan serangkaian tulisan dan laporan yang terbungkus di dalam suatu media. Sebagai contoh, guna menjelaskan suatu persoalan mengenai kolonialisme, The Colonial Magazine, pada sebuah artikel berjudul, “Colonization of Ancient and Modern Nations”, memaparkan bahwa kolonisasi merupakan pendudukan dan pengolahan tanah yang terbuang dalam ketaatan kepada hukum utama surga, yang memutuskan bahwa manusia harus berbuah dan berkembang biak, memenuhi bumi dan menaklukkannya. Bahkan melalui artikel ini juga ditegaskan bahwa catatan paling awal dari ras kita kolonial terdiri dari sejarah migrasi sebagai bentuk peradaban. 10 Dengan demikian, paham kolonialisme yang diproklamirkan oleh kalangan Eropa dapat dipahami sebagai bentuk peradaban yang mengusung keunggulan ras mereka. Terkait dengan kolonialisme yang terjadi di wilayah Nusantara, The Colonial Magazine juga memuat beberapa artikel yang membahas tentang beragam kondisi, seperti di Batavia, Sumatra, Java, Sulawesi, hingga Papua. Semisal pada sebuah artikel berjudul, 9 Dapat dilihat pada laman https:www.nla.gov.aufergissn14614243.html Diakses 06 Februari 2015 10 The Colonial Magazine and Commercial Maritime Journal. 1840. Volume 1. Number. 1. Hal. 11. 44 “Effect of Climate Upon Man”, terpaparkan bahwa meskipun pulau Jawa secara umum dapat dianggap sehat, namun terdapat pengecualian pada wilayah pantai yang rendah dan rawa di sekitar pulau, khususnya kota Batavia, yang mana dianggap sebagai pusat penyakit di Timur. Hal ini dikarenakan lingkungan Batavia yang tertutup pohon-pohon dan semak-semak sehingga mencegah sirkulasi udara bebas. 11 Dalam hal ini dapat dipahami bahwa para kolonial telah menempatkan wilayah kolonial sebagai tempat berpenyakit yang dapat mengancam kehidupan mereka. Dengan kata lain, wilayah koloni, seperti Batavia, dapat menyebabkan kematian para kolonial yang sedang berada di tanah jajahan. Jadi, terdapat perbedaan yang sangat kontras antara kehidupan para kolonial di negara mereka yang sehat, sedangkan di wilayah kolonial terdapat jenis penyakit berbahaya, semisal malaria. Di dalam The Colonial Magazine ini juga, para kolonial memaparkan beberapa wilayah yang terdapat di Nusantara seperti, Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi dan Papua. Disebutkan bahwa Batavia sebagai ibukota Jawa dikatakan berutang untuk industri pertanian dan keterampilan mekanik kepada sebagian besar orang Cina yang telah menetap di pulau Jawa. 12 Selain itu, tidak hanya mengenai Batavia, tetapi tercatat juga bahwa kehadiran Belanda bertujuan untuk menundukkan seluruh bagian dalam Sumatera yang terletak di antara Padang di pantai barat, Siak, dan Indragiri di sebelah timur. 13 Sementara itu, dipaparkan bahwa pulau besar Kalimantan Borneo telah mengalami percampuran dengan pengungsi dari negara-negara atau wilayah lain, seperti, orang China dengan rambut panjang, orang Makasar dengan gigi yang bersinar hitam dan memakan sirih; dengan pekerjaan yang sama untuk budak wanita, begitu juga dengan kemampuan yang sama laki-laki; banyak dari mereka bekerja untuk mengarahkan layar, 11 Ibid. Volume 3. Number 10. Hal. 171. 12 The Colonial Magazine and Commercial Maritime Journal. 1841. Volume 5. Number 18. Hal. 192. 13 Ibid. Volume 6. Number 24. Hal. 489. 45 sehingga orang-orang ini telah banyak digunakan oleh Belanda, bahkan digunakan untuk menyampaikan informasi. 14 Selain itu, dalam The Colonial Magazine ini juga termuat penjelasan bahwa pada lingkup yang lebih luas, Nusantara dikenal sebagai awal navigasi Belanda karena terdapat populasi yang banyak, kuat, suka berperang, dan komersial, serta telah membuat kemajuan peradaban daripada tetangga mereka, yang telah sepenuhnya bersujud, baik dalam pikiran dan tubuh, hingga terkenal dapat melakukan otoritas kolonial Belanda, bahkan mereka dapat meyakinkan bahwa kejahatan mereka tidak berasal dari pihak berwenang di Eropa. 15 Dalam hal ini, para kolonial Belanda beranggapan bahwa wilayah Nusantara dapat diajak untuk menjalin kerja sama, yang sebagaimana bahwa awal hubungan Belanda dengan beberapa kerajaan di Nusantara adalah perdagangan. Namun demikian, ada wacana menarik dari uraian di atas, para kolonial menegaskan bahwa kekacauan penaklukan yang terjadi di wilayah kolonial bukan menjadi kejahatan pihak Eropa, melainkan lebih dikarenakan karakter masyarakat Nusantara yang kuat dan suka berperang. Berdasarkan beberapa uraian yang terdapat pada The Colonial Magazine and Commercial Maritime Journal di atas, dapat dipahami bahwa kolonialisme Eropa bukan hanya sekedar pada bentuk praktek perdagangan yang berujung hingga penaklukan, melainkan juga mengkonstruksi pengetahuan tentang wilayah-wilayah kolonial. Belanda, pada khususnya, sebagai pihak kolonial atas beberapa wilayah di Nusantara turut mengkonstruksi pengetahuan yang subjektif terhadap kondisi maupun kehidupan masyarakat Nusantara. Oleh karena itu, media di masa kolonial telah sangat berperan untuk menciptakan dan menyebarluaskan wacana pengetahuan guna melangsungkan penguasaan atas wilayah kolonial. 14 Ibid. Volume 6. Number 24. Hal. 452. 15 Ibid. Volume 7. Number 28. Hal. 478. 46

B. Indonesia di Masa Pasca-Kolonial

Terdapat suatu masa yang kelam dan turut mengubah kolonialisme Eropa di Indonesia, yakni dekolonisasi. Dimulai dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942, dekolonisasi menjadi masa-masa yang berat bagi para kolonialis di Indonesia. Orang Eropa seperti Belanda maupun Eurasia Indo mendapatkan perlawanan dari pihak pribumi. Bahkan para kolonialis tersebut mulai meninggalkan dan melarikan diri dari Indonesia. Ketika Indonesia sebagai negara meraih kemerdekaan pada tahun 1945, Soekarno semakin menimbulkan pergolakan terhadap para kolonialis. Pergolakan ini memunculkan gaung dekolonisasi hingga terjadi dimana-mana, mengusir dan menangkap orang Eropa maupun Eurasia Indo, hingga mengambil alih atau melakukan nasionalisasi perusahaan kolonial di Indonesia. Puncak dari dekolonisasi yang terjadi pada akhir 1950an ini mengakibatkan repatriasi secara besar-besaran ke Eropa. Dalam kancah internasional, Soekarno pun tidak segan untuk menyerukan politik dekolonialisasi bagi negara-negara terjajah yang telah dilakukan Barat selama berabad- abad. Pada Sidang Umum PBB tahun 1960, melalui visi politik dekolonialisasi, Soekarno menawarkan konsepsi Pancasila sebagai dasar pembangunan dunia ketiga, yakni untuk “membangun dunia baru” to rebuild world sekaligus membangun dunia baru yang lebih layak bagi negara pasca kolonial agar lebih sederajat dan seimbang posisinya dengan negara Barat 16 . Oleh karena itu, dekolonialisasi menjalar ke berbagai bangsa mulai dari Afrika, Asia, hingga ke Amerika Latin sebagai rangkaian dalam membangun dunia yang berkeadilan bagi semua bangsa. 16 Lihat Bernhard Dahm. 1987. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Diterjemahkan oleh Hasan Basri Jakarta: LP3ES 47 Sayangnya, gaung dekolonisasi terhadap penjajahan dan para kolonial tidak bertahan lama. Setelah masa Soekarno usai dan Soehato mulai memimpin Indonesia terjadi perubahan haluan. Dengan berdalih untuk meningkatkan ekonomi Indonesia, Soeharto mengundang para investor asing ke Indonesia. Oleh karena itu, tidak hanya aliran investasi yang masuk, tetapi orang asing juga turut mendatangi kembali Indonesia, bahkan menetap untuk sementara waktu maupun permanen. Orang asing di Indonesia ini acapkali disebut sebagai warga negara asing WNA, sedangkan orang kulit putih di Indonesia lebih cenderung disebut bule ataupun londo. Meski demikian, mengenai sebutan atas keberadaan orang asing di Indonesia, tampaknya telah mengalami pergeseran identitas menjelang akhir tahun 1990an. Sebuah buku berjudul Expats in Indonesia 1997 ini setidaknya dapat memberikan pemahaman mengenai kehadiran orang asing di Indonesia. Richard Mann dalam paparannya secara umum menempatkan identitas orang asing di Indonesia sebagai ekspatriat. Dengan demikian, istilah ekspatriat ini muncul dari mereka, yakni orang asing yang berada di Indonesia. 17 Paparan lain mengenai ekspatriat di Indonesia setelah masa Soeharto tumbang datang dari seorang wartawan, Ishak Rafick. Di dalam bukunya, Rafick mengatakan bahwa setidaknya terdapat tiga alasan yang turut mendorong dunia bisnis di tanah air mendatangkan tenaga kerja asing atau yang biasa disebut ekspatriat pada era reformasi di Indonesia, diantaranya; pertama, kebutuhan perusahaan untuk memperluas pasar ke manca-negara, sekaligus mendekati sumber-sumber pembiayaan internasional. Kedua, menganggap kehadiran ekspatriat yang dipekerjakan sebagai lambang bonafiditas. Ketiga, sebagai suatu tekanan, hal ini biasanya terkait dengan pemberian bantuan atau pinjaman 17 Richard Mann. 1997. Expats in Indonesia; Guide to Living Conditions and Costs. Gateway Books. Berdasarkan data KITAS, Mann menyisir berbagai orang asing berdasarkan negara asal, seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, China, USA, India, Australia, Inggris, Thailand, Belanda, dan lain-lain. Hal.12 48 dari lembaga-lembaga donor dari luar negeri kepada negara penerima donor seperti Indonesia. 18 Sejak Indonesia mendapatkan kemerdekaan hingga saat ini terjadi pasang-surut mengenai kehadiran orang asing di Indonesia. Beragam identitas pun disematkan kepada orang asing. Terutama beberapa kalangan menyebut orang asing berkulit putih sebagai bule atau ekspatriat. Oleh karena itu, pada konteks kekinian tampaknya perlu mencermati identitas orang asing, pada khususnya orang kulit putih di Indonesia. B.1. Orang Kulit Putih, Bule atau Ekspatriat? Pada zaman seperti saat ini, tampaknya bukan menjadi kemustahilan untuk dapat melihat, bertemu maupun berinteraksi dengan orang asing, khususnya orang kulit putih. Kehadiran mereka dapat dijumpai di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, maupun kota-kota wisata, seperti Jogjakarta, Bali, Lombok hingga Papua. Tak terkecuali mereka pun telah hadir di berbagai ruang publik, seperti media televisi, media cetak dan dunia maya seperti jejaring sosial dan internet. Pembahasan mengenai kehadiran orang kulit putih di Indonesia masa pasca- kolonial tentunya adalah suatu langkah yang cukup rumit. Orang kulit putih di Indonesia seperti dua sisi mata uang, interlinkage, yang tidak dapat dilepaskan begitu saja salah satunya. Di satu sisi, ada yang menyebut orang kulit putih sebagai bule, dan ekspatriat di sisi lain. Oleh karena itu, untuk memperjelas kedua sisi tersebut, berikut ini adalah penjelasan mengenai identitas orang kulit putih yang ada di Indonesia, yakni bule dan ekspatriat. 18 Rafick, Ishak. 2008. Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia. Jakarta: Ufuk Press. Hal. 74-5. 49 B.1.1. Bule, Siapa Mereka? Istilah khusus nan unik ini hanya terdapat di Indonesia. Bule telah menjadi kata umum di kalangan masyarakat Indonesia yang biasanya disematkan bagi orang kulit putih. Karenanya, penulis mencoba untuk menelisik apa yang dimaksudkan dari sebuah kata bule terkait penggunaannya di dalam masyarakat. Pertama, Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, 2008:38,230 memaparkan bahwa bule adalah pelafalan dari kata ‘bulai’, yang berarti albino, yaitu putih seluruh tubuh dan rambutnya karena kekurangan pigmen zat warna. Di samping itu, Merriam Webster Dictionary, mendefinisikan bahwa albino adalah an organism exhibiting deficient pigmentation; especially: a human being that is congenitally deficient in pigment and usually has a milky or translucent skin, white or colorless hair, and eyes with pink or blue iris and deep-red pupil. 19 Oleh karena itu, dari kedua penjelasan tersebut, bule dapat dimaknai sebagai seseorang yang memiliki kekurangan pigmen, sehingga tubuhnya terbalut dengan kulit yang putih. Dengan kata lain, secara visual, orang yang disebut bule memiliki perbedaan dengan orang Indonesia, seperti, warna kulit, mata, dan rambut, atau bercirikan ras kaukasoid. Terkadang penuturan istilah bule acapkali dimaknai oleh orang kulit putih sebagai bentuk sarkasme maupun berbau rasis, sehingga orang kulit putih cenderung tidak menginginkan untuk disebut sebagai bule. Sebagai contoh, hal ini dapat dibahas secara eksplisit di artikel, “Don’t Call Me Bule” 20 yang dituliskan oleh Anne-Meike Fechter. Pada artikel “Don’t Call Me Bule” Fechter memaparkan bahwa mereka, yang adalah orang asing kulit putih menolak untuk disebut sebagai bule. Oleh karena itu, pada artikel ini lebih banyak memuat kegundahan para ekspatriat yang merasa terganggu oleh 19 Origin of Albino; Portuguese, from Spanish, from albo white, from Latin albus. First Known Use: 1777Masehi. Lihat http:www.merriam-webster.comdictionaryalbino 20 Lihat http:www.expat.or.idinfodontcallmebule.html Artikel ini dituliskan oleh Anne-Meike Fechter atas permintaan suatu organizing committee pada bulan Juli tahun 2003. [Our appreciation to Anne-Meike Fechter who wrote and contributed this article at the request of the organizing committee. July 2003]. 50 kebiasaan orang Indonesia ketika menyebut mereka sebagai bule. Hal tersebut dianggap sebagai bentuk yang merendahkan dan menyakitkan, sehingga ekspatriat cenderung menolak terhadap panggilan bule yang ditujukan padanya. Di dalam artikel ini juga terdapat perdebatan cukup panjang di kalangan orang kulit putih dalam menanggapi panggilan bule yang ditujukan pada mereka. Ada yang mengganggap bahwa bule adalah kata yang biasa ditujukan bagi orang asing dengan kulit putih, karena kulit mereka terlihat lebih terang dari kulit orang Indonesia. Ada juga pandangan baik dari orang Indonesia maupun orang kulit putih yang mengganggap bahwa istilah bule adalah sebuah kata netral, yang mana selama kata itu diucapkan secara sopan dan tidak digunakan sebagai sebuah bentuk penghinaan. Selain itu, disebutkan juga bahwa bagi sebagian besar orang Indonesia menganggap bahwa penyebutan bule sebagai kebiasaan yang tidak bersalah dengan tidak ada niatan yang buruk. Orang asing yang memiliki kulit putih acapkali dipanggil bule dalam situasi yang berbeda, seperti sapaan di jalan, atau dalam percakapan informal dengan orang Indonesia. Jadi, bule adalah kata yang netral dan juga sebagai kata fungsional – semacam sapaan untuk orang kulit putih. Sebaliknya, meskipun kata bule memilki ragam variabel, orang kulit putih atau ekspatriat cenderung menginginkan agar kata bule tidak terperangkap pada stereotipe tentang orang asing, seperti, orang yang kaya, kasar, dan bodoh, yang bau keju dan tidak memiliki moral. Karena bagi mereka, menjadi stereotipe seperti tersebut sangat menjengkelkan, terutama bagi ekspatriat yang merasa bahwa mereka telah beradaptasi dengan Indonesia secara lebih baik daripada para turis yang hanya sekedar berwisata. Selanjutnya, orang kulit putih, yang dalam perdebatan artikel ini adalah ekspatriat, juga tidak ingin kata bule digunakan sebagai kategori ras. Namun demikian, apabila dilihat lebih cermat dalam artikel ini, penulis menilai bahwa pandangan rasis justru lebih