Ekspatriat dalam Meet the Expats

99 konstelasi identitas, dimana para pendatang ingin mempertahankan identitasnya agar tidak hilang ketika berhadapan dengan masyarakat lokal. Terjadinya konstruksi identitas ekspatriat dapat dipahami sebagai salah satu bentuk upaya yang dapat menjanjikan ketetapan identitas bagi mereka sehingga telah memunculkan batas spasial. Dalam hal ini, ekspatriat sebagai sebuah identitas telah melakukan pembedaan sesama orang asing di Indonesia. Dengan demikian, konstruksi suatu identitas tidak dapat terpisahkan dari proses identifikasi dan pembedaan. Merujuk pada pandangan Stuart Hall 1996:1 yang telah mengajukan sebuah pertanyaan untuk merefleksikan suatu identitas, yaitu Who needs ‘Identity’?, maka jika dikaitkan dengan persoalan ekspatriat, pertanyaannya pun akan berubah menjadi, “Siapa yang butuh identitas ekspatriat?”. Atas pertanyaan bernuansa esensialis ini, Hall juga menyediakan dua cara untuk dapat menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Pertama, mengamati sesuatu yang bercirikan khusus untuk membongkar konsep identitas yang esensial dengan melakukan kritik dekonstruksi 1996:2. Dalam hal ini dapat dipahami bahwa ekspatriat sebagai gagasan merupakan suatu identitas yang kembali dimunculkan dalam dunia kontemporer. Ciri khas dari identitas ekspatriat ini adalah perpindahan negara atau keluar dari tanah airnya. Oleh karena itu, identitas ekspatriat bukan sebuah konsep identitas yang esensial. Sebelumnya Fechter telah mengingatkan sebuah artikel lama milik Erik Cohen 1977 yang memaparkan bahwa ekspatriat ditujukan bagi orang Barat yang telah tinggal di luar negeri untuk jangka waktu panjang, terutama seniman, kolonial dan mereka yang umumnya memiliki misi dari satu jenis atau lebih. 20 Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa konstruksi identitas ekspatriat bukanlah suatu hal yang baru terjadi pada era 20 Dalam Fecther, A. M. 2007. Transnational Live Ekspatriat in Indonesia. England: Ashgate. Hal. 1. 100 kontemporer saat ini, apalagi ketika terkait dengan persoalan esensialis semata, melainkan di dalamnya terdapat kandungan historis, yakni kolonialisme Barat. Sebagaimana Cohen juga menekankan bahwa seorang ekspatriat memiliki keterkaitan erat dengan kolonialisme Barat di negara-negara Asia di masa kolonial 1977:8. Oleh karena itu, peninjauan kembali terhadap sejarah kolonial dan melihat kondisi kontemporer ekspatriat menjadi kunci untuk memahami persamaan maupun perbedaan di masa kolonial hingga pasca- kolonial. Seiring laju globalisasi, fenomena ekspatriat pun semakin ramai dalam lingkup masyarakat global. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, sebuah lembaga perbankan internasional seperti HSBC telah melakukan survei mengenai kehidupan ekspatriat sejak beberapa tahun terakhir. 21 Dalam pandangan lembaga ini, ekspatriat ditempatkan sebagai salah satu identitas global terkait dengan keberadaan orang-orang yang sedang bekerja di luar negaranya. Dengan demikian, suatu upaya untuk mendekonstruksi identitas ekspatriat adalah mendasarkan kembali pengertian gagasan ekspatriat secara sadar dan mendasar, yakni hanya sebatas pada identitas seseorang saat sedang berada di luar negara asal atau tanah airnya. Merujuk kembali kepada pengertian etimologinya, ekspatriat yang berasal dari bahasa Latin; ex yang berarti keluar, dan patria yang berarti tanah air, maka dapat dipahami bahwa patria di sini menjadi penanda bagi bangsa-bangsa yang menganggap tanah airnya sebagai fatherland. Bahkan, Merriam Webster pun memberikan penjelasan mengenai kata dasar ekspatriat, yakni, patria, yang dalam etimologi bahasa Spanyol memiliki makna “patria from feminine of patrius of a father, from patr-, pater father”, 21 Dapat dilihat pada laman https:www.expatexplorer.hsbc.com 101 dan pertama kali diketahui penggunaannya pada tahun 1768. 22 Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa penggunaan identitas ekspatriat hanya menjadi berlaku bagi bangsa- bangsa, pada khususnya kalangan Barat, yang menganggap tanah airnya sebagai fatherland, atau dengan kata lain berpaham patriarki. Hal ini yang menjadi pembedaan dengan bangsa-bangsa Timur, seperti Asia, termasuk Indonesia yang menganggap tanah airnya sebagai ‘Ibu Pertiwi’, atau dalam istilah lainnya disebut sebagai motherland. Kedua, jenis jawaban tentang siapa yang membutuhkan identitas ekspatriat ini mengharuskan kita untuk mengetahui dari mana konsep identitas muncul? Stuart Hall memberikan sebuah cara untuk menemukan jawaban, yakni meletakkannya pada sentralitas untuk kembali mempertanyakan agensi dan politik. Politik, bagi Hall, dimaknai sebagai gerakan dari penanda identitas yang menghubungkan sebuah lokasi politik, sedangkan agensi adalah perantara untuk memberikan pengertian kepada subjek atau identitas sebagai gagasan dari praktik sosial, atau untuk mengembalikan sebuah pendekatan yang historis 1996:2. Dalam hal ini, para ekspatriat mencoba untuk meletakkan identitas diri mereka pada persoalan lokasi, yakni ketika mereka sedang berada di luar negara atau tanah airnya. Oleh karena itu, negara atau tanah air patria telah menjadi penanda utama bagi identitas seorang ekspatriat. Namun tidak hanya berhenti pada persoalan identitas saja, tetapi terdapat agensi yang berperan untuk memberikan hingga menyerbaluaskan gagasan mengenai identitas ekspatriat ke dalam lingkup sosial. Dalam persoalan ekspatriat ini, agensi yang dimaksudkan adalah Majalah JE yang telah memproduksi sebuah media dan menjadi perantara untuk memberikan pengertian sebuah identitas ekspatriat, baik itu berupa majalah maupun yang termuat pada semua laman di 22 Dapat dilihat pada laman http:www.merriam-webster.comdictionaryexpatriate Bandingkan dengan penjelasan mengenai patria dalam http:en.wiktionary.orgwikipatria 102 internet. Dengan demikian, pertautan antara politik dan agensi acapkali melingkari konstruksi identitas ekspatriat. Sebagaimana ekspatriat yang juga dibubuhi oleh politik wacana, seperti gerakan perpindahan manusia yang berada di dalam lingkup kapitalisme global, maka identitas ekspatriat dikonstruksi dengan membuat sebuah ruang yang membedakan dengan banyak orang asing lainnya. Sementara itu, menurut Fechter, pemberian label kepada seseorang sebagai ekspatriat telah menandakan melekatnya mereka di dalam mekanisme kapitalisme global 2007:3. Artinya, seseorang yang bekerja pada sebuah perusahan berskala internasional multinasional corporation adalah agensi utama dalam memberikan identitas seseorang sebagai ekspatriat. Dengan kata lain, perusahan multinasional ini telah membuka kran perpindahan manusia dari negara asal atau tanah airnya, seperti yang dialami oleh beberapa ekspatriat yang termuat di dalam Majalah JE; Ian Smith, Anna Rohm, Mario Babin, dan Dave Metcalf. Alhasil, suatu perusahan multinasional telah turut andil menciptakan dan menandakan seseorang sebagai ekspatriat. Di Indonesia, misalnya, dapat diketahui bahwa kehadiran orang asing bukan hanya terdiri dari orang kulit putih saja, melainkan juga terdapat orang-orang dari Asia maupun Afrika yang bukan putih. Selain itu, orang kulit putih itu sendiri pun terbagi dalam beberapa bagian, seperti wisatawan, pelajar, pejabat negara, maupun para pekerja sosial yang memang sering berpindah ke berbagai negara. Namun demikian, pada praktiknya para ekspatriat di Indonesia, khususnya dilihat melalui Majalah JE, telah direpresentasikan oleh orang kulit putih, baik itu berlabelkan yang ahli, para pebisnis, atau siapapun mereka yang memiliki keterkaitan dengan kapitalistik. Berdasarkan pada data yang telah tersajikan, kita telah mengetahui bahwa latar belakang kisah kehidupan para ekspatriat adalah karena adanya perpindahan negara; 103 berasal dari berbagai negara, seperti Amerika, Australia, Prancis, Inggris, Kanada, Hawaii, Belanda, Selandia Baru, Skotlandia, yang kesemuanya masuk dalam kategori kalangan Barat. Di samping itu, perjalanan ke berbagai negara yang telah dilalui oleh para ekspatriat pun jumlahnya tidak sedikit, seperti yang dialami oleh Dan Boylan telah mengunjungi sedikitnya 40 negara, Dave Metcalf yang telah berpergian tidak kurang dari 25 negara, maupun Anna Feliciano melebih 10 negara. Dengan demikian, secara sederhana, sekaligus untuk menjawab sebuah pertanyaan esensialis, siapa yang membutuhkan identitas ekspatriat, mereka adalah yang sedang berada di luar tanah airnya, terutama untuk mempertahankan identitas primordial mereka yang tengah terancam bahkan tercerabut ketika berada di lingkungan yang sangat berbeda seperti di Indonesia. Dengan kata lain, Hall menjelaskan persoalan ini sebagai bentuk keberadaan identitas kultural yang bukan pada persoalan esensial, melainkan terkait pada sebuah posisi 1990:226. Posisi identitas ekspatriat di Indonesia ini yang kemudian menjadi persoalan. Persoalannya tidak lain adalah mengenai status para ekspatriat dihadapan masyarakat lokal atau pribumi. Para ekspatriat sebagai orang asing kulit putih menciptakan gelembung Barat sebagai batas spasial Fechter, 2007, dan menginginkan bentuk relasi sesama ekspatriat untuk dapat saling menghubungkan dan menjaring berbagai kepentingan, seperti peluang ekonomi, politik, sosial, budaya, serta menciptakan ketetapan identitas dan posisi mereka sebagai ekspatriat dihadapan yang lain – orang diluar diri mereka, seperti orang asing lainnya yang ada di Indonesia maupun masyarakat pribumi. Oleh karena itu, lewat Majalah JE para ekspatriat bukan hanya berupaya untuk mengkonstruksi maupun merepresentasikan diri ke atas mimbar media, melainkan juga menyebarluaskan gagasan dan wacana seputar ekspatriat, baik dalam skala lokal maupun global. 104 B.2. Representasi Diri Ekspatriat Setelah membahas persoalan mengenai identitas ekspatriat, maka langkah berikutnya yang akan penulis lakukan adalah menguraikan proses representasi diri ekspatriat di dalam Majalah JE. Di dalam dunia kontemporer seperti saat ini, Majalah JE dapat dipahami sebagai perangkat yang berperan dalam memberikan beragam wacana tanpa henti kepada para pembacanya, yang tidak lain adalah ekspatriat itu sendiri. Dengan kata lain, Majalah JE telah menjadi sebuah ruang bagi para orang kulit putih untuk merefleksikan dirinya sendiri atas representasi diri para ekspatriat yang tersajikan melalui suatu media. Di dalam pemahaman Kajian Budaya, media pun memiliki makna sebagai salah satu unsur yang turut serta dapat mempengaruhi dan membentuk subjek. Media telah menjadi suatu wahana untuk dapat mengartikulasikan dan merepresentasikan sebuah identitas kolektif. Oleh karena itu, dengan menyediakan beragam isi atau substansi di dalamnya, media tidak kalah pentingnya dalam ikut berperan sebagai pembawa pelbagai gagasan melalui imaji dan teks serta ideologi yang disuguhkan kepada para pembaca Majalah JE, yaitu para ekspatriat. Dengan sebuah tagline yang cukup sederhana, “Indonesia’s Largest Expatriate Readership”, Majalah JE terus berupaya untuk menyapa dan menjaring para ekspatriat di Jakarta, dan Indonesia pada umumnya. Sementara itu, pembaca Majalah JE akan dihadapkan pada sebuah situasi negosiasi yang menjadi penentuan mengenai identitas dirinya saat sedang berada di luar negara atau tanah airnya. Hal ini terutama terkait dengan seseorang yang sering berpindah negara, yang mana dirinya akan cenderung mengalami ‘kesadaran mendadak’ atas perubahan identitasnya ketika berhadapan dengan yang lain pribumi-non-pribumi atau native-foreigner. Oleh karena itu, melalui Majalah JE yang 105 diperuntukkan bagi para ekspatriat, maka dapat dipahami bahwa media dapat menjadi peredam kegalauan identitas seseorang yang sedang berada di luar negaranya. Pada ranah praktis, tidak adanya media khusus ekspatriat yang cukup kuat dan berperan selain Majalah JE juga memberi peluang bagi terjadinya persilangan kategori- kategori identitas orang asing. Apakah memang tidak ada kekuatan dominan selain Majalah JE untuk para ekspatriat di Indonesia? Sebelumnya di wilayah Jogjakarta pernah terbit media yang serupa, yaitu Jogjamag, 23 dengan tagline “for tourists and expats”. Namun kurang dari setahun media Jogjamag merubah target pembacanya yakni hanya para turis, dan tagline-nya pun berganti menjadi “your guide to discovering Yogyakarta”. Oleh karena itu, adanya Majalah JE yang kini telah bertransformasi menjadi Majalah Indonesia Expat IE merupakan satu-satunya media sebagai medium bagi para ekspatriat di hampir seluruh seantaro Indonesia. Mengenai representasi diri ekspatriat melalui media, penulis ingin memulai dengan memperlihatkan bahwa Majalah JE telah memainkan perannya sebagai sebuah ruang representasi identitas eskpatriat. Pada setiap edisinya yang tertuang di dalam rubrik Meet the Expats, Majalah JE selalu menyajikan sosok seorang ekspatriat dengan mengulas berbagai latar belakang kehidupannya. Rubrik Meet the Expats ini dimulai dengan mengungkapkan asal negara, bagaimana kisah mereka sampai tiba di Indonesia, membahas seputar aktifitas keseharian atau pekerjaan, hingga merujuk pada pandangan atau kesan selama mereka berada di Indonesia. Pada dasarnya, orang asing tidak melulu – secara langsung dan terbuka – merepresentasikan dirinya sebagai ekspatriat di dalam masyarakat. Namun demikian, dengan adanya suatu media, seseorang telah mendapatkan sebuah ruang untuk dapat 23 Dapat dilihat pada laman http:www.jogjamag.com 106 merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Dengan kata lain, meminjam kerangka pikir McLuhan 1999, the medium is the message, maka dapat dipahami bahwa Majalah JE berupaya untuk menyampaikan pesan dengan merepresentasikan orang asing kulit putih yang termuat di dalam rubrik “Meet the Expats” sebagai ekspatriat. Alih-alih, Majalah JE telah memberikan pesan kepada para pembacanya tentang siapa dan bagaimana latar kehidupan seorang ekspatriat di Indonesia. Berangkat dari pemahaman bahwa Majalah JE telah menjadi suatu ruang bagi representasi para ekspatriat, maka pembahasan selanjutnya adalah mengenai proses produksi budaya. Menurut Stuart Hall 1997:15 representasi menjadi penting karena terkait ‘cultural circuit’, dan menegaskan bahwa representasi telah menghubungkan makna dan bahasa bagi budaya, bahkan representasi dengan dua sistemnya membentuk sebuah diskursus bagi banyak orang. Hal ini dapat terlihat pada Majalah JE yang telah menjalankan dua fungsi sistem representasi. Pertama, Majalah JE sebagai pemberi makna identitas, yakni menekankan pada asal muasal seorang ekspatriat. Sebagaimana yang dilakukan Majalah JE sebagai berikut: Where do you come from? I am half Australian and half Danish. I’m officially an Australian, and I was born in Canberra. Anne Feliciano, JE edisi 63:10 Where are you originally from? From Sunderland in the North East of England Ian Smith, JE edisi 57:8 Where are you from? I’m originally from Montreal. Mario Babin, JE edisi 54:8 Where are you from? I am come from France, Grenoble, near the Alps. Mounier, JE edisi 51:8 Let’s start with the basics, where are you from? I’m originally from the United States Kristan Julius, JE edisi 72:14 Dari pertanyaan dan jawaban di atas dapat dicermati bahwa asal negara menjadi sebuah langkah awal untuk dapat merepresentasikan diri orang asing sebagai ekspatriat. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada awal bab ini, mengenai kisah para ekspatriat, para ekspatriat cenderung akan mendapatkan pertanyaan pembuka mengenai asal negara 107 mereka masing-masing dari pihak Majalah JE. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pemberi makna identitas seseorang untuk dapat menyandang diri sebagai ekspatriat adalah mereka yang sedang berada di luar negara atau tanah airnya. Di samping itu, pemilihan suatu kata tertentu telah merelativasi kepastian identitas berdasarkan asal usul kewarganegaraan. Hal ini dapat dicermati dalam pemilihan kata yang merumuskan sebuah pertanyaan, “where are you come from?”. Kata “where” di sini telah mengarahkan pada asal muasal seseorang, sehingga jawaban yang tersirat maupun yang tersurat dari pertanyaan tersebut adalah kata“originally”. Kata “originally” ini menjadi asosiasi dari sebuah rumusan pertanyaan yang diajukan oleh pihak Majalah JE kepada setiap ekspatriat. Jadi, dalam rubrik Meet the Expats ini, Majalah JE berupaya untuk merepresentasikan ekspatriat, berawal dari asal wilayah atau kota hingga status kewarganegaraan. Kedua, Majalah JE telah merepresentasikan diri para ekspatriat, baik sebagai konsep maupun bahasa mengenai seorang yang telah menjadi ekspatriat saat berada di luar negara atau tanah airnya. Konsep mengenai ekspatriat bukan hanya terbatas pada kepergian seseorang dari negara asalnya, melainkan juga terletak pada rentan waktu keberadaan di sebuah negara. Sebagaimana yang dilakukan oleh Majalah JE untuk melakukan penyelidikan atas keberadaan para ekspatriat di Indonesia: How long have you lived in Indonesia? a total of 25 years… that’s half my life Anne Feliciano, JE edisi 63:10 How long have you been in Indonesia? For a total of more than 16 years in 2 seperate periods since mid-1994 until now. Ian Smith, JE edisi 57:8 How long have you been a resident of Jakarta? 24 wonderful years Kristan Julius, JE edisi 72:14 How long have you been in Indonesia? I came here in 1995…. I’ve been here for 16 years Babin, JE edisi 54:8 How long have you been living in Indonesia? 15 years now. Cuny Schuurmans, JE edisi 56:8 108 Dari pertanyaan dan jawaban yang tertera di atas, dapat dicermati bahwa terdapat persoalan rentan waktu yang bermaksud untuk direpresentasikan. Perihal rentan waktu keberadaan para ekspatriat ini dapat dipahami bukan hanya sebatas angka, melainkan lebih sebagai sebuah bahasa yang menandakan bahwa mereka telah cukup lama pergi dari negara atau tanah air mereka masing-masing. Pengajuan pertanyaan “How long ….. ?” menjadi sebuah penanda waktu bagi identitas ekspatriat. Selain itu, lokasi keberadaan para ekspatriat juga menjadi petanda diri mereka, seperti di Indonesia, khususnya di Jakarta. Oleh karena itu, rentan waktu dan keberadaan mereka di sebuah negara tertentu telah menjadi sebuah diskursus. Di samping itu, representasi diri ekspatriat juga dapat dicermati sebagai sebuah tanda yang membedakan dengan orang asing lainnya. Ekspatriat sebagai tanda, sekaligus bahasa, dikodifikasi dan diartikulasikan melalui sebuah Majalah JE dengan cara merepresentasikan diri orang asing. Terutama, makna yang dikonstruksikan atas upaya representasi ekspatriat ini adalah terkait dengan keberadaan orang kulit putih. Hal ini dengan jelas dapat terlihat dari dua puluh sampel yang diambil dari Majalah JE pada rubrik Meet the Expats, yang mana kesemuanya adalah orang kulit putih. Oleh karena itu, dengan menggunakan sebuah pendekatan konstruktivis, Majalah JE telah menghadirkan kembali to represent suatu pemaknaan mengenai orang asing yang sedang berada di luar negaranya, terutama mengenai ekspatriat sebagai representasi diri orang kulit putih sehingga berbeda dengan keberadaan para orang asing lainnya. Terkait Majalah JE, kontestasi media selalu memiliki keterkaitan dengan wacana discourse dalam menggunakan bahasa language sehingga dapat menghasilkan suatu pemaknaan. Bagi Hall 1992:64, media bukan hanya direproduksi atas suatu realitas, melainkan berupaya untuk mendefinisikan sesuatu makna, bahkan definisi atas realitas 109 dipertahankan dan diproduksi melalui semua praktek-praktek linguistik dalam arti luas dengan cara yang selektif mewakili definisi kenyataan. Artinya, dalam hal ini Majalah JE yang dihasilkan dan disebarluaskan kepada para ekspatriat di Jakarta, dan kini mulai merambah hampir ke seluruh wilayah Indonesia, merupakan suatu upaya dalam menciptakan sebuah pemaknaan atas keberadaaan para ekspatriat. Oleh karena itu, Majalah JE telah menyediakan suatu gagasan identitas bagi mereka, yang mana adalah orang kulit putih, ketika menjadi orang asing saat berada di luar tanah airnya. Kenyataannya, Majalah JE tidak hanya sebatas pada memproduksi suatu media, akan tetapi telah menciptakan wacana kekuasaan lewat bahasa dengan memunculkan kesadaran tentang keberadaan seseorang dan identitas di tengah masyarakat yang plural. Majalah JE sebagai alat penyebaran kekuasaan wacana mengenai ekspatriat telah membuat upaya perbedaan atas berbagai stereotipe terhadap orang asing maupun orang kulit putih, seperti bule dan turis. Dengan kata lain, Majalah JE merupakan sebuah bentuk upaya merekonstruksi maupun mendekonstruksi stereotipe tentang kehadiran orang kulit putih yang selama ini berkeliaran bebas dengan berbagai prasangka di dalam konsep maupun praktik masyarakat Indonesia. Bahkan, Majalah JE sebagai sebuah media telah berperan dan melakukan suatu upaya konstruksi serta memproduksi wacana pengetahuan tentang ekspatriat. Berdasarkan data yang telah dipaparkan, yakni melalui delapan latar belakang dan dua puluh kisah para ekspatriat yang tersajikan di dalam rubrik Meet the Expats, kita dapat mengetahui bagaimana kehadiran orang asing, pada khususnya orang kulit putih di Indonesia telah mengalami representasi diri sebagai ekspatriat melalui Majalah JE. Representasi ini pada dasarnya telah melakukan proses identifikasi terhadap keberadaan para orang asing di Indonesia, sehingga Majalah JE telah memainkan peran sebagai sarana 110 pemberi informasi untuk memberikan gambaran dan menyebarkan representasi diri ekspatriat, yang mana tentunya telah dibentuk atau diimajinasikan oleh media itu sendiri. Dengan demikian, penulis menarik kesimpulan bahwa para ekspatriat yang tersajikan di dalam Majalah JE merupakan salah satu bentuk upaya representasi atas konstruksi identitas ekspatriat, terutama mengenai keberadaan diri mereka sebagai orang asing kulit putih di sebuah negara yang non putih seperti Indonesia. Di samping itu, pada era kontemporer saat ini, media juga dapat diyakini bukan hanya sebagai medium pengantar pesan informasi sosial di dalam suatu masyarakat, melainkan juga sebagai alat penundukkan dan pemaksaan konsensus oleh sekelompok orang yang secara ekonomi dan politik dominan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Bab II, mengenai awal mula Majalah JE sebagai media yang diproduksi dari, oleh, dan untuk para ekspatriat merupakan suatu upaya untuk merepresentasikan dan membuat legitimasi atas identitas ekspatriat di dalam masyarakat Indonesia. Dominasi kelas kapitalis juga dapat terlihat dari sebagian besar representasi ekspatriat yang tersajikan dalam Majalah JE. Ekspatriat yang dihadirkan lebih cenderung mengarah pada kalangan kelas pebisnis, seperti, Luke Rowe, Roberto Puccini, Ian Smith, Stephane Poggi, Anna Rohm, Mario Babin, Jean-Baptiste Mounier, Cuny Schuurmans, Tim Scott, dan Warwick Purser. Bahkan dengan melihat dari titik persebarannya, Majalah JE pun lebih banyak menempatkan sasarannya kepada para ekspatriat yang berorientasi pada kelas ekonomi atas, seperti dominannya peredaran di apartemen, sekolah internasional, perusahaan multinasional dan ruang publik: café, bar, resto, dll. Dengan kata lain, hal ini senada dengan yang telah diingatkan oleh pandangan Marxisme mengenai media sebagai sebuah pendekatan ekonomi politik terhadap media dan budaya yang lebih berpusat pada hal produksi dan distribusi daripada menafsirkan teks Kellner, 2006:xxvi. 111 Oleh karena itu, hubungan identitas ekspatriat terhadap media merupakan sebuah persoalan sebagai orang kulit putih yang memiliki kesamaan, khususnya mereka yang berada pada posisi kelas ekonomi atas, seperti para pemilik modal maupun yang memiliki keterkaitan dengan kapitalisme global. Aktifitas ekspatriat yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi politik juga telah ditegaskan oleh Alejandro Portes 2003:43 dalam penelitiannya yang menyimpulkan bahwa semua bukti empiris menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi, politik dan sosial budaya menghubungkan komunitas ekspatriat dengan negara-negara asal mereka muncul atas inisiatif para imigran itu sendiri. 24 Keberadaan para pendatang di suatu wilayah atau dalam konteks luasnya di suatu negara adalah membawa suatu kepentingan tertentu, baik untuk dirinya sendiri, kelompok, maupun negara tempat ia berasal. Dengan kata lain, para ekspatriat bekerja di luar negaranya dan membawa keuntungan yang didapatkan olehnya untuk dibawa kembali ke negara asalnya. Oleh karena itu, kehadiran orang asing kulit putih yang mererpresentasikan diri sebagai ekspatriat merupakan sebuah keniscayaan atas kepentingan ekonomi dan politik maupun budaya ketika mereka berada di negara dunia ketiga seperti Indonesia.

C. Ekspatriat, Melanggengkan Wacana Kolonial

C.1. Cover Photo sebagai Imaji Indonesia Pada bagian ini, penulis akan memulai dengan menampilkan beberapa cover photo yang terdapat pada halaman muka Majalah JE. Dalam hal ini, penulis memilih beberapa cover photo untuk memperlihatkan bagaimana Majalah JE berupaya untuk menghadirkan 24 Portes, Alejandro. 2003. Conclusion: Teoretical convergencies and empirical evidence in the study of immigrant transnationalism. International Migration Review 37: 874-92. Dalam Andoni Alonso and Pedro J. Oiarzabal Eds. Diasporas in the New Media Age: Identity, Politic and Community. Reno Las Vegas: University of Nevada Press. Hal. 43. 112 imaji Indonesia kepada para pembacanya. Dalam setiap edisinya, JE selalu memberikan sebuah foto yang dijadikan cover photo media sebagai ‘pembungkus’ tema yang sedang tersaji. Foto juga dibubuhi suatu artikel terkait dengan tema yang sedang ditampilkan pada muka media. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini, dan sebelum menguraikan isi muatan artikel, penulis akan terlebih dahulu berupaya untuk mengungkapkan pesan yang terdapat dalam cover photo Majalah JE tersebut. Sebagaimana Barthes mengatakan bahwa foto tidak pernah dapat berdiri sendiri, sehingga suatu tulisan berfungsi menjelaskan atau memberi komentar pada foto tersebut Sunardi, 2004;159. Hal ini yang terjadi dan akan dibahas pada persoalan beberapa cover photo Majalah JE. Dikarenakan foto yang dijadikan cover photo Majalah JE diiringi oleh teks yang turut memberikan dan membangun makna foto. Bahkan, tidak tanggung- tanggung, Majalah JE pun memberikan teks maupun tulisan yang kiranya jauh dari makna foto itu sendiri. Dengan menggunakan pendekatan semiotika, kita akan melihat bagaimana sebuah foto memiliki kompleksitas di dalamnya, terutama terkait dengan teks yang turut membangun struktur makna. Merujuk pada pandangan Roland Barthes yang menjelaskan bahwa foto berita press adalah pesan yang dibangun oleh beberapa elemen, seperti teks, judul, penjelasan maupun sumber pemancar foto 1977:15. Oleh karena itu, dengan menggunakan semiotika fotografi yang telah disediakan oleh Barthes, maka penulis berupaya untuk dapat mengungkapkan relasi makna maupun pesan foto yang tersajikan sebagai cover photo dalam Majalah JE. Beberapa cover photo Majalah JE dapat dilihat sebagai berikut: 113 Gambar 1 An early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldier and a girl from Purworedjo. Cover Photo Jakarta Expat 42 th Edition Ketika melihat potret yang dijadikan cover photo pada Majalah JE ini, penulis menjadi teringat pada sebuah buku, “Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda” karya Reggie Baay yang terbit pada tahun 2010. Berselang setahun dari terbitnya buku tersebut, foto ini dimunculkan kembali oleh JE pada edisinya ke 42 yang disertai dengan judul ‘Better Late than Never’. Dari judul tersebut terdapat pula uraian yang disampaikan melalui suatu narasi untuk menjelaskan bagaimana suatu proses pernikahan campur antara orang asing dengan orang Indonesia. Dengan demikian, penulis beranggapan bahwa para pembaca Majalah JE mendapatkan suatu pemahaman mengenai pernikahan campur di Indonesia. Apalagi terkait dengan pernikahan campur bukanlah suatu hal yang baru terjadi pada saat ini, melainkan sebelumnya pernah terjadi di masa kolonial Hindia Belanda. Pesan Fotografis Gambar 1 a. Elemen fotografis Pada Gambar 1, cover photo tersebut dapat diketahui bahwa sumber pemancarnya adalah Majalah JE, yang mana di dalamnya terdapat redaksi dan editor. Sementara pihak penerimanya adalah publik yang membaca, yaitu target pembaca Majalah JE adalah para ekspatriat. Foto ditransmisikan melalui Majalah JE edisi 42 yang terbit pada 27 April-11 114 May 2011, dengan judul “Better Late than Never”. Foto yang ditransmisikan adalah perkawinan campur antara orang asing atau pihak kolonial dengan pribumi, dengan sebuah objek scene sebuah keluarga, yang terdiri dari ayah dan ibu dengan dua orang anaknya. Dengan demikian, analogon turunan atau salinan dalam cover photo ini adalah imaji fotografi yang ditampilkan pada foto, dimana foto ini memiliki pesan denotatif yang menyampaikan citra tentang pernikahan campur, sedangkan pesan konotatifnya adalah kode kultural maupun stereotipe dari pernikahan campur.

b. Rangkaian Prosedur Konotatif

Pertama, trick eEffects pada foto ini telah menggagalkan keutuhan sebuah keluarga karena sang ayah berpaling muka dengan tidak menghadap pada kamera. Selain itu, terdapat juga penanda pada adegan tidak adanya senyum dari objek foto. Hal ini menimbulkan pemahaman kesadaran yang menjadi tanda sign dan selanjutnya dapat dikodekan bahwa pernikahan campur dianggap sebagai hal yang belum bisa diterima di dalam masyarakat; baik dari kalangan pribumi maupun Eropa, dimana pada masa kolonial perempuan pribumi diposisikan sebagai gundik bagi kalangan Eropa. Oleh karena itu, pada trick effects ini, foto bisa juga menimbulkan rasa penolakan dari kalangan Eropa ketika sang ayah tidak menghadap pada lensa pemotret. Kedua, pose pada foto ini dengan jelas menggambarkan sebuah keluarga yang utuh, terdiri dari seorang ayah dan ibu serta kedua anaknya. Namun, ada ketimpangan dalam foto tersebut: sang ayah mengenakan seragam tentara lengkap, sang ibu hanya mengenakan pakaian perempuan khas Jawa, sang anak yang paling besar menggunakan pakaian bergaya Eropa dengan topi bundar dan sepatu sebagai penandanya, sedangkan sang anak yang paling kecil dibiarkan telungkup tanpa mengenakan selembar pakaian apapun. Dengan berpalingnya wajah sang ayah dari lensa kamera, ia yang berasal dari 115 kalangan Eropa seakan tidak ingin memperlihatkan dirinya secara utuh karena telah menikah dengan perempuan pribumi. Bahkan, foto yang dilatarbelakangi dengan sebuah rumah kayu khas pedesaan Jawa semakin menguatkan pesan konotatif mengenai kondisi pribumi yang miskin. Ketiga, daya tarik objek pada foto ini ditandai oleh dua penanda, yakni penanda pertama ada pada perempuan Jawa yang – sadar – melihat kamera, dan penanda kedua pada seorang laki-laki Belanda yang berprofesi sebagai tentara dengan berseragam lengkap namun berpaling muka dari kamera. Dengan demikian, foto telah menjadi sebuah sintaksis karena komposisi objeknya terdiri dari sebuah keluarga dan juga menangkap latar berupa rumah tradisional yang terbuat dari kayu. Keempat, fotogenia pada foto yang dicetak portrait tersebut telah menjadikan gambar terlihat lebih sempit. Foto menjadi terfokus pada objek sehingga hanya menangkap sedikit ruang di belakang objek. Kelima, estetisisme foto menjelaskan tentang pernikahan campur melalui sebuah foto yang dimuat kembali di dalam sebuah Majalah JE. Unsur-unsur yang ada pada foto tersebut dikodekan dalam sebuah gambar yang termuat dalam cetakan media sebuah majalah. Dan terakhir, keenam, sintaksis pada foto ini, penanda konotasi hanya terdapat pada satu foto tunggal yang termuat di dalam Majalah JE. Hal itu dikarenakan tidak terdapat foto lain yang dapat membentuk suatu rangkaian kejadian saling terhubung dan berkesinambungan di dalam media.

c. Teks dan Imaji

Jakarta Expat pada edisi 42 yang terbit 27 April-11 May 2011 memberikan keterangan foto sebagai “An early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldierand a girl from Purworedjo” sertajudul “Better Late than Never”. Pesan teks ini telah membuat suatu denotasi terhadap pembacanya, sehingga imaji tidak lagi