153
Singapura dan memiliki sebuah hotel yang dinamakan Raffles sehingga terlihat menjadi kebanggaan yang cukup.
57
Melalui buku biografi Raffles karya Hannigan, Collins mengupas kisah perjalanan Raffles dan menguraikan berbagai kisah tentang Raffles, seperti, pernah menjadi Letnan
Gubernur Jawa, petugas East India Company, berlayar ke Penang dan menjadi asisten sekretaris Gubernur Penang Malaysia, pernikahan Raflles dengan Olivia pada bulan
April 1805, hingga tugas Raffles untuk mengumpulkan informasi tentang Jawa. Menurut Collins, Hannigan telah melakukan sebuah –mekanisme nilai tukar –
penulisan biografi yang memukai tentang Raffles. Melalui sebuah buku karya Hannigan, Collins melihat kekayaan latar belakang tentang sejarah Jawa di masa sebelumnya, mulai
dari kehidupan di kesultanan, kerajaan Mataram, Majapahit hingga tentang bagaimana agama-agama tiba seiring dengan kedatangan para pedagang, yang mana orang Jawa
masih relevan dengan hal mistisisme. Bahkan, di akhir artikel ini, Collins merasa tidak mampu memuji Hannigan yang telah bekerja sangat cukup, tetapi ia memiliki satu
peringatan tentang buku ini dengan mengatakan bahwa sebuah buku dengan begitu banyak kekayaan untuk siapapun yang tertarik mengenai Raffles dan Indonesia akan sangat
menguntungkan dari sekedar indeks.
58
Melalui artikel ini, Collins bukan hanya berupaya untuk melakukan resensi atas sebuah buku mengenai biografi Raffles karya Hannigan, melainkan ia juga bermaksud
57
“Our heroes were the adventurers and explorers such as Walter Raleigh who brought us tobacco, potatoes and gold he’d pirated off Spanish buccaneers. In 2002 he was listed in a BBC poll of the 100 Greatest
Britons. But Sir Thomas Stamford Raffles wasn’t. Until reading Tim Hannigan’s new published biography, I’d continued to share the notion that Raffles was a great man; discovering Borobodur, founding Singapore,
and having a hotel named after him seemed to be credit enough.”
58
“Hannigan has done us a great service with his – erm– spellbinding biography. It is packed with a wealth of background about the earlier history of Java, life in the sultanates with their intrigues, of the Mataram and
Majapahit kingdoms, about how religions arrived with ill-educated traders, and the still relevant Javanese mysticism, with footnotes where appropriate. I cannot praise Hannigan’s work highly enough, but have one
caveat: a book with such riches for anyone with a smidgeon of interest in Raffles and Indonesia would greatly benefit from an index.”
154
untuk menyampaikan bahwa buku ini memuat sejarah Jawa dan Indonesia. Hal ini terlihat pada bagian akhir artikel yang disajikan oleh Collins, yakni memberikan sedikit deskripsi
mengenai Jawa. Collins menyinggung sejarah Jawa pada masa lampau, seperti, masa kerajaan Mataram, Majapahit hingga persoalan orang Jawa yang dinilai masih hidup
dalam mistisisme sebelum para pedagang datang membawa agama. Dalam hal ini, Collins sebagai seorang ekspatriat telah berlaku sama seperti para penulis ekspatriat lainnya yang
telah banyak dibahas sebelumnya. Collins –dengan maupun tanpa kesadaran– ingin mengingatkan kembali stereotipe tentang masyarakat Jawa yang berkaitan dengan hal
mistik di masa lampau. Di samping itu, sebagaimana karya termasyhur Raffles, Histrory of Java, telah
menjadi sebuah literatur bagi Barat untuk memahami Jawa. Begitu pula dengan upaya Collins dalam meresensi sebuah buku ini, yakni berupaya untuk menjadikan biografi
Raffles karya Hannigan ini sebagai sebuah literatur untuk mengetahui kisah Raffles di Timur; Singapura maupun Indonesia. Dengan kata lain, berbekal sebuah biografi Raffles,
Hannigan sebagai penulis buku, dan diresensi oleh Collins, masih menjadikan Timur sebagai sumber literatur bagi kalangan Barat.
b. INDONESIA ETC. Exploring the Improbable Nation
59
Melalui artikel ini, Collins kembali melakukan sebuah upaya resensi dan memberikan pendapat atas sebuah buku karya Elizabeth Pisani. Bagi Collins, karya Pisani
ini dinilai telah memuat sebuah kisah perjalanan tentang Indonesia dengan menarik. Dan, buku setebal hampir 400 halaman ini pun diulas oleh Collins dengan gaya bahasa satire.
Sebelum membaca buku karya Pisani, Collins merasa telah mempelajari dan memahami Indonesia, yang menurut dirinya berkilauan samar-samar di dalam kesadaran.
59
Indonesia Expat 120
th
Edition, p.15. Written by Terry Collins.
155
Akan tetapi, setelah membaca buku karya Pisani, ia seolah-olah merasa telah memperoleh deskripsi yang tampak jelas. Berangkat dengan menjelaskan kisah Pisani yang berkunjung
ke Indonesia, Collins menempatkan dirinya sebagai penerus informasi untuk memberikan deskripsi mengenai Indonesia kepada para pembaca Majalah JE, khususnya para orang
asing atau para ekspatriat yang sedang berada di Indonesia. Collins memaparkan bahwa Pissani telah bertemu banyak budaya yang masih
sangat berakar pada adat istiadat dan tradisi yang dilakukan secara turun-temurun, namun terdapat orang-orang desa yang mendokumentasikan sebuah ritual pengorbanan ke dalam
ponsel yang mana menampilkan pemimpin bangsa yang sakit kepala. Karena itu, Pisani mengajukan sebuah pertanyaan, jika yang tradisional dan modern hidup berdampingan di
Indonesia, hukum mana yang seharusnya digunakan? Bahkan, karena adanya sistem klan, ditunjukkan bahwa korupsi banyak terjadi sebagai bentuk gambaran patronase, seperti
posisi tertentu telah dipesan untuk para anggota klan, dan adanya pertukaran barang penghormatan – dari babi ke kerbau di pesta pernikahan dan pemakaman di daerah
pedesaan, uang tunai untuk di kota-kota dan pusat pemerintahan – secara tradisional yang merupakan simbol penghormatan terhadap posisi dalam suatu hirarki.
60
Pada artikel ini, Collins cenderung lebih banyak mengutip tulisan Pisani untuk memperlihatkan gambaran mengenai Indonesia. Dengan mengutip teks yang disediakan
oleh Pisani, Collins pun telah mendeskripsikan budaya Indonesia, seperti orang-orang yang bersinggungan dengan sebuah teknologi modern; telepon genggam. Bahkan,
deskripsi tradisional dan modern telah berupaya untuk menunjukkan bagaimana kondisi
60
“Many of the cultures she meets are still very much rooted in adat, the traditions carried down through the generations, yet “villagers film a ritual sacrifice on their mobile phones [which] presents the nation’s
leaders with a headache. If ancient and modern Indonesia co-exist, which should they make laws for?” She observes the clan system and suggests that what many call ‘corruption’ may be best described as
‘patronage’. Certain ‘positions’ are ‘reserved’ for members of the clan, and the exchange of items of ‘homage’ — from pigs to buffaloes at weddings and funerals in rural areas, to cash in cities and government
centres — are traditionally a symbol of respect for the positions in a hierarchy.” Cetak miring dari penulis
156
masyarakat kontemporer Indonesia. Selain itu, Collins, juga memberikan deskripsi mengenai masalah di Indonesia yang cenderung kausalitas, seperti korupsi karena adanya
sistem patronasi, posisi tertentu telah dipesan untuk anggota klan, dan hewan sebagai nilai pertukaran, sedangkan uang berlaku untuk di kota dan pemerintahan.
Selanjutnya, mengenai birokrasi, Collins pun masih meneruskan tulisan Pisani dengan menyampaikan bahwa suatu alasan sering dikatakan sebagai ‘belum dapat
petunjuk’, yang dapat diartikan sebagai ‘saya belum menerima instruksi’, atau disebut juga istilah lainnya ‘Asal Bapak Senang ABS –‘asalkan bapak senang. Sementara itu, dalam
bidang politik, reformasi telah mengirimkan sistem demokrasi hampir ke semua orang di pelosok daerah dan membongkar rezim Orde Baru Suharto yang terpusat, yang mana
hampir semua punya kenalan yang dapat membantu nepotisme, kolusi, korupsi.
61
Bertolak dari uraian di atas, Collins yang mengambil beberapa cuplikan dari Pisani telah menguraikan deskripsi Indonesia pasca-kolonial, seperti budaya, tradisi, ritual,
sosial, ekonomi, birokrasi hingga politik. Berangkat dari kisah yang dituliskan oleh Pisani, Collins pun menyakini bahwa masih terdapat banyak kisah tentang pengalaman orang
asing di Indonesia. Oleh karena itu, Collins berpendapat masih banyak kisah kontemporer tentang Indonesia yang belum dipublikasikan, bahkan ia juga menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara yang sangat berbeda dari yang dipikirkan oleh para orang asing, yang mana selama ini sudah merasa tahu.
Namun demikian, pada resensi yang disediakan oleh Collins ini, setidaknya bagi penulis terdapat lima hal mengenai Indonesia pada masa kontemporer yang hendak
diberikan kepada para pembaca. Pertama, masyarakat tradisional Indonesia yang gagap
61
“In bureaucracies, that translates as the excuse that “belum dapat petunjuk” — ‘I haven’t received instructions yet’ and Asal Bapak Senang ABS — ‘as long as father is happy’. ….Within the political
sphere, following reformasi and the dismantling of Suharto’s centralised Orde Baru, there is now “so much democracy around that almost everyone has someone somewhere in the system delivering for them.” Cetak
miring dari penulis
157
dengan modernitas; pendokumentasian sebuah ritual ke dalam telepon genggam. Kedua, stereotipe negatif budaya Indonesia pada lingkup birokrasi;sistem patronase. Ketiga,
masyarakat Indonesia yang ‘malas’; alasan ‘belum dapat petunjuk’ Keempat, perubahan sistem demokrasi pasca reformasi; euphoria masyarakat Indonesia yang menjalankan
sistem desentralisasi. Dan terakhir, sebagaimana judul buku yang diberikan oleh Collins, “Indonesia, dan lain-lain, menjelajahi bangsa yang mustahil”, atau dengan kata lain,
Indonesia telah dianggap sebagai sebuah bangsa yang lengkara.
D. Catatan Penutup
Jakarta sebagai sebuah kota metropolis yang dipenuhi oleh banyak pendatang, tidak mengecualikan para orang asing untuk dapat merepresentasikan identitasnya di
dalam masyarakat. Dalam hal ini, pada khususnya orang kulit putih berupaya untuk merepresentasikan identitas diri mereka sebagai ekspatriat. Kisah perjalanan hidup telah
menjadi bagian dari identitas mereka hingga dapat merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Meskipun kehadiran orang kulit putih di Indonesia bukan suatu hal yang terjadi
untuk pertama kali, namun kehadiran mereka sebagai ekspatriat pada saat ini telah mengingatkan kembali pada orang kulit putih di masa kolonial tempo dulu. Hal ini
disebabkan karena para ekspatriat melanjutkan wacana yang serupa dengan para pendahulunya, yakni para kolonialis.
Berdasarkan ragam sajian yang termuat di dalam Majalah JE, para ekspatriat telah menempatkan citra Indonesia sama dengan yang pernah dilakukan oleh para kolonial. Para
ekspatriat masih menggunakan wacana orientalisme untuk dijadikan sebagai bekal pengetahuan dalam memandang maupun memahami karakter dan stereotipe tentang
Indonesia. Dengan kata lain, melalui Majalah JE para ekspatriat masih menempatkan
158
Indonesia berada di bawah posisi mereka, sebagai bagian dari negara dunia ketiga yang pernah terjajah. Hal ini dapat dicermati, baik melalui cover photo Majalah JE maupun
beragam teks yang mengandung wacana kolonial mengenai Indonesia. Oleh karena itu, persoalan ini, yang mana merupakan pertanyaan kedua dalam rumusan masalah penelitian
ini, mengenai wacana kolonial mengenai Indonesia yang dihadirkan melalui imaji dan teks di dalam Majalah Jakarta Expat akan dibahas pada bab selanjutnya.