Indonesia di Masa Pasca-Kolonial
50
kebiasaan orang Indonesia ketika menyebut mereka sebagai bule. Hal tersebut dianggap sebagai bentuk yang merendahkan dan menyakitkan, sehingga ekspatriat cenderung
menolak terhadap panggilan bule yang ditujukan padanya. Di dalam artikel ini juga terdapat perdebatan cukup panjang di kalangan orang
kulit putih dalam menanggapi panggilan bule yang ditujukan pada mereka. Ada yang mengganggap bahwa bule adalah kata yang biasa ditujukan bagi orang asing dengan kulit
putih, karena kulit mereka terlihat lebih terang dari kulit orang Indonesia. Ada juga pandangan baik dari orang Indonesia maupun orang kulit putih yang mengganggap bahwa
istilah bule adalah sebuah kata netral, yang mana selama kata itu diucapkan secara sopan dan tidak digunakan sebagai sebuah bentuk penghinaan. Selain itu, disebutkan juga bahwa
bagi sebagian besar orang Indonesia menganggap bahwa penyebutan bule sebagai kebiasaan yang tidak bersalah dengan tidak ada niatan yang buruk. Orang asing yang
memiliki kulit putih acapkali dipanggil bule dalam situasi yang berbeda, seperti sapaan di jalan, atau dalam percakapan informal dengan orang Indonesia. Jadi, bule adalah kata yang
netral dan juga sebagai kata fungsional – semacam sapaan untuk orang kulit putih. Sebaliknya, meskipun kata bule memilki ragam variabel, orang kulit putih atau
ekspatriat cenderung menginginkan agar kata bule tidak terperangkap pada stereotipe tentang orang asing, seperti, orang yang kaya, kasar, dan bodoh, yang bau keju dan tidak
memiliki moral. Karena bagi mereka, menjadi stereotipe seperti tersebut sangat menjengkelkan, terutama bagi ekspatriat yang merasa bahwa mereka telah beradaptasi
dengan Indonesia secara lebih baik daripada para turis yang hanya sekedar berwisata. Selanjutnya, orang kulit putih, yang dalam perdebatan artikel ini adalah ekspatriat,
juga tidak ingin kata bule digunakan sebagai kategori ras. Namun demikian, apabila dilihat lebih cermat dalam artikel ini, penulis menilai bahwa pandangan rasis justru lebih
51
dominan disampaikan oleh para ekspatriat terhadap perilaku masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat ketika beberapa responden Fechter mengatakan bahwa orang
Indonesia sebagai pelaku rasis, dimana hal itu dikaitkan dengan menyebutkan kurangnya pendidikan masyarakat Indonesia. Paparan tersebut termuat sebagai berikut:
“An additional sting for expatriates, however, might be that they feel insulted by Indonesians - people whom some consider to be politically backward, and
intellectually less capable. In their responses, some expatriates therefore suggest that Indonesians need more education.”
Secara eksplisit seorang responden Fechter juga mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu masyarakat yang paling rasis. Dengan beberapa uraian, responden
Fechter memberikan sebuah pandangan bahwa Indonesia terus-menerus merendahkan orang lain termasuk satu sama lain terkait dengan suku, kelahiran, dan agama. Hal ini
dapat dilihat pada uraian berikut:
“…. Indonesia is one of the most racist societies in which Ive ever had the pleasure of living. Indonesians are constantly denigrating others including one another by
tribe, birthplace, and religion. While, admittedly, this is human nature at its worst and done everywhere, it still has no place in a pluralistic, democratic society.”
Selain itu, seorang responden ekspatriat dalam artikel ini juga memuat suatu anggapan yang mengatakan bahwa Indonesia sebagai tempat yang paling rasis, sehingga
ekspatriat yang kebanyakan orang kulit putih telah mengalami rasisme secara pribadi. Berikut adalah kutipan yang terdapat dalam artikel tersebut:
“However, that Indonesia seems racist to them because they have, for the first time, received racial insults themselves. This is pointed out to them, however, by other
participants: ‘Ive heard many people describe Indonesia as the most racist place theyve ever been and although I would never argue that it isnt racist, I dont think
its more racist than other places, but that it is probably the only place where expats who are mostly white have experienced racism personally directed at them. You
have probably lived with racism all around you but until you moved to Indonesia and became a victim of it you just didnt notice it.” cetak miring dari penulis
Dari kutipan di atas, khususnya pada kalimat yang diberi cetak miring dapat dipahami bahwa kalangan Barat yang sesungguhnya sangat rasis, namun mereka
52
seringkali menyangkalnya karena tidak merasakan rasisme yang ditujukan kepada mereka. Akan tetapi, ketika kalangan Barat berada di Timur seperti Indonesia seoalah-olah mereka
telah merasa mendapatkan sebuah perlakuan rasis, terutama pada saat mendapatkan panggilan bule yang ditujukan kepada mereka.
Meskipun artikel pendek ini, yang kurang lebih memuat sebanyak dua ribu kata, berupaya mendamaikan persepsi tentang pemaknaan kata bule, baik di pihak orang kulit
putih maupun pribumi, namun pada akhirnya artikel ini menjadi ambigu. Setelah memaparkan beragam pandangan, diskusi, dan perdebatan mengenai kata bule, artikel ini
mengatakan bahwa orang kulit putih maupun ekspatriat telah menerima penggunaan istilah bule, akan tetapi perlu diingat kembali bahwa judul artikel ini telah diberikan
sebuah judul Don’t Call Me Bule. Artikel menarik lainnya tentang perdebatan kata bule terdapat pada tulisan Donny
Syofyan dengan judul Understanding The Word ‘Bule’.
21
Sebagai penulis dari kalangan Indonesia, Syofyan mencoba menyumbangkan gagasan tentang pemahaman kata bule.
Syofyan mengemukakan bahwa kata bule biasanya menunjuk pada orang kulit putih seperti Eropa, Amerika atau Australia, dan terkadang juga ada beberapa orang yang
mengatakan bule Afrika African bule terkait dengan mereka yang berasal dari Afrika. Namun demikian, dalam artikelnya, Understanding The Word ‘Bule’ Syofyan tidak
serta merta secara eksplisit menyebutkan orang asing sebagai ekspatriat. Syofyan – dengan maupun tanpa sengaja – lebih memilih untuk menggunakan kata “foreigner” dalam
menyebut orang asing di Indonesia. Oleh karena itu, setidaknya perlu untuk menelusuri lebih mendalam sejauh mana Syofyan memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai
kata bule di dalam artikel pendeknya.
21
Indonesia Expat Issue 116, p. 15.
53
Pertama, Syofyan menjelaskan bahwa orang asing yang telah tinggal di Indonesia dalam jangka waktu yang panjang dan hidup bertetangga dengan orang lokal masih saja
mendapatkan sebutan sebagai bule. Dalam hal ini, Syofyan menilai bahwa hal tersebut dirasa cukup mengganggu mereka orang kulit putih mengingat tidak ada yang berubah
dalam hubungan bertetangga, sehingga penduduk setempat masih melihat mereka sebagai orang asing dan belum diterima dalam kehidupan masyarakat lokal. Bahkan Syofyan juga
mengingatkan bahwa terdapat hal yang berbeda ketika orang asing memiliki teman-teman Indonesia; pribumi tidak akan lagi menyebut orang asing sebagai bule ketika berteman
dengan orang Indonesia, meskipun terkadang jika pribumi ingin memperkenalkan teman asingnya yang kulit putih kepada teman-teman lain namun masih juga sering
menggunakan kata bule. Dari penjabaran poin pertama ini, penulis menganggap bahwa posisi Syofyan
dalam artikelnya bersikap mendua. Di satu sisi, Syofyan ingin memperlihatkan bahwa ada keinginan dari orang kulit putih yang hadir di dalam masyarakat Indonesia untuk dianggap
sama dan tidak lagi dibedakan sebagai orang asing karena telah berada cukup lama dan beradaptasi di Indonesia. Di sisi lain, posisi Syofyan tetap menempatkan bahwa kata bule
adalah kata netral bagi orang kulit putih ketika digunakan untuk memperkenalkan kepada orang pribumi.
Kedua, Syofyan memaparkan bahwa masih ada pandangan di kalangan orang Indonesia yang menganggap wisatawan asing dan para petualang yang sedang berkunjung
ke Indonesia disebut sebagai bule, seperti dengan sapaan “mister” dan “miss”. Syofyan menganggapnya tidak hanya menjadi hal yang terdengar lucu, tapi akhirnya berubah
menjadi hal yang mengganggu orang asing, apalagi karena mereka berasal dari berbagai negara dan hanya tinggal selama satu atau dua bulan di Indonesia. Dalam hal ini, Syofyan
54
mencoba membuat perbandingan dengan Barat, dimana orang Barat tidak memberikan istilah atau nama yang aneh kepada orang asing atau para pendatang baru. Di negara-
negara Barat, orang asing yang tinggal lebih dari satu atau dua bulan untuk bekerja atau belajar tidak mendapatkan diri mereka benar-benar merasa terganggu seperti di Indonesia.
Hal ini terutama berlaku ketika banyak orang terus berulang-ulang berteriak “bule” pada mereka, padahal sebelumnya sudah saling kenal dan bertemu, sehingga suasana seperti itu
membuat orang asing merasa tidak nyaman. Terkait hal di atas, penulis kembali mengkritisi poin kedua yang disampaikan oleh
Syofyan. Sebagai penulis Indonesia, Syofyan belum dapat melepaskan dikotomi antara Barat dan Timur. Syofyan masih menempatkan Barat sebagai yang lebih baik. Hal itu
terlihat saat Syofyan membandingkan apa yang dialami oleh para pendatang asing di Indonesia dengan para pendatang asing di negara-negara Barat. Selain itu, upaya Syofyan
untuk memperlihatkan perbandingan tersebut, baik sadar atau tidak, juga telah menempatkan Barat sebagai yang superior dibandingkan dengan Indonesia, bahkan
menegaskan bahwa ketidaknyamanan menjadi bagian dari kehadiran orang asing ketika berada di luar negara-negara Barat.
Ketiga, Syofyan mencoba pada suatu gagasan dengan mempertanyakan tentang kemungkinan orang asing yang mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat setempat,
sehingga apakah kata “bule” akan menghilang? Mungkinkah itu terjadi di Indonesia? Bagi Syofyan, penerimaan terhadap keberadaan orang asing, pada tingkat yang cukup serius
karena prasangka publik atas pekerjaan orang asing. Misalnya, banyak orang Indonesia beranggapan bahwa kebanyakan orang asing kaya, sehingga mereka harus membayar lebih
mahal untuk suatu produk dan jasa yang mereka beli di negara Indonesia. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua orang asing adalah kaya. Contoh lainnya, sebagai
55
wisatawan, orang asing membayar tiket yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan pengunjung Indonesia. Oleh karena itu, Syofyan merasa tidak menyenangkan ketika
menemukan suatu kejadian dimana setiap kali memasuki objek wisata para turis mendapatkan diskriminasi antara wisatawan lokal dan mancanegara.
Tidak berhenti sampai disitu, berkaitan dengan wisata mancanegara, Syofyan merujuk pada beberapa pengalamannya saat mengunjungi tempat-tempat wisata di luar
negeri, seperti di Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Di sana ia tidak pernah melihat perbedaan harga antara orang asing dan penduduk setempat, yang ada hanya harga
khusus untuk mahasiswa dan orang tua pensiunan. Selanjutnya, Syofyan beranggapan bahwa beberapa orang Eropa terutama mereka yang belum pernah mengunjungi Indonesia
akan memiliki beberapa prasangka terhadap Indonesia. Beberapa temannya yang berasal dari Cekoslovakia, misalnya, berpikir bahwa Indonesia adalah negara dimana orang-
orangnya masih primitif, tinggal di rumah-rumah dalam hutan; tidak ada listrik dan tidak ada koneksi internet. Sofyan menganggap bahwa kesalahpahaman seperti itu biasanya
terjadi pada orang yang selama ini hanya menetap di negara mereka dan tidak pernah pergi ke luar negeri.
Persoalan lain dalam poin ketiga pada artikel Syofyan ini adalah mengenai stereotipe. Stereotipe tersebut muncul saat Syofyan mengemukakan beberapa temannya
yang berpikir bahwa Indonesia adalah negara dimana orang-orangnya masih primitif, tinggal di rumah-rumah dalam hutan; tidak ada listrik dan tidak ada koneksi internet, yang
mana Sofyan menganggap hal itu sebagai sesuatu kewajaran pada kalangan Barat yang selama ini hanya menetap di negara mereka dan tidak pernah pergi ke luar negeri. Dalam
hal ini, penulis menanggapi bahwa pendapat Syofyan bukan menjadi suatu pembenaran belaka atas ketidaktahuan kalangan Barat terhadap Indonesia sehingga masih saja terdapat
56
stereotipe tentang Indonesia sebagai yang primitif. Karena itu, Syofyan telah luput untuk menyadari bahwa sebelum teman-temannya berkunjung ke Indonesia, terdapat wacana
pengetahuan yang telah disediakan kalangan Barat mengenai dunia Timur, yakni Orientalism, seperti Asia, yang mana Indonesia termasuk di dalamnya.
Poin terakhir dalam artikel ini, dan sekaligus untuk pertama kalinya Syofyan menggunakan kata “ekspatriat” sehingga bagi penulis menjadi hal yang sangat ganjil. Pada
dua paragraph terakhir dalam artikel ini, Syofyan menjelaskan bahwa ekspatriat menganggap “bule” adalah istilah yang sangat kasar dan hal tersebut dapat memiliki arti
yang berbeda tergantung pada konteks penggunaannya. Beberapa orang Indonesia mengemukakan bahwa “bule” adalah kata yang netral dengan arti positif dan mungkin
negatif. Bahkan Syofyan juga mengemukakan sebuah pendapat lain yang mengatakan bahwa istilah“bule” adalah kata fungsional untuk menggambarkan orang kulit putih,
bahkan secara linguistik, orang kulit putih atau ekspatriat seharusnya tidak merasa tersinggung ketika orang menyebut mereka “bule”.
Syofyan menjelaskan bahwa istilah “bule” lebih merupakan bahasa lisan untuk sehari-hari yang digunakan dalam percakapan. Pada identitas lisan, sebagian masyarakat
Indonesia cenderung menganggap bahwa kata “bule” tidak menghina dan tidak dimaksudkan untuk menjadi kasar. Dikarenakan istilah ini terikat erat pada wilayah oral,
orang-orang yang berpendidikan tidak akan menyebut orang kulit putih sebagai “bule” dalam konteks formal, seperti saat rapat. Orang Indonesia yang terpelajar tidak akan
memanggil orang kulit putih sebagai ’bule” kecuali orang tersebut berniat untuk menghina, karena yang umum terjadi ialah salah tafsir oleh orang Barat bahwa kata
tersebut bermaksud menghina.
57
Bagi penulis, penekanan yang disampaikan oleh Syofyan pada akhir artikelnya menjadi semacam “formalitas” untuk memperkuat korelasi gagasan pada awal artikel
terkait istilah “bule” yang selalu diberikan pada orang kulit putih. Padahal pada paragraf- paragraf sebelumnya, Syofyan tidak secara langsung menyebut orang asing adalah orang
kulit putih. Syofyan juga tidak menggunakan kata “expatriate” secara berkelanjutan, akan tetapi lebih dominan menggunakan kata “foreigners” untuk menjelaskan orang asing atau
para pendatang di Indonesia. Setelah melihat muatan artikel ini, penulis beranggapan bahwa posisi Syofyan
dengan beragam pendapat dan pandangannya, dalam upaya untuk memberikan pemahaman tentang kata “bule”, sebagaimana judul artikelnya, ‘Understanding The Word
‘Bule’, merupakan sebuah penjelasan yang tidak begitu lengkap dan komprehensif. Selain itu, Sofyan seharusnya melakukan problematisasi yang lebih terfokus pada orang asing
kulit putih atau ekspatriat, sehingga tidak meluas ketika menyebut orang asing sebagai foreigners. Dengan demikian, pemahaman mengenai orang kulit putih mengenai sebutan
“bule” dan “ekspatriat” akan menjadi lebih jelas dan terang bagi kalangan umum.
B.1.2. Ekspatriat, melampaui definisi
Sebagaimana yang telah disinggung pada bab sebelumnya, Bab I Pendahuluan, terdapat beragam penjelasan mengenai pengertian ekspatriat secara etimologi. Merujuk
pada pandangan seorang Sosiolog, Eric Cohen, dalam artikel yang berjudul “Expatriate Community” 1977, secara konvensional mengatakan bahwa:
Expatriate is conventionally reserved for Westerners who have lived abroad for varying lengths of time, especially artists, colonials, and generally those with a
mission of one kind or another.
22
Sementara itu, seorang Antropolog, Ulf Hanners 1996 menjelaskan bahwa:
22
Dalam Anne-Meike Fechter. 2007. Transnational Lives: Expatriates in Indonesia. England: Ashgate. Hal. 1.
58
Expatriates or ex-expatriates are people who have chosen to live abroad for some period, and who know when they are there that they can go home when it suits
them...these are people who can afford to experiment, who do not stand to lose a treasured but threatened, uprooted sense of self.
23
Dengan demikian, dari kedua upaya penjelasan maupun pemaparan di atas dapat diketahui bahwa belum terdapat batasan yang ketat untuk dapat menyebut orang yang
keluar dari negara asalnya sebagai ekspatriat, terutama identitas ekspatriat yang tidak terkait dengan suatu jenis ras tertentu. Meskipun dari pernyataan Cohen ekspatriat
merujuk pada orang-orang Barat, namun tampaknya perlu untuk menelusuri lebih lanjut beragam wacana yang terdapat di dalamnya, khususnya orang asing kulit putih yang
merepresentasiskan diri sebagai ekspatriat. Sebagai salah satu sumber rujukan pustaka dalam penelitian ini, yakni, Anne-
Meike Fechter yang melakukan studi tentang kehidupan transnasional ekspatriat di Indonesia telah memberikan sumbangsih tentang beragam wacana seputar kehidupan
ekspatriat. Melalui sebuah penelititan, Fechter berupaya untuk dapat memahami ekspatriat dengan melihat kondisi yang sesungguhnya terjadi di Jakarta. Bertolak pada sebuah artikel
milik Cohen 1977 yang berjudul Expatriate Community, Fechter 2007:1 ingin mengingatkan kembali dengan memperlihatkan suatu pola hubungan relatif yang kontras
dengan keunggulan ekspatriat dalam imajinasi populer, meskipun hal tersebut sering mengambil bentuk karikatur dan klise. Keberadaan klise ini lebih dikonstruksi oleh
ekspatriat sendiri terkait dengan pengasumsian suatu ‘kebiasaan eksotis’ dan ‘keyakinan irasional’ yang ditujukan terhadap kalangan pribumi.
Meskipun Fechter tidak mencoba secara sistematis untuk meninjau istilah ‘ekspatriat’ yang longgar dan memiliki beberapa arti, namun ia berupaya membahas
keberadaan ekspatriat yang relevan dalam konteks sekarang. Fechter 2007:1 menjelaskan
23
Dalam Upton, S.R. 1998. Expatriates in Papua New Guinea: Contructions of Expatriates in Canadian Oral Narratives. Hal. 4.
59
bahwa kata ‘expatriate’ berasal dari bahasa Latin; ex yang berarti keluar dan patria yang berarti negara asal. Selain itu, Fechter juga merujuk pada The New Oxford English
Dictionary 1999 mengenai asal usul penggunaan kata ekspatriat yang ada saat ini, yang mana kata eskpatriat bermula pada pertengahan abad ke-18 atau dalam bentuk istilah
Latin, diartikan sebagai seseorang yang pergi atau keluar dari negaranya. Di samping itu, Fechter 2007:1 setidaknya mendeskripsikan bahwa istilah
ekspatriat telah menjadi terkenal dalam beberapa hal. Pertama, semisal dalam tulisan yang terdapat dalam Lost Generation, penulis Amerika yang tinggal di Paris setelah Perang
Dunia I, termasuk Ernest Hemingway, F. Scott Fitzgerald dan Gertrude Stein. Sebuah kutipan dari novel Hemingway, The Sun Also Rises, menunjukkan kiasan dari
kemerosotan moral yang terkait dengan keberadaan ekspatriat: “Anda seorang ekspatriat. Anda telah kehilangan kontak dengan tanah kelahiran. Anda mendapatkan kedudukan
yang tinggi. Standar kepalsuan Eropa telah merusak Anda. Anda minum hingga mati. Anda menjadi terobsesi dengan seks. Anda menghabiskan seluruh waktu hanya untuk
berbincang-bincang tanpa bekerja. Anda adalah adalah seorang ekspatriat, lihat?
24
Selajutnya, Fechter 2007:2 juga berupaya menunjukkan bahwa kata ekspatriat sebagai sebuah penggunaan istilah, yang mana untuk konteks sekarang dinilai lebih
relevan berkaitan dengan kolonialisme. Bagi Fechter, belakangan ini hubungan kata-kata kolonial dan ekspatriat juga senantiasa digunakan satu sama lain dalam catatan
kehidupan kolonial. Hal itu dapat terlihat dalam sebuah deskripsi ketika para pria Inggris yang telah berada terlalu lama dengan iklim tropis di Asia Selatan atau Asia Tenggara
telah mengalami penderitaan dunia yang melelahkan, mengalami keterasingan, dan kecanduan alkohol. Deskripsi tersebut acapkali digambarkan dalam novel dan cerita
24
“You’re an expatriate. You’ve lost touch with the soil. You get precious. Fake European standars have ruined you. You drink yourself to death. You become obsessed by sex. You spend all your time talking, not
working. You are an expatriate, see?” Hemingway 1926, Chapter 12. Dalam Fecther 2007. Hal. 1.
60
pendek Anthony Burgess, Joseph Conrad dan Somerset Maugham. Asosiasi ini dikaitkan – dan kadang-kadang kontinuitas – antara masa lalu kolonial dengan permukaan wacana
populer ekspatriat kontemporer; bersantai dan menghirup tonik saat matahari terbenam, sehingga telah menjadi gambaran ikon dari kehidupan ekspatriat di daerah tropis saat ini.
Hal ini didasarkan pada kemungkinan pengaruh dari cara hidup petugas kolonial Inggris di India, sehingga Fechter membahas pentingnya hubungan antara kedua kelompok tersebut;
petugas kolonial dan para pendatang yang menjadi ekspatriat. Kedua, Fechter 2007:2 juga memaparkan bahwa sebuah makna dari istilah
“ekspatriat” dalam hal teknis juga digunakan dalam bidang manajemen sumber daya manusia internasional. Dalam konteks ini, seorang ekspatriat ditempatkan sebagai
seseorang yang mengambil sebuah tugas internasional untuk majikan perusahaan multinasional mereka. Sebagai orang tetap di dalam suatu perusahaan, langkah-langkah
ini kerapkali juga disebut sebagai transfer intra-perusahaan. Mereka sering disebut sebagai ekspatriat bisnis, yang mana perpindahan semacam ini mungkin saja terjadi. Bahkan
suatu model tradisional yang menetapkan bahwa seorang pekerja akan diberikan uang insentif untuk kepindahannya dan kompensasi atas biaya ketidaknyamanan yang
ditimbulkan akibat adanya relokasi. Hal itu termasuk biaya perpindahan, tiket pesawat, biaya perumahan, mobil dan supir, asuransi kesehatan, serta biaya sekolah anak-anak
mereka, ditambah lagi gaji yang lebih tinggi untuk mengakomodasi biaya dalam mempertahankan gaya hidup luar negeri. Ekspatriat perusahaan ini secara khusus
berkaitan dengan tahapan yang berbeda dari siklus ekspatriat; karena itu adalah pilihan mereka, sebagai bentuk tugas dan repatriasi, remunerasi, dan berdasarkan pada evaluasi
keberhasilan atau kegagalan.
61
Ketiga, terlepas dari kerangka pengertian yang sempit, Fechter 2007:3 juga menjelaskan istilah ekspatriat yang sering muncul dalam representasi suatu media,
misalnya berkenaan dengan suatu peristiwa ketika orang Inggris pindah ke selatan Spanyol, Perancis atau Italia secara sementara atau permanen. Bagi Fechter, hal ini terjadi
bukan hanya sebatas lansia yang biasa dianggap sudah pensiun atau sedang liburan, tetapi juga orang-orang yang meninggalkan pekerjaan mereka dan menjual properti mereka di
Inggris guna mengejar kualitas hidup yang lebih baik di luar negeri, iklim yang lebih hangat dan biaya hidup yang lebih rendah. Fechter menempatkan ekspatriat semacam ini
telah memperoleh profil yang relatif tinggi dalam imajinasi populer di Inggris, sebagian hadir melalui beberapa serial di televisi, menyusul relokasi dan pemukiman luar negeri.
Seperti penampilan mereka dalam novel Peter Mayles, A Year in Provence, atau JG. Ballard, Cocaine Nights, dan fitur berita lainnya, semisal tentang akses kesehatan bagi
warga yang lanjut usia di Spanyol. Secara khusus, bertolak dari pengamatan di Indonesia, Fechter 2007:3 mulai
menemukan semacam kejelasan dari makna sebuah istilah ‘ekspatriat’. Ekspatriat dengan berbagai hal yang disertai asosiasi mewah, secara lebih rinci membahas aspek bagaimana
warga Barat di Indonesia berhubungan dan berbicara tentang identifikasi mereka yang asing vis-à-vis dengan orang Indonesia dan orang-orang di negara mereka. Berdasarkan
pada informannya di Indonesia, yang semuanya adalah orang Euro-Amerika, Fechter menggambarkan bahwa diri mereka sebagai ekspatriat karena berada pada suatu
perusahaan berskala internasional, sehingga telah membuat seseorang menjadi ekspatriat. Beberapa dari informannya tidak hanya menerima istilah ekspatriat, ‘but embraced it with
relish’. Ini adalah pengakuan mereka mengenai makna atas status pekerjaan, karena status
62
ini telah membuat mereka sampai pada batas tertentu yang membenarkan bahwa keberadaan ekspatriat relatif mewah.
Keempat, Fechter 2007:3 mengemukakan bahwa pemberian label ‘ekspatriat’ juga telah menandakan mereka dalam mekanisme kapitalisme global, di mana mereka
tidak memiliki kontrol atas diri dan tidak dapat bertanggung-jawab atas kesenjangan yang dihasilkan di dalam masyarakat. Dasar alasan ini diletakkan pada apa yang biasa disebut
‘hardship ideology’, yang juga menjadi dasar dalam suatu ‘paket ekspatriat’ karena dikirim ke suatu negara yang “tidak nyaman”, sehingga menjadi wajar apabila
mendapatkan bayaran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara asal. Selain itu, ideologi ini sering muncul berkaitan dengan konsep dari perusahaan ekspatriat, per
definisi, adalah mereka lebih terampil dan berkualitas untuk dipekerjakan daripada tenaga kerja lokal, dan karena itu mereka layak digaji jauh lebih tinggi daripada penduduk
setempat. Bahkan ketika para perusahaan mereka memberikan pembenaran lebih lanjut untuk suatu posisi istimewa ekspatriat dan persepsinya yang sering mendasar atas
perusahaan ekspatriat memiliki nilai yang tinggi. Di samping itu, Fechter 2007:4 juga meninjau pemikiran Chambers 2005
berkaitan pada fenomena ekspatriat yang mengacu sebagai ‘capital trap’, sehingga muncul sinyal yang berjarak antara para profesional dengan masyarakat negara tempat mereka
bekerja. Meskipun terdapat beberapa kesamaan dengan ekspatriat perusahaan, akan tetapi terdapat beberapa ekspatriat sebagai pekerja sosial yang enggan untuk merujuk diri
mereka sebagai ekspatriat. Hal ini disebabkan kecenderungan yang mengandung konotasi negatif, seperti keserakahan, kebodohan, dan kurangnya minat pribadi untuk hidup
bersama masyarakat, hingga karakteristik mereka yang tidak ingin diidentifikasi. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa terdapat para pekerja sosial yang masih cenderung untuk
63
dapat mempertimbangkan misi dan motivasi mereka secara fundamental berbeda dengan sektor korporasi, bahkan mereka lebih menekankan pada sisi humanistik dan bukan
berorientasi pada motif keuntungan. Kelima, Fechter 2007:5 juga menyebutkan bahwa adanya kelompok lain yang
sebagian tumpang-tindih dengan para pekerja sosial, yaitu generasi muda yang belum tentu berada di Jakarta karena dikirim melalui perusahaan, tetapi ada yang mengambil
pekerjaan atas inisiatif mereka sendiri. Ada kemungkinan mereka juga menerima gaji yang kompetitif secara global dan memiliki gaya hidup yang nyaman, tapi tidak selalu
menggambarkan bahwa diri mereka dapat dan mau dikatakan sebagai ekspatriat. Fechter menyarankan bahwa kelompok ini enggan untuk dihubungkan dengan para ekspatriat tua
dan budaya mereka, karena cenderung akan berkaitan dalam hal kelompok se-negaranya, berorientasi hidup sosial, terlibat dalam organisasi masyarakat, dan pada umumnya dengan
apa yang mereka anggap sebagai sebuah gaya hidup kuno, yaitu, ekspatriat tradisional. Bergeser pada suatu pandangan lain, Fechter 2007:5 mencoba melihat bagaimana
bentuk keprihatinan pengetahuan masyarakat Indonesia yang juga cenderung meremehkan ekspatriat dengan menunjukkan keterlibatan ekspatriat yang tinggal di luar Jakarta,
semisal, pengusaha kecil, guru, seniman, dan mereka yang bekerja untuk sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat LSM. Karena itu, Fechter melakukan kritik dengan menyampaikan
bahwa acapkali dalam pemahaman pribumi, istilah ekspatriat selalu diasosiasikan dengan menunjukkan gaya hidup mewah, kurangnya memiliki kemampuan bahasa, arogansi,
kebodohan, dan mungkin sikap rasis. Berbekal dengan beberapa definisi dan melihat kondisi realitas para ekspatriat
dalam perspektif transnasional di Indonesia, pada khususnya di Jakarta, akhirnya Fechter mendapatkan beberapa temuan dan kesimpulan, diantaranya, pertama, kehadiran para
64
ekspatriat bukanlah sebuah kelompok yang homogen 2007:15. Kedua, kehidupan para ekspatriat berkaitan dengan sejarah, ras, kebangsaan, hingga gender 2007:34. Ketiga,
arus perpindahan global atau transnasionalisme yang dialami para ekspatriat dilingkupi dengan hak-hak istimewa migrasi 2007:56. Keempat, ekspatriat perusahaan masih
dilingkupi oleh imajinasi kolonial 2007:80. Kelima, ekspatriat memproduksi identitas, mengafirmasi, dan berkontestasi dalam kehidupan sosial 2007:100. Terakhir, Fechter
menolak mitos globalisasi mengenai identitas yang bersifat cair maupun yang dianggap tidak ada lagi batasan dengan memperlihatkan kehidupan transnasional para ekspatriat
2007:166. Dengan demikian, ekspatriat bukan lagi hanya sekedar pendefinisian semata, melainkan terjadi suatu proses reproduksi wacana yang turut memapankan ekspatriat
sebagai suatu identitas.
B.2. Ekspatriat di Indonesia
Sebagaimana Loomba 2000:2 mengemukakan bahwa kolonialisme bukanlah suatu proses identis dalam berbagai bagian dunia yang berbeda, tetapi di mana pun adanya
selalu terjadi hubungan-hubungan yang paling kompleks dan traumatik dalam sejarah manusia antara penduduknya dengan para pendatang baru. Dalam hal ini, ekspatriat pun
merupakan pendatang baru di sebuah negara seperti Indonesia. Sebagai pendatang baru, kehadiran para ekspatriat sudah tentu berhadapan dengan penduduk pribumi, sehingga
menghasilkan dinamika di dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan data mengenai Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing IMTA
yang diterbitkan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi selama tahun 2013, tercatat sebanyak 68.957 orang Tenaga Kerja Asing TKA yang bekerja di Indonesia.
25
Bahkan pada tahun 2013 sebuah survei dari lembaga perbankan seperti HSBC telah
25
Penjelasan diberikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Lihat http:www.tribunnews.combisnis2014020968957-ekspatriat-bekerja-indonesia-di-2013
65
menempatkan Indonesia di dalam daftar negara yang paling diminati oleh para ekspatriat, dan berada di tempat paling atas untuk kriteria tempat dan peluang karir terbaik.
26
Karena itu, tidak mengherankan bahwa pada tahun 2014 jumlah ekspatriat di Indonesia masih
berjumlah 68.762 orang.
27
Jumlah kehadiran para ekspatriat di Indonesia di atas telah menasbihkan sebuah era kolonialisme modern. Kolonialisme modern tidak hanya mengambil upeti, harta benda,
dan kekayaan negara dari negara taklukannya, tetapi juga membangun kembali struktur perekonomian mereka, menarik mereka ke dalam hubungan kompleks dengan negara-
negara induk, sehingga terjadi arus manusia dan sumber daya alam antara negara-negara koloni dengan negara-negara kolonialnya Loomba, 2000:3. Dengan demikian, kehadiran
para ekspatriat merupakan praktik atas arus manusia pada masa kolonialisme modern.
B.2.1. Perdebatan seputar ekspatriat
Ekspatriat telah menjadi fenomena budaya di tengah masyarakat kontemporer Indonesia. Ekspatriat sebagai identitas para pendatang baru atau orang asing tampaknya
memang kurang begitu akrab di sebagian besar telinga masyarakat Indonesia. Namun demikian, terdapat perdebatan yang cukup menarik untuk diikuti guna mengetahui
keberadaan para ekspatriat di Indonesia. Perdebatan mengenai kehidupan para ekspatriat di Indonesia ini dipantik oleh dua Antropolog, yakni Anne-Meike Fechter dan Abdul
Kadir. Hasil penelitian mengenai kehidupan ekspatriat di Indonesia yang disajikan oleh
Fechter dalam buku Transnational Live Expatriates in Indonesia, telah membuat seorang Abdul Kadir tergugah untuk memberikan suatu tanggapan dalam sebuah artikel terkait
26
HSBC Expat Explorer Survey 2013. p. 8. Expat Economic League Table; Household Income.
27
http:ppid.depnakertrans.go.idmenaker-hanif-jumlah-tka-sebanyak-68-762-orang-pada-tahun-2014
66
masyarakat kulit putih di Indonesia.
28
Kadir beranggapan bahwa buku tentang kehidupan masyarakat kulit putih selama ini hanya diteliti oleh para sejarawan. Semenjak
dekolonisasi era Soekarno di tahun 1957, telah terjadi pengusiran orang kulit putih di berbagai kota besar seperi Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang dan Malang. Oleh
karena itu, karya penelitian Fechter telah mengundang rasa penasarannya untuk mengetahui bagaimana masyarakat kulit putih saat ini dapat bertahan hidup di negara
tropis Indonesia, bahkan untuk melihat kembali hal yang membedakan kehidupan mereka dengan masyarakat kulit putih di zaman kolonial.
Kadir pun mengkritisi bahwa buku tersebut turut menyajikan stereotipe tentang orang Indonesia dari kacamata orang Barat yang selalu hampir sama dengan pandangan
yang dihasilkan Barat mengenai Indonesia. Kadir beranggapan bahwa kehadiran para ekspatriat di Indonesia telah membantah pandangan globalisasi selama ini, di mana Arjun
Appadurai berargumen bahwa globalisasi telah membuat cairnya identitas. Baginya, dengan adanya kehidupan transnasional telah membuat identitas pada batas-batas tertentu.
Identitas dari komunitas kulit putih yang mengaku paling kosmopolit dan internasional ini justru telah menciptakan dan mempertegas batas-batas itu sendiri; batas antara orang kaya
dan miskin, antara mereka yang putih dan kulit gelap, dan antara yang ‘penjajah’ dan ‘terjajah’ tetap dipelihara, bahkan semakin dipertegas.
Atas adanya tanggapan yang diberikan oleh Kadir, Fechter selaku penyaji buku pun terpancing untuk memberikan pandangannya dalam sebuah artikel bersambung –
menjadi dua bagian terpisah. Akan tetapi dalam artikel ini, pandangan yang diberikan Fechter tidak terkait dengan ekspatriat di Jakarta. Dalam artikelnya tersebut, Fechter
28
Hatib Abdul Kadir, Menelisik Masyarakat Kulit Putih di Indonesia, sebuah review buku. Dapat dilihat pada
laman berikut:
http:etnohistori.orgmenelisik-masyarakat-kulit-putih-di-indonesia-review-buku- transnational-lives-hatib-abdul-kadir.html Diakses 07 April 2013
67
berupaya membahas tentang ekspatriat non-perusahaan yang hidup di Kota Yogyakarta.
29
Fechter mengatakan bahwa banyak orang asing yang sebagian besar datang ke kota Yogyakarta tidak dikirim oleh perusahaan, akan tetapi datang karena inisiatif sendiri.
Keputusan mereka untuk tinggal di Yogyakarta berbeda dengan para ekspatriat perusahaan di Jakarta. Di Yogyakarta banyak ‘ekspatriat independen’ yang memiliki minat lebih
terhadap orang dan perusahaan dalam negeri. Mereka cukup mampu dalam memahami budaya lokal dan berbahasa Indonesia, dan banyak yang bertekad untuk membangun
hubungan kerja yang erat dengan Indonesia, bahkan terkadang dengan tujuan untuk menyatu bersama komunitas lokal. Dengan demikian, hal ini menjadi berbeda dengan para
ekspatriat di Jakarta yang seolah-olah tinggal dalam ‘gelembung’ dan menghindar dari orang pribumi.
Pada artikel yang kedua, Fechter lebih berupaya untuk melihat perbedaan kondisi ekspatriat di Yogyakarta dengan di Jakarta.
30
Dibandingkan dengan ekspatriat di Jakarta, bagi Fechter para ekspatriat di Yogyakarta kebanyakan tinggal dengan akomodasi yang
sederhana, meski lebih mahal dibandingkan rata-rata rumah-rumah orang Indonesia, namun dinilai masih lebih murah dari akomodasi di negara asal mereka. Perbedaan lainnya
adalah ekspatriat yang berkeluarga, semisal rencana perjalanan, karena mereka sering melakukan perjalanan bolak-balik antara Indonesia dengan negara asal dan juga lingkaran
sosial mereka. Oleh karena itu, mereka ditandai sebagai orang-orang yang selalu datang dan pergi, karena mampu melakukan perjalanan ke Jakarta, Singapura atau ke negara asal
untuk alasan pekerjaan, sosial atau visa. Perbedaan ini terlihat jelas, namun mereka biasa
29
Anne-Meike Fechter, Etnografi Ekspatriat [Bule] di Yogyakarta Bagian 1. 25 April 2012. Dapat dilihat pada laman berikut: http:etnohistori.orgetnografi-ekspatriat-atau-bule-di-yogyakarta-bagian-1-oleh-anne-
meike-fechter.html
30
Anne-Meike Fechter, Etnografi Ekspatriat [Bule] di Yogyakarta Bagian 2. 27 April 2012. Dapat dilihat pada laman berikut: http:etnohistori.orgetnografi-ekspatriat-atau-bule-di-yogyakarta-bagian-2-oleh-anne-
meike-fechter.html
68
tinggal dalam bentuk jangka waktu yang tidak lama, mereka pergi untuk sementara, tetapi akan kembali demi mempertahankan kontak dengan mereka yang masih di sana. Menetap
di Yogyakarta biasanya dianggap sebagai pilihan sementara, yang mana dapat dipertimbangkan kembali dan kemudian diubah lagi. Mengenai kontak awal mereka
dengan orang Indonesia, sebagian besar dari mereka datang untuk pertama kalinya sebagai wisatawan atau untuk mengunjungi teman-teman. Seringkali mereka hanya kebetulan di
Indonesia untuk tujuan wisata. Bagaimanapun, Fechter beranggapan bahwa saat mereka tinggal sementara waktu di Yogyakarta, terjadi pertemuan dengan beberapa orang asing,
dan setelah menyadari seperti apa kemungkinan tempat gaya dan hidup yang ditawarkan, mereka dapat memutuskan untuk datang kembali.
Fechter melihat bahwa banyak posisi orang asing di Yogyakarta dapat digambarkan ‘tinggal dalam waktu yang berselang’. Ini berarti bahwa mereka bukan
hanya bersandar pada kenyamanan, dan manfaat dari perbedaan atau dalam kekuasaan, uang dan status yang ada di antara mereka sebagai warga negara-negara Barat dengan
Indonesia. Mereka tinggal dalam sebuah ‘selisih’ gap karena meraka tidak perlu berintegrasi ke dalam komunitas lokal, sementara pada saat yang sama menjauhkan
mereka dari negara asal. ‘Gap’ menandakan keadaan kepemilikan nilai simbolis, serta posisi material dan sosial yang memberikan mereka peningkatan peluang pribadi dengan
cara mengukir eksistensi mereka di Yogyakarta. Citra ‘gap’, bukan ‘gelembung’ juga mengakui upaya mereka untuk terlibat dengan orang Indonesia. Sementara kekuatan
ekonomi mereka yang besar memungkinkan mereka untuk mempunyai kehidupan yang relatif nyaman untuk tinggal di Yogyakarta. Selain itu, jarak sosial dan budaya juga
memberikan keuntungan yang mungkin tidak tersedia bagi mereka di negara asal mereka.
69
Keuntungan tersebut muncul karena mereka adalah orang Barat yang berkulit putih, dan dengan demikian seringkali dianggap unggul bagi orang Indonesia – sebuah
gagasan yang terkadang sama dimiliki oleh orang Barat dan orang Indonesia. Ide superioritas didasarkan pada beberapa hal: lebih besar pada politik dan kekuasaan
ekonomi; kepemilikan sebagai negara-negara industri yang merupakan asal ‘teknologi tinggi’, standar pendidikan yang tinggi, standar hidup yang tinggi; negara yang ditandai
dengan efisiensi, kerja keras dan keberhasilan. Hal ini menjadi alasan dasar bagi munculnya kekaguman terhadap orang asing, hal ini yang menyebabkan pula mereka
mempunyai prestise tertentu dan mempunyai banyak perhatian yang lebih besar, sehingga selalu mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.
Orang asing di Yogyakarta cenderung menganggap moral mereka sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Jakarta. Ekspatriat di Yogyakarta
cenderung sangat kuat menjaga jarak dan membedakan diri dari ekspatriat kaya di Jakarta. Meskipun ekspatriat di Yogyakarta bangga berbeda dari ekspatriat perusahaan di Jakarta,
namun Fechter tetap menganggap bahwa sikap mereka juga agak ambigu. Orang asing di Yogyakarta ketika melakukan kunjungan ke Jakarta secara simultan terpesona, ditolak,
dan sering tergoda oleh gaya hidup mewah yang menjadi penghibur rekan-rekan perusahaan mereka di sana. Asumsi-asumsi mereka tentang posisi yang superior secara
moral lebih lanjut agak terganggu jika melihat relasi mereka dengan ‘budaya Indonesia’ yang sering dibedakan dari ekspatriat perusahaan di Jakarta.
Pada akhirnya Fechter mencoba untuk menjawab suatu pertanyaan mengenai apakah orang asing Yogyakarta mampu menghindari ‘Hidup dalam gelembung’ seperti
ekspatriat di Jakarta? Fechter berpendapat bahwa gaya hidup mereka lebih cocok jika diasosiasikan dengan ‘hidup dalam jarak’. Sesuai dengan motivasi mereka untuk tinggal,
70
minat pribadi mereka dan kompetensi antar budaya sebagai orang asing di Yogyakarta. Mereka tidak mengasingkan dirinya dan bergaya hidup eksklusif sebagaimana yang
dilakukan oleh ekspatriat di Jakarta. Meskipun kehidupan mereka tampak jauh lebih baik terintegrasi dengan masyarakat lokal, keberadaan mereka yang nyaman mengandalkan
pada perbedaan dalam hal pendapatan dan status sosial antara diri mereka dan orang Indonesia, hal ini sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang asing di Jakarta. Gaya
hidup orang asing di Yogyakarta, bagaimanapun, tidak menandai perbedaan yang mencolok, serta mereka berusaha untuk memperbaikinya baik dengan cara yang substantif
maupun dengan cara membangun citra mereka. Dari perdebatan di atas, dapat dilihat bahwa masih terdapat kesimpang-siuran
mengenai ekspatriat di Indonesia. Dengan menelisik masyarakat kulit putih di Indonesia, Kadir beranggapan bahwa kehadiran ekspatriat saat ini memiliki asosiasi dengan latar
kolonial. Kadir menilai bahwa kehadiran ekspatriat di Indonesia pasca-kolonial memiliki esensi yang masih sama dengan praktik kolonial, seperti penjagaan batas, baik secara fisik
maupun simbolik. Namun demikian, Fechter tidak serta merta untuk mengamini pandangan yang telah diberikan oleh Kadir, namun sebaliknya ia mencoba untuk
memperlihatkan ekspatriat di luar Jakarta, yakni Yogyakarta. Dalam hal ini, penulis beranggapan bahwa perdebatan yang terjadi antara Kadir dengan Fechter berujung pada
kebuntuan. Titik berangkat Kadir adalah mencoba untuk memberi resensi dan sedikit memberi kritik atas karya penelitian Fechter yang telah dibukukan. Sementara itu, Fechter
memberikan tanggapan dengan beralih pada lokus yang berbeda, yakni ekspatriat di Yogyakarta. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kehadiran para ekspatriat di Indonesia
perlu untuk digali lebih mendalam.
71
B.2.2. Media Ekspatriat; Majalah Jakarta Expat
Untuk pertama kalinya media ekspatriat berupa Majalah JE dijalankan oleh Graham James dan Brian McGill sejak pertengahan tahun 2009.
31
Tetapi dalam perjalanannya Majalah JE tidak berjalan dengan mulus, sehingga pada tahun 2010 sempat
terhenti untuk sementara waktu dan diambil oleh Bartele Santema.
32
Berbekal sebuah tagline “Indonesias Largest Expatriate Readership”, Majalah JE diproduksi dari, oleh,
dan untuk para ekspatriat dengan tujuan menyapa dan menjaring para ekspatriat di Jakarta. Tidak puas hanya terbatas memproduksi sebuah majalah ekspatriat di Jakarta, pada
Juni 2012 manajemen yang sama pun berhasil menerbitkan Majalah Bali Expat BE sebagai perpanjangan Majalah JE. Bali sengaja dipilih karena dirasa telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat, terutama terkait dengan kehadiran para ekspatriat di Bali yang jumlahnya tidak sedikit – walaupun umumnya lebih didominasi oleh para wisatawan.
Meski demikian, setelah Majalah JE terbit sebanyak 110 edisi, dan Majalah BE sejumlah 39 edisi, pada Februari 2014 JE dan BE bergabung menjadi satu publikasi dwi-mingguan
bernama Majalah Indonesia Expat IE. Majalah IE di upgrade guna didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia.
Majalah IE terbit pertama kali dengan nomor edisi 111 untuk melanjutkan edisi Majalah JE sebelumnya. Dengan tetap mencetak 15.000 eksemplar tiap dua minggu dan
30.000 eksemplar per bulannya, kini Majalah IE mulai tersebar dari Sumatera hingga ke Papua. Khususnya, Majalah IE disebarluaskan di berbagai pulau di Indonesia, seperti
Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Majalah IE bukanlah
31
Graham James adalah seorang Australia. Pemilik Batavia Cafe di kawasan kota tua Jakarta. Batavia Café adalah salah satu bangunan buatan Belanda pada tahun 1805 yang dibelinya pada tahun 1991.Ia juga pemilik
lembaga Inggris Education Centre yang didirikan pada tahun 1972, Melbourne Institute of Business and Technology. Sedangkan Brian McGill adalah penggagas sekaligus editor Jakarta Expat.
32
Bartele Santema adalah seorang Belanda. Pemilik PT. Koleksi Klasik Indonesia, Bartele Gallery, beberapa media seperti Newspaper Direct, Jakarta Expat, Bali Expat, Indonesia Expat, Golf Indonesia, dan juga
penulis buku ‘Bugil’ Bule Gila.
72
suatu publikasi baru, melainkan peluncuran kembali dan perubahan dari media yang sudah ada dengan menawarkan sajian konten yang lebih beragam. Majalah IE hadir dengan nama
baru dan menampilkan sebuah nuansa baru.
33
Tampaknya telah menjadi sebuah prestasi, dalam hitungan setengah dekade Majalah JE telah berhasil bermetamorfosa menjadi Majalah IE. Majalah JE yang
merupakan embrio kini telah menjadi Majalah IE dan menjangkau para ekspatriat di berbagai wilayah Indonesia. Dengan kata lain, majalah ini diproduksi dari Jakarta untuk
Indonesia, yang mana tujuan utamanya adalah para ekspatriat. Berikut ini adalah media pack Majalah JE dan IE:
Media ekspatriat ini bernama JAKARTA EXPAT yang diterbitkan oleh PT. Koleksi Klasik Indonesia sejak 29 Juli 2009. JE menyajikan media dengan berbahasa
Inggris dan disebarluaskan secara gratis sebanyak 15.000 eksemplar tiap dua minggu. Dengan tampilan penuh warna diatas kertas AP 85 gr glossypaper, JE pun mencetak
sebanyak 24 halaman pada tiap edisinya dan didistribusikan di kawasan Jakarta dan sekitarnya.
JE menargetkan para pembacanya adalah penutur berbahasa Inggris yang bekerja di Jakarta dan sekitarnya, dengan kebangsaan; Asia, Amerika, dan Eropa. Ekspatriat yang
ditujukan adalah mereka dengan latar belakang pekerjaan seperti, eksekutif, pemilik bisnis, manajer, pengelola, seorang ahli, dan pelajar. Selain itu, JE mengangkat berbagai
topik atau konten dengan beragam bahasan, antara lain: Moment in History, Featured Article, Meet the Expats, Feature Story, Expat Observations, Global Expatriat News,
Literature, Travel, Food Drink, Lifestyle, Personal Tech and Apps, Properties, Light
33
Indonesia Expat 111
th
Edition, p.4.Written by Angela Richardson as Editor in Chief.
73
Entertainment, Clasifieds. Persebaran media JE terdapat di beberapa tempat, seperti yang dapat dilihat di bawah ini:
Circulation based on number of venues
34
Category Venues
Copies
Embassy 59
743 Organization
45 927
SchoolCourses 67
1627 Apartment
106 5.102
Public Spaces 220
4.281 Companies
143 1.958
Special EventMarketing and Promotion 640
872
Grand Total 1280
15.000
Semenjak Majalah JE berubah menjadi IE, media ini lebih berupaya untuk menyapa para ekspatriat di Indonesia secara luas. Namun, tidak banyak berbeda dengan
Majalah JE, IE tetap menjalankan misinya dari Jakarta di bawah naungan PT. Koleksi Klasik Indonesia. Perbedaan yang terdapat pada Majalah IE hanya tipe kualitas cetak yang
berkurang, yaitu disajikan di atas kertas AP 70gr glossy paper. Namun demikian, Majalah IE menambahkan jumlah sajiannya sebanyak 32
halaman pada setiap edisinya dan memperluas area distribusi yang menjangkau berbagai wilayah Indonesia, antara lain: Jakarta, Bali, Balikpapan, Bandung, Banjarmasin, Batam,
Bintan, Bogor, Gili Trawangan, Jogjakarta, Lombok, Palangka Raya, Samarinda, Soroako, Surabaya, and Papua Barat. Dengan target pembaca yang masih sama dengan Majalah JE,
IE berupaya menjangkau pembaca dari berbagai negara dan bangsa; Indonesia, Amerika Utara, Inggris, Australia, Selandia Baru, Eropa, Asia, Asia Tenggara, Afrika, Rusia, dan
34
Media Kit Jakarta Expat, Data as of: September 2012. p.3.
74
Amerika Latin. Hal lain yang ditambah oleh IE adalah sajian topik, seperti, Business Profile, Property Watch, dan Scams in the City.
Dalam hitungan tahun Majalah JE telah bertransformasi menjadi Majalah IE. Dalam hal ini Majalah JE yang notabenenya adalah embrio sebuah media mengenai
ekspatriat menjadi perhatian penulis untuk menyelediki awal ketertarikan dan muatan wacana yang tersajikan di dalamnya. Oleh karena itu, tanpa menghindari Majalah IE,
penulis lebih menekankan pembahasan mengenai ekspatriat dengan berangkat dari Majalah JE.