Menafsirkan Ekspatriat EKSPATRIAT DAN WAJAH BARU KOLONIALISME

180 B.2. Ambivalensi Ekspatriat Bhabha menjelaskan ambivalensi merupakan kemenduaan atau ambiguitas atas adanya pertemuan dua identitas yang berbeda. Ambivalensi muncul sebagai suatu proses pencarian dalam Ruang Ketiga untuk menemukan identitas yang tidak benar-benar utuh dan berada dalam ketetapan masing-masing. Seperti yang disinggung sebelumnya, jika pada masa kolonial terdapat identitas yang biner, penjajah dan terjajah, maka pada masa pasca-kolonial dengan menggunakan pemahaman Ruang Ketiga, identitas penjajah dan terjajah telah dihilangkan guna melakukan pencarian identitas yang baru. Pencarian identitas di Ruang Ketiga berupaya untuk menemukan dan menunjukkan bahwa identitas tidak dapat terlepas dari suatu kondisi ambivalensi. Oleh karena itu, perspektif pascakolonial Homi Bhabha, khususnya Ruang Ketiga, mencoba untuk mengungkapkan kontradiksi yang melekat dalam wacana kolonial, menyoroti kondisi ambivalensi dan dapat melihat struktur tekstual pada teks kolonial, yang mana ambivalensi telah mendestabilkan klaim akan otoritas mutlak atau keaslian yang tidak dapat diragukan. Pertama, ambivalensi yang dialami oleh seorang ekspatriat dapat dilihat pada artikel A Million Dollar Treasure West Java tulisan Bartele Santema. Santema, selaku penulis artikel ini, yang notabenenya adalah seorang Barat sekaligus pimpinan Majalah JE, telah berada pada posisi ambivalensi ketika mempercayai sesuatu yang dianggap sebagai hal mistik, yakni irasional yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia. Bahkan, di dalam teks yang disajikan, Santema secara eksplisit menuliskan beberapa kalimat untuk mengajak para pembaca untuk mempercayai mistik atau hal gaib di Indonesia, seperti kasus yang terjadi pada peta tua Indonesia, yang mana masih dianggap dapat bekerja untuk menjaga suatu benda peninggalan suci. Oleh karena itu, sebagai seorang ekspatriat, Santema telah mengalami ambivalensi saat dirinya melakukan identifikasi sebagai yang 181 rasional dengan yang hal irasional seperti kepercayaan masyarakat Indonesia yang masih mempercayai hal mistik. Ambivalensi yang dialami Santema adalah sebuah pencarian diri di dalam ruang antara in between. Santema sebagai ekspatriat yang berasal dari Barat berhadapan dengan masyarakat Timur yang telah distereotipekan oleh para Orientalis sebagai bagian dari bangsa Timur yang masih hidup dalam alam mistik dan mempercayai hal-hal gaib. Dengan demikian, ambivalensi yang dialami oleh Santema telah tersirat maupun tersurat secara jelas dari teks yang disajikan oleh dirinya terkait sebuah perjalanan saat melakukan pencarian peta tua Indonesia di tanah pasundan. Kedua, ambivalensi yang dihadirkan oleh para ekspatriat juga dapat dilihat pada Majalah JE edisi 80 yang secara khusus membahas tentang hantu, gaib, dan misteri di Indonesia. Selain pemasangan foto Pocongan Cilik yang dijadikan cover photo majalah JE edisi 80, para ekspatriat juga turut memberikan penegasan atas ambivalensi yang telah dialami. Hal ini dapat dilihat ketika para ekspatriat merasa ragu atau berada pada sikap kemenduaan dalam mempercayai hal gaib atau mistik yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia. Melalui catatan editorial Majalah JE yang diberikan oleh sang editor, Angela Richardson, secara terang menuliskan bahwa budaya di Indonesia masih memiliki afiliasi yang sangat kuat dengan dunia mistik dan kepercayaan tentang roh dan hantu dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, mereka dalam hal ini para ekspatriat yang bekerja di Majalah JE juga turut menyampaikan pengalamannya yang terkadang mengalami fenomena hantu dan gaib yang terjadi di kantor Majalah JE. Dari penjelasan ini, kita dapat memahami bahwa mereka, yakni para ekspatriat telah mengalami ambivalensi atas fenomena hantu ataupun hal gaib di Indonesia. 182 Berdasarkan kemenduaan atau ambiguisitas yang dialami oleh para ekspatriat dari kedua teks di atas, kita telah melihat ambivalensi dihasilkan pada suatu ruang antara in between di dalam Ruang Ketiga di masa pasca-kolonial. Di satu sisi, para ekspatriat tidak ingin melepaskan rasionalitasnya, namun di sisi lain ingin mempercayai bahwa terdapat suatu hal yang tidak dipahami sepenuhnya secara rasional. Dengan demikian, ambivalensi merupakan sebuah kondisi yang telah melepaskan keutuhan identitas, sehingga berada di antara dua pertautan wacana. Ambivalensi yang telah dialami oleh para ekspatriat merupakan suatu bentuk pembuktian bahwa Barat tidak melulu berada pada posisi atas upper space dan menempatkan masyarakat Indonesia pada posisi bawah lower space. Dengan kata lain, ambivalensi yang dialami oleh para ekspatriat telah membuat identitas kalangan Barat tidak melulu utuh dan berada pada ketetapannya. Bagaimanapun, identitas acapkali berubah-ubah dan bernegosiasi pada ruang dan waktu tempatnya bernaung. Dengan demikian, pelacakan terhadap ekspatriat melalui Ruang Ketiga ini telah memberikan suatu tafsiran bahwa identitas ekspatriat juga mengalami perubahan maupun keambiguan ketika berhadapan langsung atau secara empiris dengan pribumi, terutama ketika mereka berada di luar lingkungan asalnya, seperti saat sedang berada di luar tanah airnya atau bangsa dan negara yang berbeda. Setelah menelusuri identitas ekspatriat dalam Ruang Ketiga dan melihat ambivalensinya, maka kita dapat memahami bahwa titik tolak konstruksi identitas maupun representasi diri ekspatriat sesungguhnya adalah wacana orientalisme. Dalam wacana orientalisme ini dipaparkan bagaimana karakter dan stereotip masyarakat Timur. Dengan kata lain, mekanisme Orientalisme maupun wacana kolonial telah dipergunakan oleh para ekspatriat untuk melakukan identifikasi hingga dapat menempatkan dan meneguhkan 183 identitas diri mereka sebagai ekspatriat. Oleh karena itu, ambivalensi yang dialami oleh para ekspatriat adalah efek wacana kolonial yang telah mereka konsumsi sebagai pengetahuan dalam memahami Timur. Akhirnya, identitas ekspatriat adalah bukan semata hanya persoalan identitas yang esensialis, melainkan suatu bentuk upaya hasil kontruksi. Ekspatriat sebagai identitas tidak selalu berada pada ketetapannya yang utuh. Terutama, ketika para ekspatriat juga mengalami proses ambivalensi karena telah bergerak maju mundur dengan mengangkat kembali wacana kolonial dan menghadapkannya pada kondisi kontemporer Indonesia. Dengan kata lain, ekspatriat yang mencoba untuk melampaui wacana kolonial namun tetap berada pada posisi atau sikap yang ambivalen ketika berhadapan dengan realitas masyarakat yang berbeda. Dengan demikian, ambivalensi yang terjadi pada ekspatriat telah menandakan bahwa mereka sebagai representasi Barat tidak memiliki identitas yang utuh selamanya. Bagaimanapun, suatu identitas seperti ekspatriat juga turut mengalami proses kemenduaan atau keambiguaan saat berhadapan dengan yang lain di luar kedirian mereka. Suatu proses negosiasi atas identitas tidak dapat dihindarkan atau dilepaskan begitu saja di dalam sebuah realitas, seperti kondisi para ekpatriat saat berhadapan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, penulis memberikan sebuah tafsiran bahwa kehadiran orang kulit putih yang merepresentasikan identitas diri mereka sebagai ekspatriat di Indonesia pasca-kolonial masih menggunakan kerangka historis kolonialisme. 184

C. Catatan Penutup

Adanya beragam sajian, baik berupa foto yang dijadikan cover photo maupun teks, yang mana disediakan oleh para ekspatriat mengenai Indonesia di dalam Majalah JE telah mereproduksi maupun merekonstruksi wacana kolonial dengan melihat beragam kondisi kontemporer Indonesia untuk menjadi suatu bekal pemahaman bagi keberadaan mereka. Oleh karena itu, serangkaian imaji dan teks yang tersajikan di dalam Majalah JE telah membuktikan bahwa para ekspatriat menghadirkan suatu wacana kolonial kontemporer mengenai Indonesia di masa pasca-kolonial. Kini di masa pasca-kolonial para ekspatriat membuat suatu episode baru dengan kembali memberikan kararakteristik dan stereotipe tentang Indonesia yang masih diposisikan bahkan ditegaskan sebagai Timur. Melalui Majalah JE, para ekspatriat kembali merepresentasikan Indonesia kepada kalangan Barat, yakni para pembaca, yang adalah ekspatriat itu sendiri. Dalam hal ini para ekspariat dapat dikatakan masih memiliki simtom wacana kolonial, sehingga mereka masih selalu berfantasi dalam memandang realitas Timur seperti Indonesia yang berbeda dan berada di luar mereka yang Barat. Di samping itu, pencarian identitas ekspatriat yang telah memasuki ruang baru di masa pasca-kolonial telah menemukan bahwa mereka juga mengalami hibriditas dan ambivalensi. Melalui penelusuran beragam teks kisah para ekspatriat, rubrik maupun artikel hingga cover photo, telah memahami bahwa hibriditas dan ambivalensi yang dialami para ekspatriat adalah sebuah proses pencarian diri yang tidak pernah mencapai ketetapannya. Dengan kata lain, dengan merepresentasikan diri sebagai ekspatriat melalui Majalah JE, mereka tetap memainkan wacana masa lampau sebagai rujukan identitas diri mereka, sehingga kehadiran para ekspatriat masih memiliki sifat kolonial orientalistik di masa pasca-kolonial. 185

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Melalui penelitian ini, penulis memperoleh pemahaman bahwa persoalan identitas merupakan fenomena unik sekaligus rumit. Identitas dapat dikatakan unik karena terdapat pelbagai wacana yang melingkupi di dalamnya sehingga selalu mengalami perubahan yang tidak pasti. Sementara itu, identitas menjadi pembahasan yang rumit karena identitas terkait erat dengan bagaimana representasi yang dilakukan untuk dapat menyatakan dan meneguhkan identitas kediriannya. Dan hal ini yang telah terjadi pada persoalan ekspatriat sebagai identitas orang asing yang sedang berada di luar tanah airnya seperti di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini telah menemukan bahwa tidak terdapat suatu identitas yang utuh, bahkan kehadiran orang kulit putih yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat melalui sebuah media, yakni Majalah JE adalah hanya sebuah upaya untuk mengkontruksi dan membuat legitimasi atas identitas diri yang selalu berubah-ubah. Di dalam Majalah JE, ekspatriat sebagai identitas yang terus dikonstruksi dan direpresentasikan oleh orang kulit putih telah menepikan kehadiran orang asing lainnya di Indonesia. Dalam hal ini, persoalan ras masih menjadi titik tolak untuk dapat menginklusi dan mengeksklusi orang asing sebagai ekspatriat. Dikarenakan ekspatriat sebagai identitas belum memiliki batasan yang sangat jelas, maka penelitian ini telah mendapatkan sebuah temuan bahwa ekspatriat sebagai identitas merupakan konstruksi dan dihadirkan oleh orang kulit putih melalui sebuah media. Bahkan, secara etimologis, ekspatriat mengalami penyempitan makna, yakni lebih dikhususkan bagi orang kulit putih. 186 Para ekspatriat kulit putih menggunakan Majalah JE sebagai medium untuk dapat mengkonstruksi dan berupaya untuk memapankan identitas kediriannya dengan cara merepresentasikan diri sebagai eskpatriat. Sebagai sebuah media, Majalah JE menjadi suatu ruang kontestasi wacana seputar identitas kedirian orang asing, khususnya orang kulit putih untuk mendapatkan identitas ekspatriat. Jadi, melalui Majalah JE terjadi pengkodifikasian orang kulit putih sebagai ekspatriat, sehingga menegasikan orang asing lainnya yang sedang berada di Indonesia. Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab I dan II, kehadiran orang asing di Indonesia telah memberikan pengaruh di dalam tatanan kehidupan masyarakat, terutama ketika kolonialisme mewabah hampir ke seluruh wilayah di dunia. Para kolonial Eropa, yakni orang kulit putih telah melakukan praktik kolonial dan menciptakan status sosial mereka lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pribumi. Kini, kehadiran ekspatriat yang direpresentasikan oleh orang kulit putih pun kembali kepada wacana masa lalu kolonial, sehingga membuat pembedaan dan menciptakan ketidaksetaraan di dalam masyarakat. Dengan demikian, dalam tatanan wacana maupun praktik tidak terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara para kolonial di masa lampau dengan kehadiran ekspatriat di masa pasca-kolonial. Secara khusus, pada Bab III, penelitian ini telah berupaya memberikan pemaparan bagaimana identitas sekaligus representasi diri ekspatriat dilakukan melalui Majalah JE. Di dalam majalah JE, para ekspatriat telah menciptakan sebuah ruang eksistensi sekaligus mengkonstruksi pemahaman mengenai siapa itu ekspatriat. Bahkan, setelah mengkaji sebuah pertanyaan esensialis mengenai identitas, ekspatriat dapat dipahami sebagai identitas yang bersifat anti-esensialis. Representasi yang dilakukan oleh para ekspatriat di 187 dalam Majalah JE hanya merupakan artikulasi untuk memberikan deskripsi yang telah dibentuk atau diimajinasikan oleh media itu sendiri. Selain itu, melalui majalah JE pula, penelitian ini menemukan bahwa ekspatriat turut mereproduksi wacana kolonial mengenai Indonesia. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada Bab III dan menyambung pada Bab IV, para ekspatriat acapkali menghadirkan wacana kolonial mengenai dunia Timur seperti Indonesia. Munculnya beragam imaji dan teks mengenai Indonesia yang dihadirkan oleh para ekspatriat di dalam majalah JE ini merupakan suatu wacana kolonial kontemporer di masa pasca-kolonial. Oleh karena itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa para ekspatriat masih memiliki dan menghadirkan kembali sikap orientalistik. Orientalistik yang dilakukan para ekspatriat terlihat secara jelas pada pembahasan Bab IV setelah menganalisis wacana kolonial yang tersembunyi di balik imaji dan teks di dalam majalah JE. Dalam hal ini para ekspatriat tidak hanya merekonstruksi wacana kolonial mengenai karakteristik dan stereotipe dunia Timur seperti Indonesia, tetapi juga berupaya untuk mereproduksi dengan melihat kondisi Indonesia pada konteks kekinian. Dengan demikian, meskipun kolonialisme telah dinyatakan berakhir, namun dengan kehadiran para ekspatriat yang masih melihat dunia seperti papan catur, hitam dan putih, atau dalam wacana Orientalisme hal ini biasa dikatakan sebagai oposisi biner, Barat dan Timur, dapat dikatakan sebagai bentuk atau ciri wacana kolonial kontemporer di dalam arus zaman saat ini. Selanjutnya, dengan menggunakan Ruang Ketiga, penelitian ini telah berupaya untuk melepaskan binerisme peninggalan kolonialisme. Melalui Ruang Ketiga dan menelusuri teks yang terdapat pada Majalah JE, penelitian ini menemukan bahwa ekspatriat sebagai identitas yang direpresentasikan oleh orang kulit putih tidak juga berada 188 pada ketetapannya. Di masa pasca-kolonial, dengan bergerak maju mundur, dari masa kolonial hingga ke masa pasca-kolonial, para ekspatriat dihadapkan pada suatu proses negosiasi. Alih-alih, para ekspatriat yang mencoba untuk melampaui masa lampau masih terjebak pada identitas historis kolonialisme. Wacana tentang dunia Timur yang telah dikonstruksi oleh para orientalis di masa kolonialisme, yakni Orientalisme, tetap dipergunakan oleh ekspatriat sebagai landasan untuk dapat mengenali dan memahami tentang Indonesia. Dengan berbekal catatan atau pengetahuan tentang Timur, ekspatriat menyajikan kembali dengan pelbagai rubrik seperti Moment in History, Feature, Observations, Culture, dan Literature kepada para pembaca Majalah JE, yakni para ekspatriat. Jadi, ekspatriat menjadi serupa dengan para orientalis di masa kolonial yang telah membuat serangkaian mekanisme pengetahuan tentang dunia Timur untuk disajikan kepada kalangan Barat, sehingga wacana Orientalisme masih berkelanjutan di masa pasca-kolonial. Selain itu, pada analisis Ruang Ketiga, penelitian ini juga telah menemukan bahwa ekspatriat mengalami hibriditas dan ambivalensi ketika berhadapan langsung dengan realitas masyarakat Indonesia. Hibriditas dan ambivalensi ini menjadi penanda bahwa ekspatriat mengalami atau berada pada suatu kondisi negosiasi maupun bersifat kemenduaan saat bersinggungan dengan kehidupan masyarakat Timur seperti Indonesia. Dengan demikian, struktur makna yang telah terbangun dalam wacana Orientalisme menjadi suatu hal yang patut digugat kebenarannya. Terutama, hal ini disebabkan wacana Orientalisme sesungguhnya hanya merupakan konstruksi pengetahuan tentang Timur guna melanggengkan kekuasaan Barat pada masa kolonialisme.