Ekspatriat di Jakarta Expat : suatu analisis mengenai representasi dan wacana kolonial kontemporer.

(1)

Lamser, Fredrik. 2015. Ekspatriat diJakarta Expat;Suatu Analisis Mengenai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer. Tesis. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.

ABSTRAK

Kolonialisme yang mewabah hampir di seluruh dunia telah menyisakan beragam persoalan. Salah satu persoalan di antaranya adalah perpindahan manusia. Perpindahan manusia ini menjadi sebuah fenomena yang terus berkelanjutan di masa sekarang. Hal ini dapat dilihat dari kehadiran orang asing di Indonesia, khususnya ekspatriat. Ekspatriat menjadi identitas seseorang saat berada di luar negara atau tanah airnya. Oleh karena itu, ekspatriat sebagai identitas melakukan suatu upaya konstruksi dengan cara mengkodifikasi dan mengafirmasi orang kulit putih. Hal ini ditemukan atas representasi diri para ekspatriat di dalam suatu media, yakni MajalahJakarta Expat.

Dengan melakukan pembacaan terhadap pelbagai imaji dan teks yang tersajikan pada Majalah Jakarta Expat, penelitian ini juga menemukan bahwa para ekspatriat tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh dengan orang asing kulit putih di masa kolonial tempo dulu. Hal itu terlihat dalam wacana kolonial yang masih dimainkan kembali oleh para ekspatriat di dalam Majalah Jakarta Expat, baik dalam bentuk cover photo maupun rubrik, termasuk artikel di dalamnya. Alhasil, kehadiran para ekspatriat masih memiliki sifat kolonial (orientalistik) di masa pasca-kolonial.


(2)

Lamser, Fredrik. 2015. Expatriate in Jakarta Expat; An Analysis of Representation and Contemporary Colonial Discourse. Thesis. Yogyakarta: Religious and Cultural Studies, Sanata Dharma University.

ABSTRACT

Colonialism has been everywhere in the world along with its consequences. One of the consequences can be found in the migration phenomenon. The movement process from one place or country to another can be found until today. It can be seen from the existence of foreigners in Indonesia, mainly expatriate. Expatriate has become an identity of a person who stays or lives abroad. Therefore as an identity, expatriate has done a process of construction through codification and affirmation of white people. This process can be found in the self representation of expatriate in the Jakarta Expat Magazine.

The research is conducted through close reading of the text and images from the Jakarta Expat Magazine. The research has found that today’s expatriate is not different from past time colonial people. It is revealed through the colonial discourse reapplied by the expatriate in the Jakarta Expat. It can be found in the many cover photo, rubric and article. Consequently, the existence of expatriate is orientalistic in the postcolonial setting.


(3)

Suatu Analisis Meng

Untuk Memenuhi Pe Pada Program Magister

PROG

Ekspatriat di

Jakarta Expat;

engenai Representasi dan Wacana Kolon

TESIS

i Persyaratan Mendapatkan Gelar Magister Hum ister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata D

Oleh: Fredrik Lamser

116322016

ROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015

olonial Kontemporer

Humaniora (M.Hum) nata Dharma Yogyakarta


(4)

Suatu Analisis Meng

Untuk Memenuhi Pe Pada Program Magister

PROG

Ekspatriat di

Jakarta Expat;

engenai Representasi dan Wacana Kolon

TESIS

i Persyaratan Mendapatkan Gelar Magister Hum ister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata D

Oleh: Fredrik Lamser

116322016

ROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015

olonial Kontemporer

Humaniora (M.Hum) nata Dharma Yogyakarta


(5)

Oleh: Fredrik Larnser

I lo322016

Telah disetujui oleh:

Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J.

Pembimbing I Tanggal:

23/1) /,2 I..5

Dr. Katrin Bandel Pembimbing II

Ekspatriat di

Jakarta Expat;

Suatu Analisis Mengenai Representasi dan

Wacana Kolonial Kontemporer


(6)

Tim Penguji

Ketua : Dr. Alb. Budi Susanto, S.J.

Sekretaris/

Moderator : Dr. G. Budi Subanar, S.J. I ,

Anggota : 1. Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J.

OVT

2. Dr. Katrin Bandel

Yogyakarta, 23 Juli 2015 gcktur Program Pascasarjana

5(

GSM PAS, TESIS

Ekspatriat di Jakarta Expat;

Suatu Analisis Mengenai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer

Oleh: Fredrik Lamser NIM: 116322016

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis pada tanggal 23 Juli 2015


(7)

redrik Lamser

PERNYATAAN KEASL IAN

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Fredrik Lamser NIM : 116322016

Program : Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya lnstitusi : Universitas Sanata Dharrna

menyatakan dengan sesunggulanya bahwa tesis:

Judul : Ekspatriat di Jakarta Expat; Suatu Analisis Mengcnai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer

Pembimbing : 1. Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J. 2. Dr. Katrin Bandel

adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam Tesis ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan maupun gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis aslinya.

Apabila kemudian terbukti bahwa saya temyata melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah basil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana llmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum) yang telah saya peroleh.

Yogyakarta, 23 Juli 2015 Saya Yang Menyatakan,


(8)

PERNYATAAN PERSETUJ UAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Fredrik Lamser

NIM :116322016

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Ekspatriat di Jakarta Expat;

Suatu Analisis Mengenai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di interne atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 15 Desember 2015

Yang menyatakan,


(9)

KATA PENGANTAR

Apa yang telah dimulai, sejatinya harus terselesaikan. Kata-kata inilah yang terus bersemayam di alam pikiran penulis. Tidak mudah memang, berbagai lika-liku pun terjadi dari proses perkuliahan hingga penulisan dan penyelesaian tesis. Selama hampir empat tahun berada di ruang lingkup IRB, penulis mengalami petualangan yang sangat luar biasa dan tentunya takkan pernah terlupakan. Atas kesemuanya itu, penulis sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ingin menghaturkan terima kasih kepada mereka.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada para dosen di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Pak Supratiknya, Romo Budi Susanto, Romo Benny Juliawan, Romo Bagus Laksana, Pak George Aditjondro, Mba Devy, dan pada khususnya, Romo Budi Subanar yang senantiasa mengerti kondisi para mahasiswa “elit”, yang mana penulis termasuk di dalamnya, matur sembah nuwun. Untuk kedua dosen pembimbing penulis, Romo Baskara T. Wardaya dan Bu Katrin Bandel, terima kasih atas kesabaran dan bimbingan selama proses penulisan. Begitu pula untuk Pak Nardi, penulis sangat berterimakasih atas kesempatan selama belajar bersama di Erupsi Akademia. Serta, penulis pun mengucapkan terimakasih untuk para staf, Mas Mul, Mba Desy, dan Mba Dita.

Di samping itu, penulis juga berterimakasih kepada para sedulur di IRB; Mas Doni, Kak Vini, Muji, Arham, Imran, Frans, Irfan, Mando, Zuhdi, Alwi, Kak Lisis, Mba Gintani, Rendra, Darwis, dan semuanya yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini. Kepada para rekan kampus Moestopo, KMK dan FISIP. Para peminum kopi sembari diskusi; Kang Paijo, Kang Lilik, Kang Goro, Bung Kresna dan yang lainnya. Keluarga Gladi; Romo Mateus Mali dan Ibu Retno Priyani, serta para saudara/i dimanapun berada. Para penikmat alam; Rangga dan Suksma, serta petualang yang bertemu di perjalanan. Terlebih ucapan istimewa penulis sampaikan kepada Sarah Monica.

Akhir kata, dengan penuh syukur yang mendalam, penulis sangat berterimakasih kepada Bapak dan Mama yang memberikan doa, kepercayaan, dan segala dukungan tak terhingga, serta seluruh keluarga yang senantiasa selalu memberi semangat. Terima kasih.

Salam, Lamser.


(10)

Lamser, Fredrik. 2015. Ekspatriat diJakarta Expat;Suatu Analisis Mengenai Representasi dan Wacana Kolonial Kontemporer. Tesis. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.

ABSTRAK

Kolonialisme yang mewabah hampir di seluruh dunia telah menyisakan beragam persoalan. Salah satu persoalan di antaranya adalah perpindahan manusia. Perpindahan manusia ini menjadi sebuah fenomena yang terus berkelanjutan di masa sekarang. Hal ini dapat dilihat dari kehadiran orang asing di Indonesia, khususnya ekspatriat. Ekspatriat menjadi identitas seseorang saat berada di luar negara atau tanah airnya. Oleh karena itu, ekspatriat sebagai identitas melakukan suatu upaya konstruksi dengan cara mengkodifikasi dan mengafirmasi orang kulit putih. Hal ini ditemukan atas representasi diri para ekspatriat di dalam suatu media, yakni MajalahJakarta Expat.

Dengan melakukan pembacaan terhadap pelbagai imaji dan teks yang tersajikan pada Majalah Jakarta Expat, penelitian ini juga menemukan bahwa para ekspatriat tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh dengan orang asing kulit putih di masa kolonial tempo dulu. Hal itu terlihat dalam wacana kolonial yang masih dimainkan kembali oleh para ekspatriat di dalam Majalah Jakarta Expat, baik dalam bentuk cover photo maupun rubrik, termasuk artikel di dalamnya. Alhasil, kehadiran para ekspatriat masih memiliki sifat kolonial (orientalistik) di masa pasca-kolonial.


(11)

Lamser, Fredrik. 2015. Expatriate in Jakarta Expat; An Analysis of Representation and Contemporary Colonial Discourse. Thesis. Yogyakarta: Religious and Cultural Studies, Sanata Dharma University.

ABSTRACT

Colonialism has been everywhere in the world along with its consequences. One of the consequences can be found in the migration phenomenon. The movement process from one place or country to another can be found until today. It can be seen from the existence of foreigners in Indonesia, mainly expatriate. Expatriate has become an identity of a person who stays or lives abroad. Therefore as an identity, expatriate has done a process of construction through codification and affirmation of white people. This process can be found in the self representation of expatriate in the Jakarta Expat Magazine.

The research is conducted through close reading of the text and images from the Jakarta Expat Magazine. The research has found that today’s expatriate is not different from past time colonial people. It is revealed through the colonial discourse reapplied by the expatriate in the Jakarta Expat. It can be found in the many cover photo, rubric and article. Consequently, the existence of expatriate is orientalistic in the postcolonial setting.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman Judul...i

Lembar Persetujuan ...ii

Lembar Pengesahan ...iii

Pernyataan Keaslian...iv

Pernyataan Publikasi...v

Kata Pengantar ...vi

Abstrak ...vii

Abstract...viii

Daftar Isi...ix

Daftar Gambar...x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...10

C. Tujuan Penelitian...10

D. Manfaat Penelitian...10

E. Tinjauan Pustaka...11

F. Kerangka Teori...17

F.1. Representasi ... 17

F.2. Pascakolonial ... 22

F.2.1. Wacana Kolonial... 23

F.2.2. Ruang Ketiga ... 27

F. Metode Penelitian ... 29

G. Sistematika Penulisan ... 30

BAB II INDONESIA DAN ORANG ASING A. Kehadiran Orang Asing di Nusantara...32

A.1. Penggolongan Masyarakat Asing di Masa Kolonial...36


(13)

A.1.2. Media di Masa Kolonial...42

B. Indonesia di Masa Pasca-kolonial...46

B.1. Orang Kulit Putih; Bule atau Ekspatriat?...48

B.1.1. Bule, siapa mereka?...49

B.1.2. Ekspatriat, melampaui definisi!...57

B.2. Ekspatriat di Indonesia...64

B.2.1. Perdebatan seputar ekspatriat...65

B.2.2. Media Ekspatriat; MajalahJakarta Expat...71

C. Catatan Penutup... 74 BAB III EKSPATRIAT DIJAKARTA EXPAT A. Kisah Para Ekspatriat... 76 B. Ekspatriat dalamMeet the Expats...95

B.1. Identitas Ekspatriat yang non-esensialis...96

B.2. Representasi Diri Ekspatriat...104

C. Ekspatriat, Melanggengkan Wacana Kolonial...111

C.1. Cover Photo sebagai Imaji Indonesia...111

C.2. Rubrik sebagai Wacana Pengetahuan...130

D. Catatan Penutup...157

BAB IV EKSPATRIAT DAN WAJAH BARU KOLONIALISME A. Analisis Wacana Kolonial Kontemporer Indonesia...159

A.1. Karakteristik Indonesia...160

A.2. Stereotipe Indonesia...170

B. Menafsirkan Ekspatriat...176

B.1. Hibriditas Ekspatriat...178

B.2. Ambivalensi Ekspatriat...180

C. Catatan Penutup...184

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...185


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. An early mixed marriage...113

Gambar 2. Chatting on Facebook...120


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penjajahan yang berakhir pada pertengahan abad silam tidak serta merta memutus rantai wacana dan praktek kolonialisme. Meskipun berbagai negara terjajah telah mendapatkan kemerdekaan, namun pengaruh dan efek kolonialisme masih dapat dirasakan ataupun ditemukan pada masa pasca-kolonial. Bagaikan suatu warisan, pengaruh dan efek dari kolonialisme turun-temurun antar generasi. Bahkan, tidak hanya bagi pihak terjajah, tetapi juga bagi pihak penjajah.

Kolonialisme telah berlangsung berabab-abad lamanya. Berbagai negara dan bangsa, khususnya Asia dan Afrika, telah menjadi korban. Dengan berambisi keras untuk melakukan aksi penaklukan hingga ke seberang benua dan melintasi samudera, Eropa memulai praktek kolonialisme Barat. Karenanya, tibalah kolonialisme di bumi Indonesia – yang sebelumnya dikenal dengan nama Nusantara.

Kehadiran kolonialisme di Indonesia memiliki serangkaian catatan historis. Kolonialisme Eropa pernah menguasai perdagangan hingga melakukan penjajahan di Indonesia lebih dari satu abad lamanya. Secara khusus, penjajahan yang terkait dengan kekuasaan Eropa atas Asia dan Afrika di akhir abad ke 19 telah disertai dengan kenaikan status sosial orang kulit putih dan seluruh ciri lahiriah mereka (Alatas, 1998:28). Oleh karena itu, kolonialisme telah menciptakan suatu jenjang yang menempatkan status sosial orang kulit putih lebih tinggi dibandingkan dengan pribumi di dalam masyarakat terjajah.

Indonesia sebagai negara terjajah turut mengalami kesenjangan sosial antara orang kulit putih dengan pribumi. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda,


(16)

Jan Jacob Rochussen (1845-1851), terjadi tindakan politik rasial dengan mempertegas oposisi biner antara pihak penjajah dan terjajah, mengagung-agungkan keindahan kulit putih dan superioritas moral serta intelektual bangsa kulit putih terhadap bangsa kulit cokelat.1 Dengan demikian, representasi ras telah menjadi bagian dari salah satu ciri wacana dan praktik kolonialisme.

Sementara itu, pengaruh sikap superior orang kulit putih semakin nyata ketika kolonial Belanda membagi masyarakat menjadi tiga golongan, yakni, pertama, golongan bangsa Eropa, terutama Belanda, kedua, golongan bangsa Timur Asing, misalnya, Cina dan Arab, dan ketiga, golongan kaum pribumi.2 Ironis, meskipun kolonialisme telah dinyatakan berakhir, namun ciri lahiriah putih dan non-putih masih menjadi nilai dan tanda sebagai pembeda di dalam masyarakat. Pembedaan nilai dan tanda ini dapat dilihat dari kehadiran para“expatriate”3di Indonesia.

Pada umumnya istilah “ekspatriat” tampaknya belum begitu populer atau terdengar akrab di kalangan masyarakat Indonesia. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, kehadiran orang kulit putih lebih sering dikenal maupun disebut sebagai “bule”. Bule menjadi sebuah panggilan atau sapaan bagi orang kulit putih yang biasanya hadir ke Indonesia, turis mancanegara, misalnya. Orang kulit putih seperti ini lazim ditemui di berbagai tempat liburan, kota yang lebih cenderung menawarkan wisata dan sajian eksotis bagi para pengunjungnya, seperti Bali, Lombok, Yogyakarta, dan lain sebagainya.

Namun demikian, tidak seperti para turis, terdapat juga orang kulit putih yang kehadiranya di Indonesia sebagai pelajar atau mahasiswa. Mahasiswa semacam ini

1

C. Fasseur, “Cornerstone and Stumbling Block: Racial Classification and the Late Colonial State in Indonesia”, dalam Robert Cribb (ed.), (1994).The Late Colonial State in Indonesia: Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies 1880-1942, KITLV Press, Leiden. Hal. 31-34. (Lebih lanjut lihat, Vissia Ita Yulianto,Pesona Barat.Hal. 60)

2

Kartodirjo, S. N. (1975).Sejarah Nasional Indonesia.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal. 155-6.


(17)

acapkali datang ke Indonesia dengan mengikuti program Darmasiswa yang diberikan oleh pemerintah Indonesia, dan dapat ditemui pada beberapa kampus di Indonesia, seperti, Universitas Indonesia, Univesitas Padjajaran, Universitas Gajah Mada, maupun Universitas Sanata Dharma, serta berbagai perguruan tinggi lainnya. Oleh karena itu, terkait dengan perdebatan istilah bule yang selalu ditujukan bagi orang kulit putih di Indonesia, perlu kiranya membedakan kehadiran antara orang kulit putih yang ada di tempat wisata dan lingkungan kampus, yakni dengan membahas tentang ekspatriat.

Berkaitan dengan definisi eskpatriat, penulis merujuk pada beberapa sumber, diantaranya: Webster Dictionary (2008), yang menjelaskan bahwa berdasarkan pada etimologinya ekspatriat berasal dari bahasa Latin, ex: out of, and patria: native country,

yang berarti seorang penduduk asli keluar dari negaranya. Sementara itu, New Oxford Dictionary of English (2008) memberikan penjelasan bahwa terminologi expatriate, is

gone - out from one’s country’; as adjective (person) living outside his/her own country.

Artinya ekspatriat adalah seseorang yang tinggal di luar negara asalnya. Berbeda pula dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang mendefinisikan bahwa ekspatriat adalah seseorang yang telah melepaskan status kewarganegaraannya, orang yang meninggalkan negeri asalnya; warga negara asing yang menetap di sebuah negara, orang yang terbuang maupun tenaga kerja asing.4 Dari beberapa pendefinisian di atas dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan mengenai definisi ekspatriat, sehingga penulis beranggapan bahwa yang dimaksud dengan ekspatriat adalah identitas seseorang yang sedang berada di luar negara atau tanah airnya, dan bukan menjadi suatu status kewarganegaraan seseorang.


(18)

Pada kenyataannya tidak semua orang yang sedang berada di luar negara asalnya – baik untuk sementara waktu atau permanen – dapat menyandang identitas dan merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Semisal, orang asing – atau dalam bahasa pemerintah biasa disebut sebagai warga negara asing (WNA) – yang ada di Indonesia; orang Eropa, Amerika, Australia, Afrika maupun Asia, mereka belum tentu mendapatkan atau merepresentasikan diri sebagai seorang ekspatriat. Begitu pula sebaliknya dengan orang Indonesia yang sedang berada di luar tanah air, mereka akan lebih cenderung mendapatkan sebutan sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), imigran maupun orang-orang diaspora5. Lantas, pertanyaan yang kemudian muncul atas fenomena tersebut adalah, ada apa dengan identitas ekspatriat sebagai identitas seseorang yang sedang berada di luar tanah airnya?

Sebagai langkah awal dalam menelusuri perihal ekspatriat, penelitian ini merujuk pada beberapa sumber penelitian yang terkait. Pertama, sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh Anne-Meike Fechter pada satu dekade silam mengenai kehidupan transnasional para ekspatriat di Indonesia. Sebagai seorang antropolog, Fechter (2007:vii) beranggapan bahwa para ekspatriat di Jakarta hidup di dalam gelembung (expatriate bubble), bahkan tentang siapa itu ekspatriat, ia mengemukakan bahwa persoalan identitas ekspatriat belum memiliki kejelasan yang pasti, sehingga mendasarkan penggunaan istilah tersebut sejauh para informannya menyebut diri mereka sebagai ekspatriat.

Senada dengan Fechter terkait dengan pendefinisian ekspatriat, Sian Reiko Upton (1998) di dalam tesisnya tentang ekspatriat di Papua Nugini juga melakukan penelitian terhadap delapan individu melalui narasi lisan para respodennya untuk mendapatkan suatu

5

Pemerintah Indonesia cenderung menempatkan warga negaranya yang sedang bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia, seperti yang terjadi di beberapa negara tetangga; Malaysia, Hongkong, Taiwan, Arab Saudi dan lain sebagainya. Sementara itu, pemerintah juga menempatkan identitas orang Indonesia sebagai orang-orang diaspora, semisal, sebagaimana yang telah diakomodir oleh pemerintah


(19)

pengertian tentang ekspatriat. Secara umum, Upton menempatkan ekspatriat pada karakterisasi sebagai orang asing yang sedang berada di negara lain dengan melihat berbagai hal yang terdapat di dalamnya, seperti komunitas mereka, hubungan mereka dengan penduduk setempat, maupun status orang asing di dalam sebuah negara pasca-kolonial beserta pengalaman mobilitas.

Kedua penelitian di atas, yakni Fechter dan Upton, melakukan pencarian definisi ekspatriat melalui narasi lisan. Menarik bahwa Fechter juga merujuk pada lingkaran kapitalisme yang turut menjadi salah satu unsur pembawa seseorang untuk berada di negara lain. Adanya perpindahan seseorang keluar negaranya dinilai telah membuat seseorang menjadi orang asing dan membawa pada suatu identitas tertentu, yakni identitas ekspatriat. Bahkan, tidak hanya sebatas karena perpindahan negara, akan tetapi kehadiran ekspatriat di Jakarta juga telah dilingkupi suatu nilai sebagai seseorang yang dianggap

“expert”, dan“exclusive” apabila dibandingkan dengan pribumi maupun orang asing lainnya. Fechter (2007:5) menjelaskan bahwa ekspatriat yang dianggap “expert”

merupakan suatu gagasan yang seringkali dihubungkan dengan ekspatriat perusahaan, per definisi memiliki kemampuan yang lebih dan berkualitas dalam bekerja, sedangkan ekspatriat yang “exclusive”lebih disebabkan mereka memainkan sebuah aturan di dalam lingkup internasional yang eksklusif maupun menempatkan diri sebagai identitas global.

Di samping itu, merujuk pada sebuah pandangan lain, Robbert A. Cannon (1991) dalam penelitian mengenai “Expatriate ‘experts’ in Indonesia and Thailand: Profesional and Personal Qualities for Effective Teaching and Consulting”, berpendapat bahwa ekspatriat yang dianggap “expert” adalah seseorang yang memerlukan berbagai kualitas pribadi dan profesional untuk dapat menjadi efektif, seperti harus memiliki keahlian tertentu, mampu membangun dan menjaga hubungan baik dengan orang-orang,


(20)

terorganisir dengan baik dan mampu mentransfer informasi dan keterampilan yang bermanfaat di negara tempat ia ditugaskan. Selanjutnya, Cannon juga menegaskan bahwa seorang ekspatriat yang “expert” harus menunjukkan keahlian dengan beberapa unsur di dalamnya, termasuk keahlian teknis, pengetahuan budaya, kemampuan bahasa dan keahlian dalam hal pendidikan. Oleh karena itu, identitas ekspatriat bukan lagi hanya sebatas mengenai perpindahan seseorang yang keluar dari negara asalnya, melainkan telah dilingkupi oleh berbagai macam unsur wacana yang turut mengkonstruksi dan mempengaruhi identitas, semisal “expert” dan “exclusive”, maupun seseorang yang acapkali dianggap memiliki suatu nilai lebih jika dibandingkan dengan masyarakat pribumi. Hal ini menjadi persoalan, karena kehadiran orang kulit putih dengan identitas diri sebagai ekspatriat telah menghadirkan kembali suatu hubungan manusia yang tidak setara di Indonesia pada masa pasca-kolonial.

Dalam konteks demikian, penulis juga telah mencoba untuk melakukan penelusuran tentang beberapa penelitian terkait ekspatriat di Indonesia, dan hasilnya lebih banyak didominasi oleh kajian seperti persoalan sumber daya manusia, bisnis, maupun manajemen (Nevendorf, 2008; Musadieq, 2010; Apriyogo, 2013; Puspitasari, dkk, 2014; Soares, 2014). Dalam hal ini, persoalan ekspatriat sebagai sebuah identitas maupun representasi diri tampaknya kurang begitu mendapatkan perhatian dalam kajian ilmu lainnya. Padahal, setidaknya bagi penulis, sebelum melangkah jauh ke dalam persoalan bagaimana ekspatriat itu beraksi di dalam masyarakat maupun dalam kehidupan sosial, hal yang perlu diketahui dan diperdalam adalah mengenai persoalan identitas serta bagaimana upaya representasi dari identitas itu sendiri. Jadi, penelitian ini akan mengarah pada suatu persoalan mengenai identitas ekspatriat, sekaligus representasi yang mereka lakukan di dalam kehidupan sosial.


(21)

Patut untuk disadari kembali bahwa cakupan identitas ekspatriat dalam lingkup sosial telah meluas dari sekadar identitas etnis maupun kebangsaan sehingga telah dihadapkan pada kompleksitas yang tidak mudah untuk dilacak, apalagi jika dibahas hanya dalam satu sisi saja. Identitas ekspatriat terakumulasi dari beragam unsur perekat, seperti berbagai kepentingan yang telah melampaui identitas kelahirannya, maupun konstruksi identitas yang melanjutkan wacana di masa lampau, yang mana keberadaan orang kulit putih acapkali terkait dengan superioritas, khususnya saat mereka tengah berada di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia.

Berdasarkan dari penelitian Fechter dan Upton yang menelusuri siapa itu ekspatriat berdasarkan pada para informannya, maka penelitian ini menelusuri ekspatriat melalui representasi yang mereka hadirkan di dalam media. Mengapa media? Karena dalam beberapa tahun belakangan ini para ekspatriat telah menarasikan dan merepresentasikan identitas diri mereka melalui sebuah media. Secara khusus, media yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah sebuah media berupa majalah bernama ‘Jakarta Expat’ (JE), yang disajikan dari, oleh, dan untuk para ekspatriat di Jakarta, serta Indonesia pada umumnya.

Penulis beranggapan bahwa kemunculan Majalah JE adalah suatu bentuk ruang yang mengambil peranan penting sebagai medium atas keberadaan orang asing untuk melakukan konstruksi identitas. Melalui Majalah JE, kehadiran orang asing, pada khususnya orang kulit putih mencoba untuk menghadirkan dan merepresentasikan diri mereka sebagai ekspatriat di dalam kehidupan masyarakat – baik secara lokal maupun global. Dengan kata lain, Majalah JE juga dapat dipahami sebagai ruang eksistensi sekaligus legitimasi atas keberadaan para ekspatriat di dalam masyarakat, sehingga membedakan dengan orang asing maupun orang kulit putih lainnya, yang mana biasa


(22)

disebut sebagai “bule”. Bahkan, para ekspatriat cenderung untuk menolak dan menyangkal apabila mereka disebut sebagai bule.

Di samping menelisik representasi ekspatriat di dalam media, penelitian ini juga menggunakan perspektif pasca-kolonial untuk melakukan pembacaan terhadap ragam sajian yang disuguhkan ekspatriat di dalam Majalah JE. Hal ini penulis lakukan guna memperlihatkan dan mengkritisi media seperti Majalah JE yang acapkali menyajikan beragam wacana kolonial, baik itu berupa imaji maupun teks kepada para pembacanya, yakni para ekspatriat. Wacana kolonial yang termuat di dalam Majalah JE secara implisit telah memunculkan kembali ingatan tentang binerisme antara Barat dan Timur – penjajah dan terjajah.

Pada Majalah JE,imaji dan teks yang mengandung wacana kolonial dapat dilihat dari cover photo dan beberapa rubrik di dalamnya, seperti, Moment in History, Feature, Observations, Culture, dan Literature.Cover photo, misalnya, Majalah JE menggunakan sebuah foto sebagai pembungkus tema sebuah edisi majalah yang hendak tersajikan. Dengan kata lain, Majalah JE berupaya untuk memperlihatkan dan menghadirkan imaji Indonesia kepada para pembacanya melalui sebuah cover photo. Bahkan, foto yang dijadikan sebagai sebuah cover photojuga disertai dengan suatu artikel terkait tema yang sedang ditampilkan pada halaman muka Majalah JE.

Begitu pula dengan teks pada beragam rubrik dan artikel di dalam Majalah JE yang dituliskan oleh para ekspatriat mengandung wacana kolonial kontemporer. Pada rubrik

Moment in History, misalnya, Majalah JE memberikan penjelasan mengenai momen-momen sejarah di Indonesia pada masa kolonial. Sementara itu, pada rubrikFeature, para ekspatriat mengungkapkan kisah mengenai suatu tempat tertentu yang terdapat di Indonesia. Lalu, pada rubrik Observations, para ekspatriat menceritakan sebuah kisah


(23)

perjalanan. Kemudian, pada rubrik Culture, para ekspatriat memberikan pemaparan mengenai budaya yang terdapat di Indonesia. Dan pada rubrik Literature, para ekspatriat memuat sebuah resensi atas suatu literatur yang berhubungan dengan Indonesia. Dengan demikian, terdapat beragam wacana mengenai Indonesia atas rajutan teks yang tersajikan di dalam Majalah JE.

Wacana mengenai citra Indonesia yang disajikan melalui Majalah JE telah memberikan suatu deskripsi kepada para pembaca, yakni para ekspatriat. Deskripsi ini mengantarkan kepada karakterisasi dan stereotipe mengenai Indonesia. Dalam konteks Orientalisme, upaya para ekspatriat ini dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk merekontruksi dan mereproduksi wacana kolonial tentang Timur seperti Indonesia. Bahkan wacana kolonial ini diperbaharaui dengan melihat ragam kondisi Indonesia kontemporer. Jadi, melalui Majalah JE, para ekspatriat kembali melanggengkan wacana kekuasaan Barat dalam memberikan suatu narasi tentang Timur seperti Indonesia kepada para pembaca Majalah JE, yakni sesama ekspatriat itu sendiri.

Terakhir, melalui penelitian ini penulis juga berupaya untuk memberikan sebuah tafsiran terhadap identitas ekspatriat atas imaji dan teks, sejauh yang telah tersajikan di dalam Majalah JE. Karena bukan menjadi sesuatu yang mustahil bahwa dari beragam imaji dan teks yang termuat di dalam Majalah JE tercermin ambivalensi dan hibriditas yang dialami oleh para ekspatriat saat tengah berada di Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini berupaya untuk mengetahui dan menemukan apa yang sesungguhnya terjadi atas fenomena kehadiran para ekspatriat di Jakarta, baik seputar identitas, representasi hingga ambivalensi dan hibriditas yang dialami oleh para ekspatriat saat berada di Indonesia pasca-kolonial.


(24)

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang mengenai fenomena kehadiran ekspatriat, maka secara sederhana terdapat beberapa rumusan pertanyaan yang akan dibahas dan dijawab dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana representasi diri ekspatriat di dalam MajalahJakarta Expat?

2. Bagaimana wacana kolonial mengenai Indonesia dihadirkan melalui imaji dan teks di dalam MajalahJakarta Expat?

3. Bagaimana hibriditas dan ambivalensi pengalaman ekspatriat yang tercermin pada beragam teks di dalam MajalahJakarta Expat?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami kondisi realitas dengan menguraikan kehadiran orang asing yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Selain itu, penelitian ini juga bermaksud untuk menemukan wacana tersembunyi dari beragam imaji dan teks tentang Indonesia yang disajikan oleh para ekspatriat di dalam Majalah JE. Oleh karena itu, dengan memperlihatkan wacana mengenai Indonesia yang telah diberikan oleh para ekspatriat, penelitian ini dapat menafsirkan dan mendapatkan pemahaman atas kehadiran para ekspatriat di Indonesia di masa pasca-kolonial.

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan suatu kontribusi pengetahuan bagi khasanah ilmu pengetahuan humaniora, khususnya Kajian Budaya. Berangkat dari persoalan mengenai ekspatriat di Jakarta, maka kita dapat memahami dan menanggapi tentang adanya berbagai upaya representasi diri atas sebuah


(25)

identitas. Bahkan, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah eksplorasi atas konstruksi identitas dan representasi, serta mengetahui ragam wacana yang terdapat di dalamnya, terutama dengan cara suatu penelusuran melalui media seperti Majalah JE.

E. Tinjauan Pustaka

Pada tinjauan pustaka ini, penulis mencoba merujuk beberapa sumber penelitian yang memiliki kesamaan dalam objek material. Pertama, penelitian Anne Meike Fechter yang telah tertuang dalam sebuah buku, Transnational Lives: Expatriates in Indonesia

(2007). Di dalam penelitian ini, Fechter berupaya untuk melihat dan mengetahui kondisi kehidupan ekspatriat di Jakarta dengan menggunakan metode etnografis yang mengarah pada tema kehidupan transnasional. Melalui penelitiannya, Fechter menemukan bahwa kehidupan para ekspatriat telah ditandai oleh suatu batas. Kehidupan transnasional para ekspatriat telah ditandai oleh batas-batas sebanyak oleh ‘arus’, di mana pun ekspatriat itu berada dan apa pun yang mereka lakukan menjadi batas kunci untuk memahami kehidupan ekspatriat. Bagi Fechter, hal ini menjadi suatu gagasan yang tidak dikonseptualisasikan sebagai berlawanan, tetapi saling tergantung satu sama lain.

Penelitian Fechter ini juga mengingatkan bahwa istilah ekspatriat tidak jelas dan agak sarat nilai, sehingga ia melakukan penelusuran dengan menjelaskan bagaimana beberapa informannya dalam menggunakan istilah ekspatriat sebagai identitas. Selain itu, dengan memaparkan konstruksi ekspatriat dan hubungannya dengan Indonesia sebagai negara dunia ketiga, Fechter menunjukkan berbagai cara para ekspatriat menegosiasikan hubungan mereka dengan lingkungannya di Indonesia, dan bagaimana mereka membangun sebuah 'gelembung Barat' yang spasial di dalam kehidupan sosial. Batas


(26)

spasial itu muncul seperti dalam praktek perumahan ekspatriat dan melalui komunitas mereka di Jakarta.

Di samping itu, Fechter juga membahas tentang batasan etnis dan kebangsaan, dimana ekspatriat tidak hanya terpisah dari masyarakat Indonesia, tetapi telah membagi masyarakat kulit putih itu sendiri. Ada ekspatriat yang terikat untuk eksis dalam 'gelembung' dan ada juga bentuk-bentuk hidup alternatif sebagai orang asing di Indonesia. Dengan demikian, penelitian Fechter yang cukup komprehensif ini menjadi sangat berguna untuk mengetahui dan memberikan suatu pemetaan serta gambaran tentang bagaimana kondisi ekspatriat di Jakarta, khususnya melihat kehadiran dan kehidupan para ekspatriat dalam perspektif transnasional.

Kedua, penelitian Sian Reiko Upton tentang Expatriates in Papua New Guinea: Contructions of Expatriates in Canadian Oral Narratives(1998). Dalam penelitian berupa tesis ini, Upton menyampaikan bahwa minat para ilmuwan sosial tentang globalisasi, mobilitas, efek dari kolonialisme dan situasi antar budaya telah memberikan sedikit perhatian kepada ekspatriat sebagai kelompok transnasional kontemporer. Secara khusus, Upton melakukan penyelidikan terhadap delapan individu untuk mendefinisikan diri mereka (orang asing) sebagai ekspatriat melalui narasi lisan dan melihat bagaimana kehidupan mereka di Papua Nugini. Penelitian Upton menekankan bahwa karakterisasi ekspatriat dapat dilihat dalam komunitas mereka, hubungan mereka dengan penduduk setempat; status mereka sebagai orang asing di sebuah negara pasca-kolonial seperti Papua Nugini maupun pengalaman mobilitas mereka yang sering berpindah ke berbagai negara.

Dalam penelitian ini, secara menarik Upton juga menguji gagasan ilmiah sosial mengenai ekspatriat dan ide-ide identitas kontemporer terkait hubungannya dengan mobilitas. Melalui narasi pribadi para ekspatriat, Upton menunjukkan bahwa


(27)

penggambaran ilmiah (Eric Cohen, 1977 dan Ulf Hanners, 1996), dinilai terlalu sederhana untuk dapat mengakses kehidupan ekspatriat kontemporer maupun situasi yang kompleks di mana mereka tinggal. Upton mengingatkan bahwa jika seorang ilmuwan sosial ingin memahami hubungan global-lokal kontemporer, maka harus melakukan upaya kritis untuk memeriksa asumsi tentang berbagai kelompok transnasional, dan meletakkannya secara terbuka, serta melalui penyelidikan etnografi untuk dapat masuk ke dalam makna pengalaman orang yang mengalami proses transnasional. Meskipun Upton telah berusaha untuk menunjukkan apa yang dapat dilakukan untuk mengerti beberapa masalah yang ada atas asumsi ilmiah sosial tentang ekspatriat, namun sebelum konseptualisasi baru dapat dipetakan ia menyarankan diperlukan banyak penelitian yang lebih empiris. Oleh karena itu, Upton menekankan bahwa untuk mengetahui para ekspatriat perlu untuk menceritakan kisah pengalaman mereka, terutama mereka tidak dapat disamakan begitu saja karena batasan definisi.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Robert A. Cannon tentang “Expatriate ‘Experts’ In Indonesia and Thailand: Profesional and Personal Qualities for Effective Teaching and Consulting” (1991). Penelitian ini mencoba untuk melihat bagaimana para ekspatriat “yang ahli”, pada khususnya Cannon melihat keberadaan para ekspatriat Australia di Indonesia dan Thailand. Dalam penelitian ini Cannon menemukan bahwa para ekspatriat “yang ahli” memerlukan berbagai kualitas pribadi dan profesional untuk dapat menjadi efektif, seperti harus memiliki keahlian, mampu membangun dan menjaga hubungan baik dengan orang-orang sekitar, terorganisir, dapat mentransfer informasi serta keterampilan yang bermanfaat.

Selain itu, Cannon juga menegaskan bahwa tidak satu pun dari kualitas tersebut dapat dipandang secara sederhana, tetapi memiliki beragam dimensi; statis dan dinamis.


(28)

Dimensi statis yaitu, kodrat sebagai kualitas seseorang yang ahli. Cannon menunjukkan bahwa ekspatriat dianggap sebagai “yang ahli” harus memiliki beberapa unsur, termasuk keahlian teknis, pengetahuan budaya, kemampuan bahasa dan keahlian dalam pendidikan. Sementara itu, dimensi dinamis berkaitan dengan kualitas kepemimpinan, keterampilan berorganisasi, proses pembelajaran, komunikasi dan bahan yang diajarkan.

Selanjutnya, Cannon juga menunjukkan bahwa terdapat kesamaan yang luas antara ekspatriat di Indonesia dan Thailand, termasuk beberapa perbedaan di dalamnya. Salah satu perbedaannya adalah terkait kepentingan yang bersifat relatif untuk dapat meningkatkan hubungan kualitas, sehingga Cannon menyarankan agar penelitian selanjutnya dapat memvalidasi temuannya dan mengeksplorasi perbedaan tersebut. Dengan demikian, penelitian ini dapat berguna bagi penulis untuk memperkuat argumentasi perdebatan mengenai ekspatriat yang acapkali dilabeli sebagai seorang “yang ahli”.

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Mochammad Al Musadieq tentang

“Ekspatriat dan Industri Lintas Negara” (2010). Pada dasarnya penelitian Musadieq ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang karakteristik demografi dan culture shock

yang dialami oleh para ekspatriat saat ditugaskan di luar negaranya, seperti di Indonesia. Berbekal dengan tiga puluh responden, Musadieq menyajikan penelitiannya secara deskriptif dengan menggunakkan tabel distribusi frekuensi sebagai gambaran bahwa kebanyakan dari mereka – yang disebut sebagai ekspatriat dalam penelitian ini –sedang menjalankan tugas atau pekerjaan di luar negeri.

Dengan menggunakan perspektif ilmu administrasi, penelitian yang dilakukan Musadieq mendapatkan hasil bahwa persoalan seputar informasi dan adaptasi para ekspatriat adalah peranan kunci dalam pengembangan industri yang bersifat lintas negara.


(29)

Penelitian ini berhasil mengungkapkan bahwa kebanyakan dari respondennya menjalankan tugas luar negeri yang pertama, sebagai representatif dan membawa keluarga mereka dalam tugas. Selain itu, penelitian ini juga mengungkapkan bahwa para ekspatriat tersebut tidak mengalami kesulitan dalam melakukan adaptasi dengan budaya lokal Indonesia.

Sementara itu, tanpa mempersoalkan siapa itu ekspatriat, penelitian yang dilakukan Musadieq menyisir berbagai orang asing yang ada di Malang dan Surabaya. Meskipun di dalam penelitian ini terdapat orang kulit putih, diantaranya, orang-orang Selandia Baru, Jerman, Inggris dan Kanada, namun dapat dilihat bahwa sebagian besar respondennya adalah orang Jepang. Oleh karena itu, setidaknya penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberikan sebuah gambaran bahwa dari seorang peneliti sekalipun masih menempatkan kehadiran orang asing di Indonesia sebagai ekspatriat.

Kelima, penelitian yang baru saja dilakukan oleh Hernani Agostinho Soares berbentuk tesis tentang “Adaptasi Budaya Para Ekspatriat di Timor Leste” (2013). Penelitian Soares menjelaskan bahwa persoalan ekspansi bisnis perusahaan multinasional di berbagai negara tidak terlepas dari tenaga kerja ekspatriat. Soares melakukan penelitiannya terhadap dua puluh tujuh respoden, yang sebagian besar berasal dari berbagai negara di wilayah Asia, serta menyertakan ekspatriat asal Amerika Serikat dan Australia. Berbekal dari beragam pengertian siapa itu ekspatriat yang telah disediakan oleh peneliti lain, seperti Hornby (1987), Hill (2001), Desler (2002), Gross (2005), dan lain-lain, sayangnya Soares hanya meninjau berbagai definisi tersebut. Soares tidak melakukan penggalian definisi identitas ekspatriat secara mendalam terhadap para respondennya. Bahkan, secara sederhana Soares hanya menyimpulkan bahwa ekspatriat adalah seseorang


(30)

yang sedang tinggal dan bekerja pada salah satu perusahaan di luar negeri yang tidak terdaftar sebagai warga negara.

Berangkat dari sebuah perspektif manajemen, penelitian Soares secara khusus hanya bertujuan untuk membahas persoalan para ekspatriat yang berada di dalam lingkup bisnis. Dalam penelitiannya, Soares lebih berupaya untuk menjelaskan beberapa faktor yang mendukung para ekspatriat dalam melakukan proses adaptasi budaya, diantaranya,

individual, job, organization culture, dan job satisfaction. Meskipun demikian, pada penelitian ini Soares juga menemukan bahwa para ekspatriat di Timor Leste mengalami

culture shock, mental isolation, recovery, dan adjustment. Hal ini terjadi karena Timor Leste merupakan sebuah negara baru, yang mana memiliki banyak keterbatasan baik kondisi keamanan, ekonomi, infrastruktur, maupun hukum. Dengan demikian, penelitian yang telah dilakukan Soares ini cukup menarik untuk dapat melihat bagaimana keadaan para ekspatriat di Timor Leste, yang mana bertetangga atau memiliki hubungan historis dengan Indonesia.

Dari kelima tinjauan yang telah dipaparkan di atas, pada khususnya dari dua penelitian, yakni Fechter dan Upton, dapat digarisbawahi bahwa persoalan identitas sekaligus representasi ekspatriat selalu didasarkan pada para respondennya. Sementara dalam penelitian lainnya, seperti, Cannon, Musadieq, dan Soares lebih cenderung menempatkan persoalan ekspatriat sebagai bagian dari perputaran roda kapitalisme global (industri lintas negara). Dengan demikian, melalui penelitian ini penulis berupaya untuk menggali persoalan identitas ekspatriat melalui representasi diri yang mereka hadirkan di dalam sebuah media, yaitu Majalah JE.

Representasi di dalam media menjadi suatu alternatif untuk melakukan sebuah penelusuran, sekaligus dapat membedakan dari penelitian sebelumnya (Fechter dan


(31)

Upton), sehingga mendapatkan pemahaman yang baru seputar identitas ekspatriat. Di samping itu, tidak hanya berhenti pada pembahasan rerpresentasi diri ekspatriat, tetapi melalui penelitian ini penulis juga berupaya membahas ragam wacana kolonial yang acapkali muncul di dalam Majalah JE. Dengan demikian, dari persoalan representasi dan wacana kolonial yang muncul, serta ambivalensi dan hibriditas yang dialami para ekspatriat, maka penelitian ini mencoba untuk memberikan tafsiran terhadap identitas ekspatriat.

F. Kerangka Teori

Kehadiran para ekspatriat di Jakarta telah memperlihatkan kompleksitasnya. Berawal dari kehadiran mereka sebagai orang asing di Indonesia. Kemudian secara khusus, orang kulit putih melakukan konstruksi identitas sebagai ekspatriat sehingga membedakannya dengan bule maupun orang asing lainnya. Tak pelak ketika mereka melakukan upaya representasi di dalam suatu media seperti Majalah JE. Oleh karena itu, guna mendapatkan jawaban-jawaban dari rumusan masalah yang telah diajukan, penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan teori, di antaranya adalah:

F.1. Representasi

Dalam pemahaman Kajian Budaya, suatu identitas diyakini berkaitan dengan adanya upaya konstruksi melalui representasi. Identitas sebagai suatu konstruksi telah memperlihatkan budaya yang tidak stabil dan tidak permanen. Oleh karena itu, identitas acapkali mengalami perubahan yang didasarkan pada ruang dan waktu di mana seseorang berada.

Namun demikian, seseorang tidak hanya berhenti pada perubahan yang telah membuatnya memperoleh sebuah identitas, tetapi cenderung akan melakukan suatu upaya


(32)

representasi diri yang berhasrat untuk mendapatkan suatu pengakuan dari luar kediriannya. Sebagaimana Stuart Hall (1991) mengatakan bahwa pada dasarnya suatu identitas selalu dinyatakan sebagai bentuk representasi diri. Bahkan, ide atau gagasan tentang identitas merupakan suatu hal yang kontradiktoris karena terdiri dari satu atau lebih wacana yang berproses melewati atau membatasi yang lainnya.6

Selain itu, gagasan-gagasan teori Stuart Hall mengenai representasi telah banyak dipaparkan di dalam bukunya, Representation: Cultural Representation and Signifying Practices (1997).7 Dalam paparan teorinya, Hall menjelaskan bahwa representasi berhubungan erat dengan produksi makna dari konsep-konsep yang ada dalam pikiran seseorang. Bahkan, dalam sebuah proses produksi budaya, representasi menjadi penting karena terkait dengan‘cultural circuit’sehingga telah menghubungkan makna dan bahasa bagi budaya (Hall, 1997:15). Guna memudahkan penjabaran teori menjadi lebih sederhana, Hall menjelaskan bahwa representasi memiliki dua sistem yang membentuk sebuah diskursus bagi banyak orang. Dua sistem yang dimaksudkan oleh Hall adalah representasi mental dan makna pada tanda maupun bahasa.

Sistem pertama, yaitu representasi mental (mental representation) dimaknai sebagai makna yang bergantung pada sistem konsep dan bentuk gambar yang dapat mewakili atau merepresentasikan dunia. Sementara itu, sistem yang kedua adalah suatu makna bergantung pada tanda maupun bahasa yang merepresentasikan konsep-konsep tersebut. Dengan demikian, keberadaan para orang kulit putih, yang mana berupaya untuk merepresentasikan diri mereka sebagai ekspatriat dapat dimaknai sebagai suatu diskursus, dan tanda bahasa yang terkait pada suatu konsep identitas.

6

Hall, Stuart. (1991).Old and New Identities, Old and New Etnicities, dalam Anthony D. King (Ed),

Culture, Globalization and the World-SystemBinghamton: The Macmillan Press Ltd. Hal. 49.

7


(33)

Selanjutnya, penjelasan mengenai representasi mental adalah sesuatu yang berada dalam konsep pikiran seseorang. Dalam representasi mental, seseorang menghubungkan antara kenyataan dengan konsep yang dimiliki dalam pikiran. Dengan kata lain, melalui hal-hal nyata yang terlihat, maka dapat tercipta konsep mengenai hal tersebut tanpa benar-benar berada dalam situasi yang dimaksudkan atau melihat benda yang dibicarakan (Hall, 1997:17). Semisal, representasi mental mengenai kehadiran orang kulit putih tentunya menjadi berbeda tergantung pada siapa yang memaknainya, apalagi mengenai relasi antara subjek dengan objek. Hal tersebut disebabkan representasi mental bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan selalu berubah-ubah. Selain itu, dalam representasi mental, kesamaan dalam memaknai sesuatu juga sangat erat kaitannya dengan shared meanings ataushared conceptual map (Hall, 1997:18).Dalam hal ini Majalah JE dapat dipahami sebagai sebuah sarana untuk dapat menyebarkan pengertian dan konsep mengenai ekspatriat kepada para pembaca Majalah JE, yakni para ekspatriat itu sendiri.

Berikutnya, proses kedua dalam sistem representasi adalah bahasa. Semua konsep dalam representasi mental harus dapat diwujudkan melalui suatu bahasa agar dapat menghubungkannya dengan kenyataan dan mendapatkan makna. Bahasa dapat diuraikan dengan kode-kode yang terdapat di dalamnya, sedangkan kode yang dimaksud di sini adalah kode bahasa dan budaya (Hall, 1997:21). Para ekspatriat, misalnya, berbagi kode yang sama dalam memproduksi maupun mengkonsumsi sesuatu yang tersaji di dalam medianya. Hal ini dapat dilihat pada Majalah JE yang menghadirkan sosok ekspatriat di setiap terbitan edisinya. Oleh karena itu, Majalah JE juga telah memberikan kode-kode untuk memahami bagaimana kehidupan para ekspatriat dan mengidentifikasi siapa ekspatriat itu, sehingga suatu representasi tidak pernah terlepas


(34)

dari realitas sosial yang melingkupi hubungan subjek dengan objek – produsen media dengan konsumen media.

Representasi juga merekatkan semua tanda menjadi suatu makna. Makna pun bersifat subjektif, tidak pernah tetap, selalu berubah dan selalu bergerak. Mengenai persoalan makna ini, Hall mengajukan tiga pendekatan untuk melihat bagaimana suatu makna dapat bekerja melalui bahasa, yakni reflective approach, intensional approach,

dan constructionist approach.8 Namun demikian, pendekatan konstruksionis adalah suatu pendekatan yang dapat dinilai lebih dekat dengan wilayah Kajian Budaya. Karena suatu makna pada dasarnya tidak terkandung begitu saja dalam sebuah tanda, tetapi dipahami sebagai sesuatu yang terkonstruksi ketika makna tersebut ditafsirkan oleh penafsir yang juga memiliki serangkaian konsep sesuai dengan budaya yang dimilikinya.

Dalam pendekatan konstruksionis atau yang biasa juga dapat disebut sebagai konstruktivis menjelaskan bahwa suatu makna terkonstruksi di dalam sebuah bahasa. Makna dibangun melalui sistem bahasa dengan menggunakan konsep representasi. Hal ini dilakukan untuk membuat suatu kata menjadi penuh makna dan dapat menyampaikannya kepada yang lain. Dalam pendekatan konstruksionis ini, ekspatriat dapat dipahami oleh siapapun dalam kaitannya untuk mengetahui dan mengerti apa dan siapakah ekspatriat yang dihadirkan dalam media. Dengan kata lain, ekspatriat dapat dipahami sebagai konstruksi sosial. Oleh karena itu, melalui pendekatan konstruksionis, Majalah JE dapat dipahami sebagai bagian dari sebuah bangunan dan menjadi ruang representasi sekaligus melegitimasi ekspatriat.

8


(35)

Meskipun representasi bukan sebuah kebenaran tunggal, namun representasi akan terus menjadi upaya konstruksi tanpa batas akhir. Representasi ekspatriat di dalam media telah memperlihatkan konsep mereka terhadap diri dan lingkungannya, khususnya bagi para pembaca Majalah JE. Dalam hal ini, ekspatriat membicarakan seputar diri mereka dan membedakan diri mereka dengan orang lain. Karenanya, pembaca dapat mengetahui bagaimana mereka menyikapi stereotipe-stereotipe yang ada di dalam masyarakat lokal terhadap orang asing, seperti sebutan bule yang sering ditujukan kepada orang kulit putih. Dengan demikian, representasi ini tentunya akan berkaitan dengan sistem representasi yang ada di dalam suatu masyarakat.

Seperti yang telah penulis singgung sebelumnya, representasi tentunya selalu terkait dengan identitas. Untuk dapat lebih memahami persoalan representasi, penulis merujuk pada gagasan Stuart Hall yang telah mengajukan sebuah pertanyaan reflektif dan memberikan dua cara untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut. Hall memaparkan sebagai berikut:

“Who needs ‘Identity’? …. There are two ways of responding to the question. The first is to observe something distinctive about the deconstructive critique to which many of these essentialist concepts have been subjected. …. A second kind of answer requires us to note where, in relation to what set of problems, does the irreducibilty of the concept, identity, emerge? I think the answer here lies in its centrality to the question of agency and politics.” (Hall, 1996:2)

Dari uraian yang telah dipaparkan oleh Hall di atas, pemahaman mengenai identitas selalu berupaya untuk menemukan sifat anti-esensialis, memperlihatkan suatu proses konstruksi budaya, dan menyatakan bahwa tidak pernah ada konstruksi identitas yang sempurna. Bagi Hall, cara pertama untuk menemukan jawaban dari pertanyaan, ‘Siapa yang membutuhkan Identitas?, adalah mengamati sesuatu yang bercirikan khusus mengenai kritik dekonstruksi untuk membongkar konsep identitas yang esensial. Cara kedua adalah mengetahui dari mana konsep identitas muncul. Oleh karena itu, Hall


(36)

memberikan sebuah jawaban, yakni meletakkannya pada sentralitas untuk kembali mempertanyakan agensi dan politik. Politik, bagi Hall, dimaknai sebagai gerakan dari penanda identitas yang menghubungkan sebuah lokasi politik. Sementara itu, Hall mengungkapkan bahwa agensi adalah perantara untuk memberikan pengertian kepada subjek atau identitas sebagai gagasan dari praktik sosial, atau untuk mengembalikan sebuah pendekatan yang historis. Dengan kata lain, persoalan politik identitas muncul.

Di samping itu, Stuart Hall juga menegaskan bahwa identitas merupakan sesuatu yang secara aktual terbentuk melalui proses tidak sadar yang melampaui waktu, bukan kondisi yang terberikan begitu saja dalam kesadaran semenjak lahir. Di dalam identitas terdapat sesuatu yang bersifat imajiner atau difantasikan mengenai keutuhannya, dimana identitas menyisakan ketidaklengkapan, selalu dalam proses dan sedang dibentuk (Hall, 1996:4). Singkat kata, Hall mengemukakan bahwa identitas merupakan suatu proses yang tidak pernah utuh atau sempurna dan tidak pernah akan berakhir.

Dengan demikian, gagasan yang telah diajukan oleh Hall untuk menguraikan persoalan identitas dan representasi dapat diejawantahkan dalam penelitian ini, khususnya dalam membahas fenomena orang kulit putih yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat. Hal ini disebabkan ekspatriat sebagai identitas merupakan sebuah upaya dari konstruksi sosial, yang mana di dalamnya juga terdapat berbagai muatan seperti imajinasi dan fantasi akan orang kulit putih yang pernah hadir di Indonesia sebelumnya. Oleh karena itu, setelah membahas persoalan identitas beserta representasinya, penelitian ini selanjutnya melangkah untuk menganalisis ekspatriat dengan perspektif pascakolonial.

F.2. Pascakolonial

Bill Ashcroft, Gareth Griffins dan Helen Tiffin dalam buku The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial Literatures (1990:2), menjelaskan bahwa


(37)

penggunaan istilah ‘pasca-kolonial’ adalah untuk merujuk pada seluruh budaya yang terpengaruhi oleh proses imperial sejak saat terjadinya kolonisasi hingga hari ini. Oleh karena itu, penulis menggunakan perspektif pascakolonial dalam penelitian ini untuk menganalisis persoalan representasi ekspatriat dan beragam muatan wacana kolonial yang terdapat di dalam Majalah JE, terutama didasarkan pada imaji dan teks mengenai Indonesia yang tersajikan di dalam Majalah JE.

Di balik imaji dan teks tersembunyi wacana tertentu. Dengan melihat sajian yang disuguhkan oleh para ekspatriat di dalam Majalah JE, dapat dicermati bahwa terdapat kecenderungan wacana kolonial yang bertebaran. Ada yang mengangkat ingatan mengenai kolonialisme di Indonesia, dan ada pula yang turut memberikan pandangan tentang Indonesia masa kini, pasca-kolonial. Dengan kata lain, para ekspatriat tengah memberikan dan menghasilkan pelbagai macam wacana kolonial kontemporer. Dengan demikian, perspektif pascakolonial pada penelitian ini penulis pergunakan sebagai cara baca untuk memahami, mengkritisi, dan menganalisis terkait wacana kolonial atas ragam imaji dan teks mengenai Indonesia yang diberikan oleh para ekspatriat.

Selanjutnya, rujukan perspektif pascakolonial ini penulis bagi menjadi dua pendekatan teori, yaitu Wacana Kolonial dan Ruang Ketiga. Pertama, teori Wacana Kolonial ini dipergunakan untuk dapat menganalisis beragam konten yang tersaji di dalam Majalah JE, seperti imaji dan teks.Kedua, teori Ruang Ketiga dipergunakan untuk dapat memberikan tafsiran identitas ekspatriat atas ambivalensi dan hibriditas yang dialami oleh para ekspatriat melalui teks yang termuat di dalam Majalah JE.

F.2.1. Wacana Kolonial

Dalam Kajian Pascakolonial, teori Wacana Kolonial ini berangkat dari pemikiran Edward Said, Orientalism (1978),yang sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Michel


(38)

Foucault untuk dapat mengidentifikasi mekanisme Orientalisme. Ashchroft menegaskan bahwa Said berupaya memperlihatkan bagaimana wacana kolonial dapat dioperasikan sebagai instrumen kekuasaan para penjajah, bahkan wacana kolonial telah menjadi kompleks tanda dan praktek yang mengatur eksistensi sosial dan reproduksi sosial dalam hubungan kolonial (1998:42).

Selanjutnya, Bill Ashcroft juga menjelaskan bahwa teori wacana kolonial dalam pandangan Said merupakan teori untuk menganalisis wacana kolonialisme dan penjajahan. Selain itu, teori wacana kolonial juga dapat dijadikan sebagai suatu cara untuk menemukan kekaburan wacana yang mendasari tujuan adanya penjajahan, baik politis dan material, hingga menunjukkan ambivalensi dari wacana tersebut, yang mana turut melakukan konstruksi subjek penjajah dan terjajah (1999:15).

Di samping itu, wacana kolonial juga dapat dimaknai sebagai suatu sistem laporan yang dibuat oleh kolonial tentang masyarakat kolonial, yang di dalamnya termasuk perihal kekuasaan dan hubungan antara keduanya, penjajah dan terjajah. Sistem ini menjadi suatu pengetahuan tentang dunia terjajah (Anscroft, 1999:60). Oleh karena itu, Said berupaya untuk menunjukkan sejauh mana ‘pengetahuan’ tentang ‘Timur’sebagaimana dihasilkan dan diedarkan di Eropa itu merupakan pengiring ideologis dari ‘kekuasaan’ kolonial (Loomba, 2000:43). Dengan demikian, teori wacana kolonial pada penelitian ini digunakan untuk menemukan makna maupun rekonstruksi wacana mengenai Timur yang tersajikan di dalam Majalah JE oleh para ekspatriat.

Merujuk pada pandangan John McLeod (2000:32) yang mengemukakan bahwa teori wacana kolonial pada dasarnya adalah ingin memperlihatkan kolonialisme telah mempengaruhi berbagai mode representasi. Untuk itu agar dapat memahami lebih jelas wacana kolonial terkait dengan pengetahuan dunia terjajah, McLeod telah memberikan


(39)

penjelasan yang cukup sistematis dalam membaca wacana kolonial berdasarkan karakteristik dan stereotipe tentang Orientalismenya Edward Said. McLeod memberikan suatu pemetaan wacana kolonial tersebut sebagai berikut:9

Bentuk Orientalisme yang dirangkum oleh McLeod, diantaranya, pertama,

Orientalism construct is binary divisions,artinya oposisi biner menjadi cara pandang yang paling fundamental dalam melihat dunia, membaginya menjadi dua, yaitu dunia Barat dan Timur; di dalamnya terdapat perbedaan seperti, Barat yang beradab, rasional, maju, sedangkan Timur yang primitif, irasional, berkembang atau terbelakang. Kedua,

Orientalism is a Western Fantasy, yakni menggambarkan Timur sebagai mimpi-mimpi Barat, bahkan di dalamnya terdapat fantasi dan beragam asumsi yang memiliki perbedaan radikal, seperti Timur sebagai tempat yang sangat berbeda dengan Barat. Ketiga,

Orientalism is an institution, dalam hal ini Timur ditempatkan sebagai suatu kajian ilmu yang dipelajari di Barat, sehingga kalangan Barat mendapatkan pengetahuan tentang Timur. Keempat, Orientalism is literary, maksudnya adalah para kalangan Barat menjadikan Timur sebagai sumber literatur, dan membuatnya sebagai kumpulan tulisan di berbagai bidang, seperti, filologi, lexikografi, sejarah, politik, ekonomi maupun novel hingga lirik puisi. Dan kelima, Orientalism is legitimating, terkait dengan berbagai unsur yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka menjadi suatu hal yang lumrah bagi Barat untuk melakukan dominasi dan mendudukkan Timur, khususnya pada masa penjajahan atau kolonialisme, yang mana Barat dapat membuat berbagai aturan kolonial di tanah Timur.

McLeod juga memberikan pemetaan mengenai stereotipe Orientalisme menjadi beberapa bagian. Pertama, the Orient is timeless, yang mana Timur ditempatkan sebagai subjek yang tidak mengalami kemajuan seperti Barat. Kedua,the Orient is strange,Timur

9


(40)

dianggap sebagai yang aneh atau asing, sehingga tidak normal dan berbeda dari kebiasaan manusia Barat. Ketiga, the Orient makes assumptions about ‘race’, dalam representasi Barat orang Timur sering diperlihatkan sebagai ras dengan beragam stereotipe maupun karakter. Keempat, the Orient is feminine,Timur diibaratkan atau ditempatkan oleh Barat sebagai perempuan yang memiliki sifat pasif, eksotik, dan menggoda. Serta yang kelima adalah the Oriental is degenerate, Barat telah membuat Timur seakan butuh untuk diperadabkan karena memiliki kemorosotan moral.

Adanya pandangan Edward Said tentang wacana kolonial juga telah mendapat sambutan dari Homi K. Bhabha. Bagi Bhabha (1994:66) wacana kolonial dapat dipahami sebagai sebuah fitur ketergantungan pada sebuah konsep 'ketetapan' dalam mengkonstruki ideologi terhadap yang lain. Bahkan, ketetapan ini dijadikan sebagai tanda perbedaan budaya, sejarah maupun ras dalam tatanan wacana. Dengan demikian, kolonialisme dipahami sebagai sebuah mode paradoks representasi, yang di dalamnya terdapat beragam wacana.

Selanjutnya, Bhabha (1994:70) menjelaskan bahwa tujuan wacana kolonial adalah untuk menafsirkan posisi terjajah sebagai sebuah populasi ras yang dianggap rendah dan berupa bentuk penaklukan sehingga dapat menetapkan berbagai sistem administrasi dan aturan. Dengan demikian, Bhabha beranggapan bahwa wacana kolonial dapat dipahami sebagai strategi untuk membedakan antara penjajah dan terjajah, dimana strategi ini mengandung sejumlah ambivalensi dan pertentangan. Terkait dengan adanya ambivalensi, Bhabha juga berupaya untuk mengajak kita agar memiliki suatu pemahaman baru, yakni dengan melepaskan oposisi biner di masa pasca-kolonial – penjajah dan terjajah, Barat dan Timur – dan masuk ke dalam Ruang Ketiga. Karenanya, melalui penelusuran di dalam Ruang Ketiga ini terdapat suatu ruang pertemuan antar identitas.


(41)

F.2.2. Ruang Ketiga

Homi K. Bhabha mengemukakan bahwa dikotomi penjajah-terjajah telah memasuki sebuah ‘ruang baru’ dengan munculnya kondisi pasca-kolonial. Dalam masyarakat kontemporer, ruang baru tersebut dapat dimaknai sebagai penghilangan dikotomi penjajah-terjajah secara eksplisit. Oleh karena itu, adanya kehadiran orang kulit putih di masa pasca-kolonial yang merepresentasikan diri sebagai ekspatriat telah memasuki ruang baru dalam perjumpaannya dengan masyarakat Indonesia.

Sementara itu, yang dimaksudkan oleh Bhabha mengenai ruang baru di masa pascakolonial bukanlah sembarang ruang. Untuk dapat mengetahuinya secara jelas, Bhabha telah mengajukan sebuah model liminalitas guna dapat menghidupkan ruang persinggungan antara teori dan praktek kolonisasi dalam upaya menjembatani hubungan timbal balik di antara keduanya. Adanya ruang liminal adalah sebuah ruang yang menggambarkan tempat pertemuan antara penjajah-terjajah. Ruang ini menjadi tempat proses interaksi simbolik yang melepaskan antara posisi atas (upper space) dan posisi bawah (lower space), superior dan inferior. Ruang liminal ini selalu bergerak bebas, temporal dan sebagai ruang yang memungkinkan untuk terciptanya hibriditas. Dengan demikian, ruang liminal ini telah mencegah identitas berada di kedua ujung dari ketetapan polaritas primordial masing-masing, sehingga ruang liminal menjadi bagian interstitial

atau celah sebagai identifikasi yang tetap membuka kemungkinan hibriditas budaya, dan dimaksudkan untuk mencari pemaknaan identitas di masa pasca-kolonial.

Selanjutnya, bagi Bhabha, liminalitas memerlukan semacam ‘Ruang Ketiga’

(Third Space) yang terbentuk melalui penolakan terhadap oposisi biner, kepastian atau determinasi pada salah satu titik biner. Bhabha (1994:35) berpendapat bahwa Ruang Ketiga sebagai “zona ketidaktentuan di mana masyarakat muncul” (the zone of occult


(42)

instability where the people dwell). Di dalam Ruang Ketiga inilah struktur makna dan referensi merupakan sebuah proses ambivalensi, yang menghancurkan cermin representasi dan memperluas kode pengetahuan. Ruang Ketiga menciptakan kondisi wacana ucapan yang memastikan bahwa makna dan simbol budaya tidak memiliki kesatuan atau ketetapan primordial (fixity); bahkan tanda-tanda yang sama dapat digunakan, ditranslasi, di-sejarah-ulangkan dan dibaca baru (Bhabha 1994:37).

Melalui Ruang Ketiga, pencarian identitas secara ideal berlangsung menjadi suatu proses yang tidak pernah berhenti dan senantiasa mengalami perubahan yang selalu mengalir. Ruang Ketiga ini dapat dilihat seperti gerak sebuah eskalator yang (sedang) naik turun. Ruang pertama ialah ruang atas (upper space), sementara ruang kedua ialah ruang bawah (lower space). Kedua ruang ini bergerak naik turun silih-berganti memasuki Ruang Ketiga, yaitu terdapat ruang di antaranya (in between), sehingga gerakan ini merekayasa suatu identitas, menjadi satu proses terkait hubungan secara simbolik antara ruang pertama dan ruang kedua melalui ruang keluar masuk ’in between’, yaitu Ruang Ketiga.

Dalam Ruang Ketiga inilah wacana pascakolonial berlangsung memberikan tafsiran terhadap bentuk dan imaji yang dibangun melalui interaksi simbolik; daripada ruang pertama dan ruang kedua. Ruang Ketiga juga dapat dikatakan sebagai penelusuran terhadap rasa keterasingan dari dalam, dunia yang serba hibrid dan serba sibuk dengan kekeliruan imaji yang kabur dan tidak sepadan, sehingga dapat memberikan kontribusi penting bagi pemahaman perbedaan budaya. Karena itu, Bhabha berpendapat bahwa semua pernyataan dan sistem budaya yang dihasilkan dari Ruang Ketiga sebagai konstruksi subjektivitas timbal-balik, di mana adanya konstruksi subjektif ini akan menghasilkan sebuah timbal balik antara budaya etnis satu dengan yang lainnya (Sutrisno dan Putranto, 2004:145). Pada akhirnya, pergerakan atau proses pencarian identitas terus


(43)

berlangsung secara timbal-balas menuju kepada gerak kemodernan ataupun menuju gerak kesadaran tradisionalis. Dengan demikian, perspektif pascakolonial ini, pada khususnya Ruang Ketiga, dapat digunakan untuk menemukan dan memberikan tafsiran terhadap identitas ekspatriat.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analisis teks terhadap media. Secara khusus, merujuk pada Paula Saukko (2003:105), metode yang digunakan adalah postmodern texts and analysis, yakni untuk melihat fenomena sosial dan budaya dari produk media kontemporer dan wacana yang semakin patuh pada logika ‘posmodern’. Dengan mengikuti Baudrillard (1983), Sauko menjelaskan bahwa media kontemporer dapat dicirikan oleh sebuah ‘penanda mengambang’ (floating signifiers), yang mana tidak lagi mengacu pada petanda tapi penanda lain seperti teks media. Selain menggambarkan cara bagaimana menganalisis teks-teks posmodern, Sauko pun juga memeriksa gambar dalam metode ini. Dengan demikian, metode analisis ini merujuk pada pembacaan teks secara teliti dan berupaya untuk melakukan pengungkapan makna yang tersembunyi dari suatu teks dan imaji, terutama dalam memahami bahwa pada dasarnya sebuah teks tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki keterkaitan dengan kondisi sosial.

Di samping itu, metode analisis teks juga digunakan untuk dapat menggali representasi ekspatriat dan wacana kolonial yang terdapat dalam Majalah JE. Karena itu, metode ini berupaya untuk menguraikan maupun menjelaskan berbagai proses representasi para ekspatriat, karakteristik dan stereotipe mengenai Indonesia yang dihadirkan kepada para pembaca, hingga dapat memberikan suatu tafsiran identitas ekspatriat melalui Ruang Ketiga. Tanpa terkecuali, metode ini berupaya untuk menganalisis aspek material terkait


(44)

diskursus yang terbentuk secara lintas ruang dalam realitas kontemporer baik lokal maupun global.

Selanjutnya, penelitian ini tersajikan dalam bentuk kualitatif yang dikumpulkan dari teks media, dokumen, catatan lapangan, maupun beragam artikel lainnya. Secara teknis, penelitian ini melakukan penggalian data berdasarkan sumber data yang terbagi menjadi dua bagian. Pertama, data primer merupakan perolehan data yang berasal dari Majalah JE. Data primer ini berupa imaji dan teks yang terdapat di dalam Majalah JE. Di samping itu, penelitian ini juga melihat latar belakang kehadiran media dan persebarannya. Kedua, data sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari berbagai sumber bacaan, yang terdiri dari buku, catatan atau artikel dan dokumen-dokumen lainnya yang terkait dengan ekspatriat.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan serangkaian prosedur yang sistematis sehingga menyediakan data yang signifikan bagi penelitian. Pada penelitian ini penulis juga melakukan studi pustaka dengan mengumpulkan berbagai teks yang berkaitan dengan memuat wacana seputar ekspatriat. Dengan demikian, ada bentuk pendokumentasian untuk melakukan pengumpulan data, baik yang terekam dalam media, seperti tulis, cetak, maupun internet untuk menjadi sumber informasi sekaligus data yang terkait dengan kehidupan para ekspatriat di Jakarta.

H. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk lima bab. Bab I merupakan pendahuluan dari penelitian yang mencakup latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian penelitian.


(45)

Pada Bab II, penulis membahas tentang kehadiran orang asing di Indonesia pada masa kolonial dan pasca-kolonial. Melalui bab ini juga penulis berupaya memperlihatkan keberlanjutan kehadiran orang asing, khususnya orang kulit putih yang kini hadir sebagai ekspatriat, memiliki pola kesamaan seperti yang pernah dilakukan oleh para kolonialis. Selain itu, dalam bab ini penulis akan berupaya memaparkan perdebatan dan pemahaman atas identitas orang kulit putih yang acapkali disebut sebagai bule maupun ekspatriat.

Pada Bab III, penulis menarasikan beragam data mengenai para ekspatriat yang terdapat di dalam Majalah JE, baik itu seputar kisah kehadiran maupun latar belakangnya. Selain itu, pada bab ini juga, penulis akan membahas persoalan identitas sekaligus menganalisis representasi diri ekspatriat di dalam Majalah JE. Dan terakhir, penulis akan memaparkan beragam sajian yang terdapat di dalam Majalah JE,dimulai daricover photo

Majalah JE hingga ke beragam rubrik maupun artikel terkait dengan wacana kolonial mengenai Indonesia.

Selanjutnya, pada Bab IV penulis melakukan sebuah upaya analisis terkait dengan wacana kolonial kontemporer yang terdapat di dalam Majalah JE. Dalam bab ini, penulis mengaplikasikan cara baca pascakolonial yang kritis terhadap teks yang disajikan oleh para ekspatriat di dalam Majalah JE. Selain itu melalui Ruang Ketiga ala Homi Bhabha, penulis pun memberikan suatu tafsiran bagi identitas ekspatriat dengan melihat adanya hibriditas dan ambivalensi.

Dan terakhir, pada Bab V merupakan suatu rangkaian penutup dari penulis, yang di dalamnya akan disampaikan kesimpulan, saran dan kritik, termasuk sebuah refleksi kritis atas penelitian yang telah dilakukan.


(46)

BAB II

INDONESIA DAN ORANG ASING

Pada bab ini, penulis akan secara khusus membahas kehadiran orang asing kulit putih di Indonesia. Hal ini diletakkan pada sebuah latar, yakni kolonialisme yang telah dilakukan oleh bangsa Eropa di negara-negara Asia dan Afrika. Kolonialisme yang terjadi bukan hanya sekadar praktik penjajahan, melainkan juga menghasilkan pelbagai wacana terkait hubungan penjajah-terjajah. Selain itu, penulis juga membahas kehadiran orang asing di masa kini, khususnya mengenai kehadiran para ekspatriat, karena terdapat kesinambungan wacana dan praktik dari masa kolonial ke masa pasca-kolonial. Oleh karena itu, penulis akan berupaya untuk menemukan dan memperlihatkan pola kesamaan wacana atas dan praktik orang asing yang terjadi di masa kolonial dan pasca-kolonial.

A. Kehadiran Orang Asing di Nusantara

Alkisah bermula dari kedatangan bangsa Eropa pada awal abab ke-16 saat melakukan ekspansi ke luar wilayahnya seperti Asia dan Afrika. Karenanya, kehadiran bangsa Eropa telah memberikan pengaruh bagi perkembangan Nusantara. Bahkan, ketertarikan berbagai bangsa Eropa, seperti Portugis, Inggris, dan khususnya Belanda telah menjadikan Nusantara sebagai sebuah negara koloni.

Pada mulanya perdagangan menjadi titik berangkat kedatangan bangsa Eropa di Nusantara (Ricklefs, 2008:30). Hal ini didasarkan pada kebutuhan suatu wilayah yang tidak mampu menghasilkan pemenuhannya secara otonom, pada khususnya di wilayah yang acapkali berganti musim, seperti Eropa. Berkat adanya perdagangan, berbagai bangsa berhasil menciptakan arus lalu lintas transaksi antar komoditas, sehingga dapat


(47)

memperjual-belikan segala yang dihasilkan oleh suatu wilayah dengan wilayah lainnya – yang mana tidak dapat dihasilkan di wilayahnya sendiri.

Kesaksian pertama orang Eropa tentang Nusantara hingga saat ini masih tetap merujuk pada Marcopolo, ketika ia singgah selama beberapa bulan di bandar-bandar pantai utara Sumatra pada tahun 1291. Meskipun Marcopolo sudah mengunjungi Nusantara beberapa abad sebelumnya, namun persinggungan sesungguhnya baru terjadi pada awal abad ke-16, ketika orang-orang Portugis di bawah komando Alfonso de Albuquerque menetap di bandar Malaka pada tahun 1511 (Lombard, 2008a:59). Oleh karena itu, bagi banyak kalangan, kehadiran Portugis di Nusantara adalah suatu awal bagi catatan sejarah Indonesia karena telah memberikan gambaran tentang dunia Nusantara sebelum ada pengaruh Eropa mana pun.1

Bukti lain yang turut memaparkan bahwa kehadiran bangsa Eropa di Nusantara yang pertama kali adalah Portugis, juga ditegaskan oleh João de Barros melalui karya sejarahnya yang besar,Decadas da Asia,pada tahun 1539.2Di antara negara-negara Eropa lainnya, Portugis dinilai lebih unggul karena memiliki kemajuan teknologi perkapalan, ilmu pengetahuan geografi dan astronomi yang memudahkan mereka untuk melakukan petualangan dalam mengarungi samudera hingga membawa ke benua lain. Dan setibanya kehadiran orang-orang Portugis di Nusantara, khususnya di wilayah bagian Timur yang lebih dikenal sebagai kepulauan rempah-rempah, adalah untuk kepentingan perdagangan.

1

J.C. van Leur dalam C.R. Boxer. Dalam Soedjatmoko (Editor). (1995).Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar.Jakarta: Gramedia. Hal. 189.

2

João de Barros (kurang lebih pada tahun 1496-1570) dapat dinamakan sebagai sejarawan “kolonial” besar yang pertama dan seorang Orientalis perintis. Karya besarnya, Decades da Asia memaparkan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Bangsa Portugis ketika menemukan dan menaklukan lautan-lautan dan Negara-Negara Timur. Lihat C.R. Boxer, Beberapa Sumber Portugis untuk Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar, dalam Soedjatmoko (Editor). (1995). Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar. Jakarta:


(48)

Selang Portugis, Belanda kemudian hadir mewarisi inspirasi dan strategi Portugis di Nusantara. Tahun 1596 lazim dikenal, setidaknya oleh para sejarawan Eropa, sebagai tahun yang menandai kedatangan armada Belanda di perairan Nusantara untuk pertama kali di bawah pimpinan Cornelis de Houtman (Lombard, 2008a:61). Namun demikian, terdapat perbedaan di antara keduanya, Belanda melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Portugis sebelumnya. Belanda mendirikan tempat berpijak yang tetap di Nusantara, yaitu di Pulau Jawa.3 Dengan demikian, dapat digarisbawahi bahwa apa yang telah dilakukan oleh Belanda telah menandakan keberadaan orang asing yakni bangsa Eropa menetap secara permanen di Nusantara – meskipun tidak selamanya.

Atas peristiwa menetapnya orang-orang asing di Nusantara, terjadi proses peningkatan hubungan interaksi sosial antara para pedagang dengan pribumi – yang mana lebih cenderung dilakukan oleh kalangan kerajaan. Interaksi ini merupakan tindak lanjut dari hubungan perdagangan yang telah terjalin antar keduanya, khususnya pihak Belanda dengan orang-orang Nusantara. Dan seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan Belanda terhadap Nusantara, maka hubungan antar keduanya mengalami perubahan.

Selain itu, konstelasi yang terjadi di antara negara-negara Eropa turut mempengaruhi keinginan Belanda untuk menguasai Nusantara guna menjadi sumber perdagangan yang dapat menghasilkan laba. Keinginan Belanda semakin terbukti dengan lahirnya politik praktik perdagangan (Company; perusahaan, selanjutnya lebih sering dikenal atau disebut sebagai kompeni) yang diterapkan sebagai bentuk upaya peningkatan pengaruh kekuasaan Belanda di Nusantara.

3

Hal ini menjadi perbedaan fundamental antara Portugis dengan Belanda; Belanda tidak hanya membuka hubungan perdagangan, tetapi melakukan sebuah penjajahan yang berpusat di Pulau Jawa, yaitu di Batavia. Awalnya mendirikan pusat perdagangan di Banten pada tahun 1603, kemudian sebuah pos di Jaccatra pada


(49)

Bergabungnya beberapa perseroan Belanda untuk membentuk Perserikatan Maskapai Hindia Timur, VOC (Vereenig-de Oost-Indische Compagnie), di Nusantara telah menjadi pijakan awal bagi sepak terjang Belanda di Nusantara. Terlebih VOC mendapatkan kewenangan berdasarkan surat izin (oktroi) yang diberikan oleh parlemen Belanda (Staten Generaal) untuk melakukan peperangan, membangun benteng-benteng pertahanan, mengadakan perjanjian-perjanjian di seluruh Asia, dan juga mendirikan pusat penguasaan perdagangan rempah-rempah. Dengan demikian, sebagai salah satu negara Eropa yang melakukan kolonisasi di Asia dan Afrika, Belanda mulai berambisi untuk mendapatkan hasil bumi Nusantara dengan melakukan penjajahan terhadap pribumi, bermula di pulau Jawa hingga merebak ke wilayah lain.4

Suatu momentum penting terjadi di bawah pimpinan Jenderal Jan Pieterszoon Coen yang telah membuat perubahan besar atas kedudukan Belanda di Nusantara. Di bawah komando Jenderal Coen, Belanda dapat berhasil menaklukkan Jaccatra5, sehingga menjadi pusat perdagangan yang strategis di pulau Jawa, dan dipersiapkan secara terbuka untuk kalangan Eropa dan juga para pedagang Asia. Berkembang hingga tahun 1619, sang Jenderal Coen kemudian mulai menjalankan politik migrasi dengan mendatangkan orang-orang Belanda dan Cina ke Batavia (Blusse, 1988:148). Dikarenakan semakin maraknya dominasi dan penguasaan perdagangan oleh para pendatang, pada khususnya para pedagang Cina, Belanda sebagai pemegang tampuk kekuasaan pun mulai melakukan upaya penggolongan di dalam kehidupan masyarakat. Penggolongan masyarakat ini sengaja diperuntukkan bagi para pengusaha Eropa atau golongan orang kulit putih, dengan tujuan agar dapat mengamankan berbagai kepentingan perdagangan kolonial di Nusantara. Dengan demikian, penggolongan masyarakat yang dilakukan oleh Belanda adalah suatu 4

Pada tahun 1830 dimulailah masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa. Untuk pertama kalinya Belanda mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau ini. Lihat Ricklefs (2008). Hal. 259.


(50)

langkah untuk pertama kalinya dalam mengidentifikasikan masyarakat ke dalam kelompok atau golongan maupun berdasarkan identitas masing-masing di Nusantara.

A.1. Penggolongan Masyarakat Asing di Masa Kolonial

Dari permulaan penduduk Batavia yang terdiri atas beragam golongan, hidup terpisah menurut adat-istiadat masing-masing, dan saling bertemu di tengah-tengah keramaian pasar telah membuat masing-masing golongan memahatkan tempatnya sendiri-sendiri di dalam masyarakat. Pada awalnya pemerintah Hindia-Belanda menggunakan kemajemukan yang terdapat di dalam masyarakat sebagai suatu konsep ekonomi, namun dalam perkembangannya diterapkan untuk maksud-maksud sosial dan politik (Blusse 1988:7). Dengan kata lain, pemerintah kolonial telah melakukan proyek identifikasi di dalam masyarakat.

Seorang Sejarawan Niemeijer, misalnya, telah melakukan suatu upaya yang cukup menarik dalam menyajikan alur cerita tentang kondisi kehidupan masyarakat kolonial abad 17 di Batavia. Niemeijer menguraikan bahwa telah terjadi konfrontasi di dalam masyarakat yang tinggal di Batavia, antara para pendatang dengan pribumi. Para pendatang yang dimaksud adalah kalangan Eropa, India, Cina, maupun Melayu dan beberapa yang berasal dari mancanegara lainnya, sedangkan kalangan pribumi merujuk pada beberapa kerajaan di Jawa, yang mana acapkali melakukan perlawanan terhadap para pendatang, khususnya ditujukan bagi orang-orang kulit putih (Niemeijer, 2012:30).

Seiring dengan laju kehidupan sosial di dalam masyarakat yang semakin beragam, Belanda melakukan penggolongan masyarakat dengan menyematkan berbagai istilah-kata dalam kehidupan sosial. Utamanya adalah orang Eropa sebagai kalangan dengan berstatus tinggi di dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, ada pula beberapa sebutan bagi orang Eropa yang tinggal selama beberapa tahun atau sementara di Batavia, yakni Trekker


(1)

189

B. Saran

Akhir kata dari penelitian ini, penulis menyadari bahwa untuk menguraikan konstruksi, baik itu dalam persoalan identitas, representasi, maupun mengungkapkan suatu makna dari wacana yang tersembunyi dari teks masih jauh dari kesempurnaan. Penelitian yang dilakukan ini merupakan sebuah kegelisahan penulis yang dapat ditindaklanjuti untuk membawa persoalan atau fenomena ekspartiat lebih mendalam dan melihatnya dengan ragam sisi. Selanjutnya, kesimpulan-kesimpulan yang ditemukan dalam penelitian ini diharapkan dapat memantik diskusi lebih jauh. Penulis juga menyarankan agar perlu untuk melihat beragam wacana yang telah merebak melalui perangkat media, baik teknologi maupun cetak, yang mana selalu menyuguhkan infomasi hingga menyebarkan wacana di dalam arus –liar– perkembangan zaman.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alatas, S. H. (1988).Mitos Pribumi Malas.Jakarta: LP3ES.

Alonso, Andoni and Pedro J. Oiarzabal (Eds). (2010).Diasporas in the New Media Age: Identity, Politics and Community.Reno & Las Vegas: University of Nevada Press. Anthony D. King (Ed). (1991).Culture, Globalization and the World System,Binghamton:

The Macmillan Press Ltd.

Aschroft, Bill and Pal Ahluwalia. (1999).Edward Said.New York: Routledge. Aschroft, Bill. Et.all. (1998).Key Concepts in Post-Colonial Studies.London & New

York: Routledge.

Ashcroft, Bill. Et.all. (1990).The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial Literatures.London: Routledge.

Baay, Reggie. (2010).Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu.

Barthes. Roland. (1977).Image/Music/Text; Essay selected and translated by Stephen Heath. London: Fontana Press.

Bhabha, H. K. (1994 ).The Location of Cultue .New York : Routledge.

Blackburn, Susan (2011). Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup - Komunitas Bambu.

Blusse, L. (1988).Persekutuan Aneh(Bahasa Indonesia ed.). Jakarta: Pustazet Perkasa. Bongie, Chris. (1991)Exotic Memories: Literature, Colonialism, and the Fin de Siecle.

Standford: Standford University Press.

Burges, Anthony. (1956).Time for a Tiger.United Kingdom: Heinemann.

Dahm, Bernhard. (1987).Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan.Jakarta: LP3ES Desler, Gary. (2002).Human Resource Management, International Edition, 8th Ed. New

Jersey: Prentice Hall, Inc., Upper Saddle River.

Du Gay, Hall. Et.all. (1997).Representation: Cultural Representation and Signifying Practices.London: SAGE Publications.

Eriyanto. (2001).Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara


(3)

Fanon, Frantz. (1986).Black Skin, White Masks.Translated by Charles Lam Markmann. United Kingdom: Pluto Press.

Fecther, A. M. (2007).Transnational Live Ekspatriat in Indonesia.England: Ashgate. Gouda, Frances. (2007).Dutch Culture Overseas; Praktik Kolonial Di Hindia Belanda,

1940-1942.Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Grossm, Yvone (2005).Common Problems Associated with the Repatriation Process. Sam Houston State University

Gurevitch, M. T. Bennet, J. Curran and J. Woolacott (Eds.).Culture, Society and the Media.London: Metheun.

Hall, Stuart (Ed). (1980).Culture, Media, Language: Working Papers in Cultural Studies,1972-1979. London: Hutchinson.

Hall, Stuart. (1990).Identity: Community, Culture and Difference.London: Lawrence and Wishart.

Hall, Stuart and Du Gay, P (Eds). (1996).The Questions of Cultural Identity. London: SAGE Publications

Hannigan, Tim. (2012).Raffles and the British Invasion of Java.Monsoon Books. Hill, Charles W.L (2002).Global Business. Second Edition. McGrow-Hill.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Kartodirjo, S. N. (1975).Sejarah Nasional Indonesia.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kellner, M. G. (2006 ).Media and Cultural Studies(Revised Edition).USA: Blackwell Publishing.

Lombard, Dennys. (2008).Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 1, Batas-Batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Loomba, Ania. (2000).Colonialism/Postcolonialism.New York: Routledge.

Mann, Richard. (1997).Expats in Indonesia; Guide to Living Conditions and Costs.

Gateway Books.

McLeod, John. (2000).Beginning Postcolonialism.United Kingdom: Manchester Univesity Press.

McLuhan, Marshal. (1999).Understanding Media, the Extension of Man.London: The MIT Press.


(4)

Niemeijer, H. E. (2012).Batavia, Masyarakat Kolonial abad XVII .Jakarta: Masup Jakarta.

Phillpot, Simon. (2000).Rethingking Indonesia. London: Macmillan Press Ltd. Ricklefs, M.C. (2008).Sejarah Indonesia Modern.Jakarta: Serambi

Rafick, Ishak. (2008).Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia.Jakarta: Ufuk Press Said, Edward. (1978).Orientalism.New York: Vintage Books.

Said, Edward. (1993).Culture and Imperialism.London: Chatto & Windus Ltd.

Sauko, Paulo. (2003).Doing Research in Cultural Studies.London: SAGE Publications. Soedjatmoko (Ed). (1995).Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar.Jakarta:

Gramedia.

Sunardi, St. (2004).Semiotika Negativa.Yogyakarta: Buku Baik.

Susanto, Budi (Ed). (2003).Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia.Yogyakarta: Kanisius.

Sutrisno, Mudji dan Hendra Putranto (Ed). (2004).Hermeneutika Pascakolonial Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius

Taylor, Jean Gelman. (2003).Indonesia: Peoples and Histories.New Haven: Yale University Press.

Wallacott, Janet (ed.), Et.all. (1992).Culture, Society, and the Media.London: Methuen.

Yulianto, Vissia Ita. (2007).Pesona ‘Barat’ di Indonesia.Yogyakarta: Jalasutra. Young, J.C. R. (2004).White Mythologies: Writing History and the West.London and

New York: Routledge.

Penelitian dan Jurnal

Al Musadieq, Mochammad. (2010).Ekspatriat dan Industri Lintas Negara.Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang.

Apriyogo, Dwi. (2013).Strategi Pengembangan Ekspatriat dalam Internasionalisasi PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk.Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.

Cannon, R. A. (1991).Expatriate ‘Expert’ In Indonesia and Thailand: Professional And Personal Qualities for Effective Teaching and Consulting.International Review of Education. Springer.


(5)

Hornby. (1987).The Case of the Aggrieved Expatriate: Case Analyses.

HSBC Expat. (2013).HSBC Expat Explorer Survey.

Nevendorff, Laura. (2008).Hubungan Kepemimpinan Ekspatriat dengan Budaya Organisasi di Lembaga Donor IHPCP-AusAID di Jakarta, Indonesia.Skripsi Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Jakarta. Puspitasari, Intan, dkk. (2014). Analisis Gaya Kepemimpinan Lintas Budaya Ekspatriat (Studi Penelitian pada PT. Haier Sales Indonesia, Jakarta Utara). Dalam Jurnal Administrasi Bisnis (JAB) Vol. 8 No. 1 Februari 2014 Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang.

Soares, Hernani Agostinho. (2013).Adaptasi Budaya Para Ekspatriat di Timor Leste.

Program Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Kristen Satya Wacana Semarang.

Upton, S.R. (1998).Expatriates in Papua New Guinea: Constructions of Expatriates in Canadian Oral Narratives. The Faculty of Graduate Studies, Department of Anthropology and Sociology University of British Columbia.

Media/Majalah

Jakarta Expat 42thEdition Jakarta Expat 49thEdition Jakarta Expat 50thEdition Jakarta Expat 51thEdition Jakarta Expat 52thEdition Jakarta Expat 54thEdition Jakarta Expat 56thEdition Jakarta Expat 57thEdition Jakarta Expat 59thEdition Jakarta Expat 60thEdition Jakarta Expat 63thEdition Jakarta Expat 66thEdition Jakarta Expat 71thEdition Jakarta Expat 72thEdition Jakarta Expat 74thEdition


(6)

Jakarta Expat 78thEdition Jakarta Expat 79thEdition Jakarta Expat 80thEdition Jakarta Expat 84thEdition Jakarta Expat 94thEdition Jakarta Expat 96thEdition Jakarta Expat 101stEdition Indonesia Expat 111thEdition Indonesia Expat 116thEdition Indonesia Expat 120thEdition

Situs Internet

http://en.wiktionary.org http://ppid.depnakertrans.go.id http://www.alfredwallace.org

https://www.expatexplorer.hsbc.com http://www.expat.or.id

http://www.etnohistori.org

http://www.gangs-of-indonesia.com http://www.indonesia.go.id

http://www.investor.co.id http://www.indonesiaexpat.biz http://www.jakartaexpat.biz http://www.jogjamag.com

http://www.kerajaannusantara.com http://sains.kompas.com

http://www.merriam-webster.com https://www.nla.gov.au

http://www.savoyhomann-hotel.com http://www.tribunnews.com

http://www.wallace-online.org