Rangkaian Prosedur Konotatif Ekspatriat, Melanggengkan Wacana Kolonial

118 yang ditampilkan seakan dipahami sebagai denotasi yang murni atas kondisi realitas, sehingga foto tersebut telah memberi deskripsi atas kondisi sosial. Padahal secara pemahaman konotasi, pernikahan campur memiliki beragam latar belakang. Foto ini juga bukan merupakan suatu foto traumatis karena terdapat artikel pada foto yang memaparkan tentang pernikahan campur di Indonesia. Konotasi yang dimuat dalam Majalah JE bersifat ‘perseptif’ yang merupakan bersifat pengandaian. Mode konotasi lain yang bersifat khusus adalah konotasi ‘kognitif’ yang penandanya terbatas pada bagian-bagian analogon tertentu. Dengan demikian, pembaca dapat melihat lebih mendalam terhadap pemaknaan foto melalui pengetahuan teori fotografi. Melalui foto ini dapat dipahami bahwa Majalah JE berupaya untuk menghubungkan keberadaan objek foto pernikahan campur pada masa kolonial dengan kondisi saat ini.

f. Kekeliruan Teks pada Imaji

JE memberikan teks foto pada edisi 42 dengan keterangan “an early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldier and a girl from Purworedjo. Seperti yang telah penulis sampaikan sebelumnya bahwa foto ini mengingatkan pada cover buku Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Baay menjelaskan bahwa foto tersebut adalah Djoemiha bersama keluarganya. Dan foto tersebut dibuat sekitar tahun 1918. Menurut penjelasan yang disediakan oleh Baay dapat diketahui bahwa foto tersebut memuat potret Djoemiha Noerwidjojo yang berasal dari Gombong dan diperkirakan lahir pada tahun 1891. Djoemiha meninggalkan kampung halamannya dan pergi mencari pekerjaan ke Bandung pada 1908. Djoemiha pun akhirnya bekerja di sebuah warung makan di tepi jalan antara Cimahi dan Bandung.Sang laki-laki dalam foto adalah Alfred Wilhem, lahir di Hamburg, Jerman pada 12 Oktober 1886. Pertama kalinya 119 Wilhem tiba di Batavia pada tahun 1910 saat bekerja pada sebuah perusahaan Jerman. Setelah berhenti dari pekerjaannya, ia pun ingin mencoba peruntungannya di koloni Belanda. Wilhem mengajukan permohonan menjadi warga negara Belanda dan memutuskan untuk bergabung dengan KNIL. Lalu Wilhem ditempatkan dalam pasukan Zeni di Cimahi. Dan di Cimahi pula Wilhem dan Djoemiha dipertemukan di sebuah warung makan. Selanjutnya, Wilhem meminta Djoemiha untuk menjadi moentji sebutan bagi nyai atau gundik pribumi di dalam tangsi-tangsi tentara kolonial, hingga pada tahun 1915 dan 1916 mereka memperoleh dua orang anak yaitu sepasang anak laki-laki dan perempuan Baay, 2010:247. Dari pemaparan yang disajikan oleh Baay, maka dapat diketahui bahwa teks foto yang terdapat pada JE edisi ke 42 tersebut adalah sebuah kekeliruan. Majalah JE mendeskripsikan foto hanya sebagai “an early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldier and a girl from Purworedjo. Padahal, jika merujuk kepada masa kolonial pergundikan tidak sama dengan sebuah pernikahan. Pergundikan tidak tercatat sebagai pernikahan yang sah dalam hukum. Bahkan, mengenai persoalan pergundikan, perempuan pribumi tidak mendapatkan hak yang penuh sebagai istri maupun seorang ibu atas anak yang lahir dari suami yang bukan pribumi. Oleh karena itu, artikel yang disematkan pada foto an early mixed marriage in 1845 between a Dutch KNIL soldier and a girl from Purworedjo merupakan sebuah absurditas. Sementara itu, jika merujuk pada Baay diketahui bahwa penjelasan mengenai foto tersebut dapat dipahami dengan cukup baik; mulai dari keterangan objek di dalam foto, awal muasal pertemuan hingga kisah perjalanan hidup. Selain itu, Baay juga telah melakukan upaya dokumentasi dengan cukup baik mengenai pergundikan yang dialami Djoemiha. Dengan demikian, Majalah JE telah mengalami kesalahan, yang mana sumber