Alat-alat Menangkap Ikan di Laut

4.5.1 Alat-alat Menangkap Ikan di Laut

Suku Melayu di Aras Kabu ini, dalam rangka menangkap ikan-ikan di laut menggunakan teknologi tradisional dan modern. Teknologi tradisional adalah alat diwarisi secara turun-temurun. Sementara teknologi modern umumnya dipandang telah menggunakan teknologi terkini dengan berbasis mesin, seperti penggunaan perahu bermesin, dengan solar sebagai bahan bakar utamanya. Adapun alat-alat tradisional untuk menangkap ikan, yang diwarisi oleh para nelayan di Desa Aras Kabu ini adalah: jarring tancap, ambai, jarring apolo, langgei laying, sondong, lukah bubu, tangkul kepiting, pancing rawai, pukat jerut, dan lain- lainnya. Menurut penjelasan para informan narasumber setiap alat penagkap ikan di laut ini digunakan berdasarkan kepentingannya. Jaring tancap yang disebut juga dengan insang hanyut, karena jaring ini khusus digunakan untuk menjerang belakang lobang penutup insang ikan. Pada saat operasi penangkapan dijalankan jaring tancap ini dihanyutkan searah dengan arus air laut. Di Aras Kabu dan lainnya di pesisir Deli Serdang ada dua jenis jaring insang hanyut yaitu jaring satu lapis dan jaring tiga lapis. Jaring selapis adalh jaring tancap yang dibuat dari bahan tali tangsi atau tali kail, disebut juga benang atom. jaring ini membentuk segi enpat, panjangnya sekitar 40 meter, lebarnya tergantung dari jenis ikan yang akan ditangkap. Begitu juga dengan luas mata jaringnya. Jika digunakan untuk menangkap udang, maka jaring adalah satu sampai dua sentimeter dan untuk menangkap kepiting antara empat sampai enm sentimeter. Jaring apolo adalah jenis jaring hanyut yang terdiri dari tiga lapis. Dua dari lapisan luar jaring ini mempunyai mata jaring yang kasar, yaitu sebesar empat sampai sembilan sentimeter. Mata jaring pada lapisan sebelah dalam adalah setengah hingga dua sentimeter. Oleh karena itu, ikan dan udang akan tersangkut pada jaring di sebelah Universitas Sumatera Utara dalam. Para nelayan di Desa Aras Kabu suka menmakai jenis jaring apolo ini untuk menangkap udang. Panjang jaring adalah sekitar 40 meter dengan lebar 1,5 meter. Selanjutnya ambai adalah salah satu jenis alat penangkap ikan yang digunakan para nelayan di kawasan ini yang dapat diklasifikasikan sebagai alat penghadang ikan. Ambai berbentuk kantong yang divbuat dari benang atom atau kail. Mulutnya berukuran 3 kali 5 meter, serta panjangnya sekitar 7 meter. Kedua sisi mulut ambai terdapat kudang, yaitu alat untuk menyangkutkan ambai pada tiangnya, yang biasanya terbuat dari kayu pinang atayu kayu nibung. Tiang ini dipacakkan pada tepian pantai dan paluh. Dalam setiap dua tiang ambai terdapat satu pintu. Langgei layang adalah jaring dorong, yang cara bekerjanya digunakan dengan menggunakan boat. Cara menggunakan alat ini ialah dilayang-layangkan. dalam operasionalnya lenggei layang ini menggunakan takal atau katrol yang dijalankan dengan mesin pada boat. Tangkai lanngei layang biasanya dibuat dari kayu atau bambu bersilang yang berukuran enam sampai tujuh meter. bagian mulut lanngei berbentuk segitiga sama sisi yang panjang setiap sisinya adalah lima meter. Di sisi lain, sondong mertupakan alat penangkap ikan yang banyak digunakan oleh nelayan pantai di Nusantara. Di Borneo Kalimantan alat ini disebut sangkut, di Sulawesi anggo, di Ambon tanggo. Cara penggunaan alat ini tidak memerlukan boat, karena nelayan bisa menolaknya sendiri. Sondong memiliki bingkai yang terbuat dari kayu atau bambu, berukuran tiga meter. Lukah atau bubu adalah alat penangkap ikan yang dikategorikan sebagai perangkap. Bentuk lukah biasanya berbeda-beda menurut tempat penghasil lukah tersebut. Ada yang berbentuk sangkar, gendang, segi tiga, dan bulat. Di pantai Deli Serdang umumnya bubu ini berukuran 70 sampai 110 sentimeter panjangnya dan 30 sampai 70n sentimeter lebarnya. Lukah dibuat dari bambu yang dianyam sedemikian Universitas Sumatera Utara rupa. Setiap lukah ini diberi tali sepanjang 3 meter. Tali ini diikatkan pada kayu yang dipacakkan dan juga sebagai tanda posisi di mana ia diletakkan. Tangkut kepiting termasuk ke dalam kategori jenis jaring angkat. Alat ini dibuat khusus untuk menangkap kepiting ketam, terutama yang disebut oleh para nelayan sebagai kepiting kelapa. Tangkul kepiting dibuat dari tali tangsi, dan mata jaringnya berukuran empat samapi enam sentimeter. jaring tangkul kepiting ini berbentuk segi empat, setiap sisinya berukuran setengah meter, diberi bingkai bambu atau rotan. masing-masing sudut dihubungkan secara bersilang dengan rotan yang melengkung. Alat lainnya yaitu pancang rawai adalah alat penangkap ikan yang dibuat dari bahan dasar seutas tali kajar, yang anjangnya sekitar 100 meter. Pada setiap setenah meter terdapat tali cabang, yang diikatkan mata pancing kail yang dilekati umpan, berupa ikan kecil. mata kail yang ada pada rawai ini berjumlah 200 sampai 300 buah. Salah satu ujung talinya diberi batu pemberat, sementara ujung tali yang satu lagi diikatkan pada sampan aau perahu. Alat penangkap ikan pukat jerut, biasanya digunakan oleh para nelayan yang menjadi pekerja di kapal pukat. Pukat jerut ini dikenal juga sebagai pukat cincin, karena jaringnya berbentuk empat persegi panjang, mempunyai pemberat pelampung dan cincin yang dibuat dari tembaga. Bagian ini bisa ditarik atau dijerutkan untuk membentuk lingkaran yang mampu mengurung kelompok ikan. Pukat jerut ini adakalanya disebut juga dengan pukat langgar. Nama ini berasal dari waktu menangkap ikan, jaring tersebut harus dilanggarkan kepada sekumpulan ikan, hingga ikan-ikan tersebut terkumpul dan selanjutnya terkurung. Universitas Sumatera Utara

BAB V ANALISIS SEMIOTIKA

MANTRA MELAUT Bab V ini adalah bab ini yang secara rinci merupakan temuan penelitian. Analisis yang dikerjakan mencakup a analisis semiotika pelaksanaan ritual mantra melaut, dan b kemudian secara linguistik kebudayaan dianalisis pula secara khusus lirik mantra melaut yang diucapkan oleh para nelayan, yang dipimpin oleh seorang nelayan ketua, tetapi tidak mau disebut dengan bomoh. Seperti sudah disebutkan sebelumnya untuk mengkaji mantra melaut dalam kebudayaan Melayu Aras Kabu digunakan teori semiotik sosialnya Halliday yang disebut juga dengan Linguistik Sistemik Fungsional LSF. Selanjutnya untuk mengenalisis lirik mantra melaut yang diguanakan para nelayan Melayu Aras Kabu dalam kegiatan sosioekonominya, penulis menggunakan teori semiotika yang ditawarkan oleh Michael Riffaterre. Teori semiotika yang dikemukakannya ini sering juga disebut dengan teori semiotika puisi. Sesuai dengan arahan Riffaterre, maka penulis akan nelaksanakan: pertama, pembacaan heuristik, yaitu pembacaan tingkat pertama yait memahami makna mantra melaut secara linguistic. Kemudian kedua, penulis melakukan pembacaan hermeneutik, yaitu menginterpretasi makna mantra melaut secara utuh dan integral. Dengan cara kerja analisis seperti itu, maka akan didapatkan hasil penelitiasn ini dalam dua lingkup semiotika. Untuk mempertajam analisis semiotik sosial dan lirik kajian ini juga dilengkapi dengan analisis semiotikanya Peirce, yang memperhatikan tiga unsur dalam semiotika yaitu: representamen R, obejk O, dan interpretan I. Dengan mensintesiskan ketiga pendekatan semitoik ini diharapkan akan menghasilkan makna-makna di balik aktivitas verbal dan visual sekali gus. Universitas Sumatera Utara