Rangkuman Tiga Teori Semiotika untuk menganalisis Mantra Melaut

2.5.5 Rangkuman Tiga Teori Semiotika untuk menganalisis Mantra Melaut

Dari uraian-uraian seperti di atas, maka sebenarnya semiotika itu sebuah teori yang luas dan digeluti oleh para ahli dan berbagai bidang disiplin ilmu. Namun inti dari teori semiotika ini adalah mengkaji tanda-tanda yang ternyata sangat kompleks dan rumit. Untuk itu setiap pengkaji yang menggunakan teori semiotika ini perlu untuk memahami seiotika apa yang sesuai untuk mengkaji pokok masalah penelitiannya. Seperti diketahui bahwa keberadaan mantra melaut di dalam kebudayaan suku Melayu Serdang di Aras Kabu mencakup berbagai hal. Mantra itu sendiri adalah sebagai budaya lirik sastra yang di dlaam lirik tersebut mengandung makna-makna. Untuk menganalisis mantra melaut dalam bentuk lirik ini, penulis menggunakan teori semiotika yang ditawarkan Riffaterre. Dalam semiotika Riffaterre ini penulis akan melakukan kajian dalam empat tahap: a kitadaklangsungan ekspresi dalam mantra melaut; b pembacaan heuristik, yaitu pembacaan tingkat pertama yang merupakan kajian terhadap makna-makana bahasa terutama kosa kata dan frase mantra melaut, dilanjutkan ke pembacaan hermeneutik yaitu menginterpretasi atau menafsirkan makna- makna yang terdapat dalam teks mantra melaut tersebut; c mencari dan menggambarkan matriks dan model mantra melaut; dan d melkukan kajian terhadap hubungan intertekstual mantra melaut dengan berbagai mantra dan tradisi sastra lainnya di dalam kebudayaan Melayu Aras Kabu Deli Serdang. Selain itu tradisi lisan mantra melaut dalam kebudayaan masyarakat melayu Aras Kabu ini adalah sebuah fenomena sosial, terutama di kalangan nelayan tradisional Melayu. Kegiatan ini jelas berdimensi sosial, yang dilakukan dan dipercayai kemujarabannya bagi setiap nelayan gar memperoleh ridha Tuhan dan menjaga hubunmgan antar makluk ciptaan Tuhan. Untuk menginterpretasi fenomena dan fakta Universitas Sumatera Utara sosial ini, penulis peneliti menggunakan teori semiotik sosial yang ditawarkan oleh Halliday dan semiotika multimodal Peirce. Pada dasarnya penggunaan semiotika sosial pada penelitian terhadap aktivitas sosial mantra melaut pada budaya Melayu Aras Kabu adalah untuk mengungkap makna semiotika baik berupa ungkapan verbal dan visual. Ungkapan ini berupa 1 Imaji yang terdapat pada peralatan yang digunakan pada prosesi mantra melaut tersebut, seperti sampan, dayung, pakian, makanan persiapan ke laut, alat penangkap ikan, dan lainnya, 2 Pola semiotika tanda atau simbol yang terdapat pada mantra ritual mantra melaut yang mencerminkan simbol gaib dan magis, seperti yang terkandung dalam sistem kosmologi Melayu yaitu adanya makhluk gaib mambang hitam, mambang kuning, mambang hijau, jembalang, jin, juga Nabi Khaidir, dan lain-lain. 3 Tanda dan simbol digunakan pada ritual mantra melaut, untuk menjelaskan praktik berbahasa pada masyarakat suku Melayu Aras Kabu. 4 Ungkapan yang dituturkan oleh setiap nelayan sebagai mantra melaut. Dalam menggunakan teori semiotika sosial Halliday ini, karena untuk aspek lirik verbal dibedah dengan semiotikanya Riffaterre, maka dalam semiotika sosial mantra melaut difokuskan kepada interpretasi visual dan segala perilaku nelayan. Selain itu untuk mempertajan interopretasi terhadap budaya mantra melaut dalam kebudayaan masyarakat Melayu Aras Kabu ini, penulis menggunakan teori semiotikanya Peirce. Beliau adalah salah seorang pendiri awal teori semiotika. Dengan menggunakan teori semiotikanya Peirce ini penulis akan menginterpretasikan makna- makna budaya yang terdapat di dalam wujud gagasan, aktivitas, dan wujud verbal dan visual mantra melaut, melalui tiga hal utama yaitu: ikon, indeks, dan simbol melalui dimensi trikotomik: obejk O, representamen R, dan interpretan I. Ketiga teori Universitas Sumatera Utara semiotika yang penulis gunakan dalam mengkaji tradisi lisan mantra melaut dalam kebudayaan suku Melayu di Ras Kabu adalah sebagai berikut. Bagan 2.2 Mantra Melaut dalam Kebudayaan Melayu Aras Kabu dan Teori Semiotika yang Digunakan untuk Menganalisisnya Universitas Sumatera Utara

2.6 Penelitian Sebelumnya

Secara keilmuan, banyak hasil penelitian sebelumnya yang relevansi dengan penelitian ini, maka pada sub-bab penelitian sebelumnya penulis hanya mengambil beberapa penelitian pada bagian ini. Adapun beberapa penelitian sebelumnya, seperti yang diuraikan berikut ini. 1 Penelitian tradisi lisan oleh Syafa’at, dkk 2008 dengan judul penelitian Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal yang bertemakan “Mendayagunakan Kearifan Lokal,” Pergulatan Masyarakat Adat atau Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Hasil penelitian menguraikan secara kritis tentang pengakuan terhadap eksistensi kearifan lokal dan politik, hukum dan hak masyarakat adat terhadap akses sumber daya alam serta memahami posisi dan kapasitas hukum adat dalam politik pembangunan hukum di Indonesia dalam perspektif antropologi hukum. Penelitian ini juga mendeskripsikan bagaimana pengalaman empiris masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam, hutan, pesisir dan lautan, ruang di atas dan di bawah air secara berkelanjutan dengan menerapkan sistem kearifan lokal. Kemudian mendeskripsikan strategi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan berdasarkan kearifan lokal terhadap alat penangkapan ikan yang tidak ramah dan cenderung merusak sumber daya pesisir dan lautan. 2 Penelitian Amri 2011 yang bertajuk Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidimpuan, hasil penelitiannya adalah tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Tapanuli Selatan di Padangsidimpuan merupakan suatu kebiasaan yang masih ada di tengah-tengah masyarakat, karena masih kerap terselenggara dengan baik upacara perkawinan adat. Perubahan yang terjadi pada tradisi upacara perkawinan adat, akibat perkembangan zaman, sehingga tradisi masyarakat yang menjadi kebiasaan tersebut sedikit demi Universitas Sumatera Utara