dilepaskan sama sekali dari teks yang lain. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat-istiadat kebudayaan, film,
drama dan lain sebagainya secara pengertian umum adalah teks. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptannya, baik secara umum
maupun khusus. Sebuah karya sastra seringkali berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain,
baik karena menentang atau meneruskan karya sastra yang menjadi latar itu. Karya sastra yang menjadi dasar atau latar pencipkan karya sastra yang kemudian oleh
Riffaterre 1978:1l disebut dengan hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat diberi makna secara hakiki dalam kontrasnya dengan hipogramnya Teeuw, 1983:65.
Julia Kristeva dalam Pradopo 2005: 132 mengemukakan bahwa tiap teks itu, termasuk teks sastra merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan
serta transformasi teks-teks lain. Secara khusus, teks yang menyerap dan menfransformasikan hipogram dapat disebut sebagai teks transformasi. Untuk
mendapatkan makna hakiki dari sebuah karya sastra digunakan metode intertekstual, yaitu membandingkan, menjajarkan, dan mengkontraskan sebuah teks transformasi
dengan hipogramnya Dengan demikian, sebuah karya sastra hanya dapat dibaca dalam kaitannya dengan teks lain.
2.5.3 Teori Semiotika Sosial
Untuk mengkaji aktivitas sosial yang dilakukan oleh nelayan Aras Kabu terutama yang berkaitan dengan penggunaan mantra, maka penulis mengkaji fenomena
ini dengan menggunakan teori semiotika sosial, terutama yang ditawarkan oleh Halliday. Ilmu semiotika adalah kajian tentang tanda dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tanda. Menurut Sobur dalam Sartini, 2011, bahwa semiotika atau
Universitas Sumatera Utara
semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya
pada simtomatologi dan diagnostik inferensial. Bahasa adalah interaksi, dan semua interaksi adalah multimodal. Implikasinya
adalah bahasa adalah semiotika multimodal karena merupakan tanda atau simbol yang dihasilkan dalam komunikasi manusia. Ilmu semiotika meliputi studi seluruh tanda-
tanda tersebut baik tanda visual, tanda yang dapat berupa imaji dalam lukisan dan foto dalam seni dan fotografi, tanda pada kata-kata, bunyi-bunyi, imaji bahasa tubuh,
ekspresi wajah, warna, dan semua unsur-unsur komunikasi. Imaji adalah gambaran yang terbentuk dari sebuah objek visual. Gramatika didalam bahasa menjelaskan kata, klausa,
frasa, kalimat, dan teks. Sedangkan gramatika visual memperlihatkan orang, tempat, dan benda-benda dikombinasikan dengan kompleksitas dan perluasan penjelasan visual
dari sebuah objek. Fokus gramatika visual adalah pada deskripsi estetika imaji dan cara komposisi imaji yang digunakan untuk menarik perhatian penyaksi atau pembaca Kress
dan van Leeuwen, 1996:1. Grammar goes beyond formal rules of correctness. It is a means of
representing patterns of experience…. It enables human beings to build a mental picture of reality, to make sense of their experience of what goes on
around them and inside them Halliday, 1985: 101 Analoginya adalah struktur visual merealisasikan makna-makna sebagaimana
struktur linguistik melakukannya, dengan demikian menyebabkan berbeda interpretasi dari pengalaman dan berbeda bentuk interaksi sosial. Makna dapat direalisasikan dalam
bahasa, sedangkan komunikasi visual diekspresikan kedua-duanya baik dalam verbal maupun dalam visual. Walaupun keduanya berbeda, misalnya bahasa melalui pilihan
antara kelas kata dan semantik, namun di dalam komunikasi visual ekspresi dilakukan melalui sistem pilih, pada beberapa hal seperti: penggunaan warna dan struktur
komposisi yang menonjol. Bahasa visual belum dipahami secara universal karena
Universitas Sumatera Utara
bahasa visual itu spesifik secara budaya, misalnya komunikasi visual dalam dunia barat berbeda dengan dalam dunia timur.
Suatu jaringan sistem makna dalam sebuah budaya masyarakat mempunyai sumber makna semiotika yang kaya dan beragam. Santoso 2009: 9 mengatakan suatu
kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat mempunyai nilai-nilai dan norma- norma kultural yang diperoleh melalui warisan nenek moyang mereka dan juga bisa
melalui kontak-kontak sosio-kultural dengan masyarakat lainnya. Nilai-nilai dan norma- norma dari masyarakat lain tersebut baik langsung maupun tidak langsung
memengaruhi nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Sebagai dampaknya nilai-nilai dan norma-norma kultural ini cenderung untuk berubah secara
terus menerus, apalagi dunia pada saat ini semakin terbuka sehingga batas-batas kultur, daerah, wilayah, dan negara menjadi tidak tampak.
Sebagaimana yang telah disinggung Santoso di atas mengenai peristiwa- peristiwa kebudayaan dan sumber tesebut merupakan makna semiotika karena manusia
sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat berperan melakukan interaksi dan komunikasi agar dapat saling memahami makna tanda komunikasi tersebut. Supaya
tanda itu bisa dipahami secara universal, dibutuhkan pula konsep yang universal untuk menghindari salah pengertian.
Menurut Kress dan Van Leeuwen dalam Handayani 2012 ada tiga aliran besar semiotika yang menerapkan konsep teori berasal dari domain linguistik dan domain
non-linguistik sebagai sarana komunikasi di abad sekarang ini. Yang pertama adalah Aliran Praha Prague School pada tahun 1930-an dan awal 1940-an yang
dikembangkan oleh pakar linguistik formalisme Rusia. Konsep yang menonjol diterapkan ke dalam bahasa adalah bentuk fonologi dan sintaksis melalui deviasi untuk
tujuan artistik, pada kajian seni Mukarovsky, teater Honzl, sinema Jakobson, dan
Universitas Sumatera Utara
kostum Bogatyrev. Setiap sistem-sistem semiotika dapat memenuhi fungsi komunikasi yang sama fungsi refensial dan fungsi puitis.
Aliran kedua diperkenalkan oleh aliran Paris Paris School pada tahun 1960-an dan 1970-an, yang menerapkan ide de Saussure, linguis lainnya seperti Schefer,
fotografi Barthes, bidang fashion Barthes, bidang sinema Metz, bidang komik Frenault-Deruelle, termasuk juga aliran Pierce. Konsep yang dikembangkan aliran ini
pada studi kajian media, seni, dan desain selalunya disebut sebagai semiologi, juga dikatakan post-strukturalisme. Istilah-istilah semiotika “langue” dan “parole,” signifier”
dan “signified,” “arbitrary” dan “motivated,” “sign”, “icons,” “indexes,” dan “symbols,” “syntagmatics” dan “paradigmatics.”
Aliran ketiga dinamakan semiotika sosial social semiotics yang diperkenalkan oleh Halliday di Australia tahun 70-an dikenal dengan nama teori linguistik Sistemik
Fungsional SFL. Semiotika sosial ini diterapkan pada kajian sastra oleh Threadgold, Thibault dan kawan-kawan, semiotika visual oleh O’Toole, Kress, van Leeuwen, musik
oleh van Leeuwen dan sarana semiotika oleh Hodge dan Kress. Konsep semiotika sosial adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti
dan arti-arti ini dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan lingkungan arti tersebut. Potensi arti dalam proses belajar menciptakan
sistem bahasa sebagai sistem sosial yang terdiri atas struktur ideologi, budaya, situasi, semantik, leksikogramatika, dan fonologi atau grafologi.
Pendekatan semiotika sosial menurut Kress dan van Leeuwen dalam Handayani 2012 menekankan pada dua hal penting. Yang pertama, komunikasi memerlukan
partisipan untuk membuat pesan-pesan secara maksimal untuk dipahami pada konteks tertentu, kemudian memilih bentuk ekspresi yang diyakini secara maksimal, transparan
kepada partisipan lainnya. Sebaliknya komunikasi terjadi pada struktur sosial yang
Universitas Sumatera Utara
ditandai oleh perbedaan-perbedaan pada kekuasaan, dan hal ini mengakibatkan setiap partisipan memahami secara maksimal. Partisipan yang mempunyai kekuasaan dapat
memaksakan partisipan lain mengikuti interpretasi yang kuat dengan pemahaman yang maksimal, sehingga partisipan tersebut mampu melakukan atau menghasilkan pesan-
pesan terbaik dengan usaha yang maksimal untuk memberi interpretasi. Sebaliknya partisipan yang tidak mempunyai kekuasaan harus bekerja keras untuk memahami
pesan-pesan penting tersebut secara maksimal. Yang kedua, representasi memerlukan pembuat tanda memilih bentuk-bentuk untuk ekspresi yang ada didalam pikiran mereka,
membentuk pandangan apa yang menurut mereka cocok pada tempatnya dan dapat dipercayai pada konteks yang diberikan.
Menurut Halliday 1978 bahasa adalah suatu sistem semiotika sosial. Sistem semiotika bahasa mencakupi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur konteks
yang berada di luar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya
bahasa. Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk, juga merupakan semiotika. Terdapat tiga 3 hal penting sistem komunikasi bahasa menurut Halliday
1985, yaitu metafungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Metafungsi ideasional merepresentasikan aspek pengalaman manusia di dalam dan di luar khususnya sebagai
sistem tanda. Dengan kata lain harus mampu merepresentasikan objek dan hubungannya dengan dunia di luar bahasa sebagai sistem representasi. Metafungsi interpersonal
menawarkan hubungan antara pencipta tanda dengan penerima tanda. Metafungsi tekstual menjelaskan pembentukan teks, kerumitan tanda-tanda yang dihubungkan baik
secara internal maupun eksternal. Tabel 2.1 di bawah ini menjelaskan hubungan struktur semiotika situasi dengan
komponen fungsi semantik Halliday, 1979: 143.
Universitas Sumatera Utara
Tabel2.1. Hubungan struktur Semiotika Situasi dengan Komponen Fungsi Semantik Semiotic structures
associated with functional component
of situation of semantics
field type of social action “
experiential tenor role relationships
“ interpersonal
mode symbolic organization “
textual
Prinsip semiotika sosial pada penelitian ini adalah untuk mengungkap makna semiotika baik berupa ungkapan verbal dan visual seperti imaji, tanda atau simbol,
seperti berikut. 1 Imaji yang terdapat pada peralatan yang digunakan pada prosesi mantra melaut tersebut, 2 Pola semiotika tanda atau simbol yang terdapat pada
mantra ritual mantra melaut yang mencerminkan simbol gaib dan magis. 3 Tanda dan simbol digunakan pada ritual mantra melaut, untuk menjelaskan praktik berbahasa pada
masyarakat suku Melayu Aras Kabu. 4 Ungkapan yang dituturkan oleh setiap nelayan sebagai mantra melaut.
Dalam menganalisis aktivitas sosial tradisi mantra melaut ini akan digunakan teori semiotika multimodal dan teori semiotika yang dikemukan oleh Charles Sanders
Peirce. Semua interaksi disebut multimodal. Setiap berinteraksi oral manusia secara otomatis mendengar suara prosodik, intonasi dan bunyi-bunyi, kita juga saling
berpandangan atau menatap, kita memperhatikan setiap gerak gerik lawan bicara During interaction, 1 you’re aware of your friends’ spoken language in order to hear
the verbal choices, the content, the prosody and the pitch, 2 aware of facial expression, clothing, standingsitting, noddingleaning back or forward, 3 aware of
environment where it takes place, etc Kress dan van Leeuwen, 2006: 177.
Universitas Sumatera Utara
Teori semiotika multimodal lebih dikenal dengan nama analisis multimodal. Analisis multimodal mengungkapkan representasi visual dan verbal bahasa dan
menjelaskan berbagai jenis imaji yang ada di dalam konteks sosio-kultural. Kress dan van Leeuwen 2006: 178 “multimodal texts”, i.e. “any text whose meanings are
realized through more than one semiotic code”. Analisis multimodal dapat diintegrasikan dengan analisis kode semiotika bahasa misalnya dengan aspek
metafungsi bahasa untuk menjelaskan bagaimana gramatika dapat menjelaskan ekspresi efek visual gambar atau lambang, warna, tanda simbol dengan aspek verbal dalam teks
multimodal. Dalam sarana tulis aspek multimodal terletak pada disain visual tanda baca, spasi, warna, font atau gaya, imaji dan sarana representasi dan komunikasi
lainnya. Semua aspek multimodal ini potensi menjadi sumberdaya semiotika mendekorasi suatu komunikasi untuk menunjukkan potensi penguatan wacana sebagai
suatu semiotika sosial. Menurut Sinar 2011, 2012 di dalam analisis multimodal, teks-teks dianalisis
dan dimaknai tidak hanya dari fisik bahasa yang terujar atau tertulis secara verbal tetapi juga teks diungkap dan dimaknai dari tampilan visual seperti yang terdapat pada iklan
media cetak. Dengan kata lain, dalam klasifikasi perspektif semiologis kecenderungan analisis multimodal yaitu semua aspek semiotika yang muncul dalam teks dianalisis
seluruhnya secara terpadu, baik aspek dan unsur semiotika kebahasaan maupun aspek dan unsur semiotika non-kebahasaan. Yang terakhir ini lazim disebut sebagai aspek dan
unsur yang dikategorikan sebagai visual representation lihat misalnya Kress dan Leeuwen 1996.
Kress dan van Leeuwen 2006, 177 menyarankan tiga prinsip komposisi dalam menganalisis teks verbal dan visual yaitu nilai informasi information value, tonjolan
Salient dan bingkai framing, yang diaplikasikan tidak hanya pada gambar tunggal,
Universitas Sumatera Utara
tetapi juga pada teks multi-semiotika. Interaksi langsung diciptakan melalui tatapan mata seperti pernyataan Kress and van Leeuwen 2006: 116-124 ‘the gaze’ as a central
aspect of the interpersonal metafunction establishing interaction between the participants in the communicative act. Dalam sebuah tayangan, jika pelibat teks sebagai
imaji menatapkan mata langsung kepada kamera, maka tatapan tersebut langsung tepat pada mata para penyaksi teks visual, sebagai efeknya hal ini menumbuhkan suatu garis
hubungan ‘connecting the participant’s sight line with the viewers’ sehingga pembaca atau penyaksi teks mempunyai interpretasi bahwa imagi membalas tatapan matanya.
Analisis ini disebut dengan ‘salience’ Kress dan van Leeuwen, 2006: 201-203.
Salience dari bagian kepala adalah bagian utama yang menghasilkan jarak sosial keakraban antara sender dengan penyaksi dan pembaca dibandingkan bahagian lain
dalam tubuh imaji. Tatapan mata menekankan mereka diletakkan dalam ruang luas dan kosong, wajah sekaligus memperoleh salience di dalam lingkup wajah yang juga
menanti respon dari penyaksinya. Peran sekunder imaji juga memperlihatkan objek- objek pendukung seperti sarung tangan, topi, sepatu but, jilbab, scarf, bandana,
saputangan, dll yang mengekspresikan hubungan eksplisit sebagai pembuat makna atau ‘meaning-maker’ yang tujuannya untuk menjelaskan setiap kekosongan informasi yang
bersifat interpretasi atau “interpretive gaps” lihat juga Baumgarten 2008. Dalam analisis multimodal struktur hirarki di antara unsur penting yang
diperlihatkan oleh imagi secara visual adalah ukuran size, warna colour, ketajaman fokus focus. Kress dan van Leeuwen 1996 menekankan “how colour is very
important in creating meaning.”
Universitas Sumatera Utara
2.5.4 Teori Semiotika Peirce