karya sastra tersebut dibongkar decoding atas dasar significancenya. Untuk itu, tanda- tanda dalam sebuah puisi memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan
terbadapnya lihat Riffaterre, 1978:4-6. Riffaterre lebih jauh menjelaskan bahwa untuk melakukan pemaknaan secara
utuh terhadap sebuatr puisi, pembaca hartrs bisa menentukan matriks dan model yang terdapat dalam karya itu. Selain itu, harus pula dilihat dalam hubungannya dengan teks
lain intertekstual Riffaterre, 1978:6. Melalui bukunya Semiotics of Poetry 1978, Riffaterre mengungkapkan metode
pemaknaan puisi secara semiotika dengan tuntas. Berdasarkan hal itu, penulis merasa tepat untuk menerapkannya. pada pemaknaan terhadap mantra melaut suku Melayu
Aras Kabu sebagai salah satu jenis puisi, yang akan dilakukan pada penelitian ini. Langkah-langkah pemaknaan terhadap sebuah puisi yang dikemukakan oleh Riffaterre
sangat memberikan ruang rmtuk dapat mengungkap makna yang terdapat dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu secara total.
1.2 Rumusan Masalah
Pentingnya melakukan penetitian terhadap mantra melaut dalam masyarakat Melayu Aras Kabu tersebut tidak hanya demi mengembangkan sastra daerah itu semata-
mata, tetapi juga untuk menjawab sejumlah masalah yang ada. Masalah pokok yang perlu diuraikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kandungan makna mantra melaut suku Melayu Aras Kabu berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik?
2. Bagaimanakah matriks dan model yang terdapat dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu?
Universitas Sumatera Utara
3. Bagaimanakah hubungan intertekstual mantra melaut suku Melayu Aras Kabu dengan teks lain?
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.2.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
l. Mendeskripsikan makna yang terkandung pada mantra melaut suku Melayu Aras Kabu berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik.
2. Mendeskripsikan matriks dan model yang terdapat dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu.
3. Mencari dan menganalisis hubungan intertekstual mantra melaut suku Melayu Aras Kabu dengan teks lain.
1.2.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada pembaca, khususnya pembaca di bidang sastra berupa pemahaman mengenai kandungan makna
mantra melaut suku Melayu Aras Kabu berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik, matriks, dan model yang terdapat dalam mantra melaut suku Melayu Aras
Kabu, dan hubungan intertekstual mantra melaut suku Melayu Aras Kabu dengan teks lain.
Manfaat lain dari hasil penelitian ini adalah pembaca diharapkan mendapat pemahaman bahwa karya sastra lisan khususnya mantra, menarik untuk diteliti secara
ilmiah dari aspek semiotika. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
Universitas Sumatera Utara
bermanfaat sebagai bahan rujukan atau bahan perbandingan untuk penelitian sejenis yang dilakukan terhadap karya sastra lain.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan judul usulan penelitian ini yakni Mantra Melaut suku Melayu Aras Kabu: Interpreiasi Semiotika, ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada
mantra melaut yang digunakan oleh masyarakat suku Melayu Aras Kabu. Mantra melaut yang akan dikaji adalah mantra ketika nelayan hendak pergi melaut, atau mantra
sebagai persiapan bekerja di tengah lautan nantinya. Mantra ini ini biasanya dibacakan ketika berada di kuala atau di tangkahan di mana sampan untuk menangkap ikan
ditambatkan.
1.4 Landasan Teori
Karya sasta hadir dalam dua bentuk, yakni sasta lisan dan sastra tulis. Teeuw 1984:279 mengemukakan bahwa sastra tulis tidak memerlukan komunikasi secara
langsung antara pencipta dan penikmat--sedangkan sastra lisan biasanya berfungsi sebagai sastra yang dibacakan atau yang dibawakan bersama-sama.
Sastra lisan merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan secara turun-temurun secara
lisan sebagai milik bersama. Menurut Rusyana dan Raksanegara 1978:56, sastra lisan itu akan lebih mudah digali karena ada unsurnya yang mudah dikenal oleh masyarakat.
Lebih jauh, bahwa sastra lisan merupakan pencerminan situasi, kondisi, dan tata krama masyarakat pendukungnya.
Pada umumnya, sastra lisan dikemas melalui tanda-tanda yang mengandung banyak makna. Makna yang terkandung di dalamnya merefleksikan realitas yang
Universitas Sumatera Utara
terdapat di dalam masyarakat penutumya. Misalnya, mantra melaut suku Melayu Aras Kabu. Mantra tersebut sarat dengan tanda-tanda yang memuat banyak makna Untuk
makna tersebut, terlebih dahulu harus dapat dikenali tanda-tanda yang membangunnya. Dengan demikian, teori semiotika dianggap paling tepat digunakan untuk dapat
menguraikan makna tanda-tanda yang terdapat dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu.
Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda Zaidan, 2002:22. Ilmu ini berpandangan bahwa fenomena sosial dan budaya pada dasarnya merupakan tanda-
tanda. Semiotika mengkaji sistem-sistem, aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti.
Dua tokoh penting perintis ilmu semiotika modern, yaitu Charles Sanders Peirce 1839-l9l4 dan Ferdinand de Saussure 1857-1813 mengemukakan beberapa pendapat
mereka mengenai semiotika. Saussure menampilkan semiotika dengan membawa latar belakang ciri-ciri linguistik yang diistilahkan dengan semiologi, sedangkan Peirce
menampilkan latar belakang logika yang diistilahkan dengan semiotika. Peirce mendudukkan semiotika pada berbagai kajian ilmiah lihat Zoest 1993:l-2.
Dalam penelitian ini, konsep semiotika yang digunakan adalah konsep yang didasarkan pada pemikiran Saussure yang dikembangkan oleh Riffaterre. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa konsep semiotika yang dikembangkan oleh Riffaterre, penulis anggap tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini. Konsep dan teori
yang digunakan Riffaterre lebih mengkhusus pada pemaknaan puisi secara semiotika, sehingga lebih memberikan ruang untuk interpretasi makna yang akan dilakukan dalam
penelitian ini. Untuk puisi, secara semiotika Riffaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry 1978 mengemukakan empat hal pokok sebagai langkah pemroduksian makna.
Universitas Sumatera Utara
1 Hal pertama adalah bahwa puisi merupakan aktivitas bahasa yang berbeda dengan pemakaian bahasa pada umumnya. Puisi memiliki bahasa yang dapat
menyatakan beberapa konsep secara tidak langsung. Dalam puisi, ketidaklangsungan ekspresi menduduki posisi yang utama, Ketidaklangsungan ekspresi yang dimaksud
disebabkan oleh adanya penggantian arti displacing of meaning, penyimpangan arti distorting of meaning, dan penciptaan arti creating of meaning. Riffaterre 1978:2
menyatakan bahwa penggantian arti disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi, serta bahasa kiasan yang lain. Penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal,
yaifu ambiguitas ketaksaan, kontradiksi, dan nonsens. Penciptaan arti diciptakan melalui enjambement, homologue, dan tipografi.
2 Hal kedua adalah pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan pada taraf mimesis atau pembacaan yang
didasarkan konvensi bahasa. Karena bahasa memiliki arti referensial, pembaca harus memiliki kompetensi linguistik agar dapat menangkap arti meaning. Kompetensi
linguistik yang dimiliki oleh pembaca itu berfungsi sebagai sarana untuk memahami beberapa hal yang disebut sebagai ungramatikal ketidakgramatikalan teks. Pembacaan
ini juga disebut dengan pembacaan semiotika pada tataran pertama. Dalam pembacaan pada tataran ini, masih banyak arti yang beraneka ragam, makna yang tidak utuh, dan
ketakgramatikalan. Untuk itu, pembacaan pada tataran ini masih perlu dilanjutkan ke pembacaan tahap kedua. Pembacaan tataran kedua yang dimaksud adalah pembacaan
hermeneutik. Pada pembacaan ini, akan terlihat hal-hal yang semula tidak gramatikal menjadi himpunan kata-kata yang ekuivalen Riffaterre,1978:54.
3 Hal ketiga adalah penentuan matriks dan model. Dalam hal ini, matriks dapat dimengerti sebagai konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat
dalam satu kata atau frase. Meskipun demikian, kata atau frase yang dimaksud tidak
Universitas Sumatera Utara
pemah muncul dalam teks puisi yang bersangkutan, tetapi yang muncul adalah aktualisasinya. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Model ini dapat berupa
kata atau kalimat tertentu. Berdasarkan hubungan ini, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas
derivasi itu Riffaterre,1978:19-21. 4 Hal keempat adalah prinsip intertekstual. Prinsip intertekstual adalah prinsip
hubungan antar teks sajak. Sebenarnya hal itu berangkat dari asumsi bahwa karya sasta termasuk puisi, tidak lahir dari kekosongan budaya. Dalam keadaan seperti ini, sebuah
sajak merupakan respons atau tanggapan terhadap karya-karya sebelumnya. Tanggapan tersebut dapat berupa penyimpangao atau penerusan tradisi. Dalam hal ini, mau tidak
mau terjadi proses transformasi teks. Mentransformasikan adalah memindahkan sesuatu dalam bentuk atau wujud lain yang pada hakikatnya sama Pradopo, 1994:25. Dalam
proses tersebut dikenal adanya istilah hipogram. Riffaterre 1978:2 mendefinisikan hipogram adalah teks yang menjadi latar atau dasar penciptaan teks lain. Dalam
praktiknya, hipogram dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipograrn potensial yang dapat ditelusuri dalam bahasa bersifat
hipotesis, seperti yang terdapat dalam matriks, sedangkan hipogram aktual bersifat nyata atau eksplisit.
Keempat hal pokok tersebut di atas yang dikemukakan oleh Riffaterre sebagai langkah pemroduksian makna, tiga di antaranya akan digunakan sebagai acuan untuk
mengungkap makna yang terkandung dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu. Lewat tanda-tanda yang terdapat dalam mantra itu, maka proses pemaknaan akan
dilakukan. Dengan bertotak pada kerangka teori di atas, dapat dikatakan bahwa untuk dapat
memahami hakikat makna dari mantra melaut suku Melayu di Aras Kabu, perlu
Universitas Sumatera Utara
dilakukan interpretasi semiotika. Interpretasi ini selanjutnya akan mempertimbangkan dan menerapkan dua sisi pandang. Sisi pertama adalah cara pandang masyarakat
Melayu Aras Kabu sebagai pengamal dan penghayat mantra melaut ini dalam budaya mereka.
1
1
Dalam dunia ilmu pengetahuan, pendekatan seperti ini lazim disebut dengan pendekatan emik. Artinya adalah bahwa penelitian yang dilakukan lebih menumpukan perhatian kepada pendapat-pendapat
informan kunci dalam rangka memahami makna-makna yang terkandung di dalam kebudayaan yang diteliti dalam konteks kerja ilmiah. Namun demikian, seorang peneliti tidaklah harus sepenuhnya
berdasarkan kepada penjelasan yang diperoleh dari para informan kunci. Seorang peneliti diharapkan lebih jauh menafsirkan sumber data berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang diperoleh dari kinerjanya
sebagai ilmuwan. Tentu saja penafsiran ini bisa berbeda-beda antara seorang peneliti dengan peneliti lainnya, yang pasti akan dilatarbelakangi oleh pengalaman keimlmuannya. Pendekatan kedua ini lazim
disebut sebagai pendekatan etik.
Sisi kedua adalah perlunya penafsiran berdasarkan kaidah-kaidah saintifik terhadap mantra melaut yang diamalkan oleh para nelayan di Aras Kabu Deli Serdang.
Dua titik pandang ini menghasilkan suatu sintesa keilmuan yang tentu berdasar kepada empirisme, logika, pembuktian, penelaahan, tafsiran, dan hasil yang diperoleh dari
penelitian lapangan field work.
Universitas Sumatera Utara
BAB II KONSEP, TINJAUAN TEORETIS,
DAN PENELITIAN TERDAHULU
Mantra melaut dalam kebudayaan etnik Melayu, khususnya di Desa Aras Kabu, Kabupaten Deli Serdang adalah bahagian dari tradisi masyarakatnya. Mantra melaut ini
memiliki kaitan erat dengan upacara atau ritual, tradisi lisan termasuk sastra lisan, dan kearifan lokal. Di dalam mantra melaut ini terdapat makna-makna bahasa yang bisa
dimenggerti dengan jalan menafsirkan berdasarkan kebudayaan di mana mantar ini hidup. Untuk kepentingan tersebut, secara saintifik perlu dijelaskan teori semiotika.
Pada Bab II ini akan diuraikan konsep-konsep tersebut di atas, serta tinjauan teori semiotika, dan peneltiian terdahulu yang berkaitan dengan topik penelitian ini yang
telah dilakukan oleh para penulis atau peneliti.
2.1 Pengertian Mantra
Mantra adalah salah wujud kebudayaan yang umum dijumpai di Nusantara ini. Mantra selalu menggunakan bahasa verbal dan juga pilihan kata yang khas, yang
maknanya baru dapat diketahui melalui pembacaan kultural dan saintifik secara mendalam, berdasarkan kebudayaan di mana mantra itu hidup.
Di dalam masyarakat Minangkabau misalnya terdapat mantra sijundai yang bertujuan untuk membuat orang lain menjadi gila. Dalam kebudayaan Melayu terdapat
mantra ulit mayang yang bertujuan untuk mengobati orang yang sakit karena gangguan makhluk halus jembalang. Dalam masyarakat Jawa terdapat mantra pengasih yang
bertujuan agar seseorang dikasihi atau dicintai oleh orang lain. Begitu juga dalam
Universitas Sumatera Utara