Hubungan Jenis Kelamin dengan Hipertensi Hubungan Merokok dengan Hipertensi

Syukraini Irza : Analisis Faktor Risiko Hipertensi Pada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung, Sumatera Barat, 2009. dengan mempengaruhi ekspresi gen terikat p53-Noxa. Gen lainnya yang mempengaruhi homosistein adalah NDRG 1 N-Myc down regulated gene. Gen ini diaktifkan secara transkripsi oleh kerusakan DNA dan mungkin juga berperan dalam patologi vaskular yang berhubungan dengan genotoksik. Efek merugikan peningkatan kronik kadar homosistein plasma diperantarai oleh peningkatan tegangan oksidatif dan pengurangan bioavailabilitas NO. Penurunan bioavailabilitas NO endotelium juga disebabkan karena reaksi kimianya dengan gugus –SH pada homosistein membentuk S-nitroso homosistein Strauss, et al., 2005.

4.6.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Hipertensi

Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa risiko untuk menderita hipertensi bagi wanita adalah 5 kali lebih besar dibandingkan dengan pria. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sugiri di Jawa Tengah, di mana prevalensi hipertensi pada wanita lebih besar daripada pria. Pada dasarnya prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun sebelum mengalami menopause, wanita terlindung dari penyakit kardiovaskular karena aktivitas hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein HDL. Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut di mana jumlah hormon estrogen tersebut makin berkurang secara alami seiring dengan meningkatnya usia, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun Kumar, et al., 2005. Syukraini Irza : Analisis Faktor Risiko Hipertensi Pada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung, Sumatera Barat, 2009.

4.6.3 Hubungan Merokok dengan Hipertensi

Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa risiko untuk menderita hipertensi bagi subjek perokok adalah 6,9 kali lebih besar dibandingkan dengan yang bukan perokok. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tekanan darah pada perokok lebih tinggi daripada bukan perokok, seperti pada penelitian Elliot and Simpson, 1980; Dyer et al., 1982; Bolinder and de Faire, 1998; Bowman, et al., 2004, dan Dochi, et al., 2009. Tetapi di sisi lain juga terdapat banyak penelitian yang menunjukkan bahwa merokok dapat menurunkan tekanan darah seperti pada penelitian Rosengren and Wilhelmsen, 1987; Green, et al., 1991; Imamura, et al., 1996; Nagahama, et al., 2004; dan Wang, et al., 2006. Menurut penelitian-penelitian tersebut, penurunan tekanan darah pada perokok berhubungan dengan berkurangnya berat badan. Selain itu, kotinin yang merupakan metabolit utama nikotin juga berperan dalam menurunkan tekanan darah karena bersifat vasodilator. Dengan demikian, hubungan merokok dengan tekanan darah hingga saat ini masih kontroversial Dochi, et al., 2009. Dalam penelitian Thomas S. Bowman, et al., 2004 yang dilakukan terhadap 28.236 wanita di Women Health’s Study, Massachussets yang pada awalnya tidak menderita hipertensi, setelah pengamatan selama 9,8 tahun diperoleh peningkatan yang signifikan terhadap risiko hipertensi pada wanita yang merokok lebih dari 15 ba tanghari. Adapun mekanisme yang mendasari hubungan rokok dengan tekanan darah berdasarkan penelitian tersebut adalah proses inflamasi. Baik pada mantan perokok maupun perokok aktif terjadi peningkatan jumlah protein C-reaktif dan agen-agen inflamasi alami yang dapat Syukraini Irza : Analisis Faktor Risiko Hipertensi Pada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung, Sumatera Barat, 2009. mengakibatkan disfungsi endotelium, kerusakan pembuluh darah, ataupun terjadinya pembentukan plak, dan kekakuan pada dinding arteri yang berujung pada kenaikan tekanan darah. Sementara itu, dari penelitian Dochi, et al., 2009 di Jepang yang terpusat pada tiga titik obeservasi yaitu hipertensi TDS ≥ 140 mmHg dan TDD ≥ 90 mmHg, hipertensi sistolik TDS ≥ 140 mmHg dan hipertensi diastolik TDD ≥ 90 mmHg, diperoleh bahwa merokok berhubungan dengan hipertensi dan hipertensi sistolik, tetapi tidak dengan hipertensi diastolik. Rasio perokok dan bukan perokok adalah 1,13 pada penderita hipertensi CI 95: 1,03 - 1,23 dan 1,15 pada penderita hipertensi sistolik CI 95: 1,05 - 1,25. Sebagai tambahan, beberapa faktor lain yang juga merupakan risiko hipertensi seperti IMT, kolesterol total, -glutamil transpeptidase, kebiasaan minum alkohol, dan jadwal kerja berkorelasi positif dengan kejadian hipertensi, hipertensi sistolik, dan hipertensi diastolik. Sementara itu, aspartat aminotransferase berkorelasi positif dengan hipertensi dan hipertensi diastolik, usia berkorelasi positif dengan hipertensi diastolik, dan HbA1c berkorelasi negatif dengan hipertensi diastolik. Penelitian lain yang juga sejalan dengan kedua studi di atas adalah penelitian Abulnaja 2007 yang menemukan bahwa E-selectin, sCAM-1, dan sVCAM-1 agen-agen inflamasi alami memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap timbulnya hipertensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar ketiga zat tersebut pada penderita hipertensi jauh lebih tinggi dibandingkan pada orang normotensif dan demikian juga halnya pada penderita hipertensi yang merupakan perokok atau mantan perokok dibandingkan bukan perokok. Tingginya kadar Syukraini Irza : Analisis Faktor Risiko Hipertensi Pada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung, Sumatera Barat, 2009. ketiga zat tersebut akan mengakibatkan kerusakan endotelium vaskular yang merupakan risiko timbulnya penyakit hipertensi dan kardiovaskular.

4.6.4 Hubungan Konsumsi Alkohol dengan Hipertensi