Patofisiologi Hipertensi Komplikasi Hipertensi

Syukraini Irza : Analisis Faktor Risiko Hipertensi Pada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung, Sumatera Barat, 2009. bekerja lebih cepat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya Anonim b , 2009; Sayogo, 2009; Anggraini et al., 2008.

2.3.10 Stres

Stres diyakini memiliki hubungan dengan hipertensi. Hal ini diduga melalui aktivasi saraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Di samping itu juga dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul berupa hipertensi atau penyakit maag. Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu dan bila stres sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali Anonim e , 2009.

2.4 Patofisiologi Hipertensi

Berbagai faktor dapat mempengaruhi konstriksi dan relaksasi pembuluh darah yang berhubungan dengan tekanan darah. Bila seseorang mengalami emosi yang hebat, maka sebagai respon korteks adrenal mengekskresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Selain itu, korteks adrenal mengekskresi kortisol dan steroid lainnya, yang bersifat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah oleh enzim ACE Angiotensin Converting Enzyme menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Syukraini Irza : Analisis Faktor Risiko Hipertensi Pada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung, Sumatera Barat, 2009. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi Rohaendi, 2008; Tjay Rahardja, 2002. Gambaran ringkas mekanisme patofisiologi hipertensi ditunjukkan pada Gambar 2.1.

2.5 Gejala klinis dan Diagnosis Hipertensi

2.5.1 Gejala Klinis Hipertensi

Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menunjukkan gejala sampai bertahun-tahun. Oleh karena itulah hipertensi dikenal sebagai silent killer. Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat kumpulan cairan, penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, akan mengalami edema pupil. Gambar 2.1 Mekanisme Patofisiologi Hipertensi Dikutip dari: Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI. Pharmaceutical Care Hipertensi. Hal 16 Syukraini Irza : Analisis Faktor Risiko Hipertensi Pada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung, Sumatera Barat, 2009. Corwin 2000 menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa Rohaendi, 2008: a. nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial. b. penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi. c. ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat. d. nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus. e. edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain. 2.5.2 Diagnosis Hipertensi Diagnosis hipertensi diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik meliputi pengukuran tekanan darah; pemeriksaan funduskopi; pengukuran Indeks Massa Tubuh IMT; pemeriksaan lengkap jantung dan paru-paru; pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran ginjal, massa intra abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal; palpasi ektremitas bawah untuk melihat adanya edema dan denyut nadi, serta penilaian neurologis Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006. Selain pemeriksaan fisik diperlukan juga tes laboratorium dan prosedur diagnostik lainnya. Tes laboratorium meliputi urinalisis rutin; Blood Ureum Nitrogen BUN dan kreatinin serum untuk memeriksa keadaan ginjal, pengukuran kadar elektrolit terutama kalium untuk mendeteksi aldosteronisme, pemeriksaan kadar glukosa darah untuk melihat adanya diabetes mellitus, Syukraini Irza : Analisis Faktor Risiko Hipertensi Pada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung, Sumatera Barat, 2009. pemeriksaan kadar kolesterol dan trigliserida untuk melihat adanya risiko aterogenesis, serta pemeriksaan kadar asam urat berkaitan dengan terapi yang memerlukan diuretik. Sedangkan prosedur diagnostik lain seperti rontgen bagian dada elektrokardiografi juga diperlukan untuk melihat keadaan jantung dan pembuluh darah aorta serta memberikan informasi tentang status kerja jantung Lewis and Collier, 1983.

2.6 Komplikasi Hipertensi

Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Hipertensi adalah faktor risiko utama untuk penyakit serebrovaskular stroke, transient ischemic attack, penyakit arteri koroner infark miokard, angina, gagal ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor risiko kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan risiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal jantung Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006.

2.7 Penatalaksanaan Hipertensi