Dosa dan kekotoran. Salah satu karakteristik khusus konsep kegare Penyucian. Upacara-upacara penyucian adalah bagian yang vital bagi

Pada saat seseorang meninggal, rohnya berada dalam kekotoran karena sesuai konsep kepercayaan Shinto mayat dianggap sebagai kekotoran. Berhubungan dalam kondisi kotor dan labil maka keluarga yang masih hidup melakukan upacara-upacara selama 49 tahun yang ditujukan kepada roh tersebut yang disebut “Seibutsu Gedatsu” yaitu proses roh seseorang hingga mencapai Tomurai Age menjadi dewa.

2. Empat ketetapan. Meskipun Shinto tidak memiliki perintah mutlak

kepada jemaatnya diluar kehidupan “sederhana dan harmonis dengan alam dan manusia”, namun ada empat hal yang ditetapkan dalam agama Shinto, yaitu tradisi dan keluarga, menjaga alam, kebersihan jasmani, dan matsuri. Tradisi dan keluarga maksudnya bahwa keluarga merupakan mekanisme yang menjadi pilar utama untuk memelihara dan menjaga tradisi Shinto. Menjaga alam maksudnya bahwa alam adalah sesuatu yang suci sehingga untuk berhubungan dengan alam berarti dekat dengan kami. Objek-objek alam disembah karena memiliki roh suci. Kebersihan jasmani maksudnya pengikut Shinto sering melakukan ritual pembersihan diri seperti mandi, mencuci tangan dan berkumur. Matsuri adalah pemujaan dan penyataan rasa hormat kepada kami.

3. Dosa dan kekotoran. Salah satu karakteristik khusus konsep kegare

kekotoran di masa dahulu adalah hubungannya yang dekat dengan konsep tsumi dosa. Istilah bahasa Jepang tsumi, tidak boleh dihubungkan dengan konsep dosa milik Yahudi atau Kristiani karena jika tidak hal ini sangat mudah membuat orang tersesat dalam memahami tsumi. Karakteristik lainnya dari kegare dan tsumi adalah mereka dapat menular dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung. Jadi orang-orang yang terkontaminasi diharuskan melakukan penyucian Universitas Sumatera Utara atau memisahkan diri mereka dari kehidupan sehari-hari untuk jangka waktu tertentu. Keterangan lebih lengkap mengenai kegare dan tsumi akan dibahas pada bab berikutnya.

4. Penyucian. Upacara-upacara penyucian adalah bagian yang vital bagi

agama Shinto. Ini dijalankan untuk mendamaikan kami yang sedang gelisah, misalnya ketika kuil mereka harus dipindahkan. Upacara-upacara tersebut juga telah disesuaikan untuk kehidupan yang modern. Sebagai contoh, sebuah upacara diadakan untuk menyucikan misi pesawat Apollo 11 ke bulan., bangunan- bangunan baru yang dibangun di Jepang sering diberkati oleh pendeta Shinto sepanjang upacara pencangkulan pertama, dan banyak mobil yang diproduksi di Jepang diberkati sebagai bagian proses pemasangan. Upacara penyucian individu biasa dengan air, seperti berdiri di bawah air terjun atau menjalankan ritual pembersihan di sungai atau di laut. Karena sungai atau laut yang luas dan dalam dipercaya dapat melenyapkan segala kekotoran yang menodai manusia dan merubahnya lagi menjadi seperti semula yang suci. Garam maupun air laut salt water juga dipercaya sebagai unsur penyucian yang sangat kuat dibandingkan air biasa. Contohnya, garam yang disebarkan oleh pemain sumo sebelum bertanding untuk mengusir setan dan kekotoran dari arena sumo tersebut, dan di depan pintu masuk restoran Jepang setumpuk kecil garam diletakkan. Hal ini menunjukkan kebersihan kesucian restoran tersebut. Contoh lainnya dapat kita lihat ketika seseorang setelah menghadiri pemakaman orang lain, menaburkan garam di pintu masuk rumahnya untuk mencegah kecemaran akibat kematian dari rumah orang yang berkabung. Universitas Sumatera Utara Penyucian merupakan intisari dari ajaran Shinto, dan metode menyucikan tubuh dan jiwa dengan memakai air ini berasal dari mitos Izanagi no Mikoto yang membersihkan dirinya dengan air untuk membuang semua kekotoran kematian ketika pulang dari Yama no Kuni dunia kematian. Bentuk yang lain dari penyucian adalah penghindaran imi yang merupakan tabu bagi orang-orang tertentu atau tindakan-tindakan tertentu. Sebagai contoh, wanita tidak diperbolehkan mendaki Gunung Fuji sampai tahun 1868, di era Meiji restorasi. Meskipun aspek ini telah berkurang dalam tahun-tahun belakangan ini, masyarakat Jepang yang beragama tidak akan menggunakan kata yang sial seperti “potong” di pernikahan, maupun menghadiri sebuah pernikahan ketika mereka masih berkabung.

5. Kuil. Penyembahan utama kami dilakukan di kuil, meskipun keluarga