2.2.2 Tsumi 罪
Ketika para penerjemah menggunakan kata bahasa Inggris “sin” dosa untuk istilah bahasa Jepang tsumi, masyarakat menghubungkannya dengan konsep
dosa milik Yahudi atau Kristiani. Hal ini sangat mudah membuat orang tersesat dalam memahami tsumi. Dosa dalam Kristiani dikaitkan dengan “dosa asal” sin
of origin, dan ini meliputi pemikiran yang sangat spesifik terhadap pelanggaran kehendak Tuhan will of God. Pemikiran dosa asal atau melanggar perintah
Tuhan tidak ada dalam Shinto. Bagi Shinto tsumi merupakan kekotoran Praktek penyucian dalam Shinto sepanjang perjalanannya sebagai agama
sebagian besar membidik pada pembersihan fisik atau kekotoran luar lahiriah dan sedikit memperhatikan penyucian batiniah luar. Oleh karena itu konsep dosa
hanya pada fisik atau keadaan luar dan belum ada konsep dosa yang berasal dari kesadaran batiniah atau kesalahan kata hati. Jadi baik dosa surgawi heavenly
sins dan dosa duniawi earthly sins seperti yang tertulis pada liturgi terkenal Shinto dalam Engishiki dekat pada semua dosa lahiriah material dan bukan pada
dosa batiniah immaterial. Tsumi memiliki arti yang luas meliputi kekotoran, penyakit, dan bencana alam, yang sama dengan kesalahan. Tindakan tertentu,
situasi tertentu, atau hal yang tidak terduga dapat menyebabkan kekotoran. Bahkan kejadian seperti penyakit yang disebabkan alam disebut sebagai “dosa”.
Penyakit kusta dipandang sebagai dosa karena menyebabkan perasaan tidak menyenangkan dalam diri orang lain dan kami mungkin juga tidak
menyukainya. Contoh lain, tersambar petir juga dipandang sebagai dosa. “Malapetaka dari kami” dalam suatu liturgi Shinto menunjukkan petir. Sama
halnya dengan disengat serangga juga dipandang sebagai suatu dosa. Meskipun
Universitas Sumatera Utara
fakta bahwa manusia tidak bisa menghindar dari kejadian-kejadian ini, peristiwa tersebut dipandang sebagai dosa. Sebagai akibatnya dari sudut kepercayaan alam,
Shinto di jaman ini memandang semua kejadian-kejadian diatas sebagai dosa walaupun tidak diakui sebagai dosa dari sudut agama lain.
Banyak dosa yang tercatat dalam institusi-institusi Engishiki yang mengklasifikasikan dosa dalam dua macam, yaitu:
a. Amatsu-tsumi atau dosa-dosa surgawi yang dilakukan di surga. Amatsu-tsumi
merupakan kejahatan besar karena mengganggu pengolahan pertanian. Dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan ini dilakukan oleh Susanoo Mikoto di surga. Menurut
tradisi, Susanoo Mikoto melakukan berbagai tindakan bengis terhadap sawah suci milik Amaterasu Omikami dan ia juga mengotori istana suci milik Amaterasu
Omikami, yang diharapkan suci dan bersih dengan sempurna, dengan kotoran badan dan menguliti belang seekor anak kuda jantan piebald colt ketika dia baru
saja merayakan pesta hasil pertamanya. Tindakan-tindakan ini tentu saja tindakan jahat yang sah.
b. Kunitsu Tsumi atau dosa-dosa duniawi. Hal-hal yang diklasifikasikan ke dalam kategori dosa-dosa duniawi lebih pada dosa-dosa luar atau jasmaniah, sama
seperti dosa-dosa surgawi. Ini meliputi tindakan yang menyebabkan luka atau kematian, berzinah, penyakit tertentu yang menular, peracunan, menggunakan
ilmu sihir, dan hal-hal lainnya. Sesuatu yang diluar kontrol manusia seperti bahaya akibat dari petir,
burung-burung berbahaya, serangga, termasuk kunitsu tsumi. Dalam kasus ini masyarakat Jepang mencoba menyeka unsur-unsur buruk dengan mengadakan
upacara keagamaan. Ini artinya bahwa semua perbuatan manusia dan bahaya yang
Universitas Sumatera Utara
dari alam yang mengancam kelanjutan komunitas masyarakat dipandang sebagai dosa duniawi. Shinto percaya upacara penyucian berguna untuk menenangkan
unsur-unsur negatif yang ada di manusia dan alam, serta menguatkan unsur positif untuk membangun masyarakat yang lebih baik.
2.3 Pandangan Shinto Tentang Penyucian