Penyucian merupakan intisari dari ajaran Shinto, dan metode menyucikan tubuh dan jiwa dengan memakai air ini berasal dari mitos Izanagi no Mikoto yang
membersihkan dirinya dengan air untuk membuang semua kekotoran kematian ketika pulang dari Yama no Kuni dunia kematian. Bentuk yang lain dari
penyucian adalah penghindaran imi yang merupakan tabu bagi orang-orang tertentu atau tindakan-tindakan tertentu. Sebagai contoh, wanita tidak
diperbolehkan mendaki Gunung Fuji sampai tahun 1868, di era Meiji restorasi. Meskipun aspek ini telah berkurang dalam tahun-tahun belakangan ini,
masyarakat Jepang yang beragama tidak akan menggunakan kata yang sial seperti “potong” di pernikahan, maupun menghadiri sebuah pernikahan ketika mereka
masih berkabung.
5. Kuil. Penyembahan utama kami dilakukan di kuil, meskipun keluarga
Jepang juga biasa menyembah di depan kamidana altar Shinto di rumah. Ketika beberapa kuil-kuil umum memiliki struktur yang rumit, kebanyakan berbangunan
kecil dengan style arsitektur Jepang. Bagian arsitektur jinja yang khas sebagai tanda telah memasuki wilayah jinja adalah Torii. Torii ini adalah gerbang tanpa
pintu yang terbuat kayu dan dianggap bagian yang memisahkan dunia manusia hidup dan dunia kami tinggal. Terdapat juga Koma Inu, yaitu sepasang patung
anjing, singa ataupun rubah, dan binatang lainnya yang ditemukan di sisi kanan dan kiri, di depan kuil utama.
Sebelum memasuki ruang tempat berdoa Honden, penganut Shinto harus menyucikan diri mereka sebagai simbol dari kebersihan jasmani dan kesucian
batin. Hal ini dilakukan dengan membasuh tangan dan berkumur di Temizuya kolam yang disediakan di depan kuil sebagai pengganti untuk harae dan misogi
Universitas Sumatera Utara
karena untuk memasuki tempat yang dianggap agung harus dalam keadaan bersih. Mencuci mulut dengan berkumur-kumur bermakna membersihkan jiwa, dan
mencuci tangan bermakna membersihkan jasmani. Ada juga upacara penyucian untuk perbuatan buruk misalnya kriminalitas
dan penyucian untuk tubuh yang dianggap kotor karena kontak langsung dengan mayat maupun darah. Sarana yang digunakan untuk melakukan penyucian ini
adalah air. Shinto menekankan kebersihan kepada penganutnya, dan tidak ada orang yang dapat mendekati kami yang suci disaat tubuh dan pikirannya masih
kotor. Kebanyakan dewa memiliki karakteristik tidak menyukai pencemaran dari kematian, kotor, dan darah. Tidak satupun yang baru mengalami derita kematian
dalam sebuah keluarga boleh mendekati kuil untuk beberapa hari. Wanita tidak dibolehkan mengunjungi kuil selama masa akafuj
ō menstruasi dan beberapa hari setelah melahirkan.
Salah satu bukti bahwa kuil Shinto dan kesucian kebersihan tidak dapat dipisahkan adalah kapan pun jika bangunan suci itu tampak usang, akan
direnovasi. Kuil Ise di prefektur Mie, akan dibangun kembali setiap 20 tahun sekali baik karena rusak maupun tidak. Peraturan yang tegas ini mungkin menjadi
bagian dari manifestasi terhadap kesucian kami yang didalamnya dan bagian sifat bangsa Jepang yang sangat menghormati kesucian kebersihan.
Renovasi berarti mengganti bahan-bahan yang lama dengan bahan bangunan yang baru. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesucian jinja karena
bahan-bahan yang digunakan pun adalah bahan-bahan yang dipilih dan dilakukan dengan upacara keagamaan. Para pekerjanya pun harus disucikan dulu.
Universitas Sumatera Utara
6. Dewa. Sejak jaman Jomon 7000SM-250SM dimana masyarakat