Kannushi lalu memberikan isyarat kepada perwakilan untuk mengikutinya berjalan ke setiap sudut bangunan untuk penyucian dengan air dan kertas persegi
yang kecil-kecil. Lalu sampailah kepada persembahan berupa ranting kecil sakaki yang disebut tamagushi. Satu persatu diberikan tamagushi untuk diletakkan diatas
altar. Setelah melakukan hal tersebut, setiap orang menunduk dua kali, bertepuk tangan dua kali, dan yang terakhir menunduk sekali lagi yang merupakan cara
khusus mengambil perhatian dan menghormati kami. Selanjutnya dilakukan ritual pencangkulan tanah. Di gundukan tanah di
luar daerah suci, kannushi meletakkan jimat. Pemilik bangunan lalu mengambil bagian dalam ritual, menganggap dirinya mencangkul tiga kali sambil berteriak
“ei-ei-ei”. Ini diulangi oleh si arsitek dan tukang bangunan. Akhir dari ritual jichinsai, sake ditawarkan kepada semua yang hadir, dan waktunya mengirim
kembali kami. Jimat dibawa oleh si arsitek yang akan ditempatkan di dalam dasar bangunan. Kannushi kemudian mengumumkan bahwa upacara telah selesai.
Bambu dan tali yang menandai tempat yang suci akan tetap ada sampai pembangunan dimulai.
3.2 Yakubarai
厄払い Ritual ini untuk menenangkan kami yang sedang kesusahan, atau
penyucian seseorang untuk menghindari tahun-tahun kehidupan dimana bencana sering terjadi pada hidupnya. Ini kadang-kadang disalahartikan sebagai
pengusiran roh jahat exorcism, sebuah konsep pemikiran orang-orang barat, dimana baik dan buruk, Tuhan dan setan dilihat sebagai pesaing yang saling
memperebutkan jiwa manusia.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Jepang percaya di dalam kenyataannya kemalangan dan bencana dapat dihindari dengan cara upacara penyucian. Upacara yakubarai
biasanya dibuat seperti upacara yakudoshi barai atau dalam bentuk festival yang digelar setiap tanggal 3 februari yang disebut setsubun taisai
節分大祭 . Berikut
ini akan dijelaskan bagaimana setsubun taisai dilakukan di kuil Tsubaki: Sebelum upacara dilakukan, makanan untuk disajikan kami telah
dipersiapkan. Makanan ini bisa dua macam, yakni mentah dan masak, akan tetapi hal terpenting adalah tidak ada darah dan dimasak menggunakan api suci.
Makanan yang berupa omochi, beras, sake, ikan, sayuran, buah, dan teh ini diletakkan di meja kecil. Upacara dilaksanakan di dalam haiden dan diawali
dengan penyucian makanan yang akan dipersembahkan beserta segala benda yang akan digunakan saat upacara termasuk semua peserta yang hadir. Penyucian ini
dilakukan dengan cara mengibaskan haraigushi dari kiri, ke kanan, dan kembali ke kiri ke semua benda yang akan dipakai dan ke semua peserta yang hadir. Lalu
tiap-tiap peserta membungkuk dalam untuk memulai upacara. Sesudah itu persembahan makanan diberikan pada kami dan diikuti dengan membacakan doa
sakral norito memohon supaya kami menerima persembahan, turun ke bumi dan menemukan ketenangan, semua peserta mendapatkan pengembalian kesucian dari
kami, perlindungan, kebahagiaan, dan kesehatan. Kemudian upacara berpindah ke halaman kuil. Di halaman kuil sudah
tersedia hamaya 破 魔 矢
atau anak panah pengusir setan. Pendeta Shinto menembakkan tiga anak panah ke sasaran dengan maksud menyucikan masa lalu,
masa sekarang, dan masa depan. Lalu setiap peserta menaburkan kacang kedelai sambil meneriakkan “oni wa soto fuku wa uchi” yang artinya pergilah setan
Universitas Sumatera Utara
kemalangan, datanglah kebahagiaan. Setelah menebarkan kacang kedelai, upacara kembali dilanjutkan di dalam haiden. Pendeta Shinto dan perwakilan dari
peserta memberikan ranting sakral sakaki kepada kami. Lalu pendeta Shinto mengembalikan makanan yang dipersembahkan ke tempat semula. Terakhir,
semua peserta membungkuk sekali sebagai penutup upacara dan dapat menikmati sake yang sudah disucikan.
3.3 Yakudoshi Barai