2.1.4 Sekte-Sekte Penyucian Agama Shinto
Ada dua sekte yang diklasifikasikan sebag ai sekte penyucian: Shinshū
Kyō dan Misogi Kyō. Upacara penyucian memainkan bagian yang penting dalam kehidupan semua masyarakat Jepang. Ini ditandai karakteristik Shinto lama, dan
semua sekte memiliki beberapa bentuk penyucian, tetapi dala m Shinshū Kyō dan
Misogi Kyō upacara-upacara penyucian harus didahulukan daripada yang lainnya Bence, 1973 : 139. Dewa-dewa disembah oleh pengikut sekte ini, kitab mereka
didasarkan pada Kojiki dan Nihongi, dan perintah untuk penganutnya sama dengan sekte Shinto lainnya terlepas dari penekanan khusus kepada ritual
penyucian. Loyalitas kepada kaisar, saleh, tekun dalam melaksanakan kewajibannya, mempraktekkan jalan kami merupakan tema utama ajaran-
ajarannya. Upacara penyucian yang diselenggarakan oleh dua sekte ini adalah upacara pengabdian yang diadakan pada jaman mitologi untuk penyucian pikiran
dan tubuh dari kejahatan.
2.1.4.1 Shinshū Kyō
新宗教 Shinshū Kyō berarti “Pengajaran Pengetahuan Ketuhanan” Divine-
learning Teaching, penandaan yang diambil untuk menandakan bahwa doktrin dan praktek-praktek sekte ini mewujudkan suatu pengajaran ketuhanan yang
pokok isinya mengabadikan jalan mulia sacred way pada upacara-upacara Shinto kuno.
Biasanya hampir dengan semua penganut Shinto lainnya, Shinshū Kyō menyebut dirinya dengan sebutan umum Kamu-nagara-no Michi, “Sebagai
Jalan Dewa” The Way of the Gods as Such . Shinshū Kyō lebih lanjut memakai
gelar Mugon no Oshie 無言の教え
atau “Pengajaran yang tidak diucapkan”,
Universitas Sumatera Utara
yaitu pengajaran yang menempatkan penekanan utama pada upacara, khususnya upacara penyucian.
Sekte Shinshū didirikan oleh seorang yang setia pada kekaisaran di jaman restorasi bernama Yoshimura Masamochi. Dia dilahirkan pada tanggal 25 Oktober
1839 di pedalaman Mimasaka, suatu wilayah feodal yang sekarang menjadi bagian prefektur Okayama. Dia belajar dengan sarjana-sarjana ternama dan
menjadi menyolok karena pengetahuannya akan Cina klasik, sejarah, dan kesusteraan Jepang. Sebagai seorang pemuda, ia terpaksa melarikan diri sebelum
pemerintahan Tokugawa mengambil tindakan keras terhadap para pendukung penghidupan kembali kekuatan politik kerajaan. Ia mencari perlindungan di
Gunung Kurama dekat Kyōto. Disaat bermeditasi dia ingat akan apa yang telah dia pelajari dari neneknya yang keluarganya keturunan dari kependetaan
Nakatomi kuno dan mencurahkan sisa hidupnya untuk kebangkitan kembali Shinto dan pemulihan perintah lama peradaban pra-Nara ketika jalan dewa-dewa
Way of the Gods terjalin sempurna dengan kehidupan politik dan etika sosial. Dengan segera dia mempersiapkan diri dengan belajar berhati-hati dan menunggu
waktunya. Waktunya tidak datang sampai setelah restorasi. Dengan dikembalikannya keluarga kerajaan ke kekuasaan dan otoritas Tokugawa hancur,
dia menemukan kesempatan untuk keluar mengekspresikan semangat akan pendirianadat lama kebangsaan. Dia terkemuka dalam pergerakan menyadarkan
kuil-kuil Shinto kuno dan tidak suka kompromi dalam perlawanannya kepada Buddhisme. Setelah Shinto hidup kembali sebagai agama negara dia mencurahkan
dirinya selama tiga tahun kepada ketegangan dan berziarah ke tempat-tempat suci,
Universitas Sumatera Utara
dan kemudian dia mendapatkan wahyu bahwa dia harus mendirikan sekte baru. Dia mendirikan Shinshū Kyō dan menjadi pemimpin pendeta didalamnya.
Yoshimura mengajarkan tiga ajaran yang terdiri dari pengajaran essensial Shinto yaitu pemisahan dari yang jahat, menguatkan keinginan untuk mencapai
kemajuan yang konsisten, dan penyatuan dengan dewa. Pengajaran praktis bagi pengikutnya disebut 10 perintah
Kyōken Jikkajō yakni menyembah dewa-dewa besar sekte ini, menenangkan roh, mempraktekkan jalan kami, memuja-muja asal-
usul dewa, setia pada raja, rajin sebagai anak pada orang tua, baik kepada orang lain, tekun dalam berbisnis, memelihara kesabaran, dan membersihkan tubuh yang
“berkarat”. Menurut Yoshimura Shinto yang sejati adalah mengetahui yang
sebenarnya kebenaran agama hanya datang melalui hubungan secara personal yang dijalankan dalam upacara sakral dan dalam aktivitas penyucian. Di dalam
upacara, si penyembah bertatap muka dengan dewa di persekutuan dalam hati. Ada banyak upacara yang dilakukan sekte ini, antara lain:
a. Chinka Shiki, artinya menghilangkan sementara kekuatan api yang bisa membakar dan melukai. Sebuah alas besar yang berisi arang api yang menyala
dipersiapkan di halaman kuil. Di saat panasnya mulai naik di batas yang wajar, si roh api dikontrol pendeta dengan melambaikan stik penyucian haraigushi dan
pembacaan doa norito. Setelah roh api ditaklukkan, bara api yang menyala tidak dapat melukai mereka yang melintas diatasnya dengan telanjang kaki.
Pengikutsertaan ini dipercaya membersihkan tubuh dan jiwa dari yang jahat. b. Kugatachi Shiki, artinya upacara penyucian dengan air mendidih. Air dituang
kedalam panci besi yang dibawahnya terdapat api. Ketika air mulai mendidih,
Universitas Sumatera Utara
upacara mengusir roh api dilaksanakan oleh pendeta dengan melambaikan haraigushi diatas panci. Kemudian peserta mengaduk isi panci tersebut dengan
seikat daun bambu dan memercikkan air panas ke atas tubuhnya. Upacara ini dipandang efektif membersihkan badan dari yang jahat.
c. Batsujo h ō, artinya upacara membersihkan kekotoran batiniah dan mengusir
segala macam sikap yang jahat seperti egoisme, suka bersungut-sungut, marah, arogan dan semua ketakutan.
d. Monoimi ho, artinya mempertahankan tabu kuno terhadap makanan. e. Shinji ho, artinya upacara untuk mencegah roh manusia yang stagnasi dengan
cara memasukkan roh yang suci kedalam tubuh orang tersebut.
2.1.4.2 Misogi Kyō
禊教 Nama
Misogi Kyō, diambil dari kata kerja mi-sosogu, atau misogu yang artinya “membersihkan atau mencuci dengan air dingin”, atau mungkin
“membersihkan badan”. Jadi arti sebenarnya dari nama sekte ini menjadi “Pengajaran Penyucian”. Arti nama tersebut menandakan fakta bahwa
ketertarikan utama dari sekte ini adalah untuk mengabadikan upacara yang efektif untuk penyucian tubuh dan jiwa dari setan dan kenajisan kekotoran.
Pendirinya bernama Inouye Masakane 1790-1849, seorang penduduk asli Yedo. Hasratnya adalah untuk memastikan pengetahuan dan kedamaian agama
distimulasi sedini mungkin berdasarkan pada pendidikan yang dia terima dari ayahnya, seorang yang dipengaruhi sangat dalam oleh Buddhisme, Konfusianisme,
dan Jepang klasik. Di saat kematian ayahnya, Masakane mengembara dari tempat ke tempat, mencari kepuasan akan kebenaran dengan duduk di kaki berbagai
Universitas Sumatera Utara
pengajar, dan dalam prosesnya ia menyerap suatu campuran yang aneh seperti pelatihan militer, kecermatan Zen, pengetahuan pengobatan China, kepandaian
meramal di tangan, penyucian dengan pernapasan yang dalam, etika Konfusionisme, ritual Shinto, pengetahuan akan dunia, dan masih banyak lainnya.
Dia datang dibawah pengaruh Sekolah Shinto Yuiitsu dan akhirnya menjadikan dirinya sebagai guru agama. Di tahun 1840 dia menjadi pendeta Shinto.
Wataknya yang bermurah hati, membiasakan dia berbagi semua yang dia miliki dengan orang miskin, akibatnya dia seringkali tidak memiliki uang
sepersenpun untuk bermaksud membeli makanan bagi dirinya sendiri. Dalam kesempatan itu dia biasa berkata: “Untuk hari ini pikiran dewa telah menitahkan
saya untuk berpuasa” Holtom, 1938 : 241. Pandangan hidupnya yang luas bisa diukur dari kata-katanya: “Buatlah surga dan bumi menjadi rumahmu, dan
cakrawala menjadi gudangmu. Jadi engkau akan datang mengetahui kekayaan dan kehormatan yang memuaskan.”
Masakane rupanya seorang yang berjiwa bebas dan kegigihan opini yang kuat sekali, dan kualitas-kualitas ini segera membawa dia kedalam konflik dengan
orang-orang yang berkuasa. Ketakutan Shogun akan pengaruh Masakane kepada samurai-samurai muda yang bersama-sama dengan dia dalam jumlah yang besar
membawa dia ke pengasingan di tahun 1843 ke pulau Miyake di Izu. Dia menghabiskan hidupnya selama 6 tahun disana, mengajar para kriminal yang
ditahan dan melakukan surat menyurat dengan maksud memimpin keyakinan pengikutnya yang ada di rumah. Akhirnya dia memenangkan respek dan
kepercayaan dari orang-orang yang mengenal dia. Sepanjang pencariannya yang lain, dia belajar dan berpraktek pengobatan dan dikatakan dia telah
Universitas Sumatera Utara
menyembuhkan banyak orang yang sakit, sebagian dengan stimulasi keyakinan keagamaan. Dikatakan dia telah memiliki kekuatan untuk membuat mukjizat-
mukjizat penyembuhan dan membuat hujan turun di musim kekeringan. Dia melihat pernapasan yang dalam sebagai terapi penyembuhan yang
baik. Dalam hal ini dia menyatakan: “Banyak sekali penyakit muncul disebabkan roh terganggu, dan kacaubalau, serta tidak dapat beristirahat, dan juga karena
darah tidak beredar dengan lancar”. Bagi roh, tidak ada yang menyanggupi seni pernapasan. Karena alasan ini roh yang kebingungan dapat dibawa dibawah
kendali pernapasan rendah ke puser.” Holtom, 1938 : 241. Kematiannya di tahun 1849 meninggalkan pengajarannya yang seluruhnya
tidak berstruktur, akan tetapi di tahun ke-5 Meiji 1872 beberapa pengikutnya memperkenalkan suatu perkumpulan bernama
Tōkami Kō. Kemudian perkumpulan ini dibagi kedalam dua cabang, yang satu bergabung dengan gereja
Taisei Taisei Church sedangkan yang lainnya berkembang ke dalam Misogi Kyō hingga sekarang. Sekte ini mendapat pengakuan resmi sebagai badan yang
merdeka di tahun 1894. Tujuan utama sekte ini untuk mengabadikan dan memperluas pengaruh
doktrin kuno mengenai penyucian. Sekte ini mengajarkan bahwa setiap orang berdosa dan terkontaminasi dengan kekotoran baik tubuh dan jiwa roh. Satu-
satunya pembersihan sejati ada pada misogi harai atau upacara pengusiran kekotoran seperti yang dipraktekkan dalam Misogi Kyō. Pendirinya sering berkata
bahwa harta terbesar Negara Jepang adalah tiga agen penyucian. Tiga objek suci tersebut yang merupakan tanda kebesaran kerajaan yaitu: pedang, cermin, dan
seuntai permata yang diberikan oleh Amaterasu Omi Kami kepada cucunya,
Universitas Sumatera Utara
Ninigi no Mikoto, ketika turun dari langit dan memerintah Jepang. Dengan benda yang menakjubkan ini, semua kekotoran dapat dibersihkan. Bersamaan dengan ini
Masakane Holtom, 1938 : 242 menyatakan adanya doa ajaib: Tōkami emitame, Harai tamai, Kiyome tamō, “Ye distant gods, smile
upon us, we pray; drive out evil, we pray; cleanse us, we pray.”, artinya: “Ya dewa-dewa yang jauh, tersenyumlah pada kami, kami berdoa; usirlah setan,
kami berdoa; bersihkanlah kami, kami berdoa.” Para penyembah diajarkan apabila menyanyikan kata-kata diatas dengan
kesungguhan yang mendalam dan berkomitmen seluruh hidupnya untuk kehendak dewa-dewa, maka dia akan dibuat bergembira dari penyucian yang tidak
tanggung-tanggung baik tubuh dan jiwa roh. Masakane mengajarkan: “Tidak ada seorang pun yang tanpa dosa dan kekotoran. Dengan metode penyucian dan
pengusiran dari setan ini dosa-dosa dan kekotoran dapat dibersihkan. Jika seseorang memanjatkan doa tanpa henti dan berkomitmen dengan kepercayaan
penuh seluruh kesejahteraannya untuk kehendak ilahi, dia akan sadar penyucian tubuh dan jiwa yang menentukan.”
2.2 Pandangan Shinto Tentang Kekotoran 2.2.1 Kegare
穢れ Dalam folklor Jepang dikatakan masyarakat Jepang biasa hidup dalam dua
hari yang terpisah antara “hare” yang artinya hari yang luar biasa dan bergembira, hari-hari upacara, dan “ke” yang dihubungkan pada hari-hari biasa atau normal.
Di hari “hare” orang-orang merasakan bebas dari pekerjaan sehari-hari dan kehidupan itu sendiri. Mereka memakai kostum spesial yang cantik, kimono, yang
Universitas Sumatera Utara