Metode Penelitian Pandangan Shinto Tentang Penyucian

2 Dapat dipergunakan sebagai referensi oleh penulis lain dalam menulis skripsi yang berhubungan dengan topik seperti yang diteliti oleh penulis.

1.6 Metode Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan Metode Deskriptif. Menurut Koentjaraningrat 1976 : 30 bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah penelitian yang secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data. Untuk mendapatkan data tertulis, penulis menggunakan teknik pengumpulan secara studi kepustakaan Library Research, yakni suatu metode pengumpulan data-data untuk mengungkapkan berbagai teori, pandangan hidup, pemikiran filsafat, dan lain-lain, yang dapat ditemui dalam berbagai peninggalan tertulis, dengan cara membaca buku-buku atau reverensi yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini. Dalam hal ini penulis memanfaatkan Perpustakaan The Japan Foundation dan Konsulat Jenderal Jepang, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan Perpustakaan Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara. Dalam penelitian ini juga, penulis banyak mempergunakan buku-buku berbahasa asing, sehingga mempergunakan Metode Terjemahan Semantis. Universitas Sumatera Utara Metode Terjemahan Semantis yaitu metode yang mempertimbangkan unsur estetika teks bahasa sumber dengan menyamakan makna, selama masih dalam batas kewajaran. Selain itu, kata yang bermakna budaya dapat diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah fungsional Rochayah, 2000 : 52. Universitas Sumatera Utara BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HARAE DAN PANDANGAN SHINTO TENTANG KEKOTORAN 2.1 Shinto 2.1.1 Sejarah dan Pengertian Shinto Agama Shinto yang terbentuk di dalam masyarakat Jepang dewasa ini, pada dasarnya berasal dari Jinja Shinto. Jinja Shinto adalah ritual yang dilakukan masyarakat lokal di sebuah jinja, ini dijuluki dengan istilah lain yaitu Shinto primitif dikategorikan sebagai agama yang sumbernya dapat ditelusuri dalam masyarakat tani primitif Jepang. Shinto primitif diduga telah terbentuk pada jaman Yayoi sekitar abad 2 SM dimulai dengan berkembangnya sistem pertanian yang dikerjakan secara menetap di lereng-lereng pegunungan dan dataran-dataran yang agak tinggi. Pada jaman Yayoi diperkirakan telah diselengarakan matsuri-matsuri, dan di antaranya adalah matsuri yang bertujuan untuk mendapatkan panen padi yang berlimpah. Matsuri atau upacara-upacara keagamaan ini diperkirakan telah dilakukan oleh orang Jepang sejak mereka menyadari akan eksistensinya di dalam kehidupan. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya benda-benda peninggalan kubur, benda peninggalan yang ada hubungannya dengan Jinja lama dan benda-benda peninggalan yang berhubungan dengan alam, seperti pohon, pulau, danau, batu karang yang banyak ditemukan di gunung-gunung, dan sebagainya serta ditunjang dengan data-data tertulis yang jelas mengacu pada konsep matsuri dan pemujaan alam. Dengan demikian kita dapat mengetahui Universitas Sumatera Utara bahwa pada jaman Yayoi telah berlaku konsep-konsep yang berhubungan dengan animisme dan pemujaan alam walaupun masih dalam pemikiran yang sangat sederhana. Selain cincin permata, pedang dari perunggu, tulang untuk meramal, senjata dari perunggu dan benda-benda peninggalan lainnya, juga ditemukan patung dari tanah yang disebut dengan Haniwa. Dari haniwa yang diketemukan tersebut, terdapat patung-patung wanita yang ditafsirkan bahwa wanita mempunyai pengaruh yang besar di dalam kehidupan masyarakat tani Jepang pada masa itu, dalam arti patung tersebut dijadikan sebagai simbol kesuburan untuk mendapatkan panen padi yang berlimpah. Selanjutnya peranan wanita ini erat kaitannya dengan mite-mite yang telah ada dan berkembang di dalam masyarakat tani. Di dalam mite diceritakan bahwa nenek moyang dan kepulauan Jepang berasal dari dewa matahari yang disebut Amaterasu Omikami yang jelas tertulis dalam Nihon Shoki 720. Dari sebuah babad Cina yang bernama Weishi terdapat sebuah bab yang berjudul Gishi Wajinden yang menerangkan bahwa kira-kira pada abad ke-3, Jepang dikuasai oleh seorang kaisar wanita yang bernama Himiko. Dijelaskan pula bahwa Himiko mempunyai kekuatan gaib. Adapun data-data yang menerangkan bahwa di Jepang sejak beberapa abad yang lalu telah dikenal matsuri, juga dapat kita buktikan dari data-data tertulis, misalnya babad Jepang seperti Fudoki 713, Kojiki 712, dan data-data tertulis jaman kuno lain, yaitu dari Norito, Koga Shui 807, Manyoshu, dan sebagainya. Di antara bukti-bukti peninggalan matsuri, ada yang berupa benda-benda alam, seperti pohon, batu-batu, dan peninggalan yang berupa batu-batu karang Universitas Sumatera Utara merupakan peninggalan yang amat banyak ditemukan di gunung-gunug. Orang Jepang beranggapan bahwa batu karang merupakan tempat tinggalnya dewa. Peninggalan matsuri yang berupa batu-batu karang tersebut dapat dibagi dua macam, yaitu kuburan batu karang yang berbentuk bulat yang ada di puncak- puncak gunung yang disebut dengan Kamubi, contohnya Izunomikurayama di propinsi Nara dan Michiyama di propinsi Shizuoka. Jenis yang kedua berupa kuburan yang berbentuk bulat tetapi ada di puncak-puncak bukit, contohnya Fujiyama dan Futarayama di Nikko. Di samping peninggalan yang berbentuk batu-batu karang, peninggalan yang berhubungan dengan air juga merupakan salah satu peninggalan matsuri jaman kuno, contohnya peninggalan dewa lautan yang muncul pada pertengahan abad ke-4 di Okitsumiya yakni Jinja Suzo. Kemudian agama Buddha yang menyebar ke Jepang pada permulaan abad ke-6 dari Cina begitu demikian pesat mempengaruhi cara berpikir orang Jepang. Walaupun agama Buddha berkembang sangat meningkat pada masa Heian abad VIII-XII, namun Shinto yang dianggap sebagai kepercayaan asli bangsa Jepang tetap mempertahankan eksistensinya dengan mengadakan asimilasi dengan agama Buddha. Kata Shinto itu sendiri mempunyai makna Jalan kami. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan pengertian Shinto seperti pendapat Shapiro dalam Rahmadayani, 2005 : 22 bahwa Shinto adalah sebuah agama animisme yang terbawa dengan kebudayaan beras, kegiatan ini diisi dengan kedewataan untuk mencari kehebatan Jepang yang kuat. Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Praktek dan Pengajaran Shinto

Di dalam praktek dan pengajaran Shinto, terdapat enam poin utama yang dapat menjelaskan Shinto secara umum. Berikut ini akan dijelaskan keenam poin tersebut.

1. Akhirat afterlife. Karena Shinto sudah berdampingan dengan Buddha

selama lebih dari 1000 tahun, sangat sulit melepaskan kepercayaan Shinto dan Buddha tentang dunia. Buddha menekankan akhirat dan akhir perputaran kelahiran kembali, Shinto menekankan kehidupan ini dan menemukan kebahagiaan didalamnya. Meskipun Buddha dan Shinto memiliki perbedaan perspektif mengenai dunia, masyarakat Jepang tidak melihat dibutuhkannya penyatuan kedua perbedaan ini. Perbedaan perspektif akan dunia dilihat sebagai pelengkap. Jadi biasa bagi orang Jepang untuk mempraktekkan Shinto di kehidupan dan memiliki pemakaman secara Buddha. Bagi para penganut Shinto, mereka memandang bahwa “dunia lain” bukanlah sebagai “dunia khayalan” surga ataupun neraka dan “dunia lain” ini tidak berbeda dari dunia yang sekarang mereka tempati. Bagi mereka “dunia lain” adalah sebutan untuk mengacu pada tempat bersemayamnya para kami dan mereka beranggapan bahwa roh orang yang sudah meninggal bisa kembali mengunjungi dunia nyata ini jika yang masih hidup melakukan ritual-ritual persembahan bagi kami. Mereka juga meyakini kami dan roh leluhur akan melindungi keturunan mereka selama para keturunan tersebut melakukan ritual secara berkelanjutan. Shinto bukanlah agama yang fokus pada kehidupan sesudah mati melainkan fokus pada dunia ini. Universitas Sumatera Utara Pada saat seseorang meninggal, rohnya berada dalam kekotoran karena sesuai konsep kepercayaan Shinto mayat dianggap sebagai kekotoran. Berhubungan dalam kondisi kotor dan labil maka keluarga yang masih hidup melakukan upacara-upacara selama 49 tahun yang ditujukan kepada roh tersebut yang disebut “Seibutsu Gedatsu” yaitu proses roh seseorang hingga mencapai Tomurai Age menjadi dewa.

2. Empat ketetapan. Meskipun Shinto tidak memiliki perintah mutlak

kepada jemaatnya diluar kehidupan “sederhana dan harmonis dengan alam dan manusia”, namun ada empat hal yang ditetapkan dalam agama Shinto, yaitu tradisi dan keluarga, menjaga alam, kebersihan jasmani, dan matsuri. Tradisi dan keluarga maksudnya bahwa keluarga merupakan mekanisme yang menjadi pilar utama untuk memelihara dan menjaga tradisi Shinto. Menjaga alam maksudnya bahwa alam adalah sesuatu yang suci sehingga untuk berhubungan dengan alam berarti dekat dengan kami. Objek-objek alam disembah karena memiliki roh suci. Kebersihan jasmani maksudnya pengikut Shinto sering melakukan ritual pembersihan diri seperti mandi, mencuci tangan dan berkumur. Matsuri adalah pemujaan dan penyataan rasa hormat kepada kami.

3. Dosa dan kekotoran. Salah satu karakteristik khusus konsep kegare

kekotoran di masa dahulu adalah hubungannya yang dekat dengan konsep tsumi dosa. Istilah bahasa Jepang tsumi, tidak boleh dihubungkan dengan konsep dosa milik Yahudi atau Kristiani karena jika tidak hal ini sangat mudah membuat orang tersesat dalam memahami tsumi. Karakteristik lainnya dari kegare dan tsumi adalah mereka dapat menular dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung. Jadi orang-orang yang terkontaminasi diharuskan melakukan penyucian Universitas Sumatera Utara atau memisahkan diri mereka dari kehidupan sehari-hari untuk jangka waktu tertentu. Keterangan lebih lengkap mengenai kegare dan tsumi akan dibahas pada bab berikutnya.

4. Penyucian. Upacara-upacara penyucian adalah bagian yang vital bagi

agama Shinto. Ini dijalankan untuk mendamaikan kami yang sedang gelisah, misalnya ketika kuil mereka harus dipindahkan. Upacara-upacara tersebut juga telah disesuaikan untuk kehidupan yang modern. Sebagai contoh, sebuah upacara diadakan untuk menyucikan misi pesawat Apollo 11 ke bulan., bangunan- bangunan baru yang dibangun di Jepang sering diberkati oleh pendeta Shinto sepanjang upacara pencangkulan pertama, dan banyak mobil yang diproduksi di Jepang diberkati sebagai bagian proses pemasangan. Upacara penyucian individu biasa dengan air, seperti berdiri di bawah air terjun atau menjalankan ritual pembersihan di sungai atau di laut. Karena sungai atau laut yang luas dan dalam dipercaya dapat melenyapkan segala kekotoran yang menodai manusia dan merubahnya lagi menjadi seperti semula yang suci. Garam maupun air laut salt water juga dipercaya sebagai unsur penyucian yang sangat kuat dibandingkan air biasa. Contohnya, garam yang disebarkan oleh pemain sumo sebelum bertanding untuk mengusir setan dan kekotoran dari arena sumo tersebut, dan di depan pintu masuk restoran Jepang setumpuk kecil garam diletakkan. Hal ini menunjukkan kebersihan kesucian restoran tersebut. Contoh lainnya dapat kita lihat ketika seseorang setelah menghadiri pemakaman orang lain, menaburkan garam di pintu masuk rumahnya untuk mencegah kecemaran akibat kematian dari rumah orang yang berkabung. Universitas Sumatera Utara Penyucian merupakan intisari dari ajaran Shinto, dan metode menyucikan tubuh dan jiwa dengan memakai air ini berasal dari mitos Izanagi no Mikoto yang membersihkan dirinya dengan air untuk membuang semua kekotoran kematian ketika pulang dari Yama no Kuni dunia kematian. Bentuk yang lain dari penyucian adalah penghindaran imi yang merupakan tabu bagi orang-orang tertentu atau tindakan-tindakan tertentu. Sebagai contoh, wanita tidak diperbolehkan mendaki Gunung Fuji sampai tahun 1868, di era Meiji restorasi. Meskipun aspek ini telah berkurang dalam tahun-tahun belakangan ini, masyarakat Jepang yang beragama tidak akan menggunakan kata yang sial seperti “potong” di pernikahan, maupun menghadiri sebuah pernikahan ketika mereka masih berkabung.

5. Kuil. Penyembahan utama kami dilakukan di kuil, meskipun keluarga

Jepang juga biasa menyembah di depan kamidana altar Shinto di rumah. Ketika beberapa kuil-kuil umum memiliki struktur yang rumit, kebanyakan berbangunan kecil dengan style arsitektur Jepang. Bagian arsitektur jinja yang khas sebagai tanda telah memasuki wilayah jinja adalah Torii. Torii ini adalah gerbang tanpa pintu yang terbuat kayu dan dianggap bagian yang memisahkan dunia manusia hidup dan dunia kami tinggal. Terdapat juga Koma Inu, yaitu sepasang patung anjing, singa ataupun rubah, dan binatang lainnya yang ditemukan di sisi kanan dan kiri, di depan kuil utama. Sebelum memasuki ruang tempat berdoa Honden, penganut Shinto harus menyucikan diri mereka sebagai simbol dari kebersihan jasmani dan kesucian batin. Hal ini dilakukan dengan membasuh tangan dan berkumur di Temizuya kolam yang disediakan di depan kuil sebagai pengganti untuk harae dan misogi Universitas Sumatera Utara karena untuk memasuki tempat yang dianggap agung harus dalam keadaan bersih. Mencuci mulut dengan berkumur-kumur bermakna membersihkan jiwa, dan mencuci tangan bermakna membersihkan jasmani. Ada juga upacara penyucian untuk perbuatan buruk misalnya kriminalitas dan penyucian untuk tubuh yang dianggap kotor karena kontak langsung dengan mayat maupun darah. Sarana yang digunakan untuk melakukan penyucian ini adalah air. Shinto menekankan kebersihan kepada penganutnya, dan tidak ada orang yang dapat mendekati kami yang suci disaat tubuh dan pikirannya masih kotor. Kebanyakan dewa memiliki karakteristik tidak menyukai pencemaran dari kematian, kotor, dan darah. Tidak satupun yang baru mengalami derita kematian dalam sebuah keluarga boleh mendekati kuil untuk beberapa hari. Wanita tidak dibolehkan mengunjungi kuil selama masa akafuj ō menstruasi dan beberapa hari setelah melahirkan. Salah satu bukti bahwa kuil Shinto dan kesucian kebersihan tidak dapat dipisahkan adalah kapan pun jika bangunan suci itu tampak usang, akan direnovasi. Kuil Ise di prefektur Mie, akan dibangun kembali setiap 20 tahun sekali baik karena rusak maupun tidak. Peraturan yang tegas ini mungkin menjadi bagian dari manifestasi terhadap kesucian kami yang didalamnya dan bagian sifat bangsa Jepang yang sangat menghormati kesucian kebersihan. Renovasi berarti mengganti bahan-bahan yang lama dengan bahan bangunan yang baru. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesucian jinja karena bahan-bahan yang digunakan pun adalah bahan-bahan yang dipilih dan dilakukan dengan upacara keagamaan. Para pekerjanya pun harus disucikan dulu. Universitas Sumatera Utara

6. Dewa. Sejak jaman Jomon 7000SM-250SM dimana masyarakat

Jepang pada saat itu sudah mengenal pemujaan terhadap roh, hingga sekarang orang Jepang beranggapan bahwa walaupun jasadnya mati, tetapi rohnya masih tetap ada, dan roh tersebut akan menyatu dengan roh nenek moyang terdahulu dan lama kelamaan roh tersebut akan menjadi kami yaitu dewa Shinto untuk selanjutnya akan disebut kami. Roh tersebut akan bersemayam di tempat yang nyaman seperti di laut atau digunung. Biasanya di tempat bersemayamnya kami dapat dengan mudah ditemukan kuil-kuil tempat memuja kami. Orang akan datang untuk memuja dan meminta sesuatu kepada kami. Dalam agama Shinto hubungan antara manusia dan dewa sangat erat. Sehubungan dengan keyakinan seperti itu, dipercaya bahwa apabila seseorang meninggal maka orang tersebut akan menjadi kami dan hubungan tersebut tidak akan putus. Shinto juga mengenal pemujaan tidak hanya kepada ujigami yaitu dewa klen tetapi juga kepada orang- orang yang dianggap berjasa atau dihormati semasa hidupnya seperti Sugawara Michizane seorang budayawan di jaman Heian abad VIII-abad XI misalnya, hingga sekarang dipuja sebagai dewa ilmu pengetahuan di kuil Shinto Dazaifu di daerah Fukuoka di bagian distrik Kyushu. Sumber utama atas sejarah Jepang adalah Kojiki dan Nihon Shoki. Menurut sumber tersebut, Izanagi no Mikoto dan Izanami no Mikoto adalah sepasang dewa yang pada akhirnya anak mereka menjadi dewa-dewa pada berbagai klan di Jepang. Amaterasu Omikami dewa matahari adalah salah satu anak mereka, dimana keluarga kekaisaran mengklaim bahwa mereka adalah keturunan Dewa Matahari. Dewa matahari ini dilambangkan oleh cermin, salah satu dari 3 objek cermin, pedang dan permata simbolik lambang kekaisaran yang Universitas Sumatera Utara mencerminkan kekuasaan dewa atas keluarga kaisar. Dalam Shinto, kesucian dan kebersihan adalah syarat pertama dari sebuah cermin dan cermin tersebut dianggap sebagai jiwa seseorang. Cermin yang buram dianggap sebagai jiwa yang kotor dengan pikiran setan. Hal ini mengajarkan kepada masyarakat untuk membersihkan jiwa mereka seperti cermin yang bersinar Joya, 1960 : 9. Kojiki dan Nihon Shoki juga mengkisahkan kematian Izanami no Mikoto, setelah melahirkan dewa api. Singkat cerita, Izanagi memenggal kepala dewa api dan menyusul istrinya ke Yomi no Kuni. Setelah melihat istrinya yang penuh ulat Izanagi lalu lari. Istrinya merasa dipermalukan dan menyatakan bahwa setiap hari ia akan mencekik seribu orang dari dunia orang hidup, dan sang suami menjawab bahwa ia setiap hari akan melahirkan 1500 bayi. Dari kisah tersebut dapat diambil poin: 1 Kami tidak abadi, mereka bisa mati; 2 Ketika kami mati, mereka membusuk seperti manusia; 3 Kami memiliki perasaan, mereka menderita seperti manusia karena kehilangan; 4 Kami tidak sangat kuat karena mereka dapat terkontaminasi kekotoran; 5 Kematian adalah sesuatu yang buruk dan mengacaukan keharmonisan masyarakat; 6 Roh yang tinggal di dunia orang mati adalah jahat dan kesepian, serta suka menarik orang dari dunia orang hidup; 7 Manusia harus menjauhi apapun yang berhubungan dengan kematian; 8 Kami memiliki tanggung jawab berdasarkan janji Izanagi untuk mendukung kelahiran dan memberkati kehidupan seperti pernikahan, masuk universitas, mendapat promosi, memberikan keselamatan dalam perjalanan, dan kebahagiaan lainnya http:www.bbc.co.ukreligionreligionsshintoritesritualsharae.shtml Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Kuil Shinto

Jinja merupakan tempat peribadatan yang berfungsi untuk melakukan pemujaan terhadap dewa, ataupun dapat juga digunakan sebagai tempat upacara lain, seperti acara pernikahan. Jinja berasal dari kata Yashiro yang berarti tempat beberapa tipe bangunan. Pada dahulu kala, acara ritual dilakukan di luar ruangan. Pada masa itu jarang ada yang mempunyai tipe rumah seperti Izumo Taisha untuk pertunjukan ritual. Pada hari itu, daerah-daerah yang tidak dicemari dipilih dan dibatasi dan sebuah pohon ditanam sebagai objek dimana kami diundang. Tempat ini temasuk pohon yang disebut Himorogi. Ketika sebongkah batu dipilih sebagai pengganti sebuah pohon, tempat itu disebut Iwasaka, dan ritual-ritual dilakukan di Himorogi dan Iwasaka. Ketika Buddha dibawa ke Jepang dan melakukan pemujaan oleh keluarga Soga, mereka menyembah sebuah bangunan yang menggambarkan sebuah Buddha. Hal inilah yang mempengaruhi pemikiran Shinto, dan memulai menyembah roh-roh kami disebuah gedung dan menjadi lebih terkenal dibandingkan dengan masa lalu. Dahulu kala ritual ini bisa dilihat di Jichinsai, sebuah ritual yang dilakukan di sebuah bangunan untuk menunjukkan kehormatan orang melalui kami daerah untuk berdoa demi keamanan. Shinto dipengaruhi oleh gaya penyembahan Buddha, tetapi tidak pernah digunakan pada kami sebagai objek penyembahan kecuali di abad pertengahan 1192-1603 selama kuil diabdikan untuk kami yang mirip dengan Buddha. Bangunan kuil Shinto digunakan untuk mengangkat tipe dari gudang lantai atas atau rumah kediaman, seperti kuil besar Ise, yang materialnya terbuat dari Universitas Sumatera Utara kayu-kayu sederhana dan atap jerami. Tetapi sepanjang sejarah kemudian banyak bentuk-bentuk berbeda yang dikembangkan dibawah pengaruh Buddha dan pemikiran Yin-Yang, dan mereka mulai menggunakan bahan material yang berwarna dan penambahan seni ukur. Sekarang pembangunan kuil menggunakan fondasi beton yang anti api. Sekarang ini kata jinja diterjemahkan sebagai kuil yang mempunyai tempat berteduh. Tetapi sebenarnya jinja berbeda dengan kuil pada umumnya. Kuil pada umumnya berarti bangunan yang berisi abu manusia yang telah meninggal sama dengan Byo yang ada di Cina. Sedangkan jinja hanya untuk menyembah kami dan pelayanan keagamaan yang ditampilkan dalam bentuk penyembahan benda yang dipercaya memiliki roh kami. Adapun ritual-ritual yang berlangsung pada saat berkunjung ke kuil yaitu sebagai berikut: 1. Chozuyatemizu, yaitu upacara penyucian diri. Ini dilakukan di halaman kuil dengan menggunakan air. Seluruh tubuh disiram dengan air, air pertama disiram ke tangan kiri kemudian tangan kanan dan selanjutnya berkumur-kumur. 2. Memasuki altar, yaitu ruangan didalam kuil, dan memberikan sumbangan ke kotak yang disediakan sambil membuat permohonan doa 3. Menyentuh lonceng dan menarik talinya sebanyak 2-3 kali dengan menggunakan tangan kanan. Hal ini dimasudkan untuk memohon kekuatan pada dewa. 4. Setelah selesai ritual di dalam kuil, maka pengunjung menuju keluar, dan di depan gerbang sebelum meninggalkan kuil para pengunjung tersebut akan menundukkan kepala sebanyak dua kali dan terakhir menundukkan kepala sekali lagi sebelum akhirnya meninggalkan kuil tersebut. Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Sekte-Sekte Penyucian Agama Shinto

Ada dua sekte yang diklasifikasikan sebag ai sekte penyucian: Shinshū Kyō dan Misogi Kyō. Upacara penyucian memainkan bagian yang penting dalam kehidupan semua masyarakat Jepang. Ini ditandai karakteristik Shinto lama, dan semua sekte memiliki beberapa bentuk penyucian, tetapi dala m Shinshū Kyō dan Misogi Kyō upacara-upacara penyucian harus didahulukan daripada yang lainnya Bence, 1973 : 139. Dewa-dewa disembah oleh pengikut sekte ini, kitab mereka didasarkan pada Kojiki dan Nihongi, dan perintah untuk penganutnya sama dengan sekte Shinto lainnya terlepas dari penekanan khusus kepada ritual penyucian. Loyalitas kepada kaisar, saleh, tekun dalam melaksanakan kewajibannya, mempraktekkan jalan kami merupakan tema utama ajaran- ajarannya. Upacara penyucian yang diselenggarakan oleh dua sekte ini adalah upacara pengabdian yang diadakan pada jaman mitologi untuk penyucian pikiran dan tubuh dari kejahatan.

2.1.4.1 Shinshū Kyō

新宗教 Shinshū Kyō berarti “Pengajaran Pengetahuan Ketuhanan” Divine- learning Teaching, penandaan yang diambil untuk menandakan bahwa doktrin dan praktek-praktek sekte ini mewujudkan suatu pengajaran ketuhanan yang pokok isinya mengabadikan jalan mulia sacred way pada upacara-upacara Shinto kuno. Biasanya hampir dengan semua penganut Shinto lainnya, Shinshū Kyō menyebut dirinya dengan sebutan umum Kamu-nagara-no Michi, “Sebagai Jalan Dewa” The Way of the Gods as Such . Shinshū Kyō lebih lanjut memakai gelar Mugon no Oshie 無言の教え atau “Pengajaran yang tidak diucapkan”, Universitas Sumatera Utara yaitu pengajaran yang menempatkan penekanan utama pada upacara, khususnya upacara penyucian. Sekte Shinshū didirikan oleh seorang yang setia pada kekaisaran di jaman restorasi bernama Yoshimura Masamochi. Dia dilahirkan pada tanggal 25 Oktober 1839 di pedalaman Mimasaka, suatu wilayah feodal yang sekarang menjadi bagian prefektur Okayama. Dia belajar dengan sarjana-sarjana ternama dan menjadi menyolok karena pengetahuannya akan Cina klasik, sejarah, dan kesusteraan Jepang. Sebagai seorang pemuda, ia terpaksa melarikan diri sebelum pemerintahan Tokugawa mengambil tindakan keras terhadap para pendukung penghidupan kembali kekuatan politik kerajaan. Ia mencari perlindungan di Gunung Kurama dekat Kyōto. Disaat bermeditasi dia ingat akan apa yang telah dia pelajari dari neneknya yang keluarganya keturunan dari kependetaan Nakatomi kuno dan mencurahkan sisa hidupnya untuk kebangkitan kembali Shinto dan pemulihan perintah lama peradaban pra-Nara ketika jalan dewa-dewa Way of the Gods terjalin sempurna dengan kehidupan politik dan etika sosial. Dengan segera dia mempersiapkan diri dengan belajar berhati-hati dan menunggu waktunya. Waktunya tidak datang sampai setelah restorasi. Dengan dikembalikannya keluarga kerajaan ke kekuasaan dan otoritas Tokugawa hancur, dia menemukan kesempatan untuk keluar mengekspresikan semangat akan pendirianadat lama kebangsaan. Dia terkemuka dalam pergerakan menyadarkan kuil-kuil Shinto kuno dan tidak suka kompromi dalam perlawanannya kepada Buddhisme. Setelah Shinto hidup kembali sebagai agama negara dia mencurahkan dirinya selama tiga tahun kepada ketegangan dan berziarah ke tempat-tempat suci, Universitas Sumatera Utara dan kemudian dia mendapatkan wahyu bahwa dia harus mendirikan sekte baru. Dia mendirikan Shinshū Kyō dan menjadi pemimpin pendeta didalamnya. Yoshimura mengajarkan tiga ajaran yang terdiri dari pengajaran essensial Shinto yaitu pemisahan dari yang jahat, menguatkan keinginan untuk mencapai kemajuan yang konsisten, dan penyatuan dengan dewa. Pengajaran praktis bagi pengikutnya disebut 10 perintah Kyōken Jikkajō yakni menyembah dewa-dewa besar sekte ini, menenangkan roh, mempraktekkan jalan kami, memuja-muja asal- usul dewa, setia pada raja, rajin sebagai anak pada orang tua, baik kepada orang lain, tekun dalam berbisnis, memelihara kesabaran, dan membersihkan tubuh yang “berkarat”. Menurut Yoshimura Shinto yang sejati adalah mengetahui yang sebenarnya kebenaran agama hanya datang melalui hubungan secara personal yang dijalankan dalam upacara sakral dan dalam aktivitas penyucian. Di dalam upacara, si penyembah bertatap muka dengan dewa di persekutuan dalam hati. Ada banyak upacara yang dilakukan sekte ini, antara lain: a. Chinka Shiki, artinya menghilangkan sementara kekuatan api yang bisa membakar dan melukai. Sebuah alas besar yang berisi arang api yang menyala dipersiapkan di halaman kuil. Di saat panasnya mulai naik di batas yang wajar, si roh api dikontrol pendeta dengan melambaikan stik penyucian haraigushi dan pembacaan doa norito. Setelah roh api ditaklukkan, bara api yang menyala tidak dapat melukai mereka yang melintas diatasnya dengan telanjang kaki. Pengikutsertaan ini dipercaya membersihkan tubuh dan jiwa dari yang jahat. b. Kugatachi Shiki, artinya upacara penyucian dengan air mendidih. Air dituang kedalam panci besi yang dibawahnya terdapat api. Ketika air mulai mendidih, Universitas Sumatera Utara upacara mengusir roh api dilaksanakan oleh pendeta dengan melambaikan haraigushi diatas panci. Kemudian peserta mengaduk isi panci tersebut dengan seikat daun bambu dan memercikkan air panas ke atas tubuhnya. Upacara ini dipandang efektif membersihkan badan dari yang jahat. c. Batsujo h ō, artinya upacara membersihkan kekotoran batiniah dan mengusir segala macam sikap yang jahat seperti egoisme, suka bersungut-sungut, marah, arogan dan semua ketakutan. d. Monoimi ho, artinya mempertahankan tabu kuno terhadap makanan. e. Shinji ho, artinya upacara untuk mencegah roh manusia yang stagnasi dengan cara memasukkan roh yang suci kedalam tubuh orang tersebut.

2.1.4.2 Misogi Kyō

禊教 Nama Misogi Kyō, diambil dari kata kerja mi-sosogu, atau misogu yang artinya “membersihkan atau mencuci dengan air dingin”, atau mungkin “membersihkan badan”. Jadi arti sebenarnya dari nama sekte ini menjadi “Pengajaran Penyucian”. Arti nama tersebut menandakan fakta bahwa ketertarikan utama dari sekte ini adalah untuk mengabadikan upacara yang efektif untuk penyucian tubuh dan jiwa dari setan dan kenajisan kekotoran. Pendirinya bernama Inouye Masakane 1790-1849, seorang penduduk asli Yedo. Hasratnya adalah untuk memastikan pengetahuan dan kedamaian agama distimulasi sedini mungkin berdasarkan pada pendidikan yang dia terima dari ayahnya, seorang yang dipengaruhi sangat dalam oleh Buddhisme, Konfusianisme, dan Jepang klasik. Di saat kematian ayahnya, Masakane mengembara dari tempat ke tempat, mencari kepuasan akan kebenaran dengan duduk di kaki berbagai Universitas Sumatera Utara pengajar, dan dalam prosesnya ia menyerap suatu campuran yang aneh seperti pelatihan militer, kecermatan Zen, pengetahuan pengobatan China, kepandaian meramal di tangan, penyucian dengan pernapasan yang dalam, etika Konfusionisme, ritual Shinto, pengetahuan akan dunia, dan masih banyak lainnya. Dia datang dibawah pengaruh Sekolah Shinto Yuiitsu dan akhirnya menjadikan dirinya sebagai guru agama. Di tahun 1840 dia menjadi pendeta Shinto. Wataknya yang bermurah hati, membiasakan dia berbagi semua yang dia miliki dengan orang miskin, akibatnya dia seringkali tidak memiliki uang sepersenpun untuk bermaksud membeli makanan bagi dirinya sendiri. Dalam kesempatan itu dia biasa berkata: “Untuk hari ini pikiran dewa telah menitahkan saya untuk berpuasa” Holtom, 1938 : 241. Pandangan hidupnya yang luas bisa diukur dari kata-katanya: “Buatlah surga dan bumi menjadi rumahmu, dan cakrawala menjadi gudangmu. Jadi engkau akan datang mengetahui kekayaan dan kehormatan yang memuaskan.” Masakane rupanya seorang yang berjiwa bebas dan kegigihan opini yang kuat sekali, dan kualitas-kualitas ini segera membawa dia kedalam konflik dengan orang-orang yang berkuasa. Ketakutan Shogun akan pengaruh Masakane kepada samurai-samurai muda yang bersama-sama dengan dia dalam jumlah yang besar membawa dia ke pengasingan di tahun 1843 ke pulau Miyake di Izu. Dia menghabiskan hidupnya selama 6 tahun disana, mengajar para kriminal yang ditahan dan melakukan surat menyurat dengan maksud memimpin keyakinan pengikutnya yang ada di rumah. Akhirnya dia memenangkan respek dan kepercayaan dari orang-orang yang mengenal dia. Sepanjang pencariannya yang lain, dia belajar dan berpraktek pengobatan dan dikatakan dia telah Universitas Sumatera Utara menyembuhkan banyak orang yang sakit, sebagian dengan stimulasi keyakinan keagamaan. Dikatakan dia telah memiliki kekuatan untuk membuat mukjizat- mukjizat penyembuhan dan membuat hujan turun di musim kekeringan. Dia melihat pernapasan yang dalam sebagai terapi penyembuhan yang baik. Dalam hal ini dia menyatakan: “Banyak sekali penyakit muncul disebabkan roh terganggu, dan kacaubalau, serta tidak dapat beristirahat, dan juga karena darah tidak beredar dengan lancar”. Bagi roh, tidak ada yang menyanggupi seni pernapasan. Karena alasan ini roh yang kebingungan dapat dibawa dibawah kendali pernapasan rendah ke puser.” Holtom, 1938 : 241. Kematiannya di tahun 1849 meninggalkan pengajarannya yang seluruhnya tidak berstruktur, akan tetapi di tahun ke-5 Meiji 1872 beberapa pengikutnya memperkenalkan suatu perkumpulan bernama Tōkami Kō. Kemudian perkumpulan ini dibagi kedalam dua cabang, yang satu bergabung dengan gereja Taisei Taisei Church sedangkan yang lainnya berkembang ke dalam Misogi Kyō hingga sekarang. Sekte ini mendapat pengakuan resmi sebagai badan yang merdeka di tahun 1894. Tujuan utama sekte ini untuk mengabadikan dan memperluas pengaruh doktrin kuno mengenai penyucian. Sekte ini mengajarkan bahwa setiap orang berdosa dan terkontaminasi dengan kekotoran baik tubuh dan jiwa roh. Satu- satunya pembersihan sejati ada pada misogi harai atau upacara pengusiran kekotoran seperti yang dipraktekkan dalam Misogi Kyō. Pendirinya sering berkata bahwa harta terbesar Negara Jepang adalah tiga agen penyucian. Tiga objek suci tersebut yang merupakan tanda kebesaran kerajaan yaitu: pedang, cermin, dan seuntai permata yang diberikan oleh Amaterasu Omi Kami kepada cucunya, Universitas Sumatera Utara Ninigi no Mikoto, ketika turun dari langit dan memerintah Jepang. Dengan benda yang menakjubkan ini, semua kekotoran dapat dibersihkan. Bersamaan dengan ini Masakane Holtom, 1938 : 242 menyatakan adanya doa ajaib: Tōkami emitame, Harai tamai, Kiyome tamō, “Ye distant gods, smile upon us, we pray; drive out evil, we pray; cleanse us, we pray.”, artinya: “Ya dewa-dewa yang jauh, tersenyumlah pada kami, kami berdoa; usirlah setan, kami berdoa; bersihkanlah kami, kami berdoa.” Para penyembah diajarkan apabila menyanyikan kata-kata diatas dengan kesungguhan yang mendalam dan berkomitmen seluruh hidupnya untuk kehendak dewa-dewa, maka dia akan dibuat bergembira dari penyucian yang tidak tanggung-tanggung baik tubuh dan jiwa roh. Masakane mengajarkan: “Tidak ada seorang pun yang tanpa dosa dan kekotoran. Dengan metode penyucian dan pengusiran dari setan ini dosa-dosa dan kekotoran dapat dibersihkan. Jika seseorang memanjatkan doa tanpa henti dan berkomitmen dengan kepercayaan penuh seluruh kesejahteraannya untuk kehendak ilahi, dia akan sadar penyucian tubuh dan jiwa yang menentukan.” 2.2 Pandangan Shinto Tentang Kekotoran 2.2.1 Kegare 穢れ Dalam folklor Jepang dikatakan masyarakat Jepang biasa hidup dalam dua hari yang terpisah antara “hare” yang artinya hari yang luar biasa dan bergembira, hari-hari upacara, dan “ke” yang dihubungkan pada hari-hari biasa atau normal. Di hari “hare” orang-orang merasakan bebas dari pekerjaan sehari-hari dan kehidupan itu sendiri. Mereka memakai kostum spesial yang cantik, kimono, yang Universitas Sumatera Utara disebut “haregi” yang artinya kimono untuk hari “hare”, dan makan malam spesial untuk merayakan hari-hari sebagai salah satu festival. Perayaan keagamaan setiap tahun dirayakan di hari-hari “hare” oleh kuil Shinto, jadi hari-hari “hare” ini adalah hari bagi urusan-urusan dewa yang dipotong dari hari-hari biasa dan dilihat sebagai “hari-hari suci”, dimana manusia dan kami 神 berhubungan dekat. Sebagai contoh hari-hari di tahun baru, festival-festival untuk mengucapkan syukur setelah panen padi, dan sebagainya. Ada juga hari-hari ”hare” untuk perseorangan seperti shichigosan festival bagi anak umur tiga, lima, dan tujuh tahun. Perayaan ulang tahun ke-20 dan menikah, sebagai contoh, juga merupakan hari-hari “hare”. Jadi hari-hari “hare” dihubungkan dengan kebahagiaan manusia, sesuatu yang baik diharapkan. Ini fakta yang luar biasa bahwa festival-festival atau upacara-upacara ini dimonopoli untuk dirayakan oleh kuil-kuil Shinto dibandingkan dengan kuil-kuil Buddha. Dibandingkan dengan “hare”, hari-hari “ke” dikenal sebagai kehidupan yang biasa. “Ke” artinya sesuatu yang biasa-biasa saja, sesuatu yang tidak religius yang tidak dihubungkan dengan urusan-urusan kami. Dalam pengertian ini, “ke” adalah masa-masa bagi urusan-urusan sekuler dan tindak tanduk dalam kehidupan sosial. Pemikiran “ke” netral untuk pertimbangan nilai, sesuatu yang baik maupun sesuatu yang buruk. Pemikiran netral dari “ke” dapat diubah dengan mudah menurut nilai kesadaran manusia. Pendapat Namihira Hatakeyama, www.cca.org.hkresourcesctcctc01-04ctc0104g.htm menegaskan bahwa sesuatu yang penting di kehidupan sehari-hari masyarakat di dalam folklor bangsa Jepang, baik “hare” maupun “ke”, harus diperkenalkan sebagai kategori lain. Dia mengkategorikannya sebagai “kegare” yang artinya kekotoran, sesuatu yang najis. Universitas Sumatera Utara Maksud pengkategorian pemikiran “kegare” sebagai area bebas folklor Jepang, juga digolongkan sebagai hari-hari spesial dibandingkan dengan hari-hari “ke”. Di hari-hari kegare tak ada yang dikerjakan dengan sukacita atau urusan-urusan dewa dalam suasana upacara. Nishioka Kazuhiko eos.kokugakuin.ac.jpmodulesxwordsentry.php?entryID=1212 menjelaskan sekelompok peneliti studi foklor melihat kegare berasal dari kata ke = ki 気 artinya tenaga dan kare 枯れ artinya layu mati, jika diterjemahkan menjadi suatu kondisi dimana suatu tenaga yang telah dilayukan dihilangkan. Ini dihubungkan dekat dengan kematian dimana orang harus merasakan sesuatu yang tidak bahagia, sesuatu yang jahat atau bersalah. Apa yang dibawa oleh kematian adalah kekotoran. Kategori-kategori yang masuk dalam kegare yaitu sesuatu yang jahat, penyakit, kematian, kesalahan, kecemaran, luka, dan lain-lain Hatakeyama, www.cca.org.hkresourcesctcctc01-04ctc0104g.htm Kegare pollution, atau dalam bahasa Indonesianya yaitu kekotoran atau kecemaran. Konsep tercemar kegare dalam kepercayaan rakyat Jepang tidak sama dengan kotor dirty dalam arti umum juga tidak sama dengan arti tercemar dari agama Hindu dan Buddha Danandjaja, 1997 : 181. Hoshino Eiki dalam Kodansha Ltd, 1983 : 186 mengungkapkan bahwa berbagai macam kegare disebutkan satu persatu di dalam tulisan-tulisan Shinto seperti Norito dan Engi Shiki, dan ketentuan-ketentuan untuk penyucian juga dinyatakan. Ini merupakan pandangan dasar kegare, yang dapat dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 1. Kategori pertama kegare termasuk sesuatu yang kotor dari suatu sudut pandang bersih. Sebagai contoh: kotoran tubuh manusia, sampah, bahanbarang yang membusuk, air yang tersumbat, dan lain-lain. 2. Kategori kedua meliputi darah manusia. Ini mencakup berbagai macam kemungkinan dari penyebab pertumpahan darah atau mendatangkan luka-luka sampai pendarahan seperti melahirkan dan menstruasi. 3. Kategori ketiga meliputi apapun yang berhubungan dengan kematian. Ini tidak hanya meliputi kematian manusia tetapi juga kematian hewan. Membunuh atau melukai burung-burung dan binatang-binatang buas, dan memasak mereka untuk makanan juga terdiri dari kegare. 4. Yang keempat, yang menjadi sasaran semua macam bencana alam juga dipandang sebagai bentuk kegare. Kategori ini meliputi kejadian dimana manusia dan ciptaan lainnya menderita luka karena bencana alammalapetaka, seperti digigit serangga atau ular, hewan-hewan piaraan diserang binatang- binatang buas, atau panen yang dirusak serangga-serangga berbahaya. 5. Yang kelima semua tindakan yang mengganggu kehidupan masyarakat. Di dalam norito disebutkan satu persatu berbagai kejahatan terhadap pertanian, seperti merusak jalan kecil sepanjang punggung bukit diantara persawahan, menghalangi air untuk irigasi, dan mengganggu ladang orang lain. Barang rampasan, penggelapan dan penyalahgunaan, perampokan, pembakaran rumah dengan sengaja, dan lain-lain di tahun-tahun berikutnya juga dipandang sebagai kegare. Universitas Sumatera Utara Dari sumber internet www2.kokugakuin.ac.jp, dalam agama Shinto, kegare dipandang sebagai kesialan, sumber ketidakbahagiaan dan kejahatan, dan halangan atau kesukaran kepada upacara keagamaan. Konsep kekotoran tercakup dalam sebuah karya Shinto yang sangat terkenal pada era Tokugawa berjudul Warongo atau Bunga Rampai Jepang Bellah, 1992 : 89 yang menyatakan: “Bahwa Tuhan tidak menyukai yang kotor, sama dengan mengatakan bahwa seseorang yang hatinya tidak suci tidak menyenangkan Tuhan”. Kebanyakan kami memiliki karakteristik tidak menyukai kecemaran dari kematian, kotor, dan darah. Para kami tidak menyukai darah, khususnya darah yang berasal dari dalam diri manusia seperti kelahiran, menstruasi wanita, dan kematian. Maka prinsip itu dipegang teguh oleh masyarakat Jepang. Sejak jaman kuno sampai jaman Jepang modern, fenomena seputar kematian dan darah berada di “jantung” kegare. Seperti yang ada di dalam buku Ilmu Kejepangan 1 Situmorang, 2006 : 45, dua pendapat mengenai kekotoran: “Menurut Ikegami di berbagai daerah seperti Okinawa dibedakan atas tiga jenis, yaitu shirofuju kelahiran, akafuju haid, dan kurofuju kematian. Menurut Sasaki, dalam kepercayan rakyat Jepang yang tercemar itu adalah mayat, kelahiran, dan keluar darah”. Seseorang yang meninggal dunia, tubuhnya dipandang sangat mencemarkan. Darah juga dipandang sangat kotor. Untuk alasan ini Izanagi no Mikoto yang mengikuti kematian istrinya, Izanami no Mikoto, ke Yomi no Kuni dunia kematian, yang dikisahkan dalam Kojiki, berteriak ” Aku telah menyentuh kejijikan, kotor, dan dunia yang najis Katō, 1973 : 138. Kami Shinto tidak Universitas Sumatera Utara menyukai kematian. Pandangan inilah yang menyebabkan para pendeta Shinto hanya mengabadikan dirinya untuk melayani kami, melakukan sesuatu yang bersih dan tidak melibatkan dirinya dalam kegiatan upacara kematian atau pemakaman, karena itu akan menyentuh yang kotor. Pada zaman kuno, mereka melaksanakan upacara kematian dengan cara-cara Shinto tanpa dipimpin oleh kannushi 神主 Sebagaimana dikemukakan oleh Sokyo Ono dalam bukunya yang berjudul “Shinto The Kami Way” 1962 : 109, terdapat beberapa alasan mengapa pendeta Shinto tidak melibatkan dirinya dalam mengurus jenazah dan ritual pemakaman dalam suatu upacara kematian. Sebagai alasan pertama, kuil Shinto diperuntukkan hanya bagi pelayanan kepada kami yang dipuja dan bukan untuk ritual yang lainnya. Alasan yang kedua adalah pendeta mengabdi sepenuhnya untuk melakukan pelayanan kepada kami, pelaksanaan ritual keagamaan diluar dari memuja kami adalah diluar tanggung jawab kuil dan pendeta. Pendapat Kaga Noboru Situmorang, 2006 : 51-52 tentang mana yang paling diutamakan antara acara untuk menguburkan mayat dan acara untuk menenangkan roh, menurut jamannya di Jepang berbeda. Pemikiran yang menyatakan bahwa mayat sebagai yang kotor, untuk menghindari penularan kekotoran tersebut mayat dibuang ke ujung desa atau ke tanimajigoku lembah neraka, kemudian hanya melakukan upacara persembahan kepada roh saja. Karena pada jaman dahulu roh orang yang baru meninggal dianggap labil dan berbahaya oleh karena itu harus diadakan serangkaian upacara-upacara. Ketentuan-ketentuan kotor karena kematian diatur secara rinci di dalam kitab Engishiki 延喜式 yaitu kitab pranata yang berjumlah 50 jilid yang dibuat Universitas Sumatera Utara pada awal jaman Heian 794 – 1192. Kitab tersebut cukup menarik, misalnya dalam kasus sebagaimana yang dikutip berikut ini Aの家に死の穢れがあったとします。B の家の者がA 家を訪 問し、そこで着座して帰って来ます。するとB 家の者は全員、 死穢に汚染されるのです。次に、C 家の者がB 家に来て着座 し ま す。 する と、 こ の着 座し た者 は汚 染 され ま すが 、汚 染 者 は彼一人であって、他のC 家の者は汚染されません。けれえ ども、B 家の者がC 家に行って着座すれば、C 家の全員に死 穢がつきます。ところが、この場合でも、D 家の者がC 家に 行って着座しても、もはや死穢に汚染されないのです。 Terjemahannya: Bila ada salah satu anggota keluarga A yang meninggal, kemudian orang dari keluarga B datang melayat, maka seluruh anggota keluarga B akan menjadi kotor. Kemudian bila salah satu anggota keluarga C berkunjung ke rumah keluarga B yang sudah terkontaminasi dan si orang dari keluarga C pulang kerumahnya, maka seluruh anggota keluarga C tidak terkotori, hanya orang yang pergi saja yang terkotori oleh kematian. Tetapi bila salah satu anggota keluarga B berkunjung ke rumah keluarga C maka seluruh anggota keluarga C akan terkontaminasi oleh kotor. Namun bila ada salah satu anggota keluarga D yang datang berkunjung ke rumah keluarga C, maka anggota keluarga D yang datang berkunjung tidak akan terkontaminasi Hiro, 1987 : 77. Dari kutipan di atas ini dapat dianalogikan bahwa derajat kontaminasi kotor hanya sampai pada generasi anak dan cucu. Di luar hubungan itu tidak akan terkena kontaminasi. Jika seseorang di dalam keluarga ada yang meninggal dunia maka keluarga kelihatan berkabung selama periode tertentu. Di jaman dahulu ketika seorang kaisar meninggal dunia, sanak saudara dan pelayan-pelayannya kelihatan berkabung selama beberapa tahun. Masa berkabung diantara masyarakat umum di masa modern ini lebih singkat, dibanyak kasus 49 hari. Sepanjang masa Universitas Sumatera Utara tersebut, setiap individu harus menahan diri dari partisipasi dalam berhubungan dengan kami, sebagai contoh mengunjungi kuil. Shinto kebiasaannya juga mentabukan kecemaran akibat darah sama dengan kecemaran akibat kematian. Di dalam buku “A Historical Study of the Religious Development of Shinto” Kat ō, 1973 : 139 dijelaskan bahwa di dalam Engishiki ditentukan mereka yang dilarang atau ditabukan mengambil bagian dalam upacara selama tercemar adalah: “Selama 30 hari sesudah berhubungan dengan mayat; selama tujuh hari saat melahirkan; selama lima hari setelah berhubungan dengan enam jenis hewan peliharaan; selama tiga hari setelah menyentuh hewan-hewan ini ketika mereka melahirkan terkecuali hewan ayam betina; dan selama tiga hari setelah makan daging dari hewan-hewan ini. Mereka yang memimpin pemakaman dan mereka yang keguguran setelah lebih dari empat bulan mengandung, dan mereka yang keguguran kurang dari tiga bulan mengandung, ditabukan partisipasi di dalam upacara selama 30 hari dan 7 hari berturut-turut dalam upacara”. Menurut Kojiki Katō, 1973 : 142, Yamatotakeru no Mikoto setelah menaklukkan bagian timur Jepang, menghabiskan malam di rumah Ratu Miyazu di Propinsi Owari. Ketika dia berhubungan seksual dengan sang ratu dia menyadari bahwa rok dari jubah sang ratu tercemar dengan darah menstruasinya, sebagai hasil hubungan seksual dengan wanita yang tercemar akibat darah, dia tidak dapat membawa Kusanagi, pedang suci, dengannya. Jadi dia meninggalkan pedang tersebut dia atas pohon dan dia pergi mendaki gunung Ibuki dimana dia dikutuk oleh kami gunung tersebut. Sebagai konsekuensinya dia akhirnya meninggal. Universitas Sumatera Utara Sesuatu benda yang bersentuhan dengan yang kotor tercemar maka akan ikut tercemar juga, oleh karena itu apabila ada benda-benda suci maka harus dijauhkan dari benda tercemar. Pemikiran ini pula mengakibatkan lahir berbagai kebiasaan, misalnya memberikan sesajen ditempat yang tidak ada mayatnya, diberbagai daerah ada mengenal sistem dua kuburan yaitu satu kuburan tempat mayat dan satu lagi kuburan tempat roh atau tempat mengantarkan persembahan- persembahan, dan pada waktu di rumah ada mayat maka kamidana dibungkus. Bahkan sampai sekarang terdapat kebiasaan di tempat-tempat terpencil di Jepang yang seorang wanita sepanjang periode menstruasinya, atau setelah melahirkan anak, tidak diijinkan mengambil makanan dan tinggal bersama dengan keluarganya, takut api yang digunakan untuk memasak telah tercemar oleh darah. Sebagai contoh di Jōmiya Desa Matsubara pedalaman Tsuruga Propinsi Echizen, disana terdapat bangunan rumah yang terpisah yang digunakan penduduk. Setiap penduduk wanita selama periode menstruasinya diharapkan tinggal di dalam rumah ini sendirian dan memasak makanannya selama satu minggu. Wanita yang sedang mengandung, dan melahirkan, juga diharapkan tinggal di rumah yang berdiri sendiri ini. Fasilitas yang sama juga ada di Propinsi Izumo tempat Kuil Mihogaseki. Bentuk asli fasilitas tersebut dapat dilihat di rumah khusus wanita menstruasi di Pulau Yap. Rumah khusus ini melarang kunjungan pria. Ini adalah contoh kebiasaan tradisional masyarakat Jepang untuk memulai suatu tabu terhadap kegare akibat kematian dan darah. Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Tsumi 罪

Ketika para penerjemah menggunakan kata bahasa Inggris “sin” dosa untuk istilah bahasa Jepang tsumi, masyarakat menghubungkannya dengan konsep dosa milik Yahudi atau Kristiani. Hal ini sangat mudah membuat orang tersesat dalam memahami tsumi. Dosa dalam Kristiani dikaitkan dengan “dosa asal” sin of origin, dan ini meliputi pemikiran yang sangat spesifik terhadap pelanggaran kehendak Tuhan will of God. Pemikiran dosa asal atau melanggar perintah Tuhan tidak ada dalam Shinto. Bagi Shinto tsumi merupakan kekotoran Praktek penyucian dalam Shinto sepanjang perjalanannya sebagai agama sebagian besar membidik pada pembersihan fisik atau kekotoran luar lahiriah dan sedikit memperhatikan penyucian batiniah luar. Oleh karena itu konsep dosa hanya pada fisik atau keadaan luar dan belum ada konsep dosa yang berasal dari kesadaran batiniah atau kesalahan kata hati. Jadi baik dosa surgawi heavenly sins dan dosa duniawi earthly sins seperti yang tertulis pada liturgi terkenal Shinto dalam Engishiki dekat pada semua dosa lahiriah material dan bukan pada dosa batiniah immaterial. Tsumi memiliki arti yang luas meliputi kekotoran, penyakit, dan bencana alam, yang sama dengan kesalahan. Tindakan tertentu, situasi tertentu, atau hal yang tidak terduga dapat menyebabkan kekotoran. Bahkan kejadian seperti penyakit yang disebabkan alam disebut sebagai “dosa”. Penyakit kusta dipandang sebagai dosa karena menyebabkan perasaan tidak menyenangkan dalam diri orang lain dan kami mungkin juga tidak menyukainya. Contoh lain, tersambar petir juga dipandang sebagai dosa. “Malapetaka dari kami” dalam suatu liturgi Shinto menunjukkan petir. Sama halnya dengan disengat serangga juga dipandang sebagai suatu dosa. Meskipun Universitas Sumatera Utara fakta bahwa manusia tidak bisa menghindar dari kejadian-kejadian ini, peristiwa tersebut dipandang sebagai dosa. Sebagai akibatnya dari sudut kepercayaan alam, Shinto di jaman ini memandang semua kejadian-kejadian diatas sebagai dosa walaupun tidak diakui sebagai dosa dari sudut agama lain. Banyak dosa yang tercatat dalam institusi-institusi Engishiki yang mengklasifikasikan dosa dalam dua macam, yaitu: a. Amatsu-tsumi atau dosa-dosa surgawi yang dilakukan di surga. Amatsu-tsumi merupakan kejahatan besar karena mengganggu pengolahan pertanian. Dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan ini dilakukan oleh Susanoo Mikoto di surga. Menurut tradisi, Susanoo Mikoto melakukan berbagai tindakan bengis terhadap sawah suci milik Amaterasu Omikami dan ia juga mengotori istana suci milik Amaterasu Omikami, yang diharapkan suci dan bersih dengan sempurna, dengan kotoran badan dan menguliti belang seekor anak kuda jantan piebald colt ketika dia baru saja merayakan pesta hasil pertamanya. Tindakan-tindakan ini tentu saja tindakan jahat yang sah. b. Kunitsu Tsumi atau dosa-dosa duniawi. Hal-hal yang diklasifikasikan ke dalam kategori dosa-dosa duniawi lebih pada dosa-dosa luar atau jasmaniah, sama seperti dosa-dosa surgawi. Ini meliputi tindakan yang menyebabkan luka atau kematian, berzinah, penyakit tertentu yang menular, peracunan, menggunakan ilmu sihir, dan hal-hal lainnya. Sesuatu yang diluar kontrol manusia seperti bahaya akibat dari petir, burung-burung berbahaya, serangga, termasuk kunitsu tsumi. Dalam kasus ini masyarakat Jepang mencoba menyeka unsur-unsur buruk dengan mengadakan upacara keagamaan. Ini artinya bahwa semua perbuatan manusia dan bahaya yang Universitas Sumatera Utara dari alam yang mengancam kelanjutan komunitas masyarakat dipandang sebagai dosa duniawi. Shinto percaya upacara penyucian berguna untuk menenangkan unsur-unsur negatif yang ada di manusia dan alam, serta menguatkan unsur positif untuk membangun masyarakat yang lebih baik.

2.3 Pandangan Shinto Tentang Penyucian

Harae adalah istilah lama untuk banyak hal dari upacara penyucian Shinto atau penebusan dosa yang datang dari kata kerja harau 祓う atau 払う yang artinya membersihkan, menyucikan, atau mengusir roh jahat. Sekarang ini orang lebih banyak mengucapkan sebagai harai. Harae adalah salah satu upacara terpenting dalam Shinto, dan berbagai bentuk telah berkembang, seperti nagoshi no ōharai. Shubatsu adalah upacara harae dimana garam ditebarkan ke atas pendeta atau penyembah, sedangkan tindakan membersihkan mulut dan tangan sebelum memasuki kuil disebut temizu 手水 . Pada umumnya ada tiga metode dasar dari penyucian harae, yaitu: 1. Harae dilakukan oleh seorang pendeta menggunakan tongkat penyucian haraigushi dengan cara mengibaskannya diatas kepala orang, pada tempat, atau kendaraan dari kiri ke kanan dan kembali ke kiri. Kadang-kadang ranting kecil dari pohon sakral sakaki 榊 digunakan sebagai pengganti haraigushi. Pohon sakaki adalah pohon yang senantiasa hijau sepanjang tahun dan menjulang tinggi. Orang Jepang percaya disaat ritual dilakukan dewa akan turun dari langit melalui pohon ini sebagai tangga untuk mendengarkan permohonan dan memberi keselamatan. Cara ini dapat ditemukan pada saat penyucian dalam membangun Universitas Sumatera Utara rumah jichinsai barai, pernikahan shinzen kekkon, penyucian untuk keselamatan perjalanan kotsu anzen oharai, dan lain-lain. 2. Misogi 禊 . Ini lebih umum dihubungkan kepada kessai, yang berarti penyucian dengan air. Penyucian ini dijalankan melalui aktivitas yang mendalam seperti latihan pernapasan, berdiri di bawah air terjun atau membenamkan tubuh di laut atau sungai. Di Kuil Tsubaki di prefektur Mie, misogi dilakukan pagi atau malam antara pukul 11 malam dan jam 1 pagi karena saat dimana satu hari telah berakhir dan hari baru datang, dan menurut pemikiran orang Jepang waktu tersebut sangat mudah menerima roh kami. Misogi mendapat populeritasnya kembali sejak akhir perang Pasifik, disaat kuil-kuil dapat kembali melaksanakan upacara-upacara keagamaan. Beberapa kuil memiliki sebuah perkumpulan pelaksana misogi kai yang mengunjungi kuil secara reguler untuk melaksanakan misogi. Jika sungai letaknya jauh dari kuil atau kuil tidak memiliki fasilitas sungai, maka praktek misogi dapat digantikan dengan cara mandi dengan air dingin. 3. Imi 忌み . Dalam Nihongo Dai Jiten Kodansha, 1989 : 138 yang dimaksud dengan imi yaitu: 神事 に際し 、不 浄を慎 むこ と·遠 慮すべ きこ と·死 ·穢れ ·喪中 こと·物忌み。 Terjemahannya: Hal untuk berhati-hati terhadap ‘ketidakbersihan’ pada waktu pelaksanaan ritual keagamaan, harus berhati-hati, mati, kotor, berkabung, mono imi. Sedangkan yang dimaksud dengan mono imi 物忌み yaitu: 決 められ た期 間に 身を 清め 禁忌 を守 り、 飲食 を断 った りす る こと·精進潔斎。不吉の前兆として、ある物事を忌むこと。塞 がりを犯すのを忌み、家にこもって慎むこと。 Universitas Sumatera Utara Terjemahannya: Membersihkan diri pada waktu yang telah ditentukan, mentaati larangan, menolak makan dan minum, penyucian, menghindari suatu kejadian atau hal yang membawa sial, menghindar dari pelanggaran, menyendiri dalam rumah. Dalam pengertian imi di atas, terlihat pengertian yang luas yaitu selain mencakup hal-hal yang kotor berkabung, mati, kotor; menghindari ritual keagamaan pada waktu ‘ketidakbersihan’; tetapi juga membersihkan diri pada waktu yang telah ditentukan dengan mentaati larangan dan menyendiri dalam rumah. Imi kontras dengan kedua tipe penyucian yang telah disebutkan, yang mana memerlukan pembersihan dari kekotoran atau kenajisan dengan sebuah tindakan penyucian yang sebenarnya atau secara simbolik. Imi dijalankan khusus oleh pendeta-pendeta Shinto, yang diperintahkan untuk menghindari kontak dengan penyakit, kematian, atau perkabungan sebelum menyelenggarakan upacara keagamaan. Secara tradisional, wanita, karena kemungkinan kecemaran akibat menstruasi atau melahirkan anak, tidak diijinkan memasuki tempat-tempat suci. Seperti contoh di Pulau Izu terdapat kebiasaan setiap wanita baik melahirkan atau menstruasi diharapkan tinggal di sebuah rumah sementara yang bernama Taya dan kebiasaan ini dipraktekkan sampai pertengahan jaman Meiji. Menurut “sejarah lokal pulau Izu” yang dikutip oleh bapak Motoyama berkata: “Banyak sekali terdapat gubuk-gubuk kecil bernama “Taya” di kaki gunung setiap desa-desa. Gubuk yang atapnya dari jerami dan tanpa lantai. Wanita yang masa menstruasinya atau melahirkan dipaksa tinggal di “taya-taya” ini dan mereka tidak diijinkan melakukan kontak dengan keluarganya. Selama delapan Universitas Sumatera Utara atau sembilan hari dalam kasus menstruasi dan selama sekitar 50 hari dalam kasus melahirkan, mereka tidak diijinkan pulang kerumah mereka. Jadi wanita dan bayi-bayinya sering menderita karena embun dan kedinginan dan beberapa dari mereka meninggal atau terjangkit penyakit yang serius. Ini berat bagi mereka untuk tinggal dengan nyaman di gubuk-gubuk ini. Selain itu mereka yang tinggal di “taya” tidak diijinkan untuk mengunjungi orang tua mereka sekalipun orang tua mereka sakit serius sekali bahkan sampai meninggal dunia ” Katō, 1973 : 143. Kesamaan kebiasaan memiliki taya seperti yang ada di Pulau Izu bahkan terlihat juga di pulau kecil seperti Pulau Ohnejima pulau “tako” menurut “sejarah lokal Propinsi Izumo di pedalaman laut Izumo. Di awal jaman Meiji, istri Yoshio Kadowaki, seorang pendeta Shinto di pulau tersebut, biasa tinggal sendiri dan hidup terpisah dari keluarganya selama periode menstruasinya di sebuah gubuk kecil bernama ‘taya’ dimana dia biasa memasak untuk dirinya sendiri. Ini disebut Betsubi atau memasak terpisah separate cooking. Bagaimanapun kebiasaan Betsubi, yang disebabkan ketakutan api untuk memasak telah tercemar, sudah lama dipertahankan. Tentu saja para wanita di Pulau Ohnejima biasa menyebut menstruasi mereka sebagai taya. Untungnya, kebiasaan seperti ini sudah ditiadakan lagi di pulau tersebut. Pulau Mikurajima di Izu dimana kebiasaan tabu terhadap kekotoran akibat kematian dan darah lama dipertahankan sangat keras. Tidak ada wanita yang diterima di puncak gunung di pulau tersebut. Dan lagi selama 75 hari setelah melahirkan tidak ada wanita yang diijinkan mendaki gunung bahkan untuk jarak yang pendek, maupun wanita dalam masa menstruasi. Begitu juga bagi mereka Universitas Sumatera Utara yang orang tua atau orang terdekatnya meninggal, tidak diijinkan memasuki area gunung selama 13 bulan. Kebiasaan ini disebut Yamadone atau menjauhi gunung. Mereka yang melanggar tabu ini, harus disucikan di kuil Fuga dengan mempersembahkan seratus Mon sejumlah uang dan satu Shō satuan jumlah beras ke kuil. Di jaman modern, bentuk imi berlanjut dalam sebuah cara yang terkemuka yang berhubungan kepada kematian, misalnya: 1 Ketika saat berkabung setelah pemakaman disebut imi, karena kekotoran itu sendiri. Seseorang yang baru kehilangan tidak akan menghadiri sebuah perayaan pernikahan; 2 Banyak kebiasaan jaman dahulu yang berlanjut dalam masyarakat Jepang sampai sekarang yang kegemarannya memilih hari-hari baik berdasarkan ramalan bintang orang timur oriental zodiac untuk perjalanan bisnis dan peristiwa-peristiwa penting, serta menghindari hari-hari buruk untuk pernikahan, atau usaha yang berarti lainnya Picken, 1994 : 175. Dari ketiga tipe penyucian, imi sangat dekat hubungannya dengan tahkyul rakyat. Upacara harae disertai dengan pembacaan harai no kotoba norito dan persembahan tamagushi yang tertuju kepada kami. Harai no kotoba norito terdiri dari kata-kata khusus yang dipilih dan didesain untuk memiliki bunyi yang menyenangkan hati. Rakyat Jepang memiliki kepercayaan kuno bahwa kata-kata yang indah membawa nasib baik dan begitu sebaliknya kata-kata yang jelek membawa nasib buruk. Ini berasal dari kepercayaan dalam kotodama, mistik dan kekuatan spiritual yang terletak dalam kata-kata. Model untuk semua norito disusun dalam Engishiki. Catatan perintah pertama untuk menyelenggarakan ōharae di level nasional tercatat dalam Nihongi, ketika janda Kaisar Chuai Universitas Sumatera Utara menghendaki agar membersihkan dari pelanggaran-pelanggaran di semua tingkatan. Sebagai hasilnya, di hari terakhir bulan Juni dan Desember ōharae お 祓え di selenggarakan di seluruh kuil dan keluarga kerajaan. Tujuan sasaran harae dari semua metode dasarnya adalah mengembalikan keadaan yang sucibersih yang dikenal sebagai seimei-shin 清明 心 yang merupakan dasar berhubungan erat dengan kami. Ini digolongkan dengan empat kondisi hati 心 yaitu: akaki kokoro 赤 き 心 atau ketulusankesungguhan hati, kiyoki kokoro 清 き 心 atau hati yang bersih, tadashiki kokoro 正き心 atau hati yang sebenarnya, naoki kokoro 直き心 atau hati yang lurusjujur. Universitas Sumatera Utara BAB III HARAE UPACARA PENYUCIAN DALAM SHINTO DI JEPANG Di Jepang upacara penyucian mendahului semua peristiwa yang penting, misalnya jika sebuah bangunan baru ingin dibangun maka sebuah upacara yang disebut jichinsai diadakan. Tujuan upacara harae ini adalah untuk menenangkan kami tanah yang mungkin terganggu dan menyucikan tempat dimana konstruksi dikerjakan. Demikian juga sebuah pesawat baru disucikan sebelum pesawat tersebut melakukan penerbangan pertama. Ada juga permintaan harae dari orang- orang yang memiliki kendaraan yang berharap keselamatan selama perjalanan. Berikut ini akan dibahas upacara-upacara harae yang dilaksanakan dengan berbagai tujuan.

3.1 Jichinsai Barai