6. Dewa. Sejak jaman Jomon 7000SM-250SM dimana masyarakat
Jepang pada saat itu sudah mengenal pemujaan terhadap roh, hingga sekarang orang Jepang beranggapan bahwa walaupun jasadnya mati, tetapi rohnya masih
tetap ada, dan roh tersebut akan menyatu dengan roh nenek moyang terdahulu dan lama kelamaan roh tersebut akan menjadi kami yaitu dewa Shinto untuk
selanjutnya akan disebut kami. Roh tersebut akan bersemayam di tempat yang nyaman seperti di laut atau digunung. Biasanya di tempat bersemayamnya kami
dapat dengan mudah ditemukan kuil-kuil tempat memuja kami. Orang akan datang untuk memuja dan meminta sesuatu kepada kami. Dalam agama Shinto
hubungan antara manusia dan dewa sangat erat. Sehubungan dengan keyakinan seperti itu, dipercaya bahwa apabila seseorang meninggal maka orang tersebut
akan menjadi kami dan hubungan tersebut tidak akan putus. Shinto juga mengenal pemujaan tidak hanya kepada ujigami yaitu dewa klen tetapi juga kepada orang-
orang yang dianggap berjasa atau dihormati semasa hidupnya seperti Sugawara Michizane seorang budayawan di jaman Heian abad VIII-abad XI misalnya,
hingga sekarang dipuja sebagai dewa ilmu pengetahuan di kuil Shinto Dazaifu di daerah Fukuoka di bagian distrik Kyushu.
Sumber utama atas sejarah Jepang adalah Kojiki dan Nihon Shoki. Menurut sumber tersebut, Izanagi no Mikoto dan Izanami no Mikoto adalah
sepasang dewa yang pada akhirnya anak mereka menjadi dewa-dewa pada berbagai klan di Jepang. Amaterasu Omikami dewa matahari adalah salah satu
anak mereka, dimana keluarga kekaisaran mengklaim bahwa mereka adalah keturunan Dewa Matahari. Dewa matahari ini dilambangkan oleh cermin, salah
satu dari 3 objek cermin, pedang dan permata simbolik lambang kekaisaran yang
Universitas Sumatera Utara
mencerminkan kekuasaan dewa atas keluarga kaisar. Dalam Shinto, kesucian dan kebersihan adalah syarat pertama dari sebuah cermin dan cermin tersebut
dianggap sebagai jiwa seseorang. Cermin yang buram dianggap sebagai jiwa yang kotor dengan pikiran setan. Hal ini mengajarkan kepada masyarakat untuk
membersihkan jiwa mereka seperti cermin yang bersinar Joya, 1960 : 9. Kojiki dan Nihon Shoki juga mengkisahkan kematian Izanami no Mikoto,
setelah melahirkan dewa api. Singkat cerita, Izanagi memenggal kepala dewa api dan menyusul istrinya ke Yomi no Kuni. Setelah melihat istrinya yang penuh ulat
Izanagi lalu lari. Istrinya merasa dipermalukan dan menyatakan bahwa setiap hari ia akan mencekik seribu orang dari dunia orang hidup, dan sang suami menjawab
bahwa ia setiap hari akan melahirkan 1500 bayi. Dari kisah tersebut dapat diambil poin: 1 Kami tidak abadi, mereka bisa mati; 2 Ketika kami mati, mereka
membusuk seperti manusia; 3 Kami memiliki perasaan, mereka menderita seperti manusia karena kehilangan; 4 Kami tidak sangat kuat karena mereka
dapat terkontaminasi kekotoran; 5 Kematian adalah sesuatu yang buruk dan mengacaukan keharmonisan masyarakat; 6 Roh yang tinggal di dunia orang mati
adalah jahat dan kesepian, serta suka menarik orang dari dunia orang hidup; 7 Manusia harus menjauhi apapun yang berhubungan dengan kematian; 8 Kami
memiliki tanggung jawab berdasarkan janji Izanagi untuk mendukung kelahiran dan memberkati kehidupan seperti pernikahan, masuk universitas, mendapat
promosi, memberikan keselamatan dalam perjalanan, dan kebahagiaan lainnya http:www.bbc.co.ukreligionreligionsshintoritesritualsharae.shtml
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Kuil Shinto