Kerangka Teori Tinjauan Pustaka dan kerangka Teori .1. Tinjauan Pustaka

dingin mengalir ke bawah dari gunung, secara ritual menyucikan mereka dan menguatkan untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka dalam kehidupan. Bentuk yang ketiga adalah imi avoidance. Ini kontras dengan kedua tipe penyucian yang telah disebutkan, yang mana memerlukan pembersihan dari kekotoran atau kenajisan dengan sebuah tindakan penyucian yang sebenarnya atau secara simbolik. Imi dijalankan khusus oleh pendeta-pendeta Shinto, yang diperintahkan untuk menghindari kontak dengan penyakit, kematian, atau perkabungan sebelum menyelenggarakan upacara keagamaan. Secara tradisional, wanita, karena kemungkinan kecemaran akibat menstruasi atau melahirkan anak, tidak diijinkan memasuki tempat-tempat suci. Setelah tahun 1868, sebagai contoh, wanita diijinkan mendaki gunung Fuji. Di jaman modern, bentuk imi berlanjut dalam sebuah cara yang terkemuka yang berhubungan kepada kematian. Ketika saat berkabung setelah pemakaman disebut imi, karena kekotoran itu sendiri. Seseorang yang baru kehilangan tidak akan menghadiri sebuah perayaan pernikahan. Dari ketiga tipe penyucian, imi sangat dekat hubungannya dengan tahkyul rakyat Picken, 1980 : 56.

1.4.2 Kerangka Teori

Kerangka teori menurut Koentjaraningrat 1976 : 11 berfungsi sebagai pendorong proses berpikir dedukatif yang bergerak dari alam abstrak ke alam konkret. Suatu teori dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembatasan terhadap fakta-fakta konkret yang tak terbilang banyaknya dalam kenyataan kehidupan masyarakat. Universitas Sumatera Utara Untuk melihat Harae sebagai upacara penyucian dalam Shinto, penulis menggunakan konsep yang berhubungan dengan religi. Konsep religi menurut Koentjaraningrat 1974 : 127 yaitu sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa- dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib. Penulis juga melakukan penelitian dalam pendekatannya berorientasi pada upacara religi dimana W. Robertson Smith Marsinambow, 1997 : 256 mengajukan tiga gagasan yakni: 1 disamping sistem keyakinan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi agama yang memerlukan studi dan analisis yang khusus; 2 upacara religi agama yang biasa dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi agama yang bersangkutan bersama-sama memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat; 3 fungsi upacara bersaji. Upacara tersebut dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa. Dari konsep religi menurut Koentjaraningrat dan gagasan W. Robertson Smith tentang upacara religi diatas, membantu penulis meneliti konsep pemikiran yang diyakini agama Shinto kepada pentingnya upacara penyucian harae. Upacara-upacara penyucian yang dilaksanakan masyarakat Jepang memiliki fungsi dan tujuan supaya terciptanya hubungan harmonis antara kami dengan manusia, serta tindakan atau aktivitas yang dilakukan manusia mendapatkan pertolongan dan berkat dari kami. Selain itu penulis juga akan menggunakan Teori Semiotika. Menurut Jan van Luxemburg 1992 : 46 : Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda, Universitas Sumatera Utara lambang-lambang, dan proses perlambangan. Ilmu tentang semiotik ini menganggap bahwa fenomena sosial ataupun masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Berdasarkan teori semiotik diatas, penulis dapat menginterpretasikan kebudayaan atau kebiasaan masyarakat tersebut ke dalam tanda-tanda. Tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan masyarakat tersebut diinterpretasikan dan kemudian dipilih bagian mana yang akan mencerminkan upacara harae. 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian