BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah
Agama adalah kepercayaan dan ritual yang berkaitan dengan keberadaan supranatural, kekuasaan, dan kekuatannya. Supranatural disini biasa disebut
dengan nama dewa, Tuhan, atau yang gaib. Agama dapat dipandang sebagai suatu sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral
sacred things, yakni hal-hal yang terpisah dan terlarang. Agama muncul karena orang-orang berusaha untuk memahami keadaaan
dan kejadian yang tidak bisa dijelaskan dengan mengacu pada pengalaman sehari- hari mereka. Mimpi waktu tidur pada masyarakat primitif dianggap mempunyai
makna dan itu harus diterjemahkan. Usaha ke arah menjelaskan mimpi itu membuat mereka sadar bahwa ada diri yang lain dalam tubuh mereka. Diri yang
lain itu hadir ketika orang sedang tidur. Ketika diri yang lain waktu tidur dan diri yang ada waktu sadar itu meninggalkan tubuh, maka orang yang bersangkutan
meninggal dunia. Kepercayaan seperti ini yang melahirkan ide tentang animisme. Animisme adalah agama primitif yang kemudian bisa berkembang menjadi
politeisme dan monoteisme. Agama menurut Keiichi Yanagawa 1992 : 7 didasarkan pada tiga unsur
utama, yaitu: 1. Doktrin yang mengidentifikasi obyek dan sifat keagamaan. Ajaran
sentral dari agama adalah percaya pada Tuhan atau dewa atau roh-roh yang keberadaannya tidak bisa dilihat manusia.
Universitas Sumatera Utara
2. Perkumpulan yang dibentuk oleh orang-orang yang berkepercayaan sama. Perkumpulan ini bisa berbentuk organisasi agama, gereja, atau
jemaah. 3. Ibadah keagamaan dan ajaran keagamaan.
Oleh karena itu suatu agama terdiri atas doktrin, yang pengikutnya harus percaya; organisasi para penganut agama itu, dan kode ajaran yang memuat
tingkah laku yang dikehendaki dari para pengikutnya. Salah satu agama yang berkembang di Jepang adalah Shinto. Kata Shinto
terdiri atas dua huruf, yaitu Shin (神)
yang bisa dibaca Kami, dan To (道)
yang bisa dibaca Michi. Jadi Shinto berarti Kami no Michi atau Jalan Kami. Istilah kami sebenarnya merujuk pada penghormatan untuk jiwa roh yang mulia, suci,
yang memiliki implikasi pada makna memuja, kebajikan, dan otoritas mereka. Shinto adalah agama asli Jepang. Sejak jaman kuno, Shinto telah menjadi
bagian dari pandangan hidup orang Jepang. Kepercayaan ini merupakan kombinasi dari animisme dan pemujaan alam dan berkembang seiring dengan
perkembangan penganutnya. Semua benda hidup dan mati dipercaya memiliki roh atau jiwa yang memiliki kekuatan dan bisa memberi kehidupan atau aktivitas pada
benda-benda tersebut. Shinto pada awalnya adalah kepercayaan rakyat yang tidak terlembaga, tetapi setelah kedatangan agama-agama yang terlembaga seperti
Buddha dan Konfusionisme, maka lahirlah Shinto terlembaga, misalnya Shinto Negara Kokka Shinto. Agama yang terlembaga maksudnya agama yang
memiliki keistimewaan yaitu agama ini mempunyai nabi; mempunyai kitab suci; penganut-penganut yang resmi; dapat melampaui batas negara, tradisi kebudayaan,
bahasa, dan tidak dibatasi oleh kerangka masyarakatnya sehingga dapat menyebar
Universitas Sumatera Utara
ke seluruh dunia. Shinto berkembang seiiring dengan pertumbuhan masyarakat pertanian dan didasarkan atas pemujaan pada dewa padi dan roh nenek moyang.
Sebagai agama, Shinto tidak memiliki pendiri, tidak punya kitab suci, dan tidak memiliki ajaran yang terorganisir. Agama ini mendasarkan diri pada
mitologi, cerita-cerita kuno yang dianggap otoritatif dan memberi dasar sejarah dan spiritual. Istilah bahasa Jepang untuk mite adalah Shinwa yang berarti “Kisah
Mengenai Para Dewa”. Bahan untuk menyusun mitologi Jepang pada umumnya bersumber dari
Kojiki 712 M dan Nihongi atau Nihon Shoki 720 M. Kedua buku ini dianggap sebagai dasar bagi agama Shinto. Menurut Kojiki, kepulauan Jepang diciptakan
oleh Izanagi no Mikoto dan Izanami no Mikoto, bersamaan dengan penciptaan banyak kami, termasuk Amaterasu Omi Kami dewa matahari. Selain Kojiki dan
Nihon Shoki, juga dipergunakan sumber lain yaitu Koga Shui 807M; antropologi puisi dari abad ke-8 Manyoshu; dan Norito, atau liturgi keagamaan dari keraton,
yang dikumpulkan pada akhir abad ke-19 di dalam buku Engi Shiki 延 喜 式
atau prosedur-prosedur dari era Engi Danandjaja, 1997 : 70-71. James Danandjaja 1997 : 72-73 juga menjelaskan mite Jepang yang
dikisahkan di dalam Kojiki dan Nihon Shoki dapat dibagi menjadi tiga siklus, salah satunya disini yaitu siklus Takamagahara. Diceritakan dalam siklus ini
bahwa Izanami meninggal karena terbakar sewaktu melahirkan dewa api, lalu Izanami pergi ke Yomi no Kuni dunia orang mati. Izanagi menyusul untuk
memohon agar ia mau kembali ke dunia orang hidup. Disana dia dapatkan jenasah istrinya yang sudah penuh ulat. Izanagi kemudian lari, dan istrinya yang merasa
dipermalukan menyatakan bahwa setiap hari ia akan mencekik seribu orang dari
Universitas Sumatera Utara
dunia orang hidup, dan sang suami menjawab bahwa ia setiap hari akan mendirikan 1.500 gubuk bagi orang melahirkan anak, sehingga dapat melahirkan
1.500 bayi. Karena telah mengotori dirinya dalam perjalanan ke dunia orang mati, Izanagi menuju ke Tsukushi untuk menyucikan dirinya dengan mandi misogi.
Dari tindakan penyucian yang dilakukan Izanagi, kepercayaan Shinto juga melakukan ritual yang sama.
Kepercayaan Shinto menurut Noma Seiroku 1967 : 13 berkaitan erat dengan keharmonisan pada alam dan dengan perlahan-lahan berkembang menjadi
tradisi berdasarkan keindahan. Menurut agama Shinto, kebersihan atau kesucian adalah hal yang utama, hal-hal tanpa tipu daya adalah suci.
Dalam buku “Japan, Profile of a Nation” Aoki, 1994 : 204, pengertian akan kesucian dan kekotoran Kegare serta cara melaksanakan upacara
penyucian HaraeMisogi di Jepang memiliki pengaruh yang luar biasa dan telah menyebar sebagai suatu kebudayaan yang utuh.
Harae adalah istilah lama untuk banyak hal dari upacara penyucian Shinto atau penebusan dosa yang datang dari kata kerja harau
祓う atau
払う yang
artinya membersihkan, menyucikan, atau mengusir roh jahat. Sekarang ini orang lebih banyak mengucapkan sebagai harai. Harae adalah salah satu upacara
terpenting dalam Shinto dan berbagai bentuk telah berkembang, namun pada umumnya ada tiga metode dasar dari harae, yaitu: Yang pertama dan bentuk biasa
yang paling umum diselenggarakan oleh seorang pendeta Shinto dengan cara mengibaskan tongkat penyucian Haraigushi di atas kepala dari kiri ke kanan dan
kembali ke kiri. Kadang-kadang ranting kecil dari pohon sakral sakaki 榊
maupun onusa digunakan sebagai pengganti haraigushi. Yang kedua disebut
Universitas Sumatera Utara
misogi 禊
. Ini lebih umum dihubungkan kepada kessai, yang berarti penyucian dengan air. Penyucian ini dijalankan melalui aktivitas yang mendalam seperti
latihan pernapasan, berdiri di bawah air terjun atau membenamkan tubuh di laut atau sungai. Yang ketiga imi
忌み . Ini kontras dengan kedua tipe penyucian
yang telah disebutkan, yang mana memerlukan pembersihan dari kekotoran atau kenajisan dengan sebuah tindakan penyucian yang sebenarnya atau secara
simbolik. Salah satu model penyucian yang menarik lainnya adalah Yakubarai
厄払 い
. Kadang-kadang terjemahannya disalahartikan menjadi “exorcism”, dalam bahasa Indonesianya pengusiran roh jahat. Dalam agama Shinto, Yakubarai
semata-mata menenangkan roh kami yang kesusahan troublesome kami akibat gangguan kecemaran.
Picken dalam “Shinto Japan’s Spiritual Roots” 1980 : 53 memberikan sebuah cerita:
“Di bulan Juni tahun 1978, penduduk Komplek Perumahan Takashima – Daira di Tokyo prihatin akan jumlah orang yang bunuh diri dengan
melompat dari atas bangunan di lingkungan mereka. Setelah berbagai bentuk cara penyuluhan dan pencegahan telah gagal, mereka lalu berkonsultasi dengan
pendeta-pendeta Shinto. Para pers kemudian melaporkan ritual Yakubarai yang dilaksanakan para pendeta Shinto untuk menenangkan kami”.
Dilain kesempatan harae juga dilaksanakan pada waktu pernikahan, bisa untuk penyucian dan kesuksesan seorang kandidat di awal kampanye pemilihan,
untuk keselamatan perjalanan, atau sukses di sebuah kontes. Harae tak hanya diselenggarakan bagi orang dan tempat, tapi juga kendaraan. Membersihkan
Universitas Sumatera Utara
semua kekotoran yang ada di kendaraan berguna menjamin keselamatan yang lebih daripada kemungkinan yang bisa terjadi jika orang mengendarai di
lingkungan yang kotor. Berdasarkan gambaran diatas, maka penulis bermaksud untuk meneliti dan
menganalisa upacara penyucian tersebut. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk mengajukan suatu masalah dengan menguraikannya dalam bentuk skripsi
yang berjudul “Harae Upacara Penyucian Dalam Shinto Di Jepang”
1.2 Perumusan Masalah