commit to user
104 SMP Negeri 4 Sukoharjo mendapatkan perhatian dan peminat yang banyak, bahkan
input yang unggul dari beberapa lulusan SD sangat tertarik untuk masuk sekolah ini. Dengan statusnya sebagai Sekolah Berstandar Nasional, tiap tahun menampakkan
kemajuan yang demikian pesat, dan lulusan yang mampu diandalkan. Hal ini terbukti sekolah tersebut tahun ini sudah mulai diajukan rintisannya ke arah Sekolah
Berstandar Internasional. Siswa kelas VIII A sebagai subjek penelitian ini berjumlah 34 orang.
Kemampuan akademik yang dimilikinya adalah rata-rata sedang atau cukup. Artinya, hampir semua siswa memiliki prestasi seimbang. Guru Bahasa Indonesia yang
mengajar di kelas VIII A ini adalah Drs. Wahyudi Sri Handoko.
B. Kondisi Awal
Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti melakukan survei awal. Survei awal ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi awal pembelajaran menulis cerpen
serta kemampuan awal siswa dalam menulis cerpen. Kondisi awal ini menjadi acuan untuk menentukan tindakan apa saja yang akan dilakukan pada pembelajaran dalam
siklus selanjutnya. Survei awal dilakukan pada hari Selasa, 7 September 2010 pukul 8.20-9.20 WIB.
Pada kegiatan pratindakan guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam kemudian menanyakan siswa yang tidak masuk. Beberapa siswa menjawab
“nihil”. Setelah mengisi buku harian kelas, guru memberitahukan bahwa pada kesempatan tersebut, siswa diberi tugas untuk menulis cerpen. Mendengar tugas yang
commit to user
105 diberikan sebagian besar siswa merasa keberatan. Beberapa siswa mengeluh dan
tampak enggan. Siswa yang lain menanyakan tema, panjang cerpen serta waktu pengumpulan. Ada juga yang menawar agar cerpen dijadikan PR dan dikumpulkan
minggu depan. Meskipun banyak siswa yang menyatakan ketidaksetujuan, dengan tegas guru menugaskan siswa untuk menulis cerpen. Sebelumnya, guru menerangkan
unsur intrinsik cerpen kemudian menugaskan siswa untuk menganalisis unsur intrinsik cerpen yang ada di buku paket.
Saat proses pembelajaran berlangsung, siswa terlihat pasif. Beberapa siswa memang tampak memperhatikan keterangan guru namun tidak sedikit pula siswa
yang menguap, bosan, menopang dagu, serta sibuk beraktivitas sendiri. Dari hasil pantauan peneliti dengan lembar observasi, diketahui bahwa siswa yang aktif dalam
pembelajaran sebanyak 14 orang atau 41,2 dari keseluruhan siswa di kelas yang berjumlah 34 siswa. Sementara itu, siswa yang berminat pada pembelajaran –
diindikatori oleh perhatian siswa terhadap penjelasan guru – sebanyak 17 orang atau 50 dari keseluruhan siswa di kelas tersebut.
Sebenarnya guru sudah berusaha untuk mengaktifkan siswa tetapi kurang berhasil. Guru sudah memberi kesempatan pada siswa untuk bertanya tetapi tidak ada
siswa yang memanfaatkan kesempatan tersebut. Karena tidak ada pertanyaan, guru menugaskan siswa untuk menulis cerpen. Saat menulis cerpen, siswa tampak masih
bingung dengan tema yang akan ditulis. Beberapa siswa bertanya pada temannya sehingga suasana kelas sedikit gaduh. Setelah ditegur guru, kelas kembali tenang.
Cerpen siswa dikumpulkan sesaat setelah bel pergantian jam pelajaran berbunyi.
commit to user
106 Jika dicermati, pembelajaran tersebut masih bersifat konvensional.
Pembelajaran masih berpusat pada guru meskipun siswa diberi kesempatan untuk bertanya. Metode yang diterapkan pun kurang bervariatif. Ceramah masih
mendominasi kegiatan pembelajaran. Penugasan digunakan guru sebagai kegiatan evaluasi pembelajaran. Evaluasi yang dilakukan pada tulisan siswa lebih mengacu
pada aspek mekanik berupa penggunaan ejaan serta tanda baca. Di samping itu, aspek kerapian tulisan sering mendapatkan porsi yang lebih besar dalam penilaian.
Meskipun dua aspek tersebut sedikit banyak mencerminkan kemampuan menulis siswa, masih ada beberapa aspek yang seharusnya lebih diperhatikan terutama jika
dikaitkan dengan cipta sastra. Pemilihan kosakata serta pengembangan ide cerita kurang diperhatikan dalam kegiatan evaluasi. Demikian pula dengan aspek
pengembangan bahasa kurang diperhatikan. Terhadap hasil evaluasi yang dilakukan guru, peneliti mengajukan model penilaian yang dinilai lebih komprehensif dalam
mewadahi aspek penulisan cerpen. Model penilaian tersebut adalah model penilaian yang digunakan dalam ESL dengan penyesuaian pada aspek penulisan cerpen.
Sehubungan dengan metode yang dipilih guru dalam pembelajaran, diakui oleh guru bahwa beliau belum menemukan metode yang tepat dan mudah untuk
mengajarkan materi menulis cerpen. Kesulitan ini diperparah dengan rendahnya kemampuan apresiasi sastra siswa kelas VIII A SMP Negeri 4 Sukoharjo. Siswa
masih kesulitan menganalisis unsur cerpen. Guru berasumsi jika siswa kesulitan menganalisis unsur intrinsik cerpen, maka siswa juga akan mengalami kesulitan
menulis cerpen. Berdasarkan pada asumsi itulah, guru tidak mengajarkan materi
commit to user
107 menulis cerpen pada siswa. Guru beranggapan memahamkan siswa pada unsur
intrinsik cerpen adalah hal yang harus dilakukan terlebih dahulu. Keterampilan menulis cerpen siswa akan terpupuk seiring dengan kemampuannya memahami unsur
intrinsik cerpen. Di lain pihak, kesulitan yang dialami oleh guru sedikit banyak dipengaruhi
oleh ketiadaan media serta sumber pembelajaran yang bervariatif. Diakui oleh guru bahwa buku teks yang digunakan hanya satu macam itu pun masih berdasar pada
kurikulum lama. Adapun sumber belajar lain yang digunakan sekaligus sebagai bahan evaluasi adalah LKS Bahasa Indonesia. Cerpen yang terdapat dalam buku paket
tersebut memang tergolong sulit untuk dianalisis unsur intrinsiknya. Cerpen yang tergolong “ringan” belum dicoba untuk digunakan. Faktor lain yang cukup
berpengaruh adalah terbatasnya alokasi waktu pembelajaran. Ditegaskan oleh guru bahwa membaca contoh-contoh karya sastra --dalam hal ini cerpen-- adalah penting
bagi siswa guna memperoleh gambaran tentang contoh karya sastra, tapi sebagian besar siswa tidak sempat membaca-baca karya sastra tersebut.
Melihat kenyataan tersebut, tidak mengherankan jika siswa tampak tidak aktif selama proses pembelajaran. Metode yang konvensional, ketiadaan media,
sumber pembelajaran yang “berat” dan tidak bervariatif membuat siswa jenuh dan enggan mengikuti pembelajaran menulis cerpen.
Dari hasil wawancara yang dilakukan pada siswa diketahui bahwa pembelajaran menulis cerpen memang membosankan. Guru selalu menggunakan
metode ceramah untuk menyampaikan materi. Di akhir pembelajaran, guru selalu
commit to user
108 memberikan tugas sebagai evaluasi. Selain menyebabkan kejenuhan, metode tersebut
tidak memudahkan siswa untuk memahami materi cerpen meskipun materi tersebut diajarkan berulang-ulang oleh guru. Hal ini diperkuat oleh hasil angket pratindakan
yang dibagikan pada siswa. Dari 34 siswa, 14 siswa 41,2 menyatakan tidak menyukai cara mengajar yang digunakan guru. Tujuh belas siswa –dalam angket
yang sama– menyatakan bahwa mereka tidak memahami materi yang disampaikan guru. Di samping itu, materi yang diajarkan guru kurang mengena. Siswa
membutuhkan materi yang bisa menjawab pertanyaan “bagaimana cara menulis cerpen yang baik?” bukan sekadar “apa yang disebut dengan cerpen yang baik?”.
Materi yang diberikan tidak terbatas pada unsur intrinsik cerpen tetapi juga langkah- langkah menulis cerpen yang praktis dan mudah.
Dari hasil wawancara tersebut juga diketahui bahwa kesulitan terbesar siswa dalam menulis cerpen disebabkan oleh tidak adanya ide. Siswa tidak tahu apa yang
mesti mereka tulis meskipun tema telah ditentukan. Ada juga beberapa siswa yang sudah memiliki ide tetapi tidak tahu cara menuangkannya dalam sebuah karangan.
Siswa kesulitan mengembangkan gagasannya dalam beberapa paragraf utuh. Sering kali di tengah kegiatan menulis, siswa berhenti seakan kehabisan ide. Di samping itu,
siswa merasa tidak bebas untuk menulis karena terbatasnya alokasi waktu yang diberikan. Dalam benak siswa, siswa hanya ingin menyelesaikan cerita tanpa
mempedulikan bagus atau tidaknya cerita.
commit to user
109 Dari pretes yang dilakukan pada survei awal diketahui bahwa keterampilan
menulis cerpen siswa kelas VIII A SMP Negeri 4 Sukoharjo masih tergolong rendah. Rendahnya keterampilan menulis cerpen tersebut tampak dalam indikator berikut ini:
1. Ide cerita tidak digarap secara kreatif Pada dasarnya, ide cerita yang dimiliki siswa tergolong segar. Akan tetapi
pada praktiknya, siswa tidak dapat mengembangkan ide ceritanya secara kreatif. Kebanyakan karangan yang dihasilkan siswa bertema cinta dan persahabatan dengan
alur cerita yang hampir sama. Banyak pula ditemui cerpen siswa yang memiliki alur hampir mirip dengan alur cerita dalam sinetron. Ide cerita yang tidak terkembangkan
dengan baik berpengaruh pada panjang cerita yang dihasilkan. Cerpen yang ditulis siswa rata-rata tidak lebih dari 400 kata. Padahal sebuah karangan fiksi disebut
sebagai cerpen jika cerita tersebut minimal terdiri atas 500 kata. Siswa kurang bisa mengembangkan bahasa
Dari cerpen yang ditulis siswa diketahui pula bahwa siswa kurang bisa mengembangkan bahasa. Sejumlah kesalahan masih banyak ditemui dalam
penggunaan bentuk bahasa. Kata tidak disusun menurut aturan sintaksis yang tepat. Konstruksi kalimat yang disusun mengaburkan makna. Hasilnya, bahasa menjadi
tidak komunikatif sehingga maksud yang terkandung dalam cerpen tidak tersampaikan dengan baik.
2. Pemanfaatan potensi kata kurang Dari beberapa cerpen yang ditulis siswa, tampak bahwa potensi kata tidak
dimanfaatkan secara maksimal. Siswa belum mampu memanfaatkan kata dalam
commit to user
110 bentuk ungkapan-ungkapan yang indah. Akibatnya, bahasa cerpen terasa “garing”
dan membosankan untuk dibaca. 3. Siswa belum mampu mengorganisasikan gagasan dengan baik
Hal ini terlihat pada ekspresi tulisan yang kurang lancar. Gagasan dalam paragraf terpotong-potong sehingga kurang runtut. Hal ini menyebabkan maksud
yang terkandung tidak tersampaikan dengan baik. Di samping itu, gagasan yang tidak diorganisasikan dengan baik berpengaruh pada kelogisan cerpen.
4. Siswa masih banyak melakukan kesalahan mekanik Kesalahan yang ditemui dalam beberapa karangan siswa adalah penggunaan
ejaan seperti penulisan huruf kapital serta penggunaan tanda baca. Siswa juga sering menyingkat kata, misalnya “yg, pd, q, mk dan lain-lain”.
5. Sebagian besar siswa belum mencapai batas kriteria ketuntasan minimal KKM Dari 34 siswa, siswa yang mendapat nilai kurang dari 70 ada 20 orang,
sedangkan yang memperoleh nilai di atas 70 hanya 14 orang, sehingga dapat dikatakan ketuntasan klasikalnya hanya 41,18. Nilai rata-rata tes keterampilan
menulis cerpen pada kondisi awal ini hanya 68,44, sedangkan KKM yang dipatok adalah 70. Perolehan nilai rata-rata siswa tersebut masih di bawah kriteria ketuntasan
minimal 70. Berikut ini adalah tabel nilai pretes menulis cerpen siswa kelas VIII A SMP Negeri 4 Sukoharjo yang telah dijelaskan di atas. Sementara hasil keseluruhan
tes keterampilan menulis cerpen untuk tiap-tiap siswa dapat dilihat di Lampiran....
commit to user
111 Tabel 3. Perolehan Nilai Pretes Keterampilan Menulis Cerpen pada Kondisi Awal
No Uraian Pencapaian Hasil
Jumlah Nilai
1 Siswa yang memperoleh nilai di bawah 70
20 2
Siswa yang memperoleh nilai di atas atau sama dengan 70 14
3 Nilai rata-rata
68,44 4
Ketuntasan klasikal 41,18
Berdasar pada analisis di atas, dapat dikemukakan dua hal pokok yang perlu diatasi, yaitu pembelajaran menulis cerpen yang konvensional serta kemampuan
menulis cerpen siswa yang rendah. Implikasinya, tindakan perlu dilakukan untuk mengatasi dua hal tersebut. Untuk itulah peneliti berdiskusi dengan guru untuk
merencanakan langkah selanjutnya pada Rabu, 8 September 2010.
C. Pelaksanaan Tindakan dan Hasil Penelitian