21
2.6.  Peranan Sektor Pertanian
Hakikat  pertumbuhan  bagi  negara-negara  berkembang  dewasa  ini,  dalam berbagai  aspek  sangat  berlainan  dengan  pengalaman  negara-negara  maju  pada
awal  masa  pertumbuhan  ekonomi  modern.  Pertumbuhan  ekonomi  yang  pesat selalu  diikuti  dengan  ketimpangan  pendapatan  terutama  pada  awal  proses
pembangunan ekonomi Adelman dan Morris, 1973. Beban utama pembangunan dan  penciptaan  lapangan  kerja  pada  akhirnya  akan  ditanggung  oleh  sektor
perekonomian  yang  bertumpu  pada  kegiatan-kegiatan  pertanian,  yakni  sektor pertanian Francis Blanchard.
Secara tradisional, peranan pertanian dalam pembangunan ekonomi hanya dipandang  pasif  dan  bahkan  hanya  dianggap  sebagai  unsur  penunjang  semata.
Berdasarkan  sejarah  yang  dijalani  oleh  negara-negara  Barat,  apa  yang  disebut sebagai  pembangunan  ekonomi  diidentikkan  dengan  transformasi  struktural
terhadap  perekonomian  cepat,  yakni  dari  perekonomian  yang  bertumpu  pada kegiatan  pertanian  menjadi  perekonomian  industri  modern  dan  jasa-jasa  yang
serba lebih kompleks. Dengan demikian peranan utama pertanian dianggap hanya sebatas  sebagai  sumber  tenaga  kerja  dan  bahan-bahan  pangan  yang  murah  demi
berkembangnya  sektor-sektor  industri  yang  dinobatkan  sebagai  sektor  unggulan dinamis dalam strategi pembangunan ekonomi secara keseluruhan.  Lewis 1954
dalam  dual  sector  economy  pembangunan  yang  menitikberatkan  upaya pengembangan  sektor  industri  secara  cepat,  di  mana  sektor  pertanian  hanya
dipandang sebagai pelengkap atau penunjang dalam kedudukannya selaku sumber tenaga kerja dan bahan-bahan pangan yang murah.
2.7. Kemiskinan
Banyak definisi tentang kemiskinan telah diungkapkan dan menjadi bahan perdebatan. Kemiskinan telah didefinisikan berbeda-beda dan merefleksikan suatu
spektrum orientasi idiologi. Bahkan pendekatan kuantitatif untuk mendefinisikan kemiskinan  telah  diperdebatkan  secara  luas  oleh  beberapa  peneliti  yang
mempunyai  minat  dalam  masalah  ini.  Kemiskinan  adalah  suatu  situasi  atau kondisi  yang  dialami  oleh  seseorang  atau  kelompok  orang  yang  tidak  mampu
menyelenggarakan  hidupnya  sampai  suatu  taraf  yang  dianggap  manusiawi Parwoto,  2001.  Kondisi  tersebut  menyebabkan  tidak  terpenuhinya  kebutuhan
22 dasar  atau  asasi  manusia  seperti  sandang,  pangan,  papan,  afeksi,  keamanan,
identitas  kultural,  proteksi,  kreasi,  kebebasan,  partisipasi,  dan  waktu  luang Fernandez, 2000.
Lebih  jauh  lagi,  kemiskinan  dipandang  tidak  hanya  menyangkut  standar pendapatan  atau  konsumsi  yang  rendah  melainkan  juga  rendahnya  kebebasan
berpolitik  dan  pengaruhnya  terhadap  pengambilan  keputusan  yang  menyangkut pemenuhan  kebutuhan  dasar  manusia.  Hal  tersebut  berkaitan  pula  dengan
keterbatasan  fasilitas  umum,  pilihan,  kesempatan  serta  partisipasi  dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indra, 2001.
Suparlan  2000  mendefinisikan  bahwa  kemiskinan  adalah  keadaan  serba kekurangan  harta  dan  benda  berharga  yang  diderita  oleh  seseorang  atau
sekelompok  orang  yang  hidup  dalam  lingkungan  serba  miskin  atau  kekurangan modal, baik dalam pengertian uang, pengetahuan, kekuatan sosial, politik, hukum,
maupun  akses  terhadap  fasilitas  pelayanan  umum,  kesempatan  berusaha  dan bekerja.  Lebih  jauh  lagi,  kemiskinan  berarti  suatu  kondisi  di  mana  orang  atau
kelompok orang tidak mempunyai kemampuan, kebebasan, aset dan aksesibilitas untuk  kebutuhan  mereka  di  waktu  yang  akan  datang,  serta  sangat  rentan
vulnerable terhadap  resiko  dan  tekanan  yang  disebabkan  oleh  penyakit  dan
peningkatan  secara  tiba-tiba  atas  harga-harga  bahan  makanan  dan  uang  sekolah UNCHS, 1996 dan Indra, 2001.
Ditinjau  dari  sisi  kelompok  sasaran,  terdapat  beberapa  tipe  kemiskinan. Penggolongan  tipe  kemiskinan  ini  dimaksudkan  agar  tujuan  program
pembangunan  memiliki  sasaran  dan  target  yang  jelas.  Hal  ini  dibuktikan  dari beberapa  program  pengentasan  kemiskinan  yang  telah  dilaksanakan  oleh
pemerintah  ternyata  kurang  mampu  mengatasi  kemiskinan  secara  menyeluruh Supriatna, 1997. Berbagai program pembangunan yang telah dilaksanakan lebih
berorientasi  pada  pemenuhan  target  group  pembangunan  dan  tidak memperhatikan  kelanjutan  program.  Oleh  karena  itu,  Sumodiningrat  1999
membagi  kemiskinan  menjadi  tiga  kategori,  yaitu  1  kemiskinan  absolut,  yaitu pendapatan  di  bawah  garis  kemiskinan  dan  tidak  dapat  memenuhi  kebutuhan
dasarnya, 2 kemiskinan relatif, yaitu situasi kemiskinan di atas garis kemiskinan berdasarkan pada jarak antara miskin dan non-miskin dalam suatu komunitas, dan
23 3  kemiskinan  struktural  kemiskinan  ini  terjadi  saat  orang  atau  kelompok
masyarakat enggan untuk memperbaiki kondisi kehidupannya sampai ada bantuan untuk mendorong mereka keluar dari kondisi tersebut.
Secara  umum,  SEMERU  2000  dalam  Wiraswara  mendefinisikan kemiskinan mencakup berbagai dimensi, antara lain :
1.  Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar pangan, sandang dan papan.
2.  Tidak ada akses dalam memenuhi kebutuhan hidup dasar lainnya kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi.
3.  Tidak  ada  jaminan  masa  depan  karena  tidak  adanya  investasi  untuk pendidikan dan keluarga.
4.  Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun masal. 5.  Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumberdaya alam.
6.  Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat. 7.  Tidak  ada  akses  terhadap  lapangan  kerja  dan  matapencahrian  yang
berkesinambungan. 8.  Ketidakmampuan dalam berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9.  Ketidakmampuan  dan  ketidakberuntungan  sosial  anak  terlantar,  wanita korban  tindak  kekerasan  rumahtangga,  janda  miskin,  kelompok  marjinal  dan
terpencil. Sementara  garis  kemiskinan  yang  ditetapkan  Badan  Pusat  Statistik  BPS,
2004  adalah  besarnya  nilai  pengeluaran  Rupiah  untuk  memenuhi  kebutuhan dasar  minimum  makanan  dan  non  makanan.  Nilai  garis  kemiskinan  yang
digunakan  mengacu  pada  kebutuhan  minimum  2.100  kkal  per  kapita  per  hari ditambah  dengan  kebutuhan  minimum  non  makanan.  Kebutuhan  minimum  non
pangan  merupakan  kebutuhan  dasar  seseorang  yang  meliputi  kebutuhan  untuk papan,  sandang,  sekolah,  transportasi  serta  kebutuhan  rumahtangga  dan  individu
mendasar lainnya.
2.7.1. Karakteristik   Rumahtangga Miskin
Karakteristik  utama  kemiskinan  berkaitan  dengan  kondisi  dan  potensi wilayah  miskin,  yang  banyak  dalam  hal  berkaitan  erat  dengan  penyebab  utama
kemskinan.  Penyebab  utama  kemiskinan  berkaitan  dengan  faktor-faktor  yang
24 yang  menjadi  penyebab  kemiskinan,  baik  yang  berkaitan  dengan  sumberdaya
alam, rendahnya kualitas sumberdaya manusia maupun hal-hal yang berhubungan dengan kegagalan kelembagaan dalam upaya meningkatkan tingkat kesejahteraan
masyarakat. Menurut  Qubriah  1991  dalam  Dabukke  1995  menggambarkan
karakteristik rumahtangga miskin ke dalam lima klasifikasi, antara lain : 1.  Karakteristik geografis
Secara  geografis,  peluang  terjadinya  kemiskinan  lebih  besar  di  pedesaan daripada  di  perkotaan  terlepas  dari  kriteria  atau  metode  pengukuran
kemiskinan. Kemiskinan tersebut ditandai dengan variabel-variabel rendahnya pendapatan  dan  konsumsi,  kekurangan  pangan,  buta  huruf,  kematian  bayi
yang  cukup  tinggi,  kondisi  tempat  tinggal  kurang  memenuhi  persyaratan kesehatan.
2.  Karakteristik demografi Diantara berbagai variabel demografi, kemiskinan berkorelasi positif langsung
dengan  jumlah  anggota  rumahtangga  dan  berkorelasi  negatif  dengan  jumlah anggota  rumahtangga  yang  menghasilkan  pendapatan.  Rumahtangga  miskin
cenderung  memiliki  anggota  keluarga  yang  sangat  besar  dengan  beberapa orang  anak  dan  anggota  rumahtangga  lain  yang  tergantung  secara  ekonomi.
Tetapi  sebaliknya,  rumahtangga  miskin  hanya  terdiri  dari  sedikit  orang  yang bekerja  dan  diupah.  Kemiskinan  lebih  tinggi  peluangnya  terjadi  pada
rumahtangga yang dikepalai oleh wanita daripada pria. 3.  Karakteristik penguasaan aset
Pendapatan  individu  tergantung  pada  penguasaan  aset  individu  termasuk sumberdaya  manusia  dan  keuntungan  daripada  penguasaan  aset.  Penduduk
miskin adalah mereka yang penguasaan asetnya rendah. Di negara agraris, aset yang  paling  penting  adalah  lahan  dan  kemiskinan  berkorelasi  positif  dengan
rendahmya  penguasaan  lahan.  Rumahtangga  miskin  seringkali  dirugikan karena  rendahnya  kualitas  sumberdaya  manusia.  Mereka  umumnya  memiliki
tingkat  pendidikan  yang  rendah.  Penguasaan  aset  mempengaruhi  langsung sumber  potensial  pendapatan.  Tanpa  lahan  yang  memadai,  rumahtangga
miskin hanya menyewakan tenaga dan waktu kerja. Tanpa sumberdaya tenaga
25 kerja  yang  berkualitas,  akan  dipaksa  bekerja  pada  pekerjaan  kasar  yang
dihargai  dengan  upah  yang  rendah.  Tanpa  penguasaan  aset  yang  cukup, rumahtangga  miskin  terbatas  aksesnya  kepada  modal  lain  dan  kekurangan
kesempatan kerja mandiri. 4.  Karakteristik sumber pendapatan
Sektor  pertanian  dan  kegiatan  lain  yang  berhubungan  langsung  dengan pertanian  merupakan  sumber  pendapatan  utama  bagi  rumahtangga  miskin.
Kegiatan  di  sektor  pertanian  ditandai  oleh  produktifitas  yang    rendah, ketrampilankeahlian rendah, modal  rendah dan upah rendah.
5.  Karakteristik lain Faktor  spesifik  masing-masing  negara  menyebabkan  adanya  karakteristik
tambahan.  Faktor-faktor  spesifik  itu  misalnya  keragaan  etnik,  struktur  kelas soaial, dinamika kemiskinan dan fenomena kemiskinan.
Berdasarkan  karakteristik-karakteristik  di  atas,  rumahtangga  miskin dicirikan sebagai berikut : tinggal di pedesaan, total pendapatan yang rendah, total
konsumsi yang rendah, tingkat konsumsi pangan yang rendah, tingkat pendidikan yang  rendah  dan  buta  huruf,  tingkat  kematian  bayi  yang  tinggi,  kondisi  tempat
tinggal  yang  kurang  sehat,  jumlah  anggota  rumahtangga  yang  besar,  jumlah anggota  rumahtanga  yang  berpenghasilan  sedikit,  pemilikan  dan  penguasaan
lahan pertanian yang sempit, dan bermata pencahrian utama sebagai petani.
2.7.2. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan  disebabkan  oleh  terbatasnya  sumberdaya  yang  dimiliki  atau dapat  dimanfaatkan  oleh  keluarga  untuk  memenuhi  kebutuhan  dasarnya.
Keterbatasan  itu  berkaitan  erat  dengan  rendahnya  tingkat  pendidikan.  Dalam kondisi  serba  terbatas  itu,  sangat  sulit  bagi  anak-anak  keluarga  miskin  untuk
menempuh  pendidikan,  disamping  itu  tidak  mampu  menyediakan  makanan bergizi bagi seluruh anggota keluarga.
Menurut  Suryadiningrat  2003,  kemiskinan  pada  hakekatnya  disebabkan oleh  kurangnya  komitmen  manusia  terhadap  norma  dan  nilai-nilai  kebenaran
ajaran  agama,  kejujuran  dan  keadilan.  Hal  ini  mengakibatkan  terjadinya penganiayaan  manusia  terhadap  diri  sendiri  dan  orang  lain.  Penganiayaan  pada
diri sendiri tercermin pada : 1 keengganan bekerja dan berusaha, 2 kebodohan,
26 3 motivasi renda, tidak memiliki rencana jangka panjang, 5 budaya kemiskinan
dan 6 pemahaman keliru terhadap kemiskinan.
2.7.3. Pembangunan Masyarakat Pedesaan dalam Mengatasi Kemiskinan
Pembangunan  masyarakat  dan  pembangunan  manusia  merupakan  satu kesatuan  yang  saling  berkaitan  karena  manusia  secara  kodrati  mempunyai
kecenderungan  untuk  hidup  bermasyarakat.  Masyarakat  dalam  konteks pembangunan  adalah  masyarakat  dalam  arti  komunitas,  yaitu  yang  memiliki
sistem  budaya,  sistem  sosial,  dan  sejarah  tertentu  Supriatna,  1997. Selanjutnya  ia  menjelaskan  bahwa  karakteristik  masyarakat  bisa  ditinjau  dari
berbagai  segi,  yaitu  bentuk  organisasi,  interaksi,  stratifikasi,  kekuasaan, komunikasi,  kerjasama,  maupun  cara  pencapaian  tujuan.  Oleh  karena  itu,  hal
yang  sangat  penting  dalam  membangun  masyarakat  ialah  memperhatikan karakteristik komunitas dan masyarakat umum, informasi yang bersifat global,
pesatnya  perkembangan  ilmu  pengetahuan,  dan  sumber  daya  manusia  karena faktor-faktor  tersebut  menjadi  faktor  utama  bagi  perubahan  sosial  dan
kemajuan masyarakat. Pembangunan  masyarakat  desa  merupakan  bagian  dari  pembangunan
masyarakat  atau  sosial,  pembangunan  desa,  dan  pembangunan  desa  terpadu yang diarahkan kepada kelembagaan dan partisipasi masyarakat miskin dalam
meningkatkan  kesejahteraan  pada  satuan  wilayah  pedesaan.  Masyarakat  desa dapat  dicirikan  dengan  taraf  pendidikannya  yang  sangat  rendah,  kebanyakan
buta  huruf,  dan  buta  pengetahuan  dasar  yang  menjadi  permasalahan  global Botkin, 1984 dalam Supriatna, 1997.
Konsep  pembangunan  pedesaan  telah  menjadi  pusat  perhatian  negara- negara berkembang sejak tahun 1950-an sampai sekarang dalam pembangunan
nasionalnya.  Hal  ini  terkait  dengan  strategi  pembangunannya  untuk memecahkan  masalah-masalah  laju  pertumbuhan  penduduk  yang  cepat,
kemiskinan,  urbanisasi,  dan  pengangguran.  Oleh  karena  itu,  para  pengambil kebijakan  telah  mengangkat  masalah  tersebut  dalam  haluan  program  serta
kegiatan  pembangunan  pedesaan  secara  menyeluruh  yang  menyangkut  sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, sosial, budaya, agama, dan
sebagainya.
27
2.8. Penelitian Terdahulu
Penelitian  tentang  pengembangan  sektor  pertanian  dan  strategi penanggulangan  kemiskinan  di  Indonesia  telah  banyak  diteliti,  namun  secara
khusus yang berlokasi di Kabupaten Halmahera Barat yang terkait dengan analisis pengembangan sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura dalam penaggulangan
kemiskinan belum pernah dilaksanakan sebelumnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sajogyo 2002 diacu dalam Yustika
2004,  mengungkapkan  bahwa  petani  yang  memiliki  lahan  yang  cukup  luas berpeluang  mempunyai  pendapatan  yang  lebih  tinggi  dibandingkan  petani  yang
mempunyai  lahan  yang  lebih  kecil.  Diungkapkan  pula  bahwa  terjadi  penurunan penguasaan luas lahan pertanian 0,5 – 1 Ha dari tahun 1975 sampai 1993 dari 12
menjadi  6,2  .  Dengan  demikian  lahan  merupakan  modal  utama  bagi  petani dalam  mengelola  usaha  pertaniannya.  Semakin  luas  lahan  yang  mereka  garap,
semakin luas kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Berbagai  permasalahan  yang  terjadi  di  masyarakat  pedesaan  dapat
dijadikan  tolok  ukur  dari  mana  pembangunan  masyarakat  desa  harus  dimulai. Haeruman  2007,  mengungkapkan  beberapa  fakta  yang  terjadi  di  wilayah
pedesaan, yaitu : a  Kemiskinan
Perkembangan  jumlah  penduduk  yang  hidup  dibawah  garis  kemiskinan selama  kurun  waktu  1976  hingga  tahun  2004,  persentasenya  lebih  besar
dibandingkan  dengan  penduduk  perkotaan.  Hal  ini  bisa  dimungkinkan  karena sebagian
besar penduduk
Indonesia berdomisili
di pedesaan
yang bermatapencarian  di  sektor  pertanian.  Sedangkan  dilihat  dari  profilnya,
rumahtangga  miskin  di  Indonesia  rata-rata  mempunyai  5,6  anggota  per rumahtangga  sedangkan  di  daerah  pedesaan  mempunyai  6,1  anggota  per
rumahtangga. Dari angka tersebut diketahui bahwa beban rumahtangga miskin di daerah pedesaan lebih besar dibandingkan di daerah perkotaan.
Sebanyak  15,8  juta  penduduk  Indonesia  tergolong  fakir  miskin  pada tahun  2003.  jumlah  tesebut  sekitar  42,4    dari  seluruh  populasi  penduduk
miskin 37,3 juta jiwa tahun 2003. Persentase  tersebut menunjukan secara rata- rata  dari  setiap  100  orang  penduduk  miskin  42  orang  diantaranya  masih
28 tergolong fakir miskin. Fakir miskin adalah mereka yang pendapatannya masih
dibawah  normal,  yaitu  kurang  dari  US  1  per  hari.  Sedangkan,  pendapatan antara  US  1  sampai  US  2  per  hari  tergolong  sebagai  penduduk  miskin.
Sedangkan dikatakan sejahtera, bila mereka sudah berpenghasilan diatas US 2 tiap harinya BPS, 2003
Ciri  lain  yang  melekat  pada  rumahtangga  miskin  adalah  tingkat pendidikan yang rendah. Data Biro Pusat Statistik tahun 1993 memperlihatkan
bahwa  72,01    dari  rumahtangga  miskin  di  pedesaan  dipimpin  oleh  kepala rumahtangga  yang  tidak  tamat  SD  dan  24,32    dipimpin  oleh  kepala
rumahtangga  yang  berpendidikan SD. Ciri  rumahtangga  miskin  lain  yang  erat kaitannya  dengan  tingkat  pendidikan  dan  sebaran  lokasi  rumahtangga  adalah
sumber  penghasilan.  Sekitar  62    dari  rumahtangga  miskin  penghasilan utamanya bersumber dari sektor pertanian, 10,4  dari sektor perdagangan, 7,4
dari  sektor  industri,  6,5    dari  sektor  jasa-jasa  dan  selebihnya  dari  sektor bangunan,  pengangkutan  dan  lainnya.  Apabila  dibedakan  menurut  daerah,
sebagian  besar  atau  sekitar  79,5    rumahtangga  miskin  di  pedesaan mengandalkan  pada  sumber  penghasilan    di  sektor  pertanian.  Ini  konsisten
dengan corak rumahtangga pedesaan yang sebagian besar adalah rumahtangga petani.
b  Keseinjangan Berdasarkan  data  Badan  Pusat  Statistik  tahun  1993  dapat  dicatat  bahwa
pembagian  pendapatan  antar  golongan  penduduk  dalam  kurun  waktu  1978-1993 menunjukan  kecenderungan  membaik.  Perbaikan  dalam  pembagian  pendapatan
antar  kelompok  penduduk  ditunjukan  oleh  menurunnya  indeks  ketidakmerataan Gini  dari  0,38  pada  tahun  1978  menjadi  0,32  pada  tahun  1990.  Meski  jumlah
penduduk  miskin  menurun,  namun  indeks  Gini  meningkat  menjadi  0,34  pada tahun 1993. ini berarti terjadi keseinjangan antar golongan cenderung meningkat.
Akan tetapi pada tahun 1996 dan 1999, ketidakmerataan yang terjadi di pedesaan cenderung  menurun  dimana  indeks  Gini  pada  tahun  1996  adalah  sebesar  0,274
dan  pada  tahun  1999  menjadi  0,244  Bappenas  2002.  Ini  menunjukan  bahwa daerah  pedesaan  relatif  mempunyai  kemampuan  untuk  bertahan  pada  kondisi
krisis.
29 c  Struktur Tenaga Kerja
Keterlibatan  penduduk  dalam  kegiatan  ekonomi  diukur  dengan  porsi penduduk  yang  masuk  dalam  pasar  tenaga  kerja  bekerja  atau  mencari  kerja,
disebut sebagai tingkat partisipasi angkatan kerja. Kesempatan kerja memberikan gambaran  besarnya  tingkat  penyerapan  tenaga  kerja,  sehingga  angkatan  kerja
yang tidak terserap merupakan masalah karena mereka terpaksa menganggur. Berdasarkan  data  Badan  Pusat  Statistik  2000,  angka  pengangguran  di
daerah pedesaan lebih rendah bila dibandingkan dengan perkotaan. Dimana pada tahun 1998 dan 2000, angka pengangguran di pedesaan masing-masing 3,3  dan
4,1 , sedangkan di perkotaan  masing-masing 9,3 dan 9,2. Proporsi pekerja menurut  lapangan  usaha  merupakan  salah  satu  ukuran  untuk  melihat  potensi
sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja. Di pedesaan, sektor pertanian tetap  menjadi  sektor  yang  mampu  menyerap  tenaga  kerja  yang  besar  dan
cenderung  terjadi  peningkatan  dari  62,9  pada  tahun  1998  menjadi  66,1  pada tahun  2000.  kecenderungan  tersebut  dimungkinkan  karena  saat  krisis  ekonomi
sektor  industri  dan  jasa  mengalami  keterpurukan  sehingga  banyak  yang mengalihkan pekerjaannya pada sektor pertanian.
d  Perubahan Struktur Lahan Perkembangan  lain  yang  terjadi  di  daerah  pedesaan  adalah  terjadi
perubahan  pada  aset  penguasaan  lahan.  Luas  lahan  yang  dimiliki  oleh rumahtangga  pertanian  menurun  sebesar  4,8  dari  26,6  juta  hektar  pada  tahun
1983  menjadi  16,0  juta  hektar  pada  tahun  1993  BPS,  1994.  Sementara  luas lahan  yang  dikuasai  menurun  sekitar  3,8  dari  18,3  juta  hektar  menjadi  17,7
juta hektar. Penurunann luas lahan dikuasai oleh rumahtangga pertanian terutama terjadi  di  Jawa  yang  menurun  sebesar  14,5.  Implikasinya  adalah  menurunnya
luas  lahan  yang  dikuasai  dan  meningkatnya  jumlah  rumahtangga  petani  gurem yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar. Jumlah petani gurem ini meningkat
dari 9,5 juta rumahtangga pada tahun 1983 menjadi 10,9 juta rumahtangga petani pada tahun 1993. bertambahnya jumlah petani gurem ditunjukan oleh menurunnya
penguasaan lahan pertanian di Jawa dari 0,6 hektar pada tahun 1983 menjadi 0,5 hektar pada tahun 1993, sedangkan diluar Jawa menurun dari 1,6 hektar menjadi
30 1,3  hektar.  Keterbatasan  lahan  yang  dikuasai  oleh  petani  akan  mempersempit
peluang bagi masyarakat desa untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan. e  Kelembagaan
Kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan  yang dianut oleh masyarakat atau  organisasi  yang  dijadikan  pegangan  oleh  seluruh  anggota  masyarakat  atau
anggota organisasi dalam mengadakan transaksi satu sama lainnya yang meliputi pasar,  hak  kepemilikan,  pelestarian  sumberdaya  dan  sistim  pertukaran  yang
ditentukan berdasarkan norma-norma sosial atau kontrak. Kelembagaan  itu  sendiri  sebagian  besar  muncul  akibat  dari  kehidupan
bersama  dan  tidak  direncanakan.  Para  warga  masyarakat  pada  awalnya  mencari cara-cara  yang  dapat  digunakan  sebagai  wadah  memenuhi  kebutuhan  hidup,
kemudian  mereka  menemukan  beberapa  pola  yang  dapat  digunakan  untuk memenuhi  kebutuhan  hidup  dan  dalam  proses  selanjutnya  diperkuat  melalui
pengaturan  bersama  yang  dibakukan.  Kelembagaan  memberikan  ketentuan terhadap  anggota  masyarakatnya  mengenai  hak-hak,  kewajiban  dan  tanggung
jawabnya.  Disamping  itu,  tiap  anggota  mendapat  suatu  jaminan  hak  dan perlindungan  dari  masyarakat.  Kelembagaan  memberikan  suatu  kondisi  bahwa
tiap-tiap  anggota  menerima  sesuatu  yang  menjadi  ketentuan  dan  tiap  anggota merasa  aman,  merasa  sewajarnya.  Arti  ekonomi  utama  dari  kelembagaan  adalah
memberikan  kepastian  tentang  siapa  memperoleh  apa  dan  berapa  banyaknya. Dengan  kata  lain  kelembagaan  menurunkan  derajat  ketidakpastian  dari  aliran
manfaat  atau  ongkos  yang  akan  diterima  oleh  partisipan  dalam  suatu  sistim ekonomi.  Kelembagaan  dapat  diartikan  sebagai  atau  aturan  main.  Kelembagaan
sebagai  organisasi  biasanya  menunjuk  pada  lembaga-lembaga  formal  seperti Departemen Pertanian dan Perkebunan, Pemerintah Daerah, Koperasi Unit Desa,
Kelompok tani, Bank dan sejenisnya. Kelembagaan  masyarakat  desa  mencakup  dua  pola  hubungan,  yaitu
hubungan sosial dan hubungan ekonomi. Di berbagai daerah, peran dari lembaga adat  masi  cukup  dominan  terutama  di  daerah  dengan  ikatan  sosial  antar  anggota
masyarakat masih kuat social relation yang pada akhirnya menciptakan aturan, kesepakatan,  dan  kewajiban  sosial  sosial  obligation.  Akan  tetapi  kondisi
tersebut secara gradual mengalami pergeseran hubungan yang semula didasarkan
31 pada aspek sosial bergeser menjadi hubungan mempertimbangkan aspek imbalan
ekonomi economic relation Anwar, 2005. Selain itu penelitian-penelitian lainnya  yang menyangkut dengan masalah
kemiskinan,  diantaranya  menurut  Rahmawati  2006,  faktor-faktor  yang berpengaruh nyata terhadap peluang suatu rumahtangga berada dalam kemiskinan
antara  lain  ;  jumlah  anggota  rumahtangga  yang  termasuk  tenaga  kerja,  umur, pendidikan,  jenis  kelamin  dan  pendapatan.  Berdasarkan  analisis  tersebut,  jika
kepala rumahtangga berjenis kelamin wanita maka peluang rumahtangga menjadi miskin.
Selanjutnya  menurut  McDowell  1995  menunjukan  bahwa  faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah faktor umur, pendidikan, ras, tipe kepala
keluarga,  ukuran  keluarga,    pendapatan,  lama  bekerja,  struktur  industri  dan interaksi.  Model  penelitian  tentang  kemiskinan  ini  menggunakan  model  regresi
logistik dan semua variabel bebas signifikan terhadap taraf nyata satu persen. Widianti  2001  dari  hasil  penelitiannya  tentang  telaah  terhadap
partisipasi, pendapatan dan tingkat kemiskinan peserta program perhutanan sosial dapat  disusun  faktor-faktor  yang  mempengaruhi  tingkat  kemiskinan  pesanggem
orang  yang  menggarap  lahan.  Adapun  faktor-faktor  tersebut  adalah  jenis  mata pencaharian  pesanggem,  luas  penguasaan  lahan  pesanggem,  pola  usaha  tani  dan
pendapatan rumahtangga. Lebih  dari  itu  Penelitian  Wiraswara  2005  menunjukan  pertumbuhan
ekonomi  tidak  berpengaruh  terhadap  angka  kemiskinan  di  Indonesia.  Dari  hasil penelitian  ini,  terdapat  variabel-variabel  lain  yang  berpengaruh  terhadap
kemiskinan  diantaranya  :  angka  melek  huruf,  keterjangkauan  rumahtangga terhadap listrik dan dummy kabupatenkota di Jawa.  Ketiga variabel ini menurut
data  tahun  2002  memiliki  kemampuan  untuk  mengurangi  angka  kemiskinan. Angka  kemiskinannya  lebih  tinggi  dari  kabupatenkota  di  luar  Jawa  dan
persentase penduduk melek huruf kabupatenkota di Jawa lebih rendah daripada di luar Jawa dan kabupatenkota di Jawa lebih unggul dalam persentase rumahtangga
yang terjangkau listrik.
32
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran
Amanah  Undang-Undang  Nomor  32  Tahun  2004  Tentang  Pemerintah Daerah,  pada  Pasal  14  ayat  2  yang    mengisaratkan  bahwa  urusan  pemerintahan
KabupatenKota  yang  bersifat  pilihan  meliputi  urusan  pemerintahan  yang  secara nyata  ada  dan  berpotensi  untuk  meningkatkan  kesejahteraan  masyarakat  sesuai
dengan  kondisi,  kekhasan,  dan  potensi  unggulan  daerah  yang  bersangkutan. Sementara itu didalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan
Keuangan  antara  pemerintahan  pusat  dan  daerah  serta  mengatur  tentang  alokasi anggaran dan pendapatan daerah.
Pendapatan  Asli  Daerah  adalah  bagian  dari  pendapatan  daerah,  terdiri  dari pajak daerah dan retribusi daerah diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan
penyelenggaraan  pemerintahan  dan  pembangunan  daerah,  untuk  meningkatkan  dan pemerataan  bagi  kesejahteraan  masyarakat.  Lebih  lanjut  Undang-undang  Nomor 34
Tahun  2000  Tentang  Pajak  Daerah  dan  Retribusi  Daerah  menetapkan  ketentuan- ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijakan dan arahan bagi daerah dalam
pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus menetapkan pengaturan untuk menjamin penerapan prosedur umum perpajakan daerah dan retribusi daerah.
Tujuan dari penetapan sejumlah regulasi tersebut adalah untuk mengatur dan menggali  potensi  keuangan  melalui  berbagai  sektor  dan  biasanya  sektor-sektor
tersebut dijabarkan lagi  menjadi sub-sub sektor,  yang kemudian dikelolah sekaligus dialokasikan  untuk  belanja  pembangunan  dan  belanja  aparatur  dalam  bentuk
Anggaran  Pendapatan  dan  Belanja  Daerah  APBD.  Dengan  alokasi  anggaran  ini diharapkan  dapat  menyentuh  langsung  pada  kebutuhan  masyarakat,  terutama
masyarakat yang berdomisili di pedesaan dengan latar belakang usaha adalah sektor pertanian yang sebagian besar berada dibawah garis kemiskinan.
Pendekatan  sektoral  dalam  perencanaan  selalu  dimulai  dengan pertanyaan  yang  menyangkut  sektor  apa  yang  perlu  dikembangkan  untuk
mencapai  tujuan  pembangunan.  Aziz  1994  menyatakan  bahwa  perencanaan pembangunan  mengikuti  suatu  hirarki.  Hirarki  pertama  menunjukkan  tujuan
pembangunan,  hirarki  ke  dua  menunjukan  sektor-sektor  mana  yang  terpilih,