Penelitian Terdahulu TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan dan Pengembangan
28 tergolong fakir miskin. Fakir miskin adalah mereka yang pendapatannya masih
dibawah normal, yaitu kurang dari US 1 per hari. Sedangkan, pendapatan antara US 1 sampai US 2 per hari tergolong sebagai penduduk miskin.
Sedangkan dikatakan sejahtera, bila mereka sudah berpenghasilan diatas US 2 tiap harinya BPS, 2003
Ciri lain yang melekat pada rumahtangga miskin adalah tingkat pendidikan yang rendah. Data Biro Pusat Statistik tahun 1993 memperlihatkan
bahwa 72,01 dari rumahtangga miskin di pedesaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD dan 24,32 dipimpin oleh kepala
rumahtangga yang berpendidikan SD. Ciri rumahtangga miskin lain yang erat kaitannya dengan tingkat pendidikan dan sebaran lokasi rumahtangga adalah
sumber penghasilan. Sekitar 62 dari rumahtangga miskin penghasilan utamanya bersumber dari sektor pertanian, 10,4 dari sektor perdagangan, 7,4
dari sektor industri, 6,5 dari sektor jasa-jasa dan selebihnya dari sektor bangunan, pengangkutan dan lainnya. Apabila dibedakan menurut daerah,
sebagian besar atau sekitar 79,5 rumahtangga miskin di pedesaan mengandalkan pada sumber penghasilan di sektor pertanian. Ini konsisten
dengan corak rumahtangga pedesaan yang sebagian besar adalah rumahtangga petani.
b Keseinjangan Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 1993 dapat dicatat bahwa
pembagian pendapatan antar golongan penduduk dalam kurun waktu 1978-1993 menunjukan kecenderungan membaik. Perbaikan dalam pembagian pendapatan
antar kelompok penduduk ditunjukan oleh menurunnya indeks ketidakmerataan Gini dari 0,38 pada tahun 1978 menjadi 0,32 pada tahun 1990. Meski jumlah
penduduk miskin menurun, namun indeks Gini meningkat menjadi 0,34 pada tahun 1993. ini berarti terjadi keseinjangan antar golongan cenderung meningkat.
Akan tetapi pada tahun 1996 dan 1999, ketidakmerataan yang terjadi di pedesaan cenderung menurun dimana indeks Gini pada tahun 1996 adalah sebesar 0,274
dan pada tahun 1999 menjadi 0,244 Bappenas 2002. Ini menunjukan bahwa daerah pedesaan relatif mempunyai kemampuan untuk bertahan pada kondisi
krisis.
29 c Struktur Tenaga Kerja
Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi diukur dengan porsi penduduk yang masuk dalam pasar tenaga kerja bekerja atau mencari kerja,
disebut sebagai tingkat partisipasi angkatan kerja. Kesempatan kerja memberikan gambaran besarnya tingkat penyerapan tenaga kerja, sehingga angkatan kerja
yang tidak terserap merupakan masalah karena mereka terpaksa menganggur. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2000, angka pengangguran di
daerah pedesaan lebih rendah bila dibandingkan dengan perkotaan. Dimana pada tahun 1998 dan 2000, angka pengangguran di pedesaan masing-masing 3,3 dan
4,1 , sedangkan di perkotaan masing-masing 9,3 dan 9,2. Proporsi pekerja menurut lapangan usaha merupakan salah satu ukuran untuk melihat potensi
sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja. Di pedesaan, sektor pertanian tetap menjadi sektor yang mampu menyerap tenaga kerja yang besar dan
cenderung terjadi peningkatan dari 62,9 pada tahun 1998 menjadi 66,1 pada tahun 2000. kecenderungan tersebut dimungkinkan karena saat krisis ekonomi
sektor industri dan jasa mengalami keterpurukan sehingga banyak yang mengalihkan pekerjaannya pada sektor pertanian.
d Perubahan Struktur Lahan Perkembangan lain yang terjadi di daerah pedesaan adalah terjadi
perubahan pada aset penguasaan lahan. Luas lahan yang dimiliki oleh rumahtangga pertanian menurun sebesar 4,8 dari 26,6 juta hektar pada tahun
1983 menjadi 16,0 juta hektar pada tahun 1993 BPS, 1994. Sementara luas lahan yang dikuasai menurun sekitar 3,8 dari 18,3 juta hektar menjadi 17,7
juta hektar. Penurunann luas lahan dikuasai oleh rumahtangga pertanian terutama terjadi di Jawa yang menurun sebesar 14,5. Implikasinya adalah menurunnya
luas lahan yang dikuasai dan meningkatnya jumlah rumahtangga petani gurem yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar. Jumlah petani gurem ini meningkat
dari 9,5 juta rumahtangga pada tahun 1983 menjadi 10,9 juta rumahtangga petani pada tahun 1993. bertambahnya jumlah petani gurem ditunjukan oleh menurunnya
penguasaan lahan pertanian di Jawa dari 0,6 hektar pada tahun 1983 menjadi 0,5 hektar pada tahun 1993, sedangkan diluar Jawa menurun dari 1,6 hektar menjadi
30 1,3 hektar. Keterbatasan lahan yang dikuasai oleh petani akan mempersempit
peluang bagi masyarakat desa untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan. e Kelembagaan
Kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh masyarakat atau organisasi yang dijadikan pegangan oleh seluruh anggota masyarakat atau
anggota organisasi dalam mengadakan transaksi satu sama lainnya yang meliputi pasar, hak kepemilikan, pelestarian sumberdaya dan sistim pertukaran yang
ditentukan berdasarkan norma-norma sosial atau kontrak. Kelembagaan itu sendiri sebagian besar muncul akibat dari kehidupan
bersama dan tidak direncanakan. Para warga masyarakat pada awalnya mencari cara-cara yang dapat digunakan sebagai wadah memenuhi kebutuhan hidup,
kemudian mereka menemukan beberapa pola yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dalam proses selanjutnya diperkuat melalui
pengaturan bersama yang dibakukan. Kelembagaan memberikan ketentuan terhadap anggota masyarakatnya mengenai hak-hak, kewajiban dan tanggung
jawabnya. Disamping itu, tiap anggota mendapat suatu jaminan hak dan perlindungan dari masyarakat. Kelembagaan memberikan suatu kondisi bahwa
tiap-tiap anggota menerima sesuatu yang menjadi ketentuan dan tiap anggota merasa aman, merasa sewajarnya. Arti ekonomi utama dari kelembagaan adalah
memberikan kepastian tentang siapa memperoleh apa dan berapa banyaknya. Dengan kata lain kelembagaan menurunkan derajat ketidakpastian dari aliran
manfaat atau ongkos yang akan diterima oleh partisipan dalam suatu sistim ekonomi. Kelembagaan dapat diartikan sebagai atau aturan main. Kelembagaan
sebagai organisasi biasanya menunjuk pada lembaga-lembaga formal seperti Departemen Pertanian dan Perkebunan, Pemerintah Daerah, Koperasi Unit Desa,
Kelompok tani, Bank dan sejenisnya. Kelembagaan masyarakat desa mencakup dua pola hubungan, yaitu
hubungan sosial dan hubungan ekonomi. Di berbagai daerah, peran dari lembaga adat masi cukup dominan terutama di daerah dengan ikatan sosial antar anggota
masyarakat masih kuat social relation yang pada akhirnya menciptakan aturan, kesepakatan, dan kewajiban sosial sosial obligation. Akan tetapi kondisi
tersebut secara gradual mengalami pergeseran hubungan yang semula didasarkan
31 pada aspek sosial bergeser menjadi hubungan mempertimbangkan aspek imbalan
ekonomi economic relation Anwar, 2005. Selain itu penelitian-penelitian lainnya yang menyangkut dengan masalah
kemiskinan, diantaranya menurut Rahmawati 2006, faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap peluang suatu rumahtangga berada dalam kemiskinan
antara lain ; jumlah anggota rumahtangga yang termasuk tenaga kerja, umur, pendidikan, jenis kelamin dan pendapatan. Berdasarkan analisis tersebut, jika
kepala rumahtangga berjenis kelamin wanita maka peluang rumahtangga menjadi miskin.
Selanjutnya menurut McDowell 1995 menunjukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan adalah faktor umur, pendidikan, ras, tipe kepala
keluarga, ukuran keluarga, pendapatan, lama bekerja, struktur industri dan interaksi. Model penelitian tentang kemiskinan ini menggunakan model regresi
logistik dan semua variabel bebas signifikan terhadap taraf nyata satu persen. Widianti 2001 dari hasil penelitiannya tentang telaah terhadap
partisipasi, pendapatan dan tingkat kemiskinan peserta program perhutanan sosial dapat disusun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan pesanggem
orang yang menggarap lahan. Adapun faktor-faktor tersebut adalah jenis mata pencaharian pesanggem, luas penguasaan lahan pesanggem, pola usaha tani dan
pendapatan rumahtangga. Lebih dari itu Penelitian Wiraswara 2005 menunjukan pertumbuhan
ekonomi tidak berpengaruh terhadap angka kemiskinan di Indonesia. Dari hasil penelitian ini, terdapat variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap
kemiskinan diantaranya : angka melek huruf, keterjangkauan rumahtangga terhadap listrik dan dummy kabupatenkota di Jawa. Ketiga variabel ini menurut
data tahun 2002 memiliki kemampuan untuk mengurangi angka kemiskinan. Angka kemiskinannya lebih tinggi dari kabupatenkota di luar Jawa dan
persentase penduduk melek huruf kabupatenkota di Jawa lebih rendah daripada di luar Jawa dan kabupatenkota di Jawa lebih unggul dalam persentase rumahtangga
yang terjangkau listrik.
32