Pembangunan Masyarakat Pedesaan dalam Mengatasi Kemiskinan

27

2.8. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang pengembangan sektor pertanian dan strategi penanggulangan kemiskinan di Indonesia telah banyak diteliti, namun secara khusus yang berlokasi di Kabupaten Halmahera Barat yang terkait dengan analisis pengembangan sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura dalam penaggulangan kemiskinan belum pernah dilaksanakan sebelumnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sajogyo 2002 diacu dalam Yustika 2004, mengungkapkan bahwa petani yang memiliki lahan yang cukup luas berpeluang mempunyai pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan petani yang mempunyai lahan yang lebih kecil. Diungkapkan pula bahwa terjadi penurunan penguasaan luas lahan pertanian 0,5 – 1 Ha dari tahun 1975 sampai 1993 dari 12 menjadi 6,2 . Dengan demikian lahan merupakan modal utama bagi petani dalam mengelola usaha pertaniannya. Semakin luas lahan yang mereka garap, semakin luas kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat pedesaan dapat dijadikan tolok ukur dari mana pembangunan masyarakat desa harus dimulai. Haeruman 2007, mengungkapkan beberapa fakta yang terjadi di wilayah pedesaan, yaitu : a Kemiskinan Perkembangan jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan selama kurun waktu 1976 hingga tahun 2004, persentasenya lebih besar dibandingkan dengan penduduk perkotaan. Hal ini bisa dimungkinkan karena sebagian besar penduduk Indonesia berdomisili di pedesaan yang bermatapencarian di sektor pertanian. Sedangkan dilihat dari profilnya, rumahtangga miskin di Indonesia rata-rata mempunyai 5,6 anggota per rumahtangga sedangkan di daerah pedesaan mempunyai 6,1 anggota per rumahtangga. Dari angka tersebut diketahui bahwa beban rumahtangga miskin di daerah pedesaan lebih besar dibandingkan di daerah perkotaan. Sebanyak 15,8 juta penduduk Indonesia tergolong fakir miskin pada tahun 2003. jumlah tesebut sekitar 42,4 dari seluruh populasi penduduk miskin 37,3 juta jiwa tahun 2003. Persentase tersebut menunjukan secara rata- rata dari setiap 100 orang penduduk miskin 42 orang diantaranya masih 28 tergolong fakir miskin. Fakir miskin adalah mereka yang pendapatannya masih dibawah normal, yaitu kurang dari US 1 per hari. Sedangkan, pendapatan antara US 1 sampai US 2 per hari tergolong sebagai penduduk miskin. Sedangkan dikatakan sejahtera, bila mereka sudah berpenghasilan diatas US 2 tiap harinya BPS, 2003 Ciri lain yang melekat pada rumahtangga miskin adalah tingkat pendidikan yang rendah. Data Biro Pusat Statistik tahun 1993 memperlihatkan bahwa 72,01 dari rumahtangga miskin di pedesaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD dan 24,32 dipimpin oleh kepala rumahtangga yang berpendidikan SD. Ciri rumahtangga miskin lain yang erat kaitannya dengan tingkat pendidikan dan sebaran lokasi rumahtangga adalah sumber penghasilan. Sekitar 62 dari rumahtangga miskin penghasilan utamanya bersumber dari sektor pertanian, 10,4 dari sektor perdagangan, 7,4 dari sektor industri, 6,5 dari sektor jasa-jasa dan selebihnya dari sektor bangunan, pengangkutan dan lainnya. Apabila dibedakan menurut daerah, sebagian besar atau sekitar 79,5 rumahtangga miskin di pedesaan mengandalkan pada sumber penghasilan di sektor pertanian. Ini konsisten dengan corak rumahtangga pedesaan yang sebagian besar adalah rumahtangga petani. b Keseinjangan Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 1993 dapat dicatat bahwa pembagian pendapatan antar golongan penduduk dalam kurun waktu 1978-1993 menunjukan kecenderungan membaik. Perbaikan dalam pembagian pendapatan antar kelompok penduduk ditunjukan oleh menurunnya indeks ketidakmerataan Gini dari 0,38 pada tahun 1978 menjadi 0,32 pada tahun 1990. Meski jumlah penduduk miskin menurun, namun indeks Gini meningkat menjadi 0,34 pada tahun 1993. ini berarti terjadi keseinjangan antar golongan cenderung meningkat. Akan tetapi pada tahun 1996 dan 1999, ketidakmerataan yang terjadi di pedesaan cenderung menurun dimana indeks Gini pada tahun 1996 adalah sebesar 0,274 dan pada tahun 1999 menjadi 0,244 Bappenas 2002. Ini menunjukan bahwa daerah pedesaan relatif mempunyai kemampuan untuk bertahan pada kondisi krisis.