Tempe dan Tepung Tempe Pertumbuhan dan Konsumsi Ransum
28
Tabel 5. Gambar 9 menggambarkan pertumbuhan tikus yang terjadi selama masa perlakuan
Tabel 11. Kandungan Gizi Tepung Tempe Kacang Komak Zat Gizi
Jumlah BB Jumlah BK
Protein 30,68
32,81 Air
6,49 6,94
Abu 2,67
2,86 Lemak
1,62 1,74
Karbohidrat 58,53
63,28 Serat kasar
7,50 8,03
.
Gambar 9. Kurva Pertumbuhan Berat Badan Tikus Selama Perlakuan. Gambar 9 menunjukkan baik kelompok kontrol negatif maupun
kontrol positif mengalami kenaikan berat badan. Artinya terjadi pertumbuhan yang positif pada kedua kelompok tersebut. Sebaliknya, kelompok tempe
mengalami penurunan berat badan selama masa perlakuan. Besarnya kenaikan maupun penurunan berat badan tikus disajikan pada Tabel 12.
Kontrol negatif mengalami pertambahan berat badan paling tinggi, yaitu 65 g. Kontrol positif mengalami kenaikan berat badan sebesar 30 g atau lebih kecil
dari pada kontrol negatif. Tempe mengalami penurunan berat badan sebesar 11 g selama perlakuan.
Kenaikan dan penurunan berat badan tikus selaras dengan tingkat konsumsi ransum. Kontrol negatif yang mengalami pertambahan berat badan
paling tinggi, mengonsumsi ransum paling banyak, yaitu 10,37 g. Sebaliknya,
20 40
60 80
100 120
140 160
180
10 20
30 40
B e
ra t
B a
d a
n g
Lama Perlakuan hari
Kontol Negatif Kontol Positif
Tempe
29
tempe yang mengalami penurunan berat badan mengonsumsi ransum paling rendah, yaitu 5,79 g.
Tabel 12. Pertambahan Berat Badan dan Konsumsi Ransum Tikus Kelompok
Pertambahan berat badan g A
Konsumsi ransum per hari g B
Efisiensi ransum BA
Kontrol Negatif ransum standar
65
c
10,37
c
0,16 Kontrol Positif
ransum standar + kolesterol + PTU
30
b
7,97
b
0,26 Tempe
sumber protein kasein diganti
tepung tempe kacang komak +
kolesterol + PTU -11
a
5,79
a
-0,52
Keterangan: superscript yang berbeda, menunjukkan nilai yang berbeda nyata secara statistik pada α=0,1 Lampiran 2 dan Lampiran 3.
Lebih rendahnya konsumsi kontrol positif dan tempe apabila dibandingkan kontrol negatif, kemungkinan disebabkan terdapatnya PTU
propiltiourasil pada ransum kontrol positif dan tempe. PTU ditambahkan untuk meningkatkan kadar kolesterol tikus dengan cara menghambat sintesis
hormon tiroid Mahfouz dan Kummerow 2000. Rasa PTU yang pahit kemungkinan merupakan penyebab rendahnya konsumsi ransum.
Penurunan berat badan akibat pemberian PTU juga terjadi pada beberapa penelitian terdahulu. Hasil penelitian Joyce et al. 1993
menunjukkan tikus yang diberi PTU memiliki berat badan 57 lebih rendah daripada kontrol yang tidak diberi PTU. Demikian juga penelitian yang
dilakukan oleh Cooke dan Meisami 1991, terjadi penurunan berat badan tikus sebesar 15 pada tikus yang diberi PTU.
Alternatif selain penggunaan PTU untuk membuat tikus menjadi hiperkolesterolemik
adalah dengan
menambahkan 0,5
natrium tauroglikokolat pada ransum. Ramakrishna et al. 2007 menggunakan
natrium tauroglikokolat pada ransum tikus. Setelah penambahan natrium tauroglikokolat selama delapan minggu, kadar kolesterol plasma tikus
meningkat hingga 178,5 mgdl tanpa terjadi penurunan berat badan.
30
Konsumsi ransum pada kelompok tempe lebih kecil dari pada kontrol positif diduga karena tepung tempe juga menyumbangkan rasa pahit pada
ransum. Hal ini karena pengeringan tempe dengan suhu di atas 80
o
C dapat menimbulkan rasa pahit. Rasa pahit timbul akibat pembebasan asam amino
dan interaksi antara asam amino dengan karbohidrat sederhana Syarief et al. 1999.
Hasil penelitian Nugroho 2007 menunjukkan terjadi penurunan berat badan sebesar 39 pada tikus yang diberi fraksi protein kacang komak dan
kenaikan berat badan sebesar 7 pada tikus yang diberi fraksi non protein kacang komak. Tingkat konsumsi kedua kelompok tersebut juga berbeda.
Konsumsi ransum fraksi protein kacang komak lebih rendah dari pada fraksi non protein kacang komak. Fenomena ini menunjukkan bahwa protein pada
kacang komak kemungkinan dapat menurunkan selera makan tikus. Hal ini dapat dijelaskan dari uraian Nishi et al. 2003 bahwa fraksi 7S globulin β-
conglicinin dapat menekan konsumsi ransum dan pengosongan lambung dengan cara meningkatkan level plasma kolesistokinin CCK pada tikus.
Kolesistokinin CCK adalah mediator fisiologis yang penting dalam mengatur kepuasan dan pengosongan lambung. Kacang komak mengandung
fraksi globulin sebanyak 55,2. Fraksi globulin tersebut terdiri atas sebagian besar 7S globulin β-conglicinin yaitu sebesar 20,5 Subagio 2006.
Kemampuan protein kacang komak dalam mengatur kepuasan dan pengosongan lambung menjadi peluang bagi kacang ini sebagai pangan yang
dikhususkan untuk orang yang sedang melakukan usaha penurunan berat badan. Kacang kedelai juga merupakan kacang yang kaya akan protein
globulin. Namun kandungan fraksi globulin 7S lebih kecil dibandingkan kacang komak, yaitu berkisar 6,40-9,70 Wijaya dan Rohman 2001. Hal
ini mengakibatkan kacang kedelai tidak memiliki efek yang sama dengan kacang komak. Hasil penelitian Reza et al. 2008 mempertegas fenomena
ini. Pada penelitian tersebut, tikus yang diberi ransum protein kacang kedelai memiliki berat badan yang tidak jauh berbeda dari tikus yang diberi ransum
standar sumber protein adalah kasein.
31
Tabel 12 juga memperlihatkan rasio konsumsi ransum terhadap kenaikan berat badan BA. Nilai ini menunjukkan efisiensi dari ransum
tersebut. Tepung tempe kacang komak memiliki nilai BA negatif. Hal ini menunjukkan bahwa tepung tempe kacang komak tidak efisien dalam
mendukung pertumbuhan. Kemungkinan penyebabnya adalah karena kacang komak kekurangan asam amino esensial, yaitu metionin, dan masih terdapat
zat anti nutrisi yang tidak hilang secara sempurna selama pengolahan. Menurut Murphy dan Colucci 1999, kacang komak memiliki anti nutrisi
tanin, fitat, dan anti tripsin. Ory 1981 menambahkan, kacang komak juga memiliki hemaglutinin sebagai anti nutrisi.
Tanin telah diketahui dapat menghambat pertumbuhan tikus percobaan. Pengaruh tersebut disebabkan karena terjadinya penurunan
availabilitas karbohidrat, protein, dan lipid akibat penghambatan aktivitas enzim tripsin, kimotripsin, amilase, dan lipase. Fitat dapat menurunkan
availabilitas makanan karena dapat membentuk senyawa kompleks dengan protein sehingga protein sulit dicerna oleh enzim pencernaan. Selain itu fitat
juga dapat mengikat mineral-mineral seperti kalsium, magnesium, besi, dan seng. Seperti halnya tanin dan fitat, anti tripsin juga dapat menurunkan
bioavailabilitas protein. Anti tripsin mampu membentuk ikatan dengan enzim tripsin sehingga enzim ini tidak dapat memecah protein Muchtadi 1989.
Nafi et al. 2007 menduga kadar anti tripsin kacang komak lebih tinggi dibandingkan kacang kedelai. Hal ini berdasarkan pada hasil penelitian yang
menunjukkan tidak terdeteksinya daya cerna tepung kaya protein kacang komak terhadap enzim tripsin.
Hemaglutinin tersebar pada berbagai tanaman, terutama kacang- kacangan. Telah dibuktikan bahwa hemaglutinin yang telah diisolasi dari
bermacam-macam kacang-kacangan bersifat toksik bila diinjeksikan pada hewan percobaan. Bila dicampur dalam ransum, senyawa ini dapat
menghambat pertumbuhan hewan percobaan Muchtadi 1989. Proses pembuatan tempe yang melibatkan proses pemanasan,
perendaman, dan fermentasi, kemungkinan telah menurunkan sebagian besar zat anti nutrisi maupun zat toksik pada kacang komak. Osman 2007
32
mendapatkan hasil bahwa kacang komak Saudi Arabia yang direndam selama satu hari dapat menurunkan fitat sebesar 22,19. Selama fermentasi, kapang
tempe juga memproduksi fitase yang dapat mereduksi asam fitat Pawiroharsono 2001. Pada contoh kacang hijau, proses perebusan selama 25
menit mampu menurunkan tanin sebesar 67,36 dan anti tripsin sebesar 85,62 Estiasih 1993. Selain itu Koswara 1989 menyebutkan, perebusan
pada suhu 100
o
C selama 15 menit pada kacang jogo dan tunggak dapat menghilangkan aktivitas hemaglutinin hingga tidak terdeteksi secara in vitro
dengan darah sapi.