Pengelolaan Sumberdaya Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

3 Kelemahan yang dimiliki oleh suatu kawasan diatasi dengan memanfaatkan semua peluang yang dimiliki strategi WO. 4 Strategi pengembangan dengan segala kelemahan untuk menghadapi ancaman yang muncul. Kebijakan ini lebih bersifat defensif sambil berusaha meminimalkan kelemahan serta menghindari ancaman strategi WT.

2.7 Pengelolaan Sumberdaya

Perikanan Pengertian pengelolaan perikanan menurut FAO 2002 adalah proses yang terpadu antara pengumpulan informasi, melakukan analisis, membuat perencanaan, melakukan konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumberdaya serta perumusan dan pelaksanaan, bila diperlukan menggunakan penegakkan hukum dari aturan dan peraturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi dari sumberdaya dan tercapainya tujuan perikanan lainnya. Pengelolaan perikanan menyangkut berbagai tugas yang kompleks, bertujuan untuk menjamin adanya hasil dari sumberdaya alam yang optimal bagi masyarakat setempat, daerah, dan negara yang diperoleh dari memanfaatkan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Pengelolaan Perikanan menurut UU Nomor 31 Tahun 2004 adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakkan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Nikijuluw 2005 mengemukakan bahwa pengelolaan atau manajemen perikanan adalah suatu rezim. Sebagai suatu rezim maka pengelolaan terdiri dari suatu objek yaitu sumberdaya yang harus dikelola atau ditata serta manusia sebagai pengelola atau penata. Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis pada sumberdaya perikanan yang berarti bahwa keberadaan sumberdaya perikanan merupakan sesuatu yang mutlak. Tanpa ada sumberdaya maka tidak ada artinya rezim pengelolaan itu. Semakin besar ukuran sumberdaya maka semakin komplikasi pengelolaannya. Sebaliknya semakin kecil ukuran sumberdaya perikanan semakin tidak berarti rezim itu. Meskipun keberadaan sumberdaya perikanan adalah sesuatu yang mutlak, kehadiran manusia sebagai pemanfaat atau pengelola sumberdaya tersebut adalah juga penting. Dengan motivasi, tujuan, sikap, dan aksi yang berbeda-beda dari setiap individu dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan maka sebagai akibatnya terdapat pula beragam rezim pengelolaan sumberdaya perikanan. Peranan manusia yang begitu besar dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan menentukan tipe rezim pengelolaan dan pada akhirnya keberhasilan rezim itu. Secara umum rezim pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu 1 res communes atau properti bersama, atau ada yang memiliki, dan 2 res nullius atau tanpa pemilik Nikijuluw 2005. Rezim sumberdaya yang dimiliki bersama res communes adalah yang paling umum di dunia ini. Berdasarkan atas hak-hak kepemilikkan serta dipengaruhi oleh sistem pasar dan pemerintahan maka rezim sumberdaya milik bersama ini dapat dibagi menjadi: 1 dimiliki oleh semua orang sehingga pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut terbuka bagi setiap orang dan sebab itu disebut rezim akses terbuka, 2 dimiliki oleh atau properti masyarakat tertentu yang jelas batas-batasnya dan karena itu sumberdaya hanya terbuka bagi masyarakat itu dan tertutup bagi masyarakat lain, 3 properti pemerintah yang berarti bahwa hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut ada ditangan pemerintah yang dapat saja dialihkan kepada masyarakat, dan 4 properti swasta dimana swasta selaku perusahaan atau individu memiliki hak pemanfaatan dan pengelolaan Nikijuluw 2005. Menurut sistematikanya, rezim properti masyarakat bisa dibagi lagi menjadi rezim non-tradisional modern, neo-tradisional, dan tradisional. Rezim properti masyarakat ini sering dikenal dengan pengelolaan berbasis masyarakat community-based management yang umumnya terkait dengan hak masyarakat dalam memanfaatkan suatu wilayah perairan teritorial use rights atau hak yang secara turun temurun dimiliki masyarakat indigenous rights. Rezim properti pemerintah bisa dibagi menjadi rezim sentralistik dan desentralistik. Rezim desentralistik kemudian dibagi selanjutnya menjadi rezim dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan swastanisasi. Rezim desentralistik pada intinya adalah penyerahan sebagian atau seluruh wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau swasta. Sebagian wewenang dan tanggung jawab tersebut dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat dalam rangkah meningkatkan kwalitas pelaksanaannya. Rezim sumberdaya tanpa pemilik res nullius artinya bahwa sumberdaya tidak dimiliki oleh siapapun. Rezim ini bisa berupa de-facto atau de-jure tanpa pemilik. De-facto tanpa pemilik artinya rezim tersebut secara de-jure memang dimiliki namun aturan-aturan yang mendasarinya tidak efektif sehingga akhirnya sumberdaya tersebut dalam kenyataannya seperti tanpa pemilik. Rezim de-jure tanpa pemilik adalah kondisi dimana ada sistem yang mendeklarasikan bahwa sumberdaya tersebut memang tidak dimiliki oleh siapapun. Sumberdaya perikanan di laut bebas high sea fish resources pada awalnya adalah de-jure tanpa pemilik. Dalam perkembangannya setelah dimanfaatkan oleh banyak negara dan individu maka rezim de-jure tanpa pemilik ini menjadi properti masyarakat regional atau internasional Nikijuluw 2005. Pengelolaan perikanan menjadi semakin penting oleh sebab perubahan- perubahan dalam hal ekonomi, teknologi, dan lingkungan, termasuk penggunaan cara-cara tradisional dalam penanganan sumberdaya perikanan. Contoh pengaruh perubahan-perubahan tersebut adalah peningkatan pendapatan nelayan semakin penting sejalan dengan meningkatnya pengeluaran untuk konsumsi dan barang. Mengingat karakteristik sumberdaya perikanan Indonesia didominasi oleh sumberdaya perikanan pelagis dan pada umumnya, khususnya ikan pelagis besar memiliki karakteristik sebagai transboundary species, maka kerjasama perikanan di tingkat lokal antar kabupatenkota atau antar propinsi adalah agenda penting berikutnya. Konflik antar nelayan yang terjadi Jawa-Kalimantan adalah contoh betapa konflik harus diselesaikan baik secara kultural maupun struktural. Dalam konteks ini pengelolaan perikanan menjadi sangat penting diimplementasikan secara terpadu oleh beberapa pengelola perikanan. Kerjasama ini bisa digunakan untuk menentukan alokasi nelayan antar daerah, transformasi nelayan maupun kerjasama-kerjasama mutual lainnya seperti kerjasama teknologi perikanan baik dalam konteks eksplorasi, eksploitasi maupun pengolahan hasil perikanan Adrianto 2006. Definisi nelayan menjadi faktor penting karena pemerintah baik pusat maupun daerah masih memegang hak pengelolaan dimana salah satu implementasinya adalah menentukan persyaratan bagi pihak-pihak yang akan mendapatkan hak akses dan hak pemanfaatan sumberdaya perikanan. Seperti yang kita ketahui, rejim perikanan di Indonesia masih bersifat quasi open access sehingga membuat profesi nelayan dianggap sebagai the last resort for employment. Dengan pendefinisian nelayan yang tegas, maka profesi nelayan dapat terjaga kemurniannya dengan tentu saja harus disesuaikan dengan karakteristik nelayan Indonesia. Dalam konteks global, Jepang adalah negara yang membatasi jumlah nelayan melalui pemberlakuan definisi nelayan seperti yang tercantum dalam UU Koperasi Perikanannya. Menurut UU ini, nelayan didefinisikan sebagai orang yang aktif menangkap ikan minimal 92 hari per tahun. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya perikanan dapat lebih optimal dengan kejelasan profesi nelayan sebagai ujung tombak pengelolaan sumberdaya perikanan itu sendiri Adrianto 2006. Dalam era otonomi daerah saat ini, diharapkan daerah lebih mandiri dalam menangani berbagai permasalahan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya ikan yang menjadi kewenangannya, antara lain dengan meningkatkan kerjasama antar instansi terkait di daerah dan atau antar daerah. Hal ini terutama diperlukan dalam menangani pemanfaatan SDI termasuk keakuratan data, pengawasan, penegakkan hukum, dan perselisihan antar nelayan. Kaitannya dengan pengelolaan perikanan, konservasi sumberdaya ikan merupakan kegiatan penting untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati. Menurut UU Nomor 31 Tahun 2004, konservasi sumberdaya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Dalam rangka mewujudkan perikanan tangkap yang adil, merata, lestari, dan bertanggung jawab melalui keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap telah menyelenggarakan pertemuan forum koordinasi pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan FKPPS tingkat nasional tahun 2006 pada tanggal 6 sd 9 Desember 2006 di Manado. Diselenggarakannya pertemuan FKPPS nasional ini bertujuan untuk 1 mengevaluasi hasil pelaksanaan kegiatan FKPPS tahun 2004 dan evaluasi kesepakatan-kesepakatan dalam pengelolaan dan pemanfaatan perikanan yang telah dilakukan; 2 melakukan evaluasi yang berkaitan dengan status SDI, pelaksanaan pengelolaan, pengawasan dan penegakkan hukum sebagai dasar dalam menentukan kebijakan pengelolaan lebih lanjut; 3 menyatukan persepsi dan langkah-langkah pengelolaan yang tepat dalam rangka penanganan konflik nelayan; dan 4 meningkatkan kerjasamakoordinasi yang lebih baik dalam kegiatan pengawasan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan serta penegakkan hukum http:www.dkp.go.idcontent. 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian