sering berkonsultasi dengan pemilik lahan orang tua dan merupakan pelajaran bertani yang diberikan orang tua kepada anaknya. Dalam kontrak maro dengan
orang lain, faktor input ditanggung pemaro. Karena reputasi pemaro sebagai petani sawah sudah dikenal baik oleh pemilik sawah, biasanya pengambilan
keputusan dalam pengerjaan sawah juga diserahkan kepada pemaro. Dalam kenyataan, pemilik sawah dalam waktu tertentu perlu bertanya mengenai
perkembangan usaha karena pemilik sawah juga peduli dengan jumlah produksi sawah tersebut. Penguasaan tanah melalui sistem maro di Kampung Sinar Resmi
dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Rumahtangga menurut Luas Penguasaan Tanah dengan Cara
Maro Tahun 2011
Luas Tanah Jumlah n
Persentase Tidak mengikuti
27 87
Luas 0 Sedang 1
3.3 Sempit 3
9.7 31
100
Sumber: Data Primer diolah, 2011
Masyarakat yang terlibat dalam sistem maro sangat sedikit terbukti hanya 13 persen. Sebanyak 9.7 persen masyarakat menguasai luas lahan sempit dengan
rata-rata 0.12 hektar dan sisanya berada di penguasaan lahan sedang dengan rata- rata 0.28 hektar. Responden mengaku bahwa mereka terlibat sistem maro dengan
keluarga mereka. Berikut pernyataan Bapak OM: “ …kalo abdi teh maro nya ama orang tua, biasana hasil panen
dibagi dua. Orang tua ngasi aja tanah buat dikerjakeun, abdi ka sawah. Kalo panen hasil dikurangi biaya-biaya nyawah, baru
dibagi dua…” Responden menyatakan bahwa sistem ini cukup menguntungkan karena
hanya bermodalkan tenaga kerja. Biaya yang melingkupi produksi dan resiko ditanggung bersama.
5.4 Struktur Penguasaan Tanah dalam Membangun Kedaulatan Pangan
Akses terhadap sumberdaya tanah merupakan salah satu indikator kedaulatan pangan. Akses yang merata dan adil akan mendorong masyarakat
untuk meningkatkan kedaulatan pangan. Masyarakat yang mempunyai tanah tidak mempunyai masalah dalam mengusahakan pertanian namun menjadi masalah
ketika terdapat masyarakat tidak mempunyai tanah. Pada dasarnya masyarakat mempunyai akses terhadap tanah komunal yang
ketentuan pengelolaannya juga diatur oleh adat setempat. Masyarakat dapat membuka tanah untuk dijadikan huma kemudian mengolahnya untuk
menghasilkan padi. Namun, tidak semua masyarakat ikut dalam mengelola huma seperti yang terlihat pada Tabel 10. Hal tersebut dikarenakan oleh terbatasnya alat
produksi dan jarak yang jauh untuk bisa mencapai lokasi huma. Selain itu, ngahuma juga menghasilkan padi yang sedikit sehingga membuat petani yang
tidak mempunyai tanah lebih memilih untuk menjadi penggarap di tanah orang lain.
Masyarakat dapat menguasai tanah baik melalui milik, sewa, bagi hasil, ataupun gadai. Masyarakat yang tidak dapat mengakses sumberdaya tanah sebagai
lahan pertanian dapat memenuhi kebutuhan dengan menjadi pekerja untuk orang lain. Seperti salah seorang penduduk yang memenuhi kebutuhan pangan sehari-
hari diperoleh dari hasil membantu Abah atau masyarakat yang membutuhkan tenaga kerja. Berikut pernyataan RS mengenai kondisi pemenuhan kebutuhannya:
“ …abdi tidak punya tanah, tapi dapat padi dari Abah atau masyarakat yang butuh bantuan tenaga kerja. Abdi bekerja di
Abah mengurus leuit-nya dan dapat memperoleh padi dari leuit. Abdi bisa ambil sendiri, Abah mah percaya…”
Pernyataan responden di atas menggambarkan hubungan saling tolong menolong di masyarakat. Masyarakat yang tidak memiliki tanah dapat bekerja
pada orang lain yang membutuhkan atau hanya sekedar membantu panen. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap peningkatan kedaulatan pangan
rumahtangga yang kurang mampu mengakses sumberdaya. Selain itu, rasa saling percaya juga sangat kuat dalam berhubungan dengan masyarakat terlihat dari rasa
percaya Abah kepada orang yang membantunya untuk mengambil sendiri padi yang dibutuhkan
.
5.5 Ikhtisar