Relasi Geder dalam Pemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria (Kasus Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)

(1)

(Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat)

Oleh

FEBRI SATIVIANI PUTRI CANTIKA A14203024

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(2)

(Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat)

Oleh

FEBRI SATIVIANI PUTRI CANTIKA A14203024

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(3)

FEBRI SASTIVIANI PUTRI CANTIKA. RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA. Kasus pada Rumahtangga Petani Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat (Di bawah bimbingan SITI SUGIAH MUGNIESYAH).

Penelitian ini secara umum mengacu pada beragam konsep, pendekatan dan teori-teori berkenan dengan gender dan pembangunan, sosiologi agraria, sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.

Tujuan skripsi ini adalah untuk menganalisis lebih jauh mengenai: (1). Sistem nilai mengenai status anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga/rumahtangga petani yang berkaitan atas hak harta (termasuk sumberdaya agraria) pada masyarakat petani Desa Cipeuteuy serta menganalisis adil gender dalam sistem nilai tersebut; (2). Hubungan antara sistem nilai mengenai status anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga/rumahtangga petani dengan hukum adat yang berhubungan dengan alokasi harta kekayaan (termasuk sumberdaya agraria) dalam keluarga serta pola kepemilikan lahan pada rumahtangga petani; (3). Pengakuan anggota masyarakat/komunitas pertanian terhadap sistem nilai tentang status anak dalam rumahtangga dan hubungannya dengan pola penguasaan sumberdaya agraria pada rumah tanga petani; (4). Dinamika relasi gender dalam pengelolaan sumberdaya agraria, khususnya yang berkenaan dengan akses dan kontrol anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan sumberdaya agraria yang dimiliki dan dikuasai. Selain itu juga untuk mengetahui akses dan kontrol mereka terhadap manfaat dari pengelolaan


(4)

sumberdaya agraria yang mereka lakukan; (5) Pengakuan aparat desa terhadap kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria pada tingkat individu, laki-laki dan perempuan sebagaimana tercermin dalam dokumen Letter C dan bukti formal lainnya (sertifikat, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau SPPT, dan PBB)

Penelitian ini dilakukan di Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September hingga Desember 2007. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian dari wilayah Desa Cipeuteuy termasuk ke dalam wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Wilayah tersebut berada pada daerah dengan latar belakang budaya Sunda yang Bilateral dengan asumsi baik laki-laki dan perempuan mempunyai akses dan kontrol terhadap penguasaan dan kepemilikan lahan.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Data yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara melakukan pencacahan lengkap atau full enumeration survey, survei rumah tangga kasus, wawancara mendalam (indepth interview) dan diskusi kelompok terarah (FGD). Data sekunder diperoleh melalui kegiatan studi dokumentasi, khususnya yang menyangkut potensi desa, catatan lapangan, dokumentasi foto, dokumen pribadi, memo, dan catatan-catatan resmi lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

Terletak di sekitar kawasan hutan, Desa Cipeuteuy merupakan salah satu desa agraris yang memiliki luas wilayah 3746,5 hektar dan sebagian besar wilayah Desa Cipeuteuy adalah Hutan Produksi (2000 hektar) dan Hutan Konvesi (115 hektar) dan lebih dari setengah wilayah Desa Cipeuteuy beririsan langsung


(5)

dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak seluas 2.115 hektar. Jika dilihat dari proporsi jumlah lahan sawah dan kebun dan pemanfaatan lahan kebun yang dilakukan oleh masyarakat, maka wilayah Desa Cipeuteuy termasuk dalan komunitas padi sawah, sehingga berbeda dengan komunitas lahan kering yang cenderung egaliter.

Dari tingkat stratifikasi yang diperoleh dari hasil FGD, Stratum A (atas), tergolong dalam rumahtangga petani berlahan luas dengan jumlah penguasaan lahan 5.000m2->20.000m2, Stratum B (menengah), tergolong dalam rumahtangga petani berlahan sedang dengan jumlah penguasaan lahan 2000m2–5000m2, Stratum C (bawah), tergolong dalam rumahtangga petani berlahan sederhana dengan jumlah penguasaan lahan <2.000m2 dan Stratum D, merupakan petani tidak berlahan (tunakisma).

Ditinjau dari profil anggota rumahtangga petani (ART) yang disurvei, persentase jumlah perempuan lebih tinggi dibandingkan anggota rumahtangga petani laki-laki dengan tingkat komposisi penduduk tergolong pada usia muda dengan tingkat ketergantungan (dependency ratio) yang rendah. Adapun tingkat pendidikan anggota rumahtangga di desa Cipeuteuy sebagaimana halnya tipikal masyarakat pedesaan di Indonesia tergolong rendah.

Secara umum jumlah ART laki-laki yang mengatakan memiliki pekerjaan utama lebih banyak dari anggota rumahtangga perempuan.dan diketahui bahwa kesenjangan antara laki-laki dan perempuan yang memiliki pekerjaan utama cukup tinggi. Jenis pekerjaan utama dapat memberikan gambaran bahwa anggota rumahtangga perempuan pada ketiga kampung kasus sudah dapat menyatakan diri mereka memiliki pekerjaan utama yang berrarti mereka bekerja


(6)

untuk berkontribusi dalam penghidupan keluarga selayaknya suami mereka bekerja, meskipun jumlahnya masih lebih rendah dan penghasilannya masih relatif lebih rendah daripada yang diperoleh laki-laki. Hal ini diduga dipengaruhi oleh masih kuatnya pemikiran penduduk, bahwa pencari nafkah utama adalah laki-laki sedangkan perempuan yang berpenghasilan hanya membantu suaminya, sehingga tidak berkontribusi penuh dalam pendapatan keluarga.

Jika dianalisis melalui jenis kelaminnya, jumlah perempuan yang berstatus sebagai pekerja keluarga lebih banyak dari jumlah anggota rumahtangga laki-laki. yakni sebesar 26 orang dari 82 orang anggota rumahtangga perempuan yang mempunyai pekerjaan utama. Dengan demikian sebanyak 26 orang perempuan yang mengaku mempunyai pekerjaan utama tidak memperoleh penghasilan dari apa yang mereka kerjakan, namun tetap berkontribusi dalam penghasilan keluarga dengan tenaganya yang menghemat tenaga upahan.

Mengutip pernyataan Mugniesyah dan Mizuno (2007) bahwa sistem kekerabatan akan mempengaruhi dinamika internal rumahtangga petani, termasuk relasi gender dalam hal kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan. Selanjutnya ditemukan tiga bentuk sistem pewarisan yang berlaku di Desa Cipeuteuy, dimana yang pertama, sistem pewarisan menggunakan syari’at Islam (2:1), dan kebijakan penambahan bagian pun akan lebih besar kepada laki-laki. Sejalan dengan yang ditemukan Mugniesyah (2003) pada Desa Kemang, Cianjur, sistem pembagian waris kedua dilakukan dengan dua tahapan. Tahapan pertama dilakukan dengan cara Islam, dan dilanjutkan dengan tahapan kedua sesuai dengan kebijakan keluarga dan kondisi masing-masing anak laki-laki dan anak perempuan. Adapun pembagian warisan dengan pemikiran yang ketiga lebih mengedepankan keadilan


(7)

yang merata antara laki-laki dan perempuan, dengan membagi rata antara laki-laki dan perempuan. Cara inilah yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Desa Cipeuteuy secara umum.

Berangkat dari adanya sistem pewarisan yang terjadi pada masyarakat Sunda yang Bilateral, maka di lapangan diperoleh dua kategori kepemilikan sumberdaya agraria. Adapun kepemilikan yang pertama adalah kepemilikan sumberdaya agraria oleh laki-laki/suami dan perempuan/istri secara individu, yakni berupa warisan/hibah. Kategori kedua adalah gono-gini atau guna kaya, dimana kepemilikannya merupakan kepemilikan bersama yang diperoleh setelah menikah melalui pembelian dari hasil keduanya dan jika terjadi perceraian, maka harta tersebut akan dibagi agar masing-masing memperoleh bagiannya.

Dari bentuk kepemilikan tersebut kemudian ditemukan kombinasi tiga bentuk kepemilikan dan pola-pola kepemilikan. Kombinasi yang pertama adalah kombinasi satu bnetuk kepemilikan saja, yakni milik suami (S), milik istri (I) dan gono-gini (G). Selanjutnya adalah kombinasi dua bentuk kepemilikan yakni milik suami dan milik istri (S-I), milik suami dan gini (S-G), milik istri dan gono-gini (I-G). Yang terakhir adalah kombinasi tiga bentuk kepemilikan dalam satu rumahtangga yakni milik suami, milik istri dan gono-gini (S-I-G).

Selanjutnya ditemukan tujuh bentuk penguasaan lahan yang ada pada tiga kampung kasus, terdiri dari satu bentuk penguasaan lahan yakni garap, sewa, bagi hasil dan hibah. Kombinasi dua bentuk penguasaan lahan, yakni garap-bagi hasil dan sewa- bagi hasil dan komposisi dari tiga betuk penguasaan lahan yakni garap- sewa- hibah.


(8)

Menurut tingkat stratifikasinya perempuan pada rumahtangga sampel memiliki hak kepemilikan secara adat (customary right of posession1) lebih dari 52,7 persen dengan 35,8 persen pada stratum atas 11,5 persen pada stratum menengah dan 5,4 persen pada stratum bawah. Selanjutnya, lebih dari 34,2 persen, sekitar 18,0 persen luas lahan stratum atas, 10,4 persen luas lahan stratum menengah dan 5,7 persen luas lahan stratum bawah merupakan lahan dimana perempuan memiliki hak pembagian secara khusus (exclusive right of disposal)2 atas kepemilikan lahan. Sedangkan perempuan juga memiliki hak kepemilikan secara sah (customary legal right)3 sama dengan laki-laki lebih dari 5,1 persen luas lahan stratum atas yang dimiliki oleh rumahtangga kasus, 5,6 persen luas lahan stratum menengah dan 2,5 persen luas lahan pada stratum bawah.

Dari pola pengambilan keputusan tersebut diketahui bahwa meskipun persentasenya lebih rendah dari laki-laki, namun perempuan memiliki partisipasi dalam pengambilan keputusan yang cukup tinggi karena selain sebesar 21,4 persen pengambilan keputusan dilakukan oleh perempuan sendiri, masih terjadi pengambilan keputusan yang melibatkan perempuan sebanyak 37,1 persen. Menurut pemaparan responden dalam FGD dan wawancara mendalam yang dilakukan di kampung Cisalimar diungkapkan bahwa perempuan dan laki-laki tetap menjadi pelaku utama dan penentu utama atas masing-masing sumberdaya agraria yang dimilikinya, namun keduanya tetap saling membantu dalam pengelolaannya.

1

Perempuan memiliki hak kepemilikan secara adat, atau yang disebut oleh Mugniesyah sebagai

customary right of posession sebanyak lebih dari jumlah lahan yang dimiliki oleh laki-laki.

2

Perempuan mempunyai hak pembagian secara khusus sebanyak lebih dari jumlah persentase yang dimiliki oleh perempuan

3

Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk memiliki lahan secara individu sebanyak lebih dari persentase lahan gono-gini.


(9)

Pengelolaan sumberdaya agraria merupakan cara bagaimana lahan tersebut termanfaatkan. Di tiga kampung kasus, dikembangkan beberapa komoditi yang tentunya memiliki cara tanam dan perlakuan yang bervariasi. Keberagaman komoditas dan kondisi sumberdaya agraria tersebut yang lantas mempengaruhi kontribusi ART laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan lahan.

Tenaga kerja keluarga laki-laki memiliki kontribusi waktu lebih banyak daripada tenaga kerja keluarga perempuan pada lahan kering dan lahan sawah. Lain halnya dengan tenaga kerja luar keluarga, dimana kontribusi buruh perempuan dua kali lipat lebih tinggi dibanding buruh lak-laki pada lahan padi-sawah, namun tidak demikian pada lahan kebun yang membutuhkan waktu lebih banyak untuk pengelolaannya. Kemudian, jika dibandingkan dengan hari kerja pada lahan kebun, maka sesungguhnya, kontribusi waktu yang dialokasikan pada lahan kebun, lebih lama dibandingkan lahan padi-sawah meskipun umur tanamnya lebih lama padi dibandingkan tanaman hortikultura.

Untuk kegiatan-kegiatan yang membutuhkan kontribusi dengan rata-rata hari kerja terbanyak dilakukan oleh laki-laki yakni pada kegiatan pengolahan lahan dan pengontrolan hama, sedangkan perempuan memiliki jumlah tinggi pada kegiatan persemaian dan panen. Pada stratum atas dan menengah, seterusnya pada stratum bawah keduanya memiliki akses yang sama, selanjutnya perempuan lebih akses pada kebutuhan rumahtangga dan pada hasil produksi, karena beberapa responden mengaku bahwa laki-lakinya yang bekerja di luar sektor usahatani memiliki akses yang lebih kecil dari perempuan. Akses perempuan dikatakan kurang pada pemenuhan kebutuhan pribadi karena perempuan cenderung mengutamakan pemenuhan kebutuhan rumahtangga daripada kebutuhan pribadi.


(10)

Pada usahatani kebun, terlihat sekali adanya kesenjangan antara persentase rumahtangga yang berpola pengambilan keputusan secara individu (suami sendiri dan perempuan sendiri). Pada lahan kebun perempuan tetap memiliki kontrol yang tinggi pada kegiatan penyiangan dan persemaian, diduga karena perempuan menjadi pelaku pada proses persemaian/bungbung pada tanaman cabai dan tomat. Sedangkan kontrol atas kegiatan lainnya masih dilakukan oleh suami dan bersama (suami istri, suami dominan; suami istri setara; suami istri, istri dominan) kontrol perempuan sangat rendah pada lahan kebun dikarenakan proses usahatani cukup rumit. Disamping itu lahan usahatani kebun merupakan satu-satunya pendapatan yang diperoleh, karena lahan sawah hanya untuk dikonsumsi secara pribadi (subsisten) sehingga pengambilan keputusan pada lahan usahatani sawah akan menentukan pendapatan rumahtangga. Dari hasil wawancara mendalam, perempuan di kampung Sukagalih menyatakan bahwa mereka memiliki kontrol yang tinggi atas lahan kebun, mereka selama ini hanya membantu menjadi pekerja keluarga, jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Relasi gender dalam rumahtangga petani atas kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria dipengaruhi pula oleh tingkat akses dan kontrol terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani. Kegiatan usahatani yang dilakukan oleh anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan bertujuan untuk mendukung penghidupan keluarga. Hasil pengelolaan lahan usahatani padi-sawah adalah beras yang menjadi makanan pokok pada setiap rumahtangga, sedangkan hasil dari lahan kebun adalah komoditas-komoditas hortikultura yang dapat dikonsumsi dan dijual untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk uang. Dengan demikian akses


(11)

anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan usahatani menentukan akses anggota ruamah tangga laki-laki dan perempuan terhadap manfaat dari pengelolaan sumberdaya agraria. Secara keseluruhan perempuan memiliki akses terhadap manfaat pengelolaan lahan lebih besar dari laki-laki.

Perempuan lebih akses pada kebutuhan rumahtangga dan pada hasil produksi, karena beberapa responden mengaku bahwa laki-lakinya yang bekerja di luar sektor usahatani memiliki akses yang lebih kecil dari perempuan. Dalam pemanfaatan hasil pengelolaan sumberdaya agraria, akses perempuan dikatakan kurang pada pemenuhan kebutuhan pribadi karena perempuan cenderung mengutamakan pemenuhan kebutuhan rumahtangga daripada kebutuhan pribadi.


(12)

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun: Nama : Febri Sastiviani Putri Cantika

No. Pokok : A14203024

Judul : Relasi Geder dalam Pemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria (Kasus Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS. NIP. 130 779 504

Mengetahui, Fakultas Pertanian

Dekan

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019


(13)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANGBERJUDUL

“RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN

SUMBERDAYA AGRARIA” (KASUS DESA CIPEUTEUY, KECAMATAN

KABANDUNGAN KABUPATEN SUKABUMI) BELUM PERNAH

DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Maret 2008

Febri Sativiani Putri Cantika A14203024


(14)

Penulis lahir pada tanggal 8 Februari 1986 di kota Yogyakarta dengan nama Febri Sastiviani Putri Cantika. Putri dari pasangan Eko Putranto dan Mutia Novarida ini memulai pendidikan formalnya pada usia 4 tahun di SDN Muktiharjo 10 Semarang, setelah lulus Sekolah Dasar, penulis melanjutkan pendidikannya di SMPN 15 Semarang. Karena pekerjaan ayahnya yang mengharuskan sang ayah tinggal di Jakarta dan sesekali melaksanakan studi di Luar Negeri, maka keluarganya memutuskan untuk pindah ke kota Bogor agar mempermudah mobilisasi ayahnya. Penulis kemudian melanjutkan sekolahnya di SMPN 4 Bogor dan lulus pada bulan Juni 2000. SMUN 2 merupakan sekolah menengah atas yang dipilih penulis untuk melanjutkan studinya. Penulis lulus pada Juni 2003 dan melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor dan memilih Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian melalui jalur USMI

Di Institut Pertanian Bogor, penulis cukup aktif mengikuti beberapa kegiatan diantaranya: Organisasi Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Sosial Politik (MISETA) sebagai Ketua Departemen Sosial pada periode 2005-2006; Gema Almamater periode 2005-2006; Ladang Seni periode 2006-2007; Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Sosial Politik Indonesia (POPMASEPI) periode 2005-2006; Ladang Seni, sebagai Sekretaris Umum periode 2005-2006 dan Forum Silaturahmi Mahasiswa Alumni ESQ (FOSMA) Bogor.


(15)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pustaka dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktu yang telah ditentukan. Tak lupa shalawat serta salam yang selalu dilimpahkan kepada idola dan panutan seluruh muslimin di dunia Rasulullah Muhammad SAW atas segala ajarannya menjadi umat muslim yang selalu mencari ridha Allah SWT. Skripsi yang berjudul Relasi Gender dalam Pemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria (Kasus Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat) ini mengulas tentang bagaimana sistem kekerabatan mempengaruhi relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria termasuk pola pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria di Desa cipeuteuy yang notabene mempunyai sistem kekerabatan yang bilateral. Penyusunan skripsi ini merupakan syarat untuk mmeperoleh gelar sarjana pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dalam kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada:

1. Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS., selaku pembimbing utama yang telah mengarahkan dan memberi masukan sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

2. Martua Sihaloho SP. MS., selaku penguji utama yang telah memberikan banyak masukan dalam rangka perbaikan Skripsi ini.

3. Ir. Dwi Sadono, MS., selaku penguji dari Departemen KPM yang telah banyak mengoreksi kesalahan dalam penulisan Skripsi ini.

4. Ir. Endriatmo Soetarto, MS., selaku pembimbing akademik yang banyak memberikan bimbingan dan nasehat.

5. Keluarga yang tercinta, Bapak dan Ibu yang telah memberikan kasih sayang dan doanya. Adik-adik terkasihku Joe dan Gemz.

6. Seluruh Warga Desa Cipeuteuy, terutama Keluarga besar Amih, Uwa Unen, Bapak Kosi, Bapak Ahim, Bapak Atin, Uwa Uneb dan Kang Hendy


(16)

yang telah menjadi keluarga dan memberikan tempat tinggal pada saat penulis melakukan penelitian. Juga kepada Izrom, Ipong, Lurah Acun Mansyur, Bapak Ida, Bapak Endang, Bapak Ustad Tirta, yang telah mendoakan, mendukung dan membantu kelancaran penelitian penulis. 7. Okty, teman sepanjang masaku, Hendrik, Putra, Bobby, Jhony, Poppy,

terimakasih atas dukungan dan doanya dan Dian Annisa sebagai teman seperjuanganku, terima kasih untuk berbagi dan mendoakanku.

8. Bapak Ahmad Baehaqie, Ibu Melani, Pak Jajat dan Ibu Ira PSW dan Mas Anthon atas masukan, dukungan dan doanya.

9. Teman-teman komunitasku SALAM, KALAM, Kampoeng Bogor, Circle Clan, RCxHC, dan D.O.D yang telah memberikan doa dan dukungan. Terutama Januar Sena dan Aji Sarsito (alm) yang banyak membantu dalam saat-saat yang sulit dan memberikan masukan pada penelitian ini.

10. Teman-teman seperjuangan KPM 40, yang telah banyak membantu, terutama untuk Widi, Iq, Emma, Puput, Mine, Karin, Dephie, Ciendo, Veni, Irma, Susan, Cencen, Tika, Tata, Sasti, Nayda, Yoyo, Yuni, Jaum, Joko, Yudi,

11. Tim dosen KPM SOSEK IPB, terimakasih telah memberikan pengajaran yang terbaik, juga untuk seluruh staff KPM (Mbak Maria dan Mbak Nisa) yang telah membantu selama perkuliahan.

12. Tidak lupa rasa terima kasih juga kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu atas bantuannya dalam penyusunan dan penyelesaian Skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap bahwa Skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang mempunyai perhatian terhadap masalah gender dalam kaitannya dengan sumberdaya agraria.

Bogor, Maret 2008 Penulis


(17)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ... i

Daftar Tabel ... iv

Daftar Gambar... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan dan Kegunaan ... 8

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 11

2.1. Tinjauan Pustaka ... 11

2.1.1. Pengertian Rumahtangga Pertanian ... 11

2.1.2. Konsep Gender... 11

2.1.3. Jenis Peran dan Relasi Gender ... 13

2.1.4. Kesetaraan dan Keadilan Gender ... 14

2.1.5. Pengertian dan Lingkup Agraria ... 16

2.1.6. Konsep dan Definisi Lahan... 16

2.1.7. Struktur Agraria ... 17

2.1.8. Pola Penguasaan dan Kepemilikan Lahan ... 21

2.2. Kerangka Pemikiran... 23

2.3. Definisi Operasional... 29

BAB III METODOLOGI ... 33

3.1. Metode Penelitian... 33

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

3.3. Penentuan Sampel dan Responden... 35

3.4. Pengolahan dan Analisis Data... 38

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 39

4.1. Kondisi Geografis ... 39

4.2. Keadaan Umum Penduduk... 44

4.3. Kelembagaan... 52

4.4. Sarana dan Prasarana... 59 Halaman


(18)

BAB V PROFIL RUMAH TANGGA PETANI ... 65

5.1. Karakteristik Individu ... 65

5.1.1. Jenis Kelamin ... 66

5.1.2. Umur ... 66

5.1.3. Tingkat Pendidikan ... 70

5.1.4. Jenis Pekerjaan ... 75

5.1.5. Status Bekerja... 86

5.2. Karakteristik Rumahtangga... 91

5.2.1. Kepemilikan Benda Berharga ... 91

5.2.2. Partisipasi Kelembagaan ... 96

BAB VI SISTEM KEKERABATAN DAN DERAJAT PENGAKUAN TOKOH MASYARAKAT... 101

6.1. Sistem Kekerabatan... 101

6.1.1. Sistem Nilai yang Mengakui Status Laki-laki dan Perempuan dalam Keluarga ... 101

6.1.2. Hukum Adat yang Mengatur Kepemilikan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan. .. 104

6.2. Pengakuan Komunitas/Desa terhadap Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan... 112

6.2.1. Derajat Pengakuan Tokoh Masyarakat terhadap Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria oleh Laki-laki dan Perempuan ... 112

6.2.2. Pencatatan Kepemilikan Lahan dalam Letter C... 114

6.2.3. Bukti SPPT Iuran Desa Menurut Individu Pemiliknya ... 115

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY... 117

BAB VIII RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA ... 124

8.1. Pola Kepemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria ... 124

8.1.1. Pola kepemilikan Sumberdaya Agraria... 124

8.1.2. Pola Penguasaan Sumberdaya Agraria... 128

8.2. Pemilikan Sumberdaya Agraria ... 133

8.2.1. Tingkat Akses Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Kepemilikan Sumberdaya Agraria ... 133


(19)

8.2.2. Tingkat Kontrol Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Kepemilikan

Sumberdaya Agraria ... 138 8.3. Penguasaan Sumberdaya Agraria... 140

8.3.1. Tingkat Akses Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Penguasaan

Sumberdaya Agraria ... 140 8.4. Pengelolaan Sumberdaya Agraria ... 146

8.4.1. Tingkat Kontribusi Waktu Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap

Pengelolaan Sumberdaya Agraria ... 149 8.4.2. Tingkat kontrol Anggota Rumahtangga Petani

Laki-laki dan Perempuan terhadap Pengelolaan

Sumberdaya Agraria ... 154 8.5. Manfaat dari Pengelolan Sumberdaya Agraria ... 159

8.5.1. Tingkat Akses Anggota Rumahtangga Petani Laki-laki dan Perempuan terhadap Manfaat dari

Pengelolaan Sumberdaya Agraria ... 159 8.5.2. Tingkat kontrol Anggota Rumahtangga Petani

Laki-laki dan Perempuan terhadap Manfaat dari

Pengelolaan Sumberdaya Agraria ... 161 IX. KESIMPULAN ... 163 8.6. Kesimpulan ... 163

8.7. Saran...Error! Bookmark no


(20)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Luas Wilayah Desa Cipeuteuy Menurut Penggunaannya Tahun

2004 (dalam hektar) ... 42 Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin

Tahun 2006... 45 Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Angkatan Kerja Tahun 2006... 46 Tabel 4. Jumlah Penduduk Desa Cipeuteuy Menurut Jenis Pekerjaan

Tahun 2006... 47 Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kepemilikan Lahan Tahun 2006. ... 49 Tabel 6. Jumlah Rumahtangga Pertanian Menurut Jumlah Kepemilikan

Lahan Tahun 2006... 50 Tabel 7. Jumlah Anggota Rumahtangga Desa Cipeuteuy Menurut

Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tahun 2006 ... 52 Tabel 8. Jumlah Sarana pengairan dan Rumahtangga Penerima Manfaat

Sarana Pengairan di Desa Cipeuteuy Tahun 2006 ... 61 Tabel 9. Jumlah ART Laki-laki dan Perempuan Tiga Kampung Kasus

Menurut Tingkat Stratifikasi dan Golongan Umur Tahun

2007(dalam persen)... 68 Tabel 10. Jumlah ART Laki-laki dan Perempuan di Tiga Kampung Kasus

Menurut Tingkat Stratifikasi dan Pendidikan Terakhir Tahun

2007 (dalam persen)... 71 Tabel 11. Jumlah ART Laki-laki dan Perempuan pada Tiga Kampung

Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi dan Jenis Pekerjaan (dalam

persen) ... 76 Tabel 12. Jumlah ART Laki-laki dan Perempuan pada Tiga Kampung

Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi dan Jenis Pekerjaan

Sampingan (dalam persen) ... 84 Tabel 13. Jumlah ART Laki-laki dan Perempuan pada Tiga Kampung

Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi dan Status Pekerjaan Tahun 2007 (dalam persen)... 87 Tabel 14. Kondisi Kepemilikan Ternak pada Tiga Kampung Kasus

Menurut Tingkat Stratifikasi Tahun 2006 (dalam persen) ... 91 Nomor

Teks


(21)

Tabel 15 Kondisi Kepemilikan Benda Teknologi Rumahtangga pada Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat Stratifikasi Tahun 2006

(dalam persen) ... 94 Tabel 16. Kondisi RTP di Tiga Kampung Kasus Menurut Tingkat

Partisipasi dan Jenis Kelamin... 97 Tabel 17. Pola Kepemilikan Lahan Pada Tiga Kampung Kasus Tahun 2007

(dalam Persen)... 127 Tabel 18 Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa

Cipeuteuy Menurut Tingkat Stratifikasi, dan Pola Kepemilikan Sumberdaya Agraria Tahun 2007 (dalam persen dan total jumlah dalam are)... 128 Tabel 19. Pola Penguasaan Lahan Pada Tiga Kampung Kasus Desa

Cipeuteuy berdasarkan Jenis Lahan Tahun 2007 (dalam are dan

persen) ... 130 Tabel 20. Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa

Cipeuteuy Menurut Status Kepemilikan Lahan dan Jenis Lahan

Tahun 2007 (dalam persen dan total jumlah dalam are) ... 134 Tabel 21. Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa

Cipeuteuy Menurut Tingkat Stratifikasi dan Kepemilikannya

Tahun 2007 (dalam persen dan jumlah total dalam are) ... 136 Tabel 22. Tingkat Kontrol ART Terhadap Kepemilikan Sumberdaya

Agraria Tahun 2007 (dalam persen) ... 139 Tabel 23. Distribusi Sumberdaya Agraria Tiga Kampung Kasus Desa

Cipeuteuy Menurut Tingkat Stratifikasi, Bentuk Penguasaan dan Jenis Lahan Tahun 2007 (dalam persen dan jumlah total dalam

are)... 142 Tabel 24. Distribusi Sumberdaya Agraria Menurut Tingkat Stratifikasi

Berserta Status Kepemilikan yang Dikuasai Tahun 2007 (dalam persen dan jumlah total dalam are) ... 143 Tabel 25 Tingkat Kontrol Terhadap Penguasaan Sumberdaya Agraria Tiga

Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Tahun 2007 (dalam persen)... 145 Tabel 26. Kalender Musim Tanam (Kebun-Cabai) Desa Cipeuteuy Tahun

2007 (untuk 1 Rol Mulsa) ... 147 Tabel 27. Kalender Musin Tanam Tomat Desa Cipeuteuy Tahun 2007

(untuk 1 rol mulsa) ... 148 Tabel 28. Kalender Musim Tanam (Sawah) Desa Cipeuteuy Tahun 2007... 149


(22)

Tabel 29. Rata-rata dan Persentase Jam Kerja dalam Kegiatan Usahatani Padi Sawah di Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Tahun

2007 (dalam hektar) ... 150 Tabel 30. Rata-rata dan Persentase Jam Kerja dalam Kegiatan Usahatani

Kebun di Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Tahun 2007

(dalam hektar) ... 152 Tabel 31. Rata-rata dan Persentase Hari Kerja dalam Kegiatan Usahatani

Padi Sawah di Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Kec. Kabandaungan Kab. Sukabumi Jawa Barat Tahun 2007 (dalam

hektar) ... 153 Tabel 32. Rata-rata dan Persentase Hari Kerja dalam Kegiatan Usahatani

Kebun di Dusun Pandan Arum Desa Cipeuteuy Kec.

Kabandaungan Kab. Sukabumi Jawa Barat Tahun 2007 (dalam

hektar) ... 154 Tabel 33. Penentu Utama dalam Kegiatan Usahatani Padi Sawah di Tiga

Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Kec. Kabandaungan Kab.

Sukabumi Jawa Barat Tahun 2007... 155 Tabel 34. Penentu Utama dalam Kegiatan Usahatani Lahan Pasir/Kebun di

Tiga Kampung Kasus Desa Cipeuteuy Kec. Kabandaungan Kab. Sukabumi Jawa Barat Tahun 2007... 157 Tabel 35. Tingkat Akses Terhadap Manfaat dari Pengelolaan Sumberdaya

Agraria... 160 Tabel 36. Tingkat Kontrol Terhadap Manfaat dari Pengelolaan Sumberdaya


(23)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.Bagan Struktur Agraria ... 20 Gambar 2 Kerangka Pemikiran Relasi Gender dalam Pemilikan dan

Penguasaan Sumberdaya Agraria... 28 Gambar 3.Peta Lokasi Desa Cipeuteuy Kecamatan Kabandungan ,

Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat... 39 Gambar 4.Bagan Struktur Agraria Desa Cipeuteuy... 122


(24)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumberdaya agraria merupakan sumber penghidupan terpenting bagi masyarakat di Indonesia yang sebagian besar penduduknya menggantungkan diri dari proses produksi pertanian. Data Potensi Desa Sensus Pertanian (ST) 2003 melaporkan bahwa sektor pertanian menjadi sumber penghasilan sebagian besar penduduk, yakni 88,10 persen dari 68.816 desa di Indonesia. Berdasar sektor mata pencaharian, sebagian besar bekerja di sektor tanaman pangan sebesar 71,71 persen diikuti oleh mereka yang bekerja di sektor perkebunan (17,55 persen), perikanan (4,70 persen), hortikultura (2,54 persen), pertanian lain (1,9 persen), kehutanan (1,27 persen) dan sisanya di sektor peternakan sebesar 0,30 persen. Lebih lanjut hasil ST 2003 menunjukkan bahwa sekitar 115 juta rumahtangga, 54 persen diantaranya adalah rumahtangga pertanian, yang terdiri atas 21,6 persen rumahtangga pertanian, 20,9 persen rumahtangga pengguna lahan, dan sekitar 11,5 persen adalah rumahtangga petani gurem (Badan Pusat Statistik dalam Mugniesyah, 2006). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumberdaya agraria, khususnya lahan menjadi tumpuan utama rumahtangga petani di Indonesia.

Terjadinya krisis ekonomi multidimensional yang berkepanjangan telah menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat, yang tercermin dari tingginya jumlah penduduk miskin di pedesaan Indonesia. Data tahun 2004 menunjukkan bahwa dari 36,15 juta penduduk miskin di Indonesia, sebanyak 68,5 persen diantaranya adalah adalah penduduk di pedesaan (Badan Pusat Statistik,


(25)

2004). Pemerintah mengakui bahwa hal tersebut antara lain disebabkan masyarakat miskin di pedesaan menghadapi masalah keterbatasan akses terhadap sumberdaya alam dan ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan lahan, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Karenanya, dalam RPJMN 2004-2009 dinyatakan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin, antara lain hak-hak atas tanah, lingkungan hidup, dan sumberdaya alam.

Sesungguhnya sejak tahun 1960, kebijakan pemerintah sudah mengakui hak laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria, sebagaimana tercantum pada pasal 9 ayat 2 dalam Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Namun demikian, data yang dilaporkan Badan Pusat Statistik pada tingkat makro masih menggunakan rumahtangga sebagai unit analisisnya, sedangkan di tingkat mikro sebagaimana dikutip Mugniesyah dan Mizuno (2007), beberapa studi yang dilakukan para ahli agraria seperti van der Kroef, Hüsken, White dan Wiradi, sebagian besar hanya menggunakan data sekunder dan data primer dengan unit analisis rumahtangga. Itu sebabnya, keduanya menyatakan bahwa ketika membicarakan mengenai masalah agraria, maka tidak cukup hanya mengkaji pada tingkat rumahtangga saja, namun hingga tingkat individu baik laki-laki dan perempuan yang mempunyai kepentingan atas lahan. Dengan demikian pengakuan negara atas hak individu, baik laki-laki dan perempuan belum dimanifestasikan dengan ketersediaan data pada tingkat individu.


(26)

Kondisi tersebut nampaknya dimungkinkan karena masih adanya perbedan pendapat di kalangan birokrat dan pakar serta pelaksana pembangunan pertanian pada umumnya. Pertama, sebagaimana dikemukakan Mugniesyah dan Mizuno (2003), masih kuatnya persepsi yang bias gender di kalangan para pakar, birokrat dan pelaksana program pembangunan pertanian yang beranggapan bahwa pengelolaan usahatani dilakukan oleh rumahtangga, sehingga kepala rumahtanggalah yang bertanggungjawab atas semua hal yang berkenaan dengan usahatani. Akibat dari terjadinya internalisasi stereotipi nilai gender, secara de jure timbul asumsi bahwa yang berstatus sebagai kepala rumahtangga pertanian adalah laki-laki, dengan demikian pemilikan, penguasaan dan pengambilan keputusan yang berkenaan dengan sumberdaya agraria, khususnya lahan adalah laki-laki. Hal inilah yang selanjutnya membuat hampir seluruh sasaran dalam pembangunan pertanian pada masa lalu adalah petani laki-laki (Mugniesyah dan Fadhilah, 2001; Fakih dalam Bachriadi et.al.,1997). Dari asumsi tersebut, timbul beberapa pernyataan, salah satunya dari FSPI (2006) yang menyatakan bahwa “bagi petani perempuan akses terhadap sumberdaya agraria bisa dikatakan tidak ada sama sekali, karena dalam budaya perempuan hanya mempunyai hak untuk bekerja dan mengolah sawah sementara kepemilikan berada di tangan suami/kepala keluarga, karena itu segala keputusan yang menyangkut tanah berada di tangan laki-laki”.

Berseberangan dengan pernyataan tersebut, selain mengutip dari hasil studi Simbolon (1998) serta Quisumbing dan Otsuka (2001), Mugniesyah dan Mizuno (2007) berhasil membuktikan adanya hubungan antara sistem nilai dan hukum adat yang disertai dengan bukti empiris rumahtangga petani lahan kering


(27)

Cianjur, Jawa Barat4. Keduanya mengemukakan bahwa sistem kekerabatan akan mempengaruhi dinamika internal rumahtangga petani5, termasuk relasi gender dalam hal kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumberdaya agraria, antara lain melalui sistem nilai dan hukum adat yang mengatur kepemilikan lahan dan sumberdaya agraria lainnya. Sayangnya, banyak studi yang berkaitan dengan kepemilikan lahan sama sekali tidak menyinggung dan menyebutkan mengenai sistem nilai dan pembagian lahan pada anggota keluarga dengan memperhatikan laki-laki dan perempuan, padahal menurut Soepomo (1982) dalam Mugniesyah dan Mizuno (2007), laki-laki (suami) dan perempuan (istri) mempunyai hak yang sama dalam pernikahan, termasuk individu dan hak kepemilikan.

Adanya perbedaan pendapat tersebut, menuntut adanya penelitian-penelitian yang berkenaan dengan relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria di kalangan masyarakat petani. Hal ini menjadi penting, untuk beberapa alasan; pertama, sebagaimana diungkapkan oleh Fakih (1997)6, bahwa para pakar yang mencoba mencari solusi masalah kemiskinan dan pedesaan melalui usaha pembaruan agraria, belum berhasil memasukkan analisis yang tajam mengenai bagaimana relasi gender terjadi dan sering justru menjadi sumber marjinalisasi kaum perempuan. Kedua, penelitian ini penting untuk mendukung ketersediaan data kepemilikan dan penguasaan lahan menurut jenis kelamin,

4

Mugniesyah dan Mizuno (2007) mengemukakan bahwa adanya sistem nilai adil gender dan hukum adat yang setara gender di kalangan masyarakat petani lahan kering, petani perempuan dan laki-laki akses dan kontrol terhadap kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian dan pengelolaan usahatani, baik itu sistem padi sawah maupun sistem huma talun. Keduanya mengemukakan hasil studi Simbolon (1998) yang menemukan bahwa pada masyarakat Batak yang patrilineal sekalipun, perempuan petani bisa akses dan kontrol terhadap lahan. Berkenaan hasil studi Quisumbing dan Otsuka (2001), dilaporkan bahwa pada masyarakat Sumatera Barat yang matrilineal, adanya individualisasi dalam hak atas lahan telah membawa dampak pada sistem yang lebih egalitarian, dimana laki-laki dan perempuan memiliki hak waris atas lahan (Quisumbing dan Otsuka ,2001)

5

Keluarga/rumahtangga petani adalah unit terkecil suatu masyarakat, maka sistem kekerabatan dimana rumahtangga petani menjadi anggotanya akan mempengaruhi dinamika internal rumahtangga petani.

6


(28)

sebagai suatu prasyarat bagi terselenggaranya pembangunan pertanian yang responsif gender sebagaimana diamanatkan dalam Inpres No.9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG)7. Kebutuhan ini juga perlu diteliti lebih lanjut mengingat akses terhadap lahan merupakan strategi oleh pemerintah sehubungan dengan RPJMN 2004-2009, yang menyatakan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan harus disertai upaya untuk menjamin dan melindungi hak perorangan dan komunal atas tanah dengan cara meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah bagi masyarakat miskin tanpa diskriminasi gender yang juga didukung oleh UU No 7 Th 1984 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang juga merupakan kesepakatan terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita (CEDAW).

1.2. Perumusan Masalah

Rumahtangga petani terdiri atas individu-individu laki-laki dan perempuan, sebagaimana dikatakan Slyter dan Rocheleau (1995) dalam Mugniesyah dan Mizuno (2003) bahwa dalam tataran dunia, baik perempuan maupun laki-laki merupakan sumberdaya pemakai dan pengelola dimana keduanya memiliki perbedaan peran, kewajiban, kesempatan, dan ketidakleluasaan dalam mengelola sumberdaya baik dalam tataran rumahtangga maupun komunitas. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya agraria menuntut partisipasi anggota masyarakat, laki-laki dan perempuan, khususnya di pedesaan, karena mereka pada dasarnya memiliki akses dan kontrol terhadap sumberdaya

7

Inpres No.9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan nasional yang menetapkan pengintegrasian perspektif gender dalam pembangunan, baik pembangunan nasional, daerah maupun sektoral, guna mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


(29)

tersebut melalui hak-hak adat dari sistem kekerabatan dimana mereka menjadi anggotanya, yang dikenal sebagai kelembagaan kepemilikan lahan. Mengacu kepada pendapat Soepomo, Koentjaraningrat dan Ekadjati dalam Mugniesyah dan Mizuno (2007), masyarakat Desa Cipeuteuy diduga tergolong masyarakat Sunda yang memiliki sistem kekerabatan Bilateral. Masyarakat petani Desa Cipeuteuy yang diduga tidak homogen, memiliki sistem nilai tersendiri (lokal) berkenaan dengan status anak laki-laki dan perempuan dalam hak atas harta (termasuk sumberdaya agraria) dalam keluarga/rumahtangga mereka. Sehubungan dengan itu, adakah sistem nilai yang mengatur status anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga/rumahtangga dan apakah sistem tersebut adil gender?

Menurut ahli antropologi seperti Koentjaraningrat dan ahli sosiologi seperti Soerjono Soekanto, sistem nilai (values) mempengaruhi perilaku anggota masyarakat dalam mencapai tujuan mereka berkeluarga dan bermasyarakat, Bahkan Soerjono dan Taneko menyatakan bahwa sistem kekerabatan juga mengatur hukum adat yang berhubungan dengan alokasi harta kekayaan (termasuk sumberdaya agraria) dalam keluarga. Sehubungan dengan itu, apakah sistem nilai yang ada mempengaruhi hukum adat yang setara gender dalam hal sistem alokasi sumberdaya agraria diantara anak laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga petani. Bagaimanakah relasi gender dalam hal kepemilikan sumberdaya agraria dalam rumahtangga petani tersebut? Bagaimana pula pengaruhnya pada pola kepemilikan lahan pada tingkat rumahtangga petani?

Mengingat rumahtangga petani adalah unit terkecil dalam komunitas/masyarakat pertanian, apakah sistem nilai dan hukum adat dalam sistem alokasi sumberdaya agraria pada tingkat rumahtangga petani juga diakui


(30)

oleh komunitas masyarakat petani yang lebih luas? Apakah sistem nilai tersebut juga mempengaruhi alokasi sumberdaya agraria pada tingkat komunitas? Mengacu pada hasil empiris White dan Wiradi (1987) serta Mugniesyah dan Mizuno (2007) tentang pola penguasaan lahan, bagaimana pula pengaruhnya terhadap pola penguasaan lahan oleh anggota rumahtangga petani?

Sebagaimana dikemukakan oleh pakar gender dalam pembangunan, upaya untuk memahami relasi gender dalam rumahtangga petani dapat dilakukan dengan menggunakan teknik analisis gender yang diartikan sebagai pengujian secara sistematis terhadap peranan-peranan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang memusatkan perhatiannya pada ketidakseimbangan kekuasaan, kesejahteraan dan beban kerja antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat (Mosher dalam Mugniesyah, 2004). Karenanya, apakah pola kepemilikan dan penguasaan lahan tersebut juga mempengaruhi pola pengelolaan sumberdaya agraria oleh anggota rumahtangga petani?

Berhubungan dengan komponen yang perlu dianalisis dalam teknik analisis gender, apakah anggota rumahtangga petani dewasa, laki-laki dan perempuan mempunyai akses dan kontrol terhadap pengelolaan sumberdaya agraria? Di pihak lain, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 pasal 9 ayat 2, apakah anggota rumahtangga petani di Desa Cipeuteuy juga memiliki akses dan kontrol terhadap manfaat dari pengelolaan sumberdaya agraria yang mereka lakukan?

Pada tingkat makro, pemerintah mengakui kepemilikan lahan pada tingkat individu, laki-laki dan perempuan. Mengacu pada Mugniesyah dan Mizuno (2007), apakah kepemilikan lahan pada tingkat individu tersebut diakui


(31)

oleh desa/aparat desa, sebagaimana dicerminkan dalam Letter C dan bukti formal lainnya (sertifikat, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau SPPT, dan PBB)?

Akses dan kontrol anggota rumahtangga petani/buruh tani laki-laki dan perempuan atas lahan sangat dipengaruhi oleh pemanfaatan sumberdaya agraria, karenanya perlu diketahui bagaimanakah kondisi sumberdaya agraria dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi akses dan kontrol terhadap sumberdaya agraria? Akses dan kontrol atas sumberdaya agraria akan menunjukkan bagaimana laki-laki dan perempuan mempunyai peluang dan hak untuk mengambil keputusan untuk memiliki, menguasai, mengelola dan memanfaatkan hasilnya, sehingga perlu diketahui, bagaimanakah akses dan kontrol atas sumberdaya agraria menentukan pola pemilikan, penguasaan, pengelolaan dan manfaat yang diperoleh atas lahan

1.3. Tujuan dan Kegunaan

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1) Sistem nilai mengenai status anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga/rumahtangga petani yang berkaitan atas hak harta (termasuk sumberdaya agraria) pada masyarakat petani Desa Cipeuteuy serta menganalisis adil gender dalam sistem nilai tersebut.

2) Hubungan antara sistem nilai mengenai status anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga/rumahtangga petani dengan hukum adat yang berhubungan dengan alokasi harta kekayaan (termasuk sumberdaya agraria) dalam keluarga serta pola kepemilikan lahan pada rumahtangga petani.


(32)

3) Pengakuan anggota masyarakat/komunitas pertanian terhadap sistem nilai tentang status anak dalam rumahtangga dan hubungannya dengan pola penguasaan sumberdaya agraria pada rumah tanga petani.

4) Dinamika relasi gender dalam pengelolaan sumberdaya agraria, khususnya yang berkenaan dengan akses dan kontrol anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan sumberdaya agraria yang dimiliki dan dikuasai. Selain itu juga untuk mengetahui akses dan kontrol mereka terhadap manfaat dari pengelolaan sumberdaya agraria yang mereka lakukan.

5) Pengakuan aparat desa terhadap kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria pada tingkat individu, laki-laki dan perempuan sebagaimana tercermin dalam dokumen Letter C dan bukti formal lainnya (sertifikat, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau SPPT, dan PBB)

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan referensi bagi berbagai pihak yang tertarik dan terkait dengan kajian gender dalam penguasaan dan kepemilikan lahan serta potensi konflik yang ada di dalamnya, khususnya bagi:

1. Peneliti sendiri, sebagai proses pembelajaran yang akan memberikan pengalaman dan pembelajaran dalam penerapan konsep, teori dan metodologi yang telah dipelajari, terutama teori-teori mengenai gender dan sosiologi agraria.

2. Peneliti dan akademisi lainnya, penelitian ini dapat memberikan sumbangsih berupa tambahan literatur dan informasi dasar berkenaan


(33)

dengan relasi gender dalam penguasaan dan kepemilikan sumberdaya agraria.

3. Non-akademisi yang meliputi pemerintah pusat maupun daerah, lembaga-lembaga pemberdayaan perempuan, swasta dan masyarakat dapat bermanfaat dalam mendukung kebutuhan data terpilah menurut jenis kelamin yang dibutuhkan dalam pelaksanaan PUG dan penyelenggaraan program yang sensitif gender serta mendukung bagi terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.


(34)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Pengertian Rumahtangga Pertanian

Rumahtangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik serta biasanya tinggal bersama dan mengkonsumsi makanan yang berasal dari satu dapur, dimana kebutuhan sehari-hari anggotanya dikelola menjadi satu (BPS, 1996). Adapun yang dimaksud dengan rumahtangga pertanian adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan di kolam, keramba maupun tambak, menjadi nelayan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak atau unggas ataupun berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual untuk memperoleh pendapatan ataupun keuntungan atas resiko sendiri. Dengan demikian, yang dimaksud dengan rumahtangga usahatani adalah rumahtangga yang salah satu atau lebih anggotanya mengolah lahan pertanian, baik lahan basah (sawah) maupun lahan kering, membudidayakan tanaman pertanian, melakukan pengambilan hasil lahan pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dimanfaatkan sendiri atau dijual untuk memperoleh pendapatan ataupun keuntungan atas resiko sendiri.

2.1.2. Konsep Gender

Gender, secara etomologis diartikan sebagai menjadi laki-laki dan perempuan seta terkait denga isu-isu mengenai perbedaan, relasi dan peranan gender. Gender pertama kali dinyatakan sebagai suatu karakteristik sosial pada


(35)

tahun 1792 oleh Mary Wollstonecraft. Ivy dan Barklund (1995) dalam Mugniesyah (2005) mengemukaan bahwa gender merupakan sesuatu yang dikonstruksikan, karena gender bukanlah suatu fakta alamiah tetapi secara historis dapat merubah suatu hubungan sosial. Selanjutnya, para ahli peminat studi gender, diantaranya: Donnel (1988); Eviota (1993); Kabeer (1990); Sudrajat (1994); Fakih (1994); ILO (2000); Wood (2001) mengemukakan definisi gender yang dapat disimpulkan bahwa gender tidak sama dengan jenis kelamin dan gender bukan berarti perempuan. Gender merupakan suatu bentukkan/ konstruksi sosial mengenai perbedaan peran, fungsi serta tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan serta bagaimana laki-laki berperilaku maskulin dan perempuan berperilaku feminin menurut budaya yang berbeda-beda.

Perbedaan gender dapat menimbulkan adanya permasalahan seputar ketidakadilan gender yang mencakup stereotipi, beban kerja, subordinasi, marjinalisasi dan kekerasan. Menyusul pernyataan dari Fakih tersebut, Mugniesyah mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin telah mempengaruhi manusia untuk memberi persepsi identitas peranan gender atau mengakibatkan perbedaan peranan gender (Mugniesyah, 2006, 8). Perbedaan biologis seringkali menjadi landasan masyarakat untuk mengkotakkan peran perempuan dan laki-laki. Seorang perempuan yang berperan sebagai ibu dengan kemampuan reproduktif untuk melahirkan dan menyusui membawa masyarakat untuk menempatkan perempuan kedalam peran-peran pengasuhan yang berkorelasi dengan ‘ibu’. Demikianlah sehingga perempuan mengalami proses domestikasi atas statusnya sebagai ‘ibu’. Demikian halnya dengan laki-laki yang di’label’i sebagai pencari nafkah dan pekerja, sehingga ia memiliki kekuasaan yang tinggi


(36)

atas sumberdaya ekonomi keluarga dan dalam proses pengambilan keputusan sementara perempuan tersubordinasi oleh peranan laki-laki yang dominan.

2.1.3. Jenis Peran dan Relasi Gender

Peran gender adalah peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya dan struktur masyarakatnya. Adapun yang dimaksud dengan peranan gender adalah perilaku yang diajarkan pada setiap masyarakat, komunitas dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitas, tugas-tugas dan tanggung jawab tertentu di persepsikan sebagai peranan perempuan dan laki-laki. Mosher (1993) dalam Mugniesyah (2006) mengemukakan adanya tiga kategori peranan gender (triple role), yaitu:

1. Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai atau sejenisnya. Termasuk produksi pasar dengan suatu nilai tukar, dan produksi rumahtangga/subsistem dengan suatu nilai guna, tetapi juga suatu nilai tukar potensial. Contohnya: kegiatan bekerja baik di sektor formal maupun informal.

2. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan tenaga. Contoh: Melahirkan, memelihara dan mengasuh anak, mengambil air, memasak, mencuci, membersihkan, membersihkan rumah, memperbaiki baju dan lainnya.


(37)

3. Peranan Pengelolaan Masyarakat dan Politik. Peranan ini dibedakan ke dalam dua kategori sebagai berikut:

a. Peranan Pengelolaan Masyarakat (Kegiatan Sosial), yang mencakup semua aktivitas yang dilakukan dalam tingkat komunitas sebagai kepanjangan peranan reproduktif, bersifat volunteer dan tanpa upah. b. Pengelolaan Masyarakat Politik (Kegiatan Politik), yakni peranan yang

dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung ataupun tidak langsung), dan meningkatkan kekuasaan atau status.

Peranan gender berhubungan dengan relasi gender yang menurut Agarwal (1994) dalam Mugniesyah (2006) diartikan sebagai suatu hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang terlihat pada lingkup gagasan (ide), praktek dan representasi yang meliputi pembagian kerja, peranan dan alokasi sumberdaya antara laki-laki dan perempuan.

2.1.4. Kesetaraan dan Keadilan Gender

Menurut konsepsi ILO (2001), Mugniesyah (2005) mengemukakan tentang pengertian keadilan dan kesetaraan gender, dimana keadilan gender (gender equity) merupakan keadilan perlakuan bagi laki-laki dan perempuan berdasar pada kebutuhan-kebutuhan mereka, mencakup perlakuan setara atau perlakuan yang berbeda akan tetapi dalam koridor pertimbangan kesamaan dalam hak-hak, kewajiban, kesempatan-kesempatan dan manfaat. Kesetaraan gender (gender equality) adalah suatu konsep yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kebebasan untuk mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa pembatasan oleh seperangkat stereotipi, prasangka, dan peran gender yang kaku. Dalam hal ini kesetaraan bukanlah berarti bahwa laki-laki dan perempuan menjadi sama, akan tetapi


(38)

hak-hak, tanggung jawab dan kesempatan mereka tidak ditentukan karena mereka terlahir sebagai laki-laki dan perempuan (ILO, 2001).

Upaya pemerintah dalam menghapuskan ketidakadilan gender di Indonesia, salah satunya melalui pembuatan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan gender, diantaranya adalah Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan, Keputusan Menteri dalam Negeri No. 132 tahun 2003, Undang-undang No. 7 tahun 1984 tentang rativikasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elemination of All from of Discrimination Against Women atau CEDAW), GBHN 1999-2004 dan UU No. 25 tahun 2000.

Dikeluarkannya Inpres No. 9 tahun 2000 adalah dalam rangka meningkatkan kedudukan, peran dan kualitas perempuan, serta upaya untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dipandang perlu melakukan strategi pengarusutamaan gender kedalam seluruh proses pembangunan nasional (Mugniesyah, 2004). Untuk menyikapi hal tersebut, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor. 132 Tahun 2003 tentang pedoman umum pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam pembangunan di daerah. Kebijakan ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan pedoman pelaksanaan PUG pada pembangunan di daerah.

Pembuatan kebijakan-kebijakan dalam upaya penghapusan ketidakadilan gender diharapkan dapat dilaksanakan diseluruh wilayah di Indonesia dan ditaati oleh semua lapisan warga masyarakat Indonesia agar kesetaraan dan keadilan gender dapat terwujud.


(39)

2.1.5. Pengertian dan Lingkup Agraria

Tjondronegoro dan Wiradi (2001) mengemukakan bahwa pengertian agraria secara etimologis berasal dari bahasa Latin ‘ager’ yang dapat berarti lapangan, pedusunan, wilayah; ‘aggeer’ yang berarti tanggul pelindung, pematang, tanggul sungai, jalan tambak, reruntuhan tanah dan bukit. Kedua ahli agraria tersebut mengatakan bahwa agraria sangat berkonotasi dengan ‘tanah’, hal ini menunjukkan bahwa ‘agraria’ mencakup segala sesuatu yang ada di atas tanah yang dapat meliputi air, sungai, tumbuhan, bangunan, bahkan manusia yang menghuni di atasnya.

Berdasarkan Pasal 1 (ayat 2,4,5,6) UUPA 1960, Sitorus (2004) menyimpulkan konsep agraria yang merujuk pada obyek atau sumber agraria yang meliputi:(1) Tanah, atau “permukaan bumi”, yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan; (2) Perairan, baik di darat maupun di laut, yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan perikanan dan area penangkapan ikan (fishing ground) bagi komunitas nelayan; (3) Hutan, meliputi kesatuan flora dan fauna dalam suatu kawasan tertentu yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas perhutanan; (4) Bahan Tambang¸ mencakup beragam barang tambang dan mineral yang terkandung di dalam perut;(5) Udara, dalam arti “ruang di atas bumi dan air” maupun materi udara (O2) itu sendiri.

2.1.6. Konsep dan Definisi Lahan

Menurut Soepardi (1983) lahan merupakan tanah (sekumpulan tubuh alamiah, mempunyai kedalaman lebar yang ciri-cirinya mungkin secara langsung berkaitan dengan vegetasi dan pertanian sekarang ) ditambah ciri-ciri fisik lain seperti penyediaan air dan tumbuhan penutup yang dijumpai. Lahan merupakan


(40)

sumberdaya dasar sumber makanan, serat, bahan-bahan bangunan, mineral, energi, dan bahan-bahan alamiah lain yang dibutuhkan manusia untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya (Winoto, 1997) Lahan bersama faktor produksi lainnya akan dijadikan dasar untuk menciptakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh manusia, Dengan demikian lahan dapat diartikan sebagai sebidang tanah dalam penampakan fisik yang digunakan sebagai sumberdaya ekonomi wilayah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.

2.1.7. Struktur Agraria

Seperti yang sebelumnya dinyatakan oleh Tjondronegoro dan Wiradi (2001) bahwa agraria mencakup semua sumberdaya dan manusia yang ada di atas suatu wilayah. Unsur kekayaan alam dan kehidupan sosial mempunyai hubungan-hubungan yang saling berkaitan dalam pengelolaan agraria. Unsur pertama dalam agraria adalah sumber agraria yang kemudian disebut sebagai objek agraria, sedangkan manusia sebagai pengelola sumber agraria disebut sebagai subjek agraria.

Subjek agraria dapat dibagi lagi menjadi tiga kelompok sosial, yaitu (1) komunitas yang meliputi individu, keluarga kelompok; (2) pemerintahmencakup pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa; (3) pihak swasta (private sector) , yang mencakup perusahaan kecil, sedang dan perusahaan besar.

Dengan mengacu kepada pendapat Habermas8, Sitorus (2004) merumuskan dimensi kerja dan interaksi yang terdapat pada bidang keagrariaan. Ketiga subjek agraria yang telah dijelaskan mempunyai hubungan satu sama lain

8

J. Habermas dalam tesisnya menuliskan tentang dua dimensi tindakan manusia, yaitu dimensi kerja yang merupakan tindakan teknis dan dimensi interaksi atau komunikasi yang merupakan tindakan sosial.


(41)

yang disebut hubungan sosio agraria yang diwujudkan dalam interaksi antara ketiga subjek agraria dalam memanfaatkan objek agraria. Hubungan ini menggambarkan hubungan yang terjadi antara manusia dengan manusia. Hubungan yang terjadi antara pihak-pihak yang berkepentingan atas sumber agraria ini bersifat dua arah. Hal yang mendasari timbulnya hubungan ini adalah hak yang dimiliki tiap subjek agraria atas pengelolaan sumber agraria. Pola hubungan tersebut dapat terjadi antara subjek agraria dan intra subjek agraria. Hubungan antar subjek agraria tercemin dari hubungan antara pemerintah dengan komunitas, pemerintah dengan swasta dan komunitas dengan swasta. Sedangkan hubungan intra subjek agraria digambarkan lewat hubungan antara kelompok komunitas, contohnya adalah hubungan antara individu dengan keluarga; hubungan antar kelompok pemerintah yang tercermin antara pemerintah pusat dengan daerah; dan antar swasta yaitu antara perusahaan nasional dan multinasional.

Hubungan teknis terjadi antara masing-masing subjek agraria dengan objek agraria yang diwujudkan dalam hubungan kerja yang berupa pengelolaan dan penguasaan terhadap sumber agraria. Pola hubungan ini mencerminkan hubungan antara manusia dengan sumber agraria. Hubungan teknis bersifat searah dan menunjukkan cara kerja subjek dalam mengelola sumber-sumber agraria untuk memenuhi kebutuhannya. Subjek agraria akan memanfaatkan sumber agraria sesuai dengan kebutuhannya, karenanya cara-cara yang digunakan dalam mengelola sumberdaya agraria berbeda-beda sesuai dengan kepentingan. Dua cara pengelolaan yang digunakan subjek agraria adalah dengan (1) konservatif, yang memperhatikan kelestarian sumberdaya dan (2) eksploitatif yang akan berdampak


(42)

pada degradasi lingkungan hidup yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat sekitar.

Perbedaan pola penguasaan antar subjek agraria (komunitas, pemerintah dan pihak swasta) direpresentasikan dengan suatu hubungan kelas-kelas sosial seperti hubungan antara pemilik dengan pemilik, pemilik dengan penyewa dan lainnya. Sitorus (2004) menyebutkan bahwa hubungan antara kelas sosial dalam penguasaan sumber agraria mengandung dimensi sosiologis, antropologis, ekonomi politik, budaya yang membentuk suatu tatanan sosial yang disebut struktur sosial. Struktur agraria menunjukkan cara produksi dari subjek-subjek agraria yang juga sangat ditentukan oleh formasi sosial yang ada dalam masyarakat.

Terdapat lima tipe struktur agraria yang menunjukkan cara produksi baik yang eksis maupun dominan diantaranya ( Jacoby, 1971; Wiradi, 2000 dalam):

1. Tipe Naturalisme

Komunitas lokal seperti komunitas adat menguasai sumber agraria secara kolektif, atau dimiliki secara bersama-sama.

2. Tipe Feodalisme

Sumber agraria dikuasai oleh tuan tanah yang biasanya merupakan patron-politik.

3. Tipe Kapitalisme

Sumber agraria dikuasai oleh perusahaan-perusahaan pemilik modal (non-penggarap) atau perusahaan kapitalis.

4. Tipe Sosialisme Sumber agraria dikuasai oleh negara atas nama kelompok pekerja.


(43)

5. Tipe Populisme/ Neo populisme Sumber agraria dikuasai oleh keluarga/ rumah tangga pengguna.

Dalam suatu masyarakat ditemukan setidaknya dua atau tiga jenis tipe penguasaan agraria dan tidak ditemukan secara mutlak hanya satu tipologi saja. Kelima tipe tersebut menunjukkan struktur agraria dalam penguasaan sumber agraria dimana satu tipe akan lebih dominan dalam masyarakat dibanding tipe lainnya. Misalkan dalam tipe kapitalis, hubungan yang akan terbentuk adalah hubungan majikan-buruh, sedangkan untuk sosialis akan akan tercipta hubungan ketua-anggota antara pemerintah dengan komunitas. Hubungan teknis dan sosio agraria yang tercipta dalam pola penguasaan agraria dapat digambarkan sebagai hubungan antara subjek dengan pusatnya yaitu objek agraria, yang dapat ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gambar 1. Bagan Struktur Agraria

Keterangan:

: Hubungan teknis agraria

: Hubungan sosio agraria


(44)

2.1.8. Pola Penguasaan dan Kepemilikan Lahan

Menurut Wiradi (1984), Kata “pemilikan” menunjuk kepada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif. Lahan yang tergolong kedalam lahan milik mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara sah yang mengikat lahan tersebut dengan pemiliknya. Sebagaimana diungkapkan oleh Kano (1984), pola kepemilikan lahan dibagi menjadi tiga kategori yakni: milik perorangan turun menurun9, tanah komunal dan tanah bengkok. Adapun milik perorangan dapat diperoleh melalui proses jual beli dan pemindahtanganan dengan cara waris dan hibah.

Adapun penguasaan lahan berkenaan dengan sejumlah lahan yang digarap dan dimanfaatkan yang menurut Wiradi (1984) meliputi hal-hal yang menyangkut hubungan penggarapan tanah. Dengan demikian pemilikan lahan tidak selalu mencerminkan penguasaan lahan, karena ada berbagai jalan untuk menguasai tanah yaitu melalui sewa, sakap, gadai dan sebagainya. Selanjutnya, laporan Tjondronegoro (1869) menerangkan tentang bagi hasil yang terjadi di atas tanah sendiri yang disewakan, dimana penyewa bertindak sebagi pemberi tanah garapan, sedangkan pihak yang menyewakan tanah, yaitu pemiliknya, bertindak sebagai penyakap. Adapun bentuk-bentuk bagi hasil dan sewa menyewa tanah seperti studi yang dilakukan oleh Biro Penelitian Umum RI di pedesaan Jawa Barat (Kroef, 1896) meliputi:

9

Milik perorangan turun menurun adalah suatu bentuk penguasaan tanah dimana seseorang menduduki sebidang tanah secara kekal, dapat menyerahkannya kepada ahli warisnya beik melalui pemindahtangannan hak penguasaan tersebut sebelum ia meninggal, atas kemauannya atau pemindahtanganan tersebut pada saat meninggalnya.


(45)

1. Mertelu, Pemilik tanah menanggung biaya benih (sampai pada saat penghapusan sistem ini, juga membayar pajak-pajak tanah) dan memungut 2/3 hasil panen, sisanya merupakan hak penyewa atau penyakap.

2. Merapat, Persyaratannya sama dengan di atas, kecuali bahwa pemilik tanah mendapat ¾ bagian hasil panen dan bagian untuk penyakap.

3. Nyeblok/Ngepak: Dalam hal ini penggarap melakukan semua pekerjaan, dari membajak, menyiang sampai menanam. Kemudian pemilik tanah mengambil alih pekerjaan (mengatur pengairan dan panen). Penggarap menerima 1/5 hasil panen.

4. Derep:Penggarap/buruh terutama menanam padi, tetapi dapat diminta membantu pekerjaan lain sampai panen tiba. Bagian buruh adalah 1/5 padi bulir, tetapi bilamana hasilnya jelek bagiannya dapat berkurang.

5. Gotong royong: Suatu kegiatan yang biasanya mengikutsertakan anggota keluarga saja. Penggarap mendapat bagian yang telah ditentukan sebelumnya dan sesuai dengan kebiasaan.

Pemilik tanah yang luas biasanya tidak selalu menggarap tanahnya sendiri, sebaliknya, pemilik tanah yang sempit dapat pula menggarap tanah orang lain melalui sewa atau sakap, disamping menggarap tanahnya sendiri. Dengan demikian, penduduk pedesaan tidak hanya menggarap tanah milik, namun juga menggarap lahan orang lain, sehingga menurut pola penguasaannya dapat dikelompokkan menjadi:

1. Pemilik Penggarap murni, yakni petani yang hanya menggarap tanahnya sendiri.


(46)

2. Penyewa dan penyakap murni, yakni mereka yang tidak memiliki tanah tapi mempunyai tanah garapan melalui sewa dan /atau bagi hasil.

3. Pemilik penyewaan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang disamping menggarap tanahnya sendiri juga menggarap tanah orang lain

4. Pemilik bukan penggarap

5. Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang tidak memiliki tanah dan tidak memilik tanah garapan. Sebagian dari mereka adalah buruh tani dan hanya sedikit yang memang tidak bekerja di bidang pertanian.

2.2. Kerangka Pemikiran

Penelitian mengenai Relasi Gender dalam Pemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria, kasus pada rumahtangga petani Desa Cipeuteuy ini didasarkan pada hasil sintesis dari beragam konsep, pendekatan dan teori khususnya mengenai gender dan agraria yang dirumuskan dalam kerangka pemikiran seperti yang tertera pada Gambar 2. Adapun lingkup sumberdaya agraria dalam studi ini mencakup jenis-jenis lahan, meliputi rumah/ pemukiman, sawah, pekarangan, tanah darat, lahan kering atau tegalan, kolam, hutan milik individu (penduduk asli desa/pendatang), komunal, desa, swasta dan atau subjek agraria lainnya, serta taman nasional.

Relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria, dalam studi ini dianggap sebagai variabel-variabel tidak bebas (dependent variable). Keluarga/rumahtangga petani merupakan unit terkecil dalam masyarakat hukum adat pada tingkat sistem kekerabatan, komunitas dan desa (Soekanto, 1979; Soekanto dan Taneko, 1981). Mengacu pada konsep akses dan kontrol dari Hagiss, dkk. dan Agarwal serta hasil empiris dari studi Mugniesyah


(47)

dan Mizuno (2007) pada masyarakat petani lahan kering di Cianjur, relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria pada tingkat keluarga/rumahtangga petani/buruh tani dalam studi ini akan ditelaah melalui indikator-indikator akses dan kontrol anggota rumahtangga petani laki –laki dan perempuan terhadap pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria, serta akses dan kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan dan manfaat pengelolaan sumberdaya agraria.

Sehubungan dengan itu, relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria diukur oleh variabel-variabel :tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas pemilikan sumberdaya agraria (Y1), tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas pemilikan sumberdaya agraria (Y2), tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas penguasaan sumberdaya agraria (Y3), tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas penguasaan sumberdaya agraria (Y4), tingkat kontribusi waktu dalam pengelolaan sumberdaya agraria (Y5), tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan sumberdaya agraria (Y6), tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani, (Y7), dan tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani (Y8).

Selanjutnya, variabel tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas pemilikan sumberdaya agraria (Y1) dan tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas pemilikan sumberdaya agraria (Y2), diduga akan mempengaruhi pola kepemilikan sumberdaya agraria.


(48)

Variabel tingkat akses anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas penguasaan sumberdaya agraria (Y3) dan tingkat kontrol anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan atas penguasaan sumberdaya agraria (Y4) diduga akan mempengaruhi pola penguasaan sumberdaya agraria.

Mengacu pada konsep peranan produktif menurut Mosher (1993) dan pengalaman empiris dari studi terdahulu, seperti laporan Pudjiwati Sajogyo (1991), Mugniesyah, dkk (2001), serta Mugniesyah dan Mizuno (2003), tingkat kontribusi anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan lahan dapat dilihat dari peranan anggota rumahtangga petani dalam mengelola sumberdaya agraria sebagai kegiatan produktif yang secara kualitatif diketahui melalui variabel pembagian kerja dalam mengelola sumberdaya agraria. Secara kuantitatif dilihat dengan tingkat kontribusi waktu anggota rumahtangga petani dalam mengelola sumberdaya agraria (sistem sawah, sistem kebun, hutan rakyat, taman nasional, lahan swasta dan/ negara, kolam, lahan pekarangan, dan lainnya). Adapun kontrol terhadap pengelolaan sumberdaya agraria diukur melalui pola pengambilan keputusan dalam mengelola sumberdaya agraria yang disesuaikan dengan tahapan kegiatan pengelolaan sumberdaya agraria yang dimiliki atau dikuasai oleh anggota rumahtangga petani.

Tingkat akses terhadap manfaat hasil pengelolaan sumberdaya agraria dapat diukur dari akses mengkonsumsi hasil produk, pengelolaan sumberdaya agraria dan akses terhadap hasil penjualan (pendapatan dari produk pengelolaan sumberdaya agraria), sedangkan tingkat kontrol terhadap hasil pengelolaan sumberdaya agraria diukur dengan pola pengambilan keputusan dalam


(49)

menentukan alokasi produk dan pola pengambilan keputusan dalam menentukan alokasi hasil penjualan produk.

Mengingat relasi gender pada tingkat rumahtangga petani merupakan hasil konstruksi sosial budaya masyarakat, dimana rumahtangga petani menjadi anggotanya maka diduga relasi gender dalam pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria dianggap sebagai variabel tidak bebas (dependent variabel) yang dipengaruhi oleh sejumlah variabel yang ada pada masyarakat hukum adat petani. Pola kepemilikan dan penguasaan lahan dipengaruhi oleh sistem kekerabatan. Mengacu kepada Mugniesyah dan Mizuno (2007), dalam kenyataannya individu memperoleh akses dan kontrol dari sistem kekerabatan dengan diakuinya penguasaan dan kepemilikan atas lahan. Sistem kekerabatan yang diduga mempengaruhi tingkat akses dan kontrol anggota rumahtangga petani atau buruh tani laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria terdiri dari sistem nilai yang mengakui status laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga/keluarga (X1) dan hukum adat yang mengatur kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria (X2). Hukum adat mempengaruhi kepemilikan dan penguasaan lahan oleh laki-laki dan perempuan lewat aturan dan tata cara pemberian warisan, hibah, pembelian dan sewa menyewa.

Dalam hal akses dan kontrol terhadap sumberdaya agraria diluar milik, dimungkinkan adanya kelembagaan (sistem nilai dan norma) penguasaan sumberdaya agraria pada tingkat komunitas, masyarakat. Hal ini diduga mempengaruhi relasi gender pada pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria yang akan diukur melalui variabel derajat pengakuan tokoh masyarakat atas kepemilikan laki-laki dan perempuan (X3) dan variabel pencatatan kepemilikan


(50)

lahan dalam Letter C (X4), khusus ditingkat desa serta bukti SPPT iuran desa menurut individu pemiliknya (X5).

Rumahtangga petani merupakan bagian dari sistem kekerabatan yang terdiri dari individu-individu laki-laki dan perempuan. Individu-individu tersebut merupakan suatu entitas yang unik, sehingga setiap individu mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena rumahtangga terdiri dari individu, dimana menurut Grijns dkk. (1992) siklus hidup perempuan mempengaruhi status bekerja mereka, dengan ini maka karakteristik sumberdaya manusia juga ikut menentukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya agraria yaitu dari kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki oleh individu (pendidikan, pengetahuan, dll). Karakteristik individu yang diduga menentukan akses dan kontrol anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria terdiri dari tingkat pendidikan (X6), jenis pekerjaan utama (X7), jenis pekerjaan sampingan (X8), dan status bekerja (X9). Karakteristik sumberdaya rumahtangga diduga juga mempengaruhi tingkat akses dan kontrol anggota rumahtangga petani atau buruh tani laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria melalui tingkat stratifikasi (X10), dan kepemilikan benda berharga (X11).

Sumberdaya agraria memiliki banyak fungsi dan tidak hanya digunakan untuk bercocok tanam. Dengan sumberdaya yang beragam, maka kondisi sumberdaya (X12) agraria diduga mempengaruhi tingkat akses dan kontrol laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria melalui proses pengolahan sumberdaya agraria.


(51)

Relasi Gender dalam Pemilikan dan Penguasaan Sumberdaya Agraria

Y1 : Tingkat akses anggota rumahtangga

petani laki-laki dan perempuan atas pemilikan sumberdaya agraria.

Y2 : Tingkat kontrol anggota rumahtangga

petani laki-laki dan perempuan atas pemilikan sumberdaya agraria

Y3 : Tingkat akses anggota rumahtangga

petani laki-laki dan perempuan atas penguasaan sumberdaya agraria.

Y4 : Tingkat kontrol anggota rumahtangga

petani laki-laki dan perempuan atas penguasaan sumberdaya agraria.

Y5 : Tingkat kontribusi waktu dalam

pengelolaan sumberdaya agraria.

Y6 : Tingkat kontrol anggota rumahtangga

petani laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan sumberdaya agraria

Y7 : Tingkat akses anggota rumahtangga

petani laki-laki dan perempuan terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani.

Y8 : Tingkat kontrol anggota rumahtangga

petani laki-laki dan perempuan terhadap manfaat dari pengelolaan

Sistem kekerabatan

X1 : Sistem nilai yang mengakui status laki-laki dan perempuan dalam keluarga

X2 : Hukum adat yang mengatur kepemilikan laki-laki dan perempuan atas sumberdaya agraria

Pengakuan Komunitas/ Desa

X3 : Derajat pengakuan tokoh

masyarakat terhadap

kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria oleh laki-laki dan perempuan

X4 : Pencatatan pemilikan lahan

dalam letter C

X5 : Bukti SPPT iuran desa menurut

individu pemiliknya

Karakteristik sumberdaya Rumahtangga

X10: Kepemilikan benda berharga

X11: Tingkat stratifikasi

Pola kepemilikan sumberdaya agraria

Pola penguasaan sumberdaya agraria

Kondisi Sumberdaya Agraria

X10 : Proses pengolahan Sumber daya

Agraria

Karakteristik Sumberdaya Manusia

X6 : Tingkat pendidikan

X7 : Jenis pekerjaan utama

X8 : Jenis pekerjaan sampingan

X9 : Status bekerja


(52)

2.3. Definisi Operasional

1. Tingkat pendidikan, merupakan lamanya atau banyaknya pendidikan laki-laki dan perempuan dalam satu rumahtangga yang meliputi pendidikan formal, yakni yang ditempuh di bangku sekolah yang ditamatkan.

2. Jenis pekerjaan menunjuk pada pekerjaan yang dilakukan selama survei, terlepas dari industri atau status dalam pekerjaan yang dimiliki. Jenis pekerjaan diklasifikasikan menjadi: PNS/ABRI, pensiunan PNS/ABRI, petani milik, petani penggarap, buruh tani, pedagang, pemilik warung, buruh angkut dan petani pemilik dan penggarap,

3. Status pekerjaan berkenaan dengan status dalam mendirikan/ membuat usaha atau melakukan suatu pekerjaan yang diklasifikasikan dalam: Berusaha sendiri, berusaha dengan tenaga kerja keluarga, berusaha dengan tenaga kerja upahan, karyawan/ buruh, pekerja keluarga dan berusaha dengan tenaga kerja keluarga dan upahan.

4. Tingkat Akses atas kepemilikan lahan adalah peluang atau kesempatan anggota rumahtangga petani, laki-laki dan perempuan untuk memiliki sumberdaya agraria melalui pembelian, pewarisan dan hibah, yang dibedakan ke dalam milik suami, milik isteri, dan gono-gini. Tingkat akses dikatakan tinggi jika laki-laki dan perempuan mempunyai akses yang sama terhadap lahan orang tua melalui hibah dan pewarisan serta keduanya mempunyai hak yang sama untuk membeli secara individu. 5. Tingkat kontrol atas kepemilikan sumberdaya agraria adalah partisipasi

anggota rumahtangga petani dalam pengambilan keputusan untuk mempertahankan sumberdaya agraria yang dimilikinya (pewarisan, hibah


(53)

orangtua dan yang dibelinya sendiri) untuk membeli dan menjual. Tingkat kontrol atas kepemilikan sumberdaya agraria dikatakan tinggi, jika pengambilan keputusan atas sumberdaya agraria sepenuhnya dilakukan oleh masing-masing individu yang memiliki. Dikatakan rendah jika yang mengambil keputusan adalah pasangannya, dan dikatakan setara jika pengambilan keputusan dilakukan secara bersama-sama.

6. Tingkat Akses atas penguasaan lahan adalah peluang atau kesempatan anggota rumahtangga petani laki-laki dan perempuan untuk menguasai sumberdaya agraria milik orang lain, pemerintah, swasta atau lainnya dengan sistem kontrak yang dibedakan ke dalam sistem sewa, gadai, bagi hasil, gadai akad dan atau lainnya sesuai temuan di lapangan. Tingkat akses atas penguasaan lahan dikatakan tinggi jika laki-laki dan perempuan mempunyai akses yang sama untuk menguasai sumberdaya agraria milik orang lain, pemerintah, swasta atau lainnya dengan sistem kontrak.

7. Tingkat Kontrol atas penguasaan lahan adalah kekuasan yang dimiliki anggota rumahtangga petani dalam pengambilan keputusan untuk menyewa, menyakap/bagi hasil, untuk gadai akad, menggarap lahan pemerintah. Tingkat kontrol atas penguasaan lahan dikatakan tinggi, jika sepenuhnya dilakukan oleh masing-masing individu yang menguasai, dan dikatakan rendah jika yang mengambil keputusan adalah individu pasangannya, dan dikatakan setara jika pengambilan keputusan dilakukan bersama-sama.

8. Tingkat Kontribusi Waktu dalam pengelolaan lahan adalah curahan waktu (jam kerja dan hari kerja) anggota rumahtangga petani, laki-laki dan


(54)

perempuan dalam pengelolaan usahatani mencakup proses produksi dan pasca panen, sesuai temuan di lapangan.

9. Tingkat Kontrol dalam pengelolaan lahan adalah kekuasan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga petani untuk mengambil keputusan dalam aktivitas pengelolaan lahan usahatani yang mencakup proses produksi dan pasca panen. Tingkat kontrol dalam pengelolaan lahan dikatakan tinggi jika dilakukan oleh suami dan istri setara, rendah jika suami atau istri saja, dan sedang jika suami dan istri tapi salah satu diantaranya dominan.

10. Tingkat Akses terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani adalah peluang yang diperoleh anggota rumahtangga petani untuk menikmati hasil produksi secara langsung dan hasil penjualan produksi untuk pemenuhan kebutuhan pribadi dan rumahtangga. Diketahui dari ikut tidaknya individu mengonsumsi pangan dan menikmati hasil jumlah dalam nilai rupiah .

11. Tingkat Kontrol terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani adalah kekuasan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga petani untuk menikmati hasil produksi secara langsung dan hasil penjualan produksi untuk mengambil keputusan dalam pemanfaatan hasil produksi dan hasil penjualan produksi untuk kebutuhan pribadi maupun rumahtangga.

12. Pola pemilikan sumberdaya agraria adalah kombinasi dari beragam bentuk kepemilikan lahan pada rumahtangga petani, yang dibedakan ke dalam : kombinasi semua bentuk kepemilikan (kombinasi tiga bentuk milik: S-I-G; kombinasi dua bentuk kepemilikan: S-I, S-G, I-S-I-G; dan salah satu bentuk kepemilikan saja S,I,G).


(1)

untuk berkontribusi dalam penghidupan keluarga selayaknya suami mereka bekerja, meskipun jumlahnya masih lebih rendah dan penghasilannya masih relatif lebih rendah daripada yang diperoleh laki-laki. Hal ini diduga dipengaruhi oleh masih kuatnya pemikiran penduduk, bahwa pencari nafkah utama adalah laki-laki sedangkan perempuan yang berpenghasilan hanya membantu suaminya, sehingga tidak berkontribusi penuh dalam pendapatan keluarga.

Jika dianalisis melalui jenis kelaminnya, jumlah perempuan yang berstatus sebagai pekerja keluarga lebih banyak dari jumlah anggota rumahtangga laki-laki. yakni sebesar 26 orang dari 82 orang anggota rumahtangga perempuan yang mempunyai pekerjaan utama. Dengan demikian sebanyak 26 orang perempuan yang mengaku mempunyai pekerjaan utama tidak memperoleh penghasilan dari apa yang mereka kerjakan, namun tetap berkontribusi dalam penghasilan keluarga dengan tenaganya yang menghemat tenaga upahan.

Mengutip pernyataan Mugniesyah dan Mizuno (2007) bahwa sistem kekerabatan akan mempengaruhi dinamika internal rumahtangga petani, termasuk relasi gender dalam hal kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan. Selanjutnya ditemukan tiga bentuk sistem pewarisan yang berlaku di Desa Cipeuteuy, dimana yang pertama, sistem pewarisan menggunakan syari’at Islam (2:1), dan kebijakan penambahan bagian pun akan lebih besar kepada laki-laki. Sejalan dengan yang ditemukan Mugniesyah (2003) pada Desa Kemang, Cianjur, sistem pembagian waris kedua dilakukan dengan dua tahapan. Tahapan pertama dilakukan dengan cara Islam, dan dilanjutkan dengan tahapan kedua sesuai dengan kebijakan keluarga dan kondisi masing-masing anak laki-laki dan anak perempuan. Adapun pembagian warisan dengan pemikiran yang ketiga lebih mengedepankan keadilan


(2)

yang merata antara laki-laki dan perempuan, dengan membagi rata antara laki-laki dan perempuan. Cara inilah yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Desa Cipeuteuy secara umum.

Berangkat dari adanya sistem pewarisan yang terjadi pada masyarakat Sunda yang Bilateral, maka di lapangan diperoleh dua kategori kepemilikan sumberdaya agraria. Adapun kepemilikan yang pertama adalah kepemilikan sumberdaya agraria oleh laki-laki/suami dan perempuan/istri secara individu, yakni berupa warisan/hibah. Kategori kedua adalah gono-gini atau guna kaya, dimana kepemilikannya merupakan kepemilikan bersama yang diperoleh setelah menikah melalui pembelian dari hasil keduanya dan jika terjadi perceraian, maka harta tersebut akan dibagi agar masing-masing memperoleh bagiannya.

Dari bentuk kepemilikan tersebut kemudian ditemukan kombinasi tiga bentuk kepemilikan dan pola-pola kepemilikan. Kombinasi yang pertama adalah kombinasi satu bnetuk kepemilikan saja, yakni milik suami (S), milik istri (I) dan gono-gini (G). Selanjutnya adalah kombinasi dua bentuk kepemilikan yakni milik suami dan milik istri (S-I), milik suami dan gini (S-G), milik istri dan gono-gini (I-G). Yang terakhir adalah kombinasi tiga bentuk kepemilikan dalam satu rumahtangga yakni milik suami, milik istri dan gono-gini (S-I-G).

Selanjutnya ditemukan tujuh bentuk penguasaan lahan yang ada pada tiga kampung kasus, terdiri dari satu bentuk penguasaan lahan yakni garap, sewa, bagi hasil dan hibah. Kombinasi dua bentuk penguasaan lahan, yakni garap-bagi hasil dan sewa- bagi hasil dan komposisi dari tiga betuk penguasaan lahan yakni garap- sewa- hibah.


(3)

Menurut tingkat stratifikasinya perempuan pada rumahtangga sampel memiliki hak kepemilikan secara adat (customary right of posession1) lebih dari 52,7 persen dengan 35,8 persen pada stratum atas 11,5 persen pada stratum menengah dan 5,4 persen pada stratum bawah. Selanjutnya, lebih dari 34,2 persen, sekitar 18,0 persen luas lahan stratum atas, 10,4 persen luas lahan stratum menengah dan 5,7 persen luas lahan stratum bawah merupakan lahan dimana perempuan memiliki hak pembagian secara khusus (exclusive right of disposal)2 atas kepemilikan lahan. Sedangkan perempuan juga memiliki hak kepemilikan secara sah (customary legal right)3 sama dengan laki-laki lebih dari 5,1 persen luas lahan stratum atas yang dimiliki oleh rumahtangga kasus, 5,6 persen luas lahan stratum menengah dan 2,5 persen luas lahan pada stratum bawah.

Dari pola pengambilan keputusan tersebut diketahui bahwa meskipun persentasenya lebih rendah dari laki-laki, namun perempuan memiliki partisipasi dalam pengambilan keputusan yang cukup tinggi karena selain sebesar 21,4 persen pengambilan keputusan dilakukan oleh perempuan sendiri, masih terjadi pengambilan keputusan yang melibatkan perempuan sebanyak 37,1 persen. Menurut pemaparan responden dalam FGD dan wawancara mendalam yang dilakukan di kampung Cisalimar diungkapkan bahwa perempuan dan laki-laki tetap menjadi pelaku utama dan penentu utama atas masing-masing sumberdaya agraria yang dimilikinya, namun keduanya tetap saling membantu dalam pengelolaannya.

1

Perempuan memiliki hak kepemilikan secara adat, atau yang disebut oleh Mugniesyah sebagai customary right of posession sebanyak lebih dari jumlah lahan yang dimiliki oleh laki-laki.

2

Perempuan mempunyai hak pembagian secara khusus sebanyak lebih dari jumlah persentase yang dimiliki oleh perempuan

3

Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk memiliki lahan secara individu sebanyak lebih dari persentase lahan gono-gini.


(4)

Pengelolaan sumberdaya agraria merupakan cara bagaimana lahan tersebut termanfaatkan. Di tiga kampung kasus, dikembangkan beberapa komoditi yang tentunya memiliki cara tanam dan perlakuan yang bervariasi. Keberagaman komoditas dan kondisi sumberdaya agraria tersebut yang lantas mempengaruhi kontribusi ART laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan lahan.

Tenaga kerja keluarga laki-laki memiliki kontribusi waktu lebih banyak daripada tenaga kerja keluarga perempuan pada lahan kering dan lahan sawah. Lain halnya dengan tenaga kerja luar keluarga, dimana kontribusi buruh perempuan dua kali lipat lebih tinggi dibanding buruh lak-laki pada lahan padi-sawah, namun tidak demikian pada lahan kebun yang membutuhkan waktu lebih banyak untuk pengelolaannya. Kemudian, jika dibandingkan dengan hari kerja pada lahan kebun, maka sesungguhnya, kontribusi waktu yang dialokasikan pada lahan kebun, lebih lama dibandingkan lahan padi-sawah meskipun umur tanamnya lebih lama padi dibandingkan tanaman hortikultura.

Untuk kegiatan-kegiatan yang membutuhkan kontribusi dengan rata-rata hari kerja terbanyak dilakukan oleh laki-laki yakni pada kegiatan pengolahan lahan dan pengontrolan hama, sedangkan perempuan memiliki jumlah tinggi pada kegiatan persemaian dan panen. Pada stratum atas dan menengah, seterusnya pada stratum bawah keduanya memiliki akses yang sama, selanjutnya perempuan lebih akses pada kebutuhan rumahtangga dan pada hasil produksi, karena beberapa responden mengaku bahwa laki-lakinya yang bekerja di luar sektor usahatani memiliki akses yang lebih kecil dari perempuan. Akses perempuan dikatakan kurang pada pemenuhan kebutuhan pribadi karena perempuan cenderung mengutamakan pemenuhan kebutuhan rumahtangga daripada kebutuhan pribadi.


(5)

Pada usahatani kebun, terlihat sekali adanya kesenjangan antara persentase rumahtangga yang berpola pengambilan keputusan secara individu (suami sendiri dan perempuan sendiri). Pada lahan kebun perempuan tetap memiliki kontrol yang tinggi pada kegiatan penyiangan dan persemaian, diduga karena perempuan menjadi pelaku pada proses persemaian/bungbung pada tanaman cabai dan tomat. Sedangkan kontrol atas kegiatan lainnya masih dilakukan oleh suami dan bersama (suami istri, suami dominan; suami istri setara; suami istri, istri dominan) kontrol perempuan sangat rendah pada lahan kebun dikarenakan proses usahatani cukup rumit. Disamping itu lahan usahatani kebun merupakan satu-satunya pendapatan yang diperoleh, karena lahan sawah hanya untuk dikonsumsi secara pribadi (subsisten) sehingga pengambilan keputusan pada lahan usahatani sawah akan menentukan pendapatan rumahtangga. Dari hasil wawancara mendalam, perempuan di kampung Sukagalih menyatakan bahwa mereka memiliki kontrol yang tinggi atas lahan kebun, mereka selama ini hanya membantu menjadi pekerja keluarga, jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Relasi gender dalam rumahtangga petani atas kepemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria dipengaruhi pula oleh tingkat akses dan kontrol terhadap manfaat dari pengelolaan usahatani. Kegiatan usahatani yang dilakukan oleh anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan bertujuan untuk mendukung penghidupan keluarga. Hasil pengelolaan lahan usahatani padi-sawah adalah beras yang menjadi makanan pokok pada setiap rumahtangga, sedangkan hasil dari lahan kebun adalah komoditas-komoditas hortikultura yang dapat dikonsumsi dan dijual untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk uang. Dengan demikian akses


(6)

anggota rumahtangga laki-laki dan perempuan terhadap pengelolaan usahatani menentukan akses anggota ruamah tangga laki-laki dan perempuan terhadap manfaat dari pengelolaan sumberdaya agraria. Secara keseluruhan perempuan memiliki akses terhadap manfaat pengelolaan lahan lebih besar dari laki-laki.

Perempuan lebih akses pada kebutuhan rumahtangga dan pada hasil produksi, karena beberapa responden mengaku bahwa laki-lakinya yang bekerja di luar sektor usahatani memiliki akses yang lebih kecil dari perempuan. Dalam pemanfaatan hasil pengelolaan sumberdaya agraria, akses perempuan dikatakan kurang pada pemenuhan kebutuhan pribadi karena perempuan cenderung mengutamakan pemenuhan kebutuhan rumahtangga daripada kebutuhan pribadi.


Dokumen yang terkait

Konflik Agraria (Studi Etnografi Di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara)

1 109 111

Analisis Produksi dan Efisiensi Ekonomi Relatif Usahatani Jagung Manis (Kasus di Desa Titisan, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat).

1 9 147

Dimensi Gender dalam Agroforestry Kajian pada Komunitas Petani di Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat

0 18 7

Peranan Pariwisata dalam Perekonomian Daerah Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat

1 17 86

Pengembangan Masyarakat Sebagai Pendekatan Pengembangan Wilayah Perdesaan. (Studi Kasus pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)

0 48 410

Struktur Penguasaan Tanah Masyarakat dan Upaya Membangun Kedaulatan Pangan (Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)

1 13 176

Pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumberdaya hutan: studi kasus pada masyarakat Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi Jawa Barat

0 8 50

Perubahan Pola Interaksi Masyarakat Dengan Hutan di Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

1 11 167

Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 5 108

Pengembangan Masyarakat Sebagai Pendekatan Pengembangan Wilayah Perdesaan. (Studi Kasus pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)

2 29 200