struktur sosial yang terdiri dari setting ideologi, etika moral ekonomi, dan sistem nilai yang berlaku. Kedua elemen ini satu sama lain saling berkaitan dan menjadi
dasar pengembangan sistem kelembagaan ekonomi di masyarakat pedesaan. Dari elemen supra struktur sosial masyarakat kasepuhan yang mewakili masyarakat
pedesaan tradisional setting ideologi, etika moral ekonomi dan sistem adat yang berlaku dilandaskan pada peraturan adat dimana manusia selaras dengan alam.
Dengan sendirinya kelembagaan sosial dan tatanan sosial yang dibuat selalu menjaga agar terjadi harmonisasi dengan alam sekitarnya. Oleh karenanya
kelembagaan ekonomi yang dibangun masih berupa sistem produksi subsisten yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri.
Masyarakat Desa Sinar Resmi dalam kehidupan sehari-hari patuh terhadap peraturan adat yang berlaku. Peraturan adat sebagai infrastruktur sosial dalam
komunitas ini dilandasi oleh supra struktur sosial yang menyelaraskan kehidupan antara manusia dengan alam.
6.3 Pertanian Agro-ekologis
Ideologi yang paling mendasar pada masyarakat ini adalah menjunjung tinggi falsafah hidup “Ibu Bumi Bapak Langit dan Guru Mangsa”. Falsafah
tersebut berarti bahwa manusia tergantung dengan alam seperti anak yang tergantung pada ibunya. Oleh karena itu, dimanapun tempat tinggalnya harus
selalu menghormati alam di tempat tinggalnya. Falsafah ini yang kemudian juga diwujudkan dengan adanya aturan bahwa menanam padi hanya boleh satu tahun
sekali. Menurut falsafah ini “ibu” sebagai bumi dengan Dewi Sri sebagai simbol kesuburan diibaratkan seperti ibu dan tanaman merupakan anak-anaknya. Oleh
karena itu,jika bumi dieksploitasi dengan menanam padi lebih dari satu kali dalam satu tahun sama seperti seorang ibu yang dipaksakan melahirkan anak lebih dari
satu tahun sekali, maka bumi akan menjadi rusak. Dasar falsafah ini menitikberatkan pada penyelarasan manusia dengan alam. Dalam istilah ekologi
falsafah ini dapat disejajarkan dengan agro-ekologis, sehingga kebutuhan manusia terpenuhi namun alam tidak mengalami krisis ekologi yang berlebihan. Dari
falsafah tersebut, masyarakat Sinar Resmi mengembangkan tiga konsep adat sebagai dasar kelembagaantatanan kehidupan sehari-hari norma, yaitu:
a Nyangkulu ka hukum, yang lebih tinggi dari kepala adalah hukum
sehingga hukum harus asli dan diikuti oleh masyarakat. Manusia jika ingin teratur maka harus mengikuti aturan yang dibuat oleh pencipta manusia.
Menurut dasar ini, norma utama yang harus dipegang oleh masyarakat adalah aturan agama. Dalam hal ini, bagi anggota masyarakat aturan
agama yang dipegang adalah aturan agama Islam. b
Nunjang ka nagara, norma kedua yang harus dipatuhi oleh anggota komunitas adalah ketundukan kepada peraturan negara hukum formal.
Dengan dasar ini sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia, masyarakat kasepuhan juga merupakan warga negara dan sebagai warga
negara harus patuh terhadap hukum yang berlaku di negara ini. Salah satu bentuk kepatuhan anggota komunitas adalah mendukung program-
program yang dicanangkan oleh pemerintah sepanjang tidak bertentangan dengan falsafah hidup dan hukum agama yang dipegang oleh masyarakat.
c Mupakat jeng balarea, norma yang ketiga bermanfaat untuk mengambil
keputusan yang menjadi landasan dalam penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam norma ini, pengambilan keputusan harus
didasarkan pada musyawarah. Hal ini untuk memutuskan permasalahan – permasalahan yang tidak ada dalam aturan agama atau aturan negara.
Terkadang juga untuk menentukan keputusan apakah program-program pemerintah sesuai atau tidak dengan falsafah adat yang dijunjung. Hal ini
terutama terkait dengan program modernisasi pedesaan dan pertanian yang seringkali bertentangan dengan falsafah adat.
Ketiga norma di atas oleh masyarakat harus dilakukan secara bersama- sama. Jika norma-norma tersebut dilanggar, maka hidupnya di dunia tidak akan
selamat. Untuk menuntun aktivitas kehidupan anggota komunitas, banyak simbol- simbol adat yang dibuat yang menggambarkan tiga persenyawaan:
1. Tilu sapanulu: tekad, ucap, lampah niat, ucapan, tindakanperilaku.
Ketiga hal ini harus sama-sama dilakukan dimana setiap tindakan yang diambil harus sesuai dengan apa yang diniatkanhati dan ucapan.
2. Dua saka rupa: buhunmukaha, nagara, syara aturan adat, pemerintah
dan agama. Tiga kesatuan ini merupakan norma yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat dan tidak boleh dipisahkan.
3. Nu hiji eta kene: nyawaruh, raga, pakaian. Manusia harus memiliki
ketiganya sehingga memiliki kemanusiaan. Jika tidak maka tidak akan disebut sebagai manusiawi karena manusia tanpa nyawa berarti mayat,
manusia tanpa raga berarti makhluk gaib tidak terlihat dan manusia tanpa pakaian diibaratkan makhluk hidup yang telanjang hewan.
Dari ketiga kesatuan tersebut kemudian dijadikan pegangan masyarakat dalam bentuk aturan-aturan adat yang tidak tertulis untuk menjaga agar
masyarakat hidup dengan teratur. Bagi masyarakat modern sekarang ini, bentuk- bentuk dari penerapan dari aturan ini dikenal dengan kearifan lokal. Bagi
masyarakat Sinar Resmi, kearifan lokal ini dikembangkan dalam pengelolaan sumberdaya alam baik tanah, air maupun hutan. Ketiga komponen tersebut
merupakan sumber alam yang mendukung sistem penghidupan masyarakatnya dan diatur dalam kelembagaan.
Sistem kelembagaan masyarakat tersebut diwujudkan dalam bentuk tata aturan budidaya padi mulai dari menanam sampai menyimpan ke dalam leuit
dengan beragam tata upacara adat didalamnya. Dalam budidaya tanaman padi mulai dari pola tanam memperlihatkan bahwa tanah yang diibaratkan sebagai
“ibu” tidak boleh dipaksakan untuk ditanami lebih dari sekali dalam satu tahun. Jika dipaksa seperti seorang ibu yang harus melahirkan dua orang anak dalam satu
tahun maka dalam jangka waktu pendek akan mengalami kerusakan sehingga tidak dapat digunakan kembali. Oleh karena itu, meskipun mendapat beberapa
lahan sawah yang pengairannya mengalir sepanjang tahun tetap hanya dilakukan penanaman padi sekali dalam setahun. Hal ini sesuai dengan penuturan tokoh adat
di kasepuhan: “…masyarakat sini masih menjalankan pola tanam satu kali
setahun dan menggunakan pupuk buatan sendiri kotoran ternak untuk kegiatan pertanian. Bibit yang ditanam adalah bibit padi
lokal. Hasil panen padi lokal disimpan dalam leuit…”
Padi sebagai tanaman pokok masyarakat sesuai dengan tiga persenyawaan diatas juga tidak boleh untuk dijual dalam bentuk beras maupun olahannya. Padi
yang dijual dalam bentuk beras diibaratkan sama dengan manusia yang menjual diri. Dengan kiasan tersebut memperlihatkan bahwa dalam upaya menjaga
kedaulatan pangan masyarakat keberadaan padiberas yang merupakan bahan pokok untuk bertahan hidup tetap dijaga. Karena hal inilah, pengenalan program
yang memperkenalkan pola tanam padi tiga kali dalam satu tahun ‘ditolak’ oleh anggota komunitas melalui pimpinan adatnya.
6.4 Lumbung Pangan