2.1.2.2 Hak Gadai
Gadai yaitu menyerahkan tanah kepada seorang kreditor yang kemudian punya hak menggunakan tanah itu selama jangka waktu berlakunya pinjaman
Breman dan Wiradi, 2004. Sama halnya dengan sewa, gadai juga memberikan hak penguasaan tanah secara sementara. Pembayaran pinjaman dapat berupa
sekuintal gabah atau sekian gram emas perhiasan atau sekian ekor sapi atau kerbau. Pemilik tanah dapat memperoleh tanahnya kembali bila ia telah
menebusnya. Selama pemilik tanah belum dapat menebus, maka hak penguasaan atas tanahnya ada pada pemegang gadai. Pengembalian tanah dilakukan setelah
tanamannya selesai dipanen Wiradi dan Makali, 1984. Pada sistem gadai, petani kecil berpeluang untuk kehilangan tanahnya
sedangkan pemilik tanah besar justru berpeluang untuk mengakumulasikan tanahnya. Proses kehilangan tanah pada petani kecil dapat terjadi bila mereka
tidak dapat membayar hutang. Tanah ditukar sebagai jaminan atas uang yang mereka pinjam. Tanah yang dijadikan jaminan berpindah tangan kepada si
peminjam uang sebagai ganti atas hutang yang tidak bisa mereka bayar Breman dan Wiradi, 2004.
Sebaliknya proses akumulasi tanah dapat terjadi pada petani kaya dikarenakan dua hal, yaitu: 1 Mereka dapat membayar hutang, sehingga tanah
dikembalikan pada si pemilik. Ini berarti tanah mereka tidak hilang, 2 Uang yang mereka dapatkan dari menggadaikan tanah digunakan untuk mendapatkan
uang tunai. Selanjutnya dipergunakan untuk membeli tanah atau menanam modal. Tanah yang dimiliki petani kaya bertambah luas karena adanya pembelian tanah
hasil dari uang gadai. Hasil dari usaha mereka ini kemudian mereka gunakan untuk membayar kembali uang yang sudah mereka pinjam Breman dan Wiradi,
2004.
2.1.2.3 Bagi Hasil
Bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang lain untuk diusahakan, dengan perjanjian si penggarap akan menanggung beban tenaga
kerja seluruhnya, dan menerima sebagian dari hasil tanahnya. Dengan cara bagi hasil ini, maka si pemilik tanah turut menanggung resiko kegagalan. Inilah yang
membedakannya dari sistem sewa-menyewa. Dalam sistem sewa, pemilik tanah
sama sekali tidak menanggung resiko. Besar kecilnya bagian hasil yang harus diterima oleh masing-masing pihak pada umumnya telah disepakati bersama oleh
pemilik dan penggarap sebelum penggarap mulai mengusahakan tanahnya Wiradi dan Makali, 1984.
Masalah penguasaan dan macam-macam hak atas tanah, dalam Undang- Undang Pokok Agraria UUPA tahun 1960 diatur dalam pasal 4, pasal 16, dan
pasal 53 yang menyebutkan bahwa: adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-
orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan- badan hukum. Hak tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah
yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah, dalam batas-batas menurut undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi pasal 4 UUPA Tahun 1960.
Selanjutnya dalam pasal 16 ayat 1 UUPA Tahun 1960, dijelaskan macam-macam hak atas tanah yang meliputi: a hak milik, b hak guna usaha, c hak guna
bangunan, d hak pakai, e hak sewa, f hak membuka tanah, g hak memungut hasil hutan, dan h hak-hak lain termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak-hak penguasaan tanah yang sifatnya sementara, diatur dalam pasal 53 UUPA
Tahun 1960 yang menunjukkan pada hak gadai, hak usaha bagi-hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk membatasi sifat-sifatnya
yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat.
Selanjutnya mengenai bagi hasil, pada UUPA No. 2 Tahun 1960, tentang perjanjian bagi hasil dijelaskan bahwa: perjanjian bagi hasil ialah perjanjian
dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam UU ini disebut:
penggarap – berdasarkan perjanjian dimana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik,
dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.
2.1.3 Sistem Pemilikan Tanah