Analisis kinerja kelembagaan pangan local terhadap peningkatan ketahanan pangan rumahtangga miskin di Kasepuhan Sinar Resmi Kabupaten Sukabumi

(1)

ANALISIS KINERJA KELEMBAGAAN PANGAN LOKAL

TERHADAP PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN

RUMAHTANGGA MISKIN DI KASEPUHAN SINAR RESMI

KABUPATEN SUKABUMI

DANI RATMOKO

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

RINGKASAN

DANI RATMOKO. Analisis Kinerja Kelembagaan Pangan Lokal terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan Rumahtangga Miskin di Kasepuhan Sinar Resmi Kabupaten Sukabumi. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT dan KASTANA SAPANLI.

Ketahanan pangan merupakan sektor yang rentan terhadap kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kerawanan pangan dan status gizi buruk yang meningkat di daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Namun, di Kasepuhan Sinar Resmi yang masyarakatnya tergolong miskin dengan sistem kelembagaan lokal yang baik tingkat kerawanan pangan dan status gizi buruk tidak terlalu signifikan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui dampak adanya kelembagaan terhadap peningkatan ketahanan rumahtangga miskin di masyarakat Kasepuhan, Kabupaten Sukabumi yang dilaksanakan selama bulan April 2011 dengan menggunakan data primer dan sekunder. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan biaya transaksi.

Kelembagaan pangan yang terdapat di Kasepuhan Sinar Resmi telah berjalan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya. Meskipuan aturan tersebut hanya bersifat informal dan tidak tertulis tetapi masyarakat taat pada aturan tersebut. Analisis kelembagaan yang digunakan yaitu analisis aktor dan aturan yang meliputi boundary rule, sanksi, monitoring, dan penyelesaian konflik. Adapun aturan kelembagaan yang berdampak terhadap peningkatan ketahanan pangan antara lain: aturan dalam sistem lahan garapan dan sistem penyimpanan pangan. Analisis kinerja kelembagaan dengan parameter berupa kejelasan kelembagaan dan keefektivan kelembagaan dengan outcome

yaitu ketahanan pangan yang meliputi stabilitas persediaan pangan, pendapatan, dan preferensi pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persediaan pangan masyarakat tergolong cukup sehingga mampu meningkatkan ketahanan pangan masing-masing rumahtangga. Total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh masyarakat kasepuhan setiap tahunnya mancapai Rp 63.125.000. Biaya tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu biaya pengambilan keputusan sebesar Rp 525.000 dan biaya operasional bersama sebesar Rp 62.600.000.

Kata kunci: kelembagaan pangan, kemiskinan, kelembagaan, biaya transaksi.

ketahanan pangan, kinerja


(3)

ANALISIS KINERJA KELEMBAGAAN PANGAN LOKAL

TERHADAP PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN

RUMAHTANGGA MISKIN DI KASEPUHAN SINAR RESMI

KABUPATEN SUKABUMI

DANI RATMOKO

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Kinerja Kelembagaan Pangan Lokal terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan Rumahtangga Miskin di Kasepuhan Sinar Resmi Kabupaten Sukabumi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Dani Ratmoko H44070014

             


(5)

ANALISIS KINERJA KELEMBAGAAN PANGAN LOKAL

TERHADAP PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN

RUMAHTANGGA MISKIN DI KASEPUHAN SINAR RESMI

KABUPATEN SUKABUMI

DANI RATMOKO H44070014

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(6)

Judul : Analisis Kinerja Kelembagaan Pangan Lokal terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan Rumahtangga Miskin di Kasepuhan Sinar Resmi Kabupaten Sukabumi

Nama : Dani Ratmoko NRP : H44070014

Menyetujui,

Mengetahui,

Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003

Tanggal Lulus:

Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003

Dosen Pembimbing II

Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si NIP. -


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih pertama kali penulis tujukan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat yang dianugerahkan kepada penulis serta kepada Nabi besar Muhammad SAW sang penuntun manusia menuju jalan terang. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama kepada:

1. Ibunda Ratinem dan Ayahanda Rokhmadi yang penulis cintai, terima kasih atas doa-doa, nasihat-nasihat, dukungan, dan segala kasih sayang serta cintanya kepada penulis. Adik-adikku Ina, Hari, Chariz, Sefi dan Kakakku Rina.

2. Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT dan Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan pembelajaran kepada penulis demi terselesaikannya skripsi ini dengan baik. 3. Bapak Ir. Ujang Sehabudin dan Adi Hadianto, S.P, M.Si selaku dosen penguji

utama dan penguji perwakilan departemen yang telah memberikan ilmu dan masukan agar skripsi ini menjadi lebih baik.

4. Donatur beasiswa dari PT Indofood Sukses Makmur yang telah memberikan bantuan finansial selama penelitian.

5. Segenap Dosen dan Staf pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan dan Departemen Gizi Masyarakat yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama proses perkuliahan.

6. Seluruh masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan informasi yang telah diberikan.

7. Teman-teman satu bimbingan Mia, Oi, Erin, Putri, Awi dan teman satu tempat penelitian Saleh dan Andra.

8. Teman-teman Mia, Junita, Waqif, Fiandra, Ario, Anggun, serta teman-teman ESL 44 yang tidak dapat disebutkan satu per satu.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta kenikmatan yang melimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Kinerja Kelembagaan Pangan Lokal terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan Rumahtangga Miskin di Kasepuhan Sinar Resmi Kabupaten Sukabumi”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah menganalisis kinerja dan tata kelola kelembagaan pangan lokal yang ada di Kasepuhan Sinar Resmi serta mengestimasi biaya transaksi dalam kelembagaan tersebut menggunakan analisis biaya transaksi. Kinerja kelembagaan dapat digunakan untuk menganalisis ketahanan pangan di Kasepuhan Sinar Resmi.

Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya pihak yang terkait dengan penelitian ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan petunjukNya kepada kita semua.

Bogor, Juli 2011

Dani Ratmoko H44070014


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL…...………... i

HALAMAN PERNYATAAN………... ii

RINGKASAN……… iii

HALAMAN JUDUL………. iv

HALAMAN PENGESAHAN………... v

UCAPAN TERIMA KASIH………. vi

KATA PENGANTAR………... vii

DAFTAR ISI………. viii

DAFTAR TABEL………. xi

DAFTAR GAMBAR………. xiii

DAFTAR LAMPIRAN………. xiv

I. PENDAHULUAN……….. 1

1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Perumusan Masalah………... 4

1.3 Tujuan Penelitian………... 8

1.4 Manfaat Penelitian………. 8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian………. 8

1.6 Keterbatasan Penelitian………. 9

II. TINJAUAN PUSTAKA………... 10

2.1 Teori Kelembagaan………... 10

2.1.1 Sifat Dasar Kelembagaan……… 11

2.1.2Tiga Lapis Kelembagaan………. 12

2.1.2.1 Kelembagaan sebagai Norma-Norma dan Konvensi….. 12

2.1.2.2 Kelembagaan sebagai Aturan Main……… 13

2.1.2.3 Kelembagaan sebagai Pengeturan Hubungan Kepemilikan………... 13

2.1.3 Kinerja Kelembagaan………. 14

2.2 Konsep Transaksi……….. 15

2.2.1 Konsep Biaya Transaksi………. 16

2.2.2 Biaya Transaksi Manajerial……… 17

2.3 Ketahanan Pangan………. 17

2.4 Rumahtangga Miskin……… 18

2.5 Karakteristik Rumahtangga serta Hubungannya dengan Ketahanan Pangan………. 19

2.5.1 Ukuran Rumahtangga………. 19

2.5.2 Pendidikan……….. 20


(10)

2.5.4 Pengambilan Keputusan Rumahtangga……….. 21

2.5.5 Akses Rumahtangga Terhadap Pangan………... 22

2.5.5.1 Ketersediaan Pangan Wilayah……… 22

2.5.5.2 Kemiskinan dan Masalah Pangan dan Gizi……… 22

2.5.5.3 Manajemen Stok dan Stabilitas Harga Pangan………... 23

2.6 Kearifan Lokal dalam Kelembagaan Pangan……… 24

2.6.1 Konsep Kelembagaan Pangan……… 24

2.6.2 Lumbung Pangan Sebagai Instrumen Ketahanan Pangan….. 26

III. KERANGKA PEMIKIRAN……… 28

3.1 Kerangka Pemikiran Operasional……….. 28

IV. METODE PENELITIAN……… 31

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian………... 31

4.2 Jenis dan Sumber Data……….. 31

4.3 Metode Pengambilan Sampel……… 32

4.4 Metode dan Prosedur Analisis………... 33

4.4.1 Analisis Kelembagaan dan Tata Kelola Pangan yang Berdampak terhadap Ketahanan Pangan Rumahtangga…… 33

4.4.2 Analisis Kinerja Kelembagaan………... 35

4.4.3 Analisis Biaya Transaksi……… 36

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN……… 38

5.1 Kondisi Topografi………. 38

5.2 Kondisi Demografi……… 39

5.3 Sarana dan Prasarana Desa……… 41

5.4 Mata Pencaharian……….. 42

5.5 Sejarah Kasepuhan Sinar Resmi………... 43

5.6 Gambaran Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi……….. 45

VI. KELEMBAGAAN DAN TATA ATURAN KASEPUHAN SINAR RESMI………. 48

6.1 Aktor Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi………... 48

6.2 Aturan Adat Kasepuhan Sinar Resmi……… 51

6.2.1 Boundary Rule, Sanksi, dan Monitoring Terhadap Aturan… 51 6.2.2 Aturan Akses terhadap Sumberdaya dan Penyelesaian Konflik……… 55

6.2.3 Aturan dalam Kelembagaan Pangan yang Berdampak terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan……….. 57

6.2.3.1 Aturan Kelembagaan Sebelum Masa Tanam Padi……. 58

6.2.3.2 Aturan Kelembagaan Pangan dalam Menanam Padi….. 59

6.2.3.3 Aturan Kelembagaan Pangan Pascapanen Padi……….. 61

6.2.3.4 Aturan Waktu Menanam Padi………. 64

VII. ANALISIS KINERJA KELEMBAGAAN PANGAN LOKAL……… 67

7.1 Kejelasan Kelembagaan Pangan Lokal………. 67

7.1.1 Kejelasan Struktur Kelembagaan……… 67


(11)

7.1.1.2 Uraian Kerja Pengurus Kelembagaan………. 69

7.1.1.3 Pengetahuan Anggota terhadap Susunan Kelembagaan 69 7.1.1.4 Periode Pergantian Kepengurusan……….. 70

7.1.2 Kejelasan Aturan Kelembagaan……….. 71

7.1.3 Pengetahuan Anggota terhadap Kelembagaan……….. 71

7.2 Keefektifan Kinerja Kelembagaan………... 72

7.2.1 Partisipasi dalam Kelembagaan……….. 72

7.2.1.1 Kesempatan Mengemukakan Pendapat……….. 73

7.2.1.2 Kesempatan dalam Berdiskusi……… 73

7.2.1.3 Motivasi dalam Melaksanakan Kegiatan……… 73

7.2.2 Efektivitas Kelembagaan……… 74

7.2.2.1 Perubahan Perilaku………. 74

7.2.2.2 Perubahan Hasil Panen………... 75

7.2.2.3 Tingkat Keberhasilan Kegiatan……….. 76

7.3 Karakteristik Ketahanan Pangan Rumahtangga Miskin……… 77

7.3.1 Tingkat Umur……….. 77

7.3.2 Tingkat Pendidikan………. 78

7.3.3 Mata Pencaharian Sampingan Selain Pertanian……….. 79

7.3.4 Penguasaan Lahan………... 80

7.3.5 Status Kepemilikan Lahan……….. 80

7.4 Keragaan Ketahanan Pangan Rumahtangga Miskin Kasepuhan Sinar Resmi………...………... 81

7.4.1 Ketersediaan Pangan………... 82

7.4.2 Tingkat Pendapatan………. 83

7.4.3 Preferensi Pangan………... 84

VIII. BIAYA TRANSAKSI DALAM KELEMBAGAAN PANGAN…… 86

8.1 Komponen dalam Biaya Transaksi………... 86

8.2 Biaya Transaksi dalam Pengembilan Keputusan……….. 87

8.3 Biaya Operasional Bersama……….. 88

IX. KESIMPULAN DAN SARAN………. 89

9.1 Kesimpulan……… 89

9.2 Saran………... 89

DAFTAR PUSTAKA………... 91

LAMPIRAN……….. 93

RIWAYAT HIDUP………... 108


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1 Indikator Ketahanan Pangan Kabupaten Sukabumi Tahun 2007……... 5 2 Perbedaan Karakteristik antara Komunitas, Pemerintah, dan Pasar…... 12 3 Aspek Ketahanan Pangan dan Indikatornya……….. 18 4 Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data. 33 5 Matriks Analisis Kelembagaan………... 35 6 Matriks Analisis Kinerja Kelembagaan……….. 36 7 Jumlah Penduduk Desa Sinar Resmi Tahun 2009……….. 40 8 Jumlah Penduduk Desa Sinar Resmi Menurut Tingkat Usia Tahun

2009……… 40 9 Jumlah Sarana Pembangunan di Desa Sinar Resmi Tahun 2009……... 41 10 Jumlah Penduduk Desa Sinar Resmi Menurut Mata Pencaharian……. 42 11 Jenis Padi Lokal dan Jenis Lahan yang Digunakan……… 61 12 Tahapan Kegiatan Menanam Padi di Huma Masyarakat Kasepuhan…. 65 13 Tahapan Kegiatan Menanam Padi di Sawah Masyarakat Kasepuhan… 66 14 Sebaran Pendapat Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Mengenai

Kelengkapan Kelembagaan……… 68 15 Sebaran Pendapat Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Mengenai

Kinerja Pengurus Kelembagaan………. 69 16 Sebaran Pengetahuan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Mengenai

Susunan Kelembagaan………... 70 17 Sebaran Pendapat Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Mengenai

Periode Pergantian Pengurus………... 70 18 Sebaran Pengetahuan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap

Kelembagaan………... 71 19 Sebaran Pendapat Masyarakat terhadap Hasil Panen……… 75 20 Sebaran Pendapat Masyarakat Mengenai Tingkat Keberhasilan

Kegiatan………. 76 21 Sebaran Pendapat Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Kegiatan……… 77 22 Sebaran Tingkat Ketersediaan Pangan Masyarakat Kasepuhan Sinar

Resmi………... 83 23 Sebaran Tingkat Pendapatan Masyarakat Sinar Resmi………... 84 24 Sebaran Preferensi Pangan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi…... 85


(13)

25 Biaya Transaksi yang Dikeluarkan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi………. .


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1 Kerangka Operasional……… 30 2 Struktur Kelembagaan Adat Kasepuhan Sinar Resmi…..…………. 48 3 Sebaran Tingkat Umur Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi……… 77 4 Sebaran Tingkat Pendidikan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi... 78 5 Sebaran Mata Pencaharian Sampingan Masyarakat Sinar Resmi….. 79 6 Sebaran Penguasaan Lahan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi…. 80 7 Sebaran Tingkat Pendidikan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi... 81 8 Hubungan Kinerja Kelembagaan Pangan terhadap Ketahanan

Pangan……… 81 9 Biaya Transaksi yang Dikeluarkan Masyarakat Sinar Resmi……… 86


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Peta Desa Sinar Resmi………... 94

2 Kuisioner Penelitian ………. 95

3 Tabel Analisis Kinerja Kelembagaan……… 102


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kebutuhan pangan merupakan hak asasi setiap manusia yang wajib dipenuhi oleh negara. Kebutuhan pangan menjadi semakin penting ketika pangan tidak hanya kebutuhan dasar melainkan hak dasar bagi setiap manusia. Ketahanan pangan merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari kualitas sumberdaya manusia suatu negara. Kualitas sumberdaya manusia yang baik dapat dicapai apabila setiap individu dalam suatu rumahtangga mendapat asupan pangan yang cukup, aman, dan bergizi secara berkelanjutan yang akan meningkatkan status kesehatan.

Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya sumberdaya alam sebagai pendukung pertanian. Negara ini juga tidak bebas dari persoalan krisis pangan. Berdasarkan hasil perhitungan FAO (2005), di Indonesia terdapat sekitar 6% atau sekitar 12,6 juta orang penduduk Indonesia menderita kelaparan. Masalah ketahanan pangan baik di tingkat nasional, daerah, maupun rumahtangga merupakan masalah yang tidak kunjung terselesaikan. Masalah yang dihadapi bersifat multidimensional yaitu pada sub-sistem produksi, sub-sistem distribusi, dan sub-sistem konsumsi.

Dewan Ketahanan Pangan (2009) mengungkapkan bahwa meskipun keragaan pangan nasional tahun 2005-2007 menunjukkan keadaan yang lebih baik di tingkat nasional, namun di tingkat rumahtangga, kondisi ketahanan pangan sebagian masyarakat masih lemah. Kondisi tersebut dibuktikan dengan masih banyaknya penduduk rawan pangan dan balita yang menderita gizi buruk. Pada tahun 2007, rata-rata asupan energi harian adalah 2.050 kkal dan asupan protein


(17)

sebesar 56,25 gram, keduanya sudah melampaui Angka Kecukupan Gizi (AKG) nasional. Angka ini meningkat 3,3% dibandingkan tahun 2002. Namun demikian, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007, prevalensi gizi buruk nasional pada balita adalah 5,4%, dan gizi kurang adalah 13%, sehingga total gizi kurang dan buruk menjadi 18,4%. Jumlah penduduk miskin dan rawan pangan diperkirakan akan meningkat pada tahun-tahun terakhir ini, terutama terkait dengan dikeluarkannya kebijakan pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berimplikasi pada peningkatan harga-harga kebutuhan pokok. Kemiskinan yang dialami masyarakat akan memberikan dampak buruk salah satunya pada masalah pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan yang masih kurang. Menurut UU No. 7 tahun 1999 mengenai pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumahtangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Jika kebutuhan konsumsi pangan tidak terpenuhi lagi maka akan menimbulkan kerawanan pangan.

Masalah ketahanan pangan di Indonesia pada dasarnya terkait erat dengan masalah kemiskinan. Data statistik tahun 2008 menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan sekitar 15,42% atau sekitar 34,96 juta jiwa. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sekitar 64% tinggal di pedesaan, dan umumnya bekerja pada sektor pertanian atau berbasis pertanian. Data tersebut tidak jauh berbeda dengan data di tingkat dunia, yaitu setengah dari kelompok miskin ini adalah petani kecil, dan seperlima dari kaum miskin tersebut adalah para buruh tani yang tidak mampu memproduksi bahan pangan untuk kebutuhan keluarganya sendiri. Kelompok miskin inilah yang seharusnya menjadi


(18)

fokus perhatian dalam pembangunan di bidang ketahanan pangan dan perbaikan gizi (Bapenas 2007).

Berdasarkan penelitian Tanziha (2005) di empat kabupaten, yaitu Kabupaten Karawang, Garut, Pandeglang, dan Kota Bogor menunjukkan bahwa ada 9,3% rumahtangga menderita kelaparan. Diperkirakan rumahtangga yang mengalami kelaparan akan meningkat dengan berbagai sebab yang diakibatkan oleh keadaan sosial ekonomi masyarakat yang akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat dan akhirnya dapat menyebabkan kerawanan pangan keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian Tanziha (2005) pada aras mikro hasil penelitian menunjukkan bahwa determinan utama kelaparan adalah kemiskinan, dan determinan lingkungannya adalah rendahnya kepedulian dari masyarakat setempat, serta sangat kurangnya atau bahkan tidak ada kelembagaan ketahanan pangan ditingkat masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 43% keluarga yang tergolong kelaparan tidak mendapat bantuan masyarakat setempat saat kekurangan pangan. Keadaan ini perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari berbagai pihak untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan pada rumahtangga. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hal tersebut.

Upaya pemberdayaan dan peningkatan ketahanan pangan membutuhkan adanya sebuah kelembagaan. Melalui wadah kelembagaan itulah setiap pihak berkepentingan dapat bersama-sama mengkaji masalah-masalah yang dihadapi dan sekaligus mencari jalan keluarnya. Sebenarnya sudah sejak lama masyarakat pedesaan memiliki kelembagaan lokal yang berfungsi sebagai wadah dalam


(19)

menyelesaikan beragam permasalah hidup secara mandiri. Namun, kelembagaan lokal tersebut menjadi melemah karena tergerus oleh pendekatan pembangunan yang terpusat. Ketika kelembagaan lokal melemah, maka hal itu akan berdampak terhadap masalah hidup yang dihadapinya.

Kajian mengenai ketahanan pangan ditujukan untuk mengetahui faktor apa saja yang paling berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Dengan demikian dapat difokuskan usaha-usaha berupa kebijakan ataupun program pemerintah terkait dengan ketahanan pangan keluarga sebagai upaya perwujudan ketahanan pangan di Indonesia.

1.2Perumusan Masalah

Indikator ketahanan pangan nasional dapat diketahui baik secara makro maupun mikro. Indikator secara makro dapat dijelaskan dengan kemampuan nasional untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduk Indonesia ditunjukkan oleh besarnya produksi beberapa komoditas pangan penting sedangkan indikator secara mikro diketahui dengan tingkat konsumsi pangan per kapita (Indaryanti 2002).

Menurut data Badan Pusat Statistik (2009), Kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten terluas di Propinsi Jawa Barat dengan luas yaitu 3.160,51

km2. Populasi Kabupaten Sukabumi sebesar 2.293.742 jiwa dengan tingkat

kepadatan penduduk mencapai 726 jiwa/km2. Laju pertumbuhan penduduk

Sukabumi sebesar 0,73 per tahun. Tingkat populasi dan laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi menyebabkan Kabupaten Sukabumi tidak lepas dari masalah ketahanan pangan. Berikut ini merupakan data ketahanan pangan dari Kabupaten Sukabumi.


(20)

Tabel 1. Indikator Ketahanan Pangan Kabupaten Sukabumi Tahun 2007

Indikator Ketahanan Pangan Nilai

Produksi serealia/3 tahun(2005-2007) 446.383,48 ton

Penduduk di bawah garis kemiskinan 15,98%

Rumahtangga tanpa akses listrik 5,74%

Desa tanpa akses ke jalan 7,63%

Perempuan buta huruf 10,1%

Angka harapan hidup 66,12 tahun

Berat badan dan tinggi balita di bawah standar 13,6% dan 39,8%

Rumahtangga dengan jarak 5 km dari fasilitas kesehatan 11,7%

Rumahtangga tanpa akses ke air bersih 37,81%

Sumber: Peta ketahanan dan kerentanan pangan Indonesia, 2009

Perubahan pendapatan akibat krisis ekonomi diduga akan mempengaruhi kondisi ketahanan pangan di Kabupaten Sukabumi. Terbatasnya akses pangan yang dilakukan rumahtangga miskin menyebabkan masalah ketahanan pangan semakin kompleks. Sistem kelembagaan pangan di daerah yang kurang baik akan berimbas terhadap ketahanan pangan yang semakin menurun.

Permasalahan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan memiliki dimensi yang luas dan beragam. Masalah ketahanan pangan dapat dikaji dari berbagi dimensi seperti ekonomi, sosial, budaya,dan politik. Selain itu masalah ketahanan pangan juga dapat ditinjau dari aspek manajemen yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, serta koordinasi dari berbagai kebijakan dan program. Mengingat begitu luasnya dimensi permasalahan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan, maka penelitian difokuskan pada aspek kelembagaan pangan ditingkat desa.

Sistem kelembagaan pangan yang baik terdapat di masyarakat Kasepuhan, Kabupaten Sukabumi memiliki kelembagaan lokal yang masih dipertahankan sehingga daerah tersebut memiliki ketahanan pangan yang cukup baik.


(21)

menyimpan padi mereka. Selain anggapan bahwa jenis padi baru tidak tahan lama dan mudah terserang hama jika disimpan dalam jangka waktu yang lama. Masyarakat juga memiliki kekhawatiran gagal panen karena mereka hanya mengembangkan pola pertanian yang dikenal secara turun-temurun saja.

Kondisi lahan pertanian yang semakin sempit tidak diikuti oleh perkembangan teknologi atau sumberdaya manusia menyebabkan produksi yang dihasilkan akan semakin menurun. Kondisi tersebut menyebabkan turunnya tingkat ketersediaan pangan di wilayah tersebut, sehingga dibutuhkan sistem pengelolaan baik dalam usahatani maupun dalam pengelolaan pascapanen agar ketersediaan pangan tetap stabil. Peran lembaga kemasyarakatan yang berbasis kelembagaan lokal dibutuhkan untuk mewujudkan stabilitas pangan yang akan menjaga ketahanan pangan wilayah tersebut.

Permasalahan semakin kompleks ketika kebijakan di era otonomi daerah tidak diimbangi dengan kebijakan yang mengarah peningkatan pangan sumberdaya lokal. Pengetahuan dan preferensi pangan masyarakat desa tidak didukung dengan sistem diversifikasi pangan mengakibatkan masyarakat lebih rentan terhadap kerawanan pangan. Sistem kelembagaan lokal tidak dikembangkan lagi karena kurangnya koordinasi antar pihak terkait.

Perbedaan tingkat pendapatan antara di desa dengan di kota membuat permasalahan kemiskinan di desa lebih banyak. Namun, dari segi penyediaan pangan masyarakat desa lebih lentur karena masih bisa memanfaatkan pangan dari lingkungan sekitarnya. Di era yang modern seperti saat ini, nilai-nilai kearifan lokal mulai luntur hal tersebut yang saat ini menjadi masalah termasuk dalam penanggulangan ketahanan pangan (Kinseng 2009).


(22)

Kajian mengenai ketahanan pangan rumahtangga miskin penting untuk dilakukan. Hal ini untuk mengetahui sejauhmana rumahtangga miskin mampu bertahan dalam kemiskinan dan merespon kebutuhan pangan yang persediaannya berfluktuatif. Sampai saat ini, kajian mengenai ketahanan pangan banyak dilakukan melalui indikator secara makro saja sedangkan untuk indikator secara mikro masih belum banyak dilakukan. Lebih jauh lagi, penelitian ini memberikan informasi mengenai ketahanan pangan rumahtangga miskin di desa dengan kelembagaan pangan lokal.

Ketahanan pangan merupakan sektor yang rentan terhadap kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kerawanan pangan dan status gizi buruk yang meningkat di daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Namun, di desa miskin dengan sistem kelembagaan lokal yang baik tingkat kerawanan pangan dan status gizi buruk tidak terlalu signifikan. Oleh karena itu, timbul suatu pertanyaan apakah kelembagaan lokal dapat mengurangi masalah ketahanan pangan pada rumah tangga miskin di masyarakat Kasepuhan, Kabupaten Sukabumi.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk kelembagaan pangan lokal dan tata kelola yang

berdampak pada ketahanan pangan rumahtangga di masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Kabupaten Sukabumi?

2. Bagaimana efektifitas kinerja kelembagaan pangan lokal di masyarakat

Kasepuhan Sinar Resmi?

3. Berapakah biaya transaksi pada kelembagaan pangan lokal di masyarakat


(23)

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis kelembagaan pangan lokal dan tata kelola yang berdampak

terhadap ketahanan pangan rumahtangga di masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi Kabupaten Sukabumi.

2. Menganalisis kinerja kelembagaan pangan lokal di masyarakat Kasepuhan

Sinar Resmi.

3. Menganalisis biaya transaksi kelembagaan pangan lokal di masyarakat

Kasepuhan Sinar Resmi. 1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat berguna di dalam

pengembangan ilmu pengetahuan.

2. Bagi akademisi diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dalam

mengkaji kelembagaan yang mempengaruhi ketahanan pangan pada rumah tangga.

3. Bagi Pemerintah Kabupaten Sukabumi diharapkan penelitian ini menjadi

masukan dalam menentukan kebijakan untuk meningkatkan ketahanan pangan pada rumahtangga.

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menganalisis kelembagaan yang mempengaruhi ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga, menganalisis kinerja kelembagaan lokal, dan menganalisis biaya transaksi yang ada pada kelembagaan tersebut. Aspek


(24)

ketahanan pangan yang dibahas adalah ketersediaan pangan, tingkat pendapatan dan preferensi pangan.

1.6 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki batasan yaitu kajian ketahanan pangan menggunakan definisi dan indikator ketahanan pangan itu sendiri menurut UU Pangan No. 7 tahun 1999 dan menggunakan kategori kemiskinan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar. Penelitian hanya mengkaji faktor ketahanan pangan yang dikaitkan dengan kinerja kelembagaan lokal suatau daerah dengan analisis kelembagaan dalam ruang lingkup Ostrom (1999), Uphoff (1997), dan Mackay (1998) dalam Syahyuti (2004) serta Furubotn & Richter (2000) dalam Suhana (2008).


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Kelembagaan

Kelembagaan merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya beserta komponen-komponen yang terdiri dari sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud ideal kebudayaan, kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan dan peralatan untuk wujud fisik kebudayaan yang ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan berpola (Koentjaraningrat 1997). Kelembagaan sebagai seperangkat norma-norma dan peraturan yang tumbuh dalam masyarakat yang bersumber pada pemenuhan kebutuhan pokok dan memiliki bentuk konkritnya adalah asosiasi. Pada haikikatnya, norma dan tata tertib itulah yang menjadi ciri dasar dari sebauah lembaga masyarakat. Kelembagaan yang ada di dalam masyarakat merupakan esensi atau bagian pokok dari masyarakat dan kebudayaannya.

Institusi merupakan kendala–kendala terhadap kebebasan individual anggota masyarakat. Individual sering membuat tindakan yang menimbulkan eksternalitas yang sering mengancam kepentingan masyarakat keseluruhan, sehingga perlu membatasi kebebasan individu tersebut agar perilakunya bersesuaian dengan kepentingan masyarakat. Agar institusi dapat berjalan dan ditaati oleh anggotanya, maka perlu adanya struktur intensif yang mengandung sangsi dan reward sehingga masyarakat akan menaatinya.

Pejovich (1999) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni:

1. Aturan formal, meliputi konstitusi, statute, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur


(26)

pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, polisi)

2. Aturan informasi, meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup mereka; dan

3. Mekanisme penegakan, semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan.

2.1.1 Sifat Dasar Kelembagaan

Ketika teori dan praktek pembangunan adalah ahli ekonomi maka secara atomatis perencanaan pembangunan cenderung menggunakan pendekatan ekonomi makro. Padahal, rekomendasi makro ekonomi biasanya tergabung dalam paket penyesuaian skruktural hanya memberi dampak yang sangat kecil terhadap masyarakat miskin pedesaan dan sedikit membangun kemampuan organisasi lokal dan menengah untuk merencanakan, memonitor, dan mengelola berbagai perbaikan taraf hidup masyarakat dan mata pencahariannya. Berbagai studi kasus menunjukkan bahwa ketika masyarakat lokal diberikan kapasitas untuk mengelola sumberdaya disekitarnya, ternyata mereka mampu memberikan inovasi baru yang dapat meningkatkan produktivitas dan mempertinggi kualitas hidupnya.

Pada dasarnya dunia sosial dibangun di atas tiga pilar sebagai elemen sosial yaitu politik, sosial, dan ekonomi. Ketiga pilar tersebut memiliki ideologi, paradigma, nilai, norma, rules of the game, dan bentuk keorganisasiannya sendiri. Konfigurasi kekuatan antara ketiganya merupakan dasar pembentuk suatu sistem


(27)

sosial. Menurut Uphoff (1986) antara komunitas, pemerintah, dan pasar memiliki perbedaan yang hakiki seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Perbedaan Karakteristik antara Komunitas, Pemerintah, dan Pasar

Aspek Komunitas Pemerintah Pasar

1. Orientasi utama Pemenuhan kebutuhan hidup komunal Melayani penguasa dan masyarakat Keuntungan (profit oriented) 2. Sifat kerja

sistem sosial Demokratis, berdasarkan kesetaraan. Monopolis Kompetitif 3. Sandaran kontrol sosial

Kultural Pemaksaan Penuh perhitungan

4. Bentuk symbol yang diterapkan

Mistis Pseudorealis Realis 5. Bentuk norma

utama Komunal dan kepatuhan Modifikasi perilaku Individualis Sumber: Uphoff, 1986

2.1.2 Tiga Lapisan Kelembagaan

Berdasarkan berbagai definisi yang tealh diungkapkan oleh para ahli terlihat bahwa sebenarnya definisi kelembagaan tergantung dari mana orang melihatnya, makro atau mikro. Sekian banyak pembatasan kelembagaan, minimal ada tiga lapisan kelembagaan sebagai norma-norma dan konversi, kelembagaan sebagai aturan main, dan kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan (Deliarnov 2006) dalam (Suhana 2008).

2.1.2.1 Kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi

Kelembagaan sebagi norma-norma dan konvensi ini lebih diartikan sebagai aransemen berdasarkan konsesus atau pola tingkah laku dan norma yang disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal, ditegakkan oleh keluarga, masyarakat, adat, dan sebagainya (Deliarnov 2006) dalam (Suhana 2008).


(28)

Hampir semua aktivitas manusia memerlukan konvensi-konvensi pengaturan yang memfasilitasi proses-proses sosial, dan begitu juga dalam setiap

setting masyarakat diperlukan seperangkat norma-norma tingkah laku untuk

membatasi tindakan-tindakan yang diperbolehkan. Jika aturan diikuti, proses-proses sosial bisa berjalan baik. Namun, jika dilanggar maka yang akan timbul hanya kekacauan dalam masyarakat.

2.1.2.2 Kelembagaan Sebagai Aturan Main

Bogason (2000) dalam Suhana (2008) mengemukakan beberapa ciri umum kelembagaan, antara lain adanya sebauh struktur yang didasarkan pada interaksi diantara para aktor, adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang telah disepakati.

Lebih lanjut, Bogason (2000) menyatakan ada tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif, dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata. Dalam hal ini biasanya ada standar atau rules

of conduct. Pada level aksi kolektif, kita mendefinisikan aturan untuk aksi-aksi

pada masa yang akan datang. Aktivitas penetapan aturan seperti ini sering juga disebut kebijakan. Terakhir, pada level konstitusi kita mendefinisikan prinsip-prinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsip-prinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis secara formal dan dikodifikasi.

2.1.2.3 Kelembagaan sebagai pengaturan hubungan kepemilikan

Sebagai pengaturan hubungan kepemilikan, kelembagaan dianggap sebagai aransemen sosial yang mengatur : (1) individu atau keleompok pemilik,


(29)

(2) objek nilai bagi pemilik dan orang lain, serta (3) orang dan pihak lain yang terlibat dalam suatu kepemilikan (Deliarnov 2006) dalam (Suhana 2008).

Alchian (1993) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa ada tiga elemen utama hak kepemilikan, yaitu (1) hak eksklusif untuk memilih penggunaan dari suatu sumberdaya, (2) hak untuk menerima jasa-jasa atau manfaat dari sumberdaya yang dimiliki, dan (3) hak untuk menukarkan sumberdaya yang dimiliki sesuai persyaratan yang disepakati. Dari uraian tersebut, tersirat bahwa siapa yang memiliki suatu sumberdaya maka ia berhak untuk mengontrol penggunaan sumberdaya tersebut. Begitupun, seseorang tidak bebas berbuat sesuka hatinya atas barang yang dimilikinya, sebab sebagaimana ia memperlakukan dan menggunakan sumberdaya tersebut dinilai oleh masyarakat. 2.1.3 Kinerja Kelembagaan

Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan penggunanaya (Peterson 2003 dalam Syahyuti 2004). Menurut Mackay (1998) dalam Syahyuti (2004) terdapat empat dimensi untuk mempelajari suatu kelembagaan yaitu:

Pertama, kondisi lingkunagn eksternal. Lingkungan social dimana suatu kelembagaan hidup merupakan faktor pengaruh yang dapat menjadi pendorong dan sekaligus pembatas seberapa jauh suatu kelembagaan dapat beroperasi. Lingkungan yang dimaksud berupa kondisi politik dan pemerintahan, sosiokultural, teknologi, kondisi perekonomian, berbagai kelompok kepentingan, infrastruktur, serta kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Seluruh


(30)

komponen lingkungan tersebut dipelajari dan dianalisis bentuk pengaruhnya terhadap kelembagaan.

Kedua, motivasi kelembagaan. Kelembagaan dipandang sebagai suatu unit kajian yang memiliki jiwanya sendiri. Terdapat empat aspek yang dipelajari untuk mengetahui motivasi kelembagaan, yaitu sejarah kelembagaan, misi yang diembannya, kultur yang menjadi pegangan dalam bersikap dan perilaku anggotanya, serta pola penghargaan yang dianut.

Ketiga, kapasitas kelembagaan. Pada bagian ini dipelajari bagaimana kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Kemampuan tersebut diukur dalam lima aspek, yaitu: strategi kepemimpinan yang dipakai, perencanaan program, manajemen dan pelaksanaannya, alokasi sumberdaya yang

dimiliki, dan hubungan dengan pihak luar yaitu terhadap clients, partners,

government policymakers, dan external donors.

Keempat, kinerja kelembagaan. Terdapat tiga hal pokok yang harus diperhatikan yaitu keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuannya, efisiensi penggunaan sumberdaya, dan keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan para kelompok kepentingan luarnya.

2.2 Konsep Transaksi

Williamson (2005) menyatakan bahwa suatu transaksi terjadi manakala

suatu jasa atau kebaikan ditransfer melalui teknologi penghubung yang dapat dipisah-pisah. Furubotn (1999) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa menurut penafsiran ini, istilah traksaksi hanya terbatas ke situasi dimana sumberdaya benar-benar ditransfer dalam pengertian penyerahan fisik. Penyerahan seperti ini boleh terjadi di dalam perusahaan atau di luar perusahaan.


(31)

Menurut Weber (1968) dalam Suhana (2008) objek perhatian dalam analisa ekonomi kelembagaan adalah tidak hanya transaksi ekonomi tetapi juga yang lainnya, yaitu tindakan sosial. Tindakan sosial diperlukan untuk menetapkan, memelihara, atau merubah hubungan sosial. Dalam hal ini, teransaksi ekonomi adalah semacam transaksi sosial atau tindakan sosial yang penting bagi pemeliharaan dan formasi dari kerangka kelembagaan dimana kegiatan ekonomi terjadi.

2.2.1 Konsep Biaya Transaksi

Furobotn & Richter (2000) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa biaya transaksi adalah ongkos untuk menggunakan pasar dan biaya melakukan hak untuk memberikan pesanan di dalam perusahaan. Disamping itu, ada juga rangkaian biaya yang diasosiasikan untuk menggerakkan dan menyesuaikan dengan kerangka politik kelembagaan. Untuk masing-masing tiga jenis biaya transaksi dapat dibedakan menurut dua tipe, yaitu (1) biaya transaksi tetap, yaitu investasi spesifik yang dibuat dalam menyusun kesepakatan kelembagaan; dan (2) biaya transaksi variabel, yaitu biaya yang tergantung pada jumlah atau volume transaksi.

Yustika (2006) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa pada poin ini, sifat dari biaya transaksi sama dengan ongkos produksi. Pada keduanya mengenal konsep biaya tetap dan biaya variabel. Akan tetapi, dalam identifikasi yang mendalam, tentu membedakan antara biaya tetap dan variabel dalam biaya transaksi tidak semudah apabila membandingkannya dalam biaya produksi.


(32)

2.2.2 Biaya Transaksi Manajerial

Furubotn & Richter (2000) dalam Suhana (2008) menyatakan ada dua tipe biaya transaksi manajerial, yaitu:

• Biaya penyusutan, pemeliharaan, atau perubahan desain organisasi.

Ongkos ini juga berhubungan dengan biaya operasional yang lebih luas, yang biasanya secara tipikal masuk dalam fixed transaction cost;

• Biaya menjalankan organisasi, yang kemudian dapat dipilah menjadi dua

subkategori, yaitu (a) biaya informasi; dan (b) biaya yang diasosiasikan dengan transfer fisik barang dan jasa yang divisinya terpisah.

2.3 Ketahanan Pangan

Menurut FAO (1997) ketahanan pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dan dimana rumah tangga tidak beresiko untuk mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Hal tersebut berarti konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai, stabilitas, dan akses terhadap pangan-pangan utama. Ketersediaan pangan yang memadai mengandung arti bahwa secara rata-rata, pangan tersedia dalam jumlah yang mampu memenuhi kebutuhan konsumsi. Stabilitas merujuk pada kemungkinan bahwa pada situasi yang sesulit apapun , konsumsi pangan tidak akan jatuh di bawah kebutuhan gizi yang dianjurkan. Sedangkan akses mengacu pada fakta bahwa masih banyak masyarakat yang mengalami kelaparan karena ketidakadaan sumberdaya untuk memproduksi pangan atau ketidakmampuan untuk membeli pangan sesuai kebutuhan. Determinan utama dari ketahanan pangan adalah daya beli atau pendapatan untuk memenuhi biaya hidup (Tabor et al 2000).


(33)

Menurut UU Pangan tahun 1996, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumahtangga, tidak hanya dalam jumlah yang cukup, tetapi juga harus aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Secara umum terdapat empat aspek ketahanan pangan utama yaitu: aspek ketersediaan pangan, aspek stabilitas pangan, aspek keterjangkauan, dan aspek konsumsi (Haryadi 2009).

Menurut Haryadi (2009), terdapat empat aspek ketahanan pangan yang utama yaitu: (i) aspek ketersediaan pangan; (ii) aspek stabilitas pasokan; (iii) aspek keterjangkauan; (iv) aspek konsumsi. Keempat aspek ketahanan tersebut harus saling bersinergi satu sama lain untuk membentuk satu ketahanan yang kuat. Secara lebih detail, keempat aspek ketahanan pangan yang saling terkait ini dapat dijelaskan pada Table 3 berikut ini.

Tabel 3. Aspek Ketahanan Pangan dan Indikatornya Aspek Ketahanan

Pangan

Indikator Indikator Akhir

Ketersediaan Pangan Kecukupan jumlah, mutu, dan gizi

Keamanan

Kehidupan

individu yang aktif dan sehat Keterandalan Persediaan Stabilitas pasokan pangan setiap waktu

Stabilitas pasokan pangan setiap waktu

Keterjangkauan Keterjangkauan fisik, ekonomi, dan sosial

Kasesuaian dengan preferensi

Kesesuaian dengan kebiasaan dan budaya Kesesuaian dengan kepercayaan

Kecukupan Konsumsi Kecukupan asupan

Kualitas pengelolaan pangan Kualitas air, sanitasi, dan hygiene Kualitas pengasuhan anak

Sumber: Haryadi, 2009. 2.4 Rumahtangga Miskin

Rumahtangga miskin dapat diidentifikasi dengan penerapan ukuran insiden kemiskinan pada tingkat individu. Dalam pengukuran diperlukan beberapa penyesuaian karena garis kemiskinan berbeda-beda menurut ukuran dan tipe


(34)

rumahtangga. Angka indeks yang berhubungan dengan garis kemiskinan untuk tipe rumah tangga yang berbeda dikenal dengan skala kesetaraan. Skala ini digunakan untuk membandingkan tingkat kemiskinan menurut rumahtangga berdasarkan karakteristik rumahtangga yang diamati. Terdapat tiga pendekatan utama dalam menentukan skala persamaan untuk tipe rumahtangga yang berbeda: (i) survei kebutuhan individu; (ii) penelitian empirik mengenai kebiasaan pengeluaran rumahtangga; (iii) studi tentang gizi dan psikologi (Raharto dan Romdiati 2000).

Ukuran rumahtangga miskin lainnya yang dikembangkan oleh Sayogyo. Penentuan garis kemiskinan menurut konsep sayogyo untuk kota adalah berdasarkan rata-rata kebutuhan kalori dan protein untuk orang Indonesia berdasarkan saran dari WHO yaitu 1.900 kalori dan 40 gr protein per kapita per hari. Menurut garis kemiskinan Sayogyo:

1. Rumahtangga miskin adalah rumahtangga dengan pengeluaran setara beras kurang dari 320 kg per kapita per tahun.

2. Rumahtangga sangat miskin adalah rumahtangga dengan pengeluaran setara beras kurang dari 240 kg per kapita per tahun.

2.5 Karakteristik Rumahtangga serta Hubungannya dengan Ketahanan Pangan

2.5.1 Ukuran Rumahtangga

Menurut Martianto & Ariani (2004), ukuran rumahtangga mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran konsumsi pangan. Rumahtangga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang sangat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak


(35)

akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota rumahtangga tersebut tetapi hanya mencukupi sebagai dari anggota keluarga itu.

Berdasarkan penelitian Prabawa (1998) dalam Herdiana (2009) diungkapkan bahwa setinggi apapun tingkat pendapatan yang diperoleh seorang kepala rumahtangga dalam rumahtangganya, pada akhirnya kesejahteraan mereka ditentukan oleh pendapatan per kapita. Besarnya pendapatan perkapita selain ditentukan oleh total pendapatan yang diterima, juga oleh seluruh anggota rumahtangga yang bersangkutan. Tidak semua anggota rumahtangga dalam keluarga bekerja produktif sehingga dapat memperbesar beban ketergantungan. Banyaknya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan per kapita dan besarnya konsumsi keluarga.

2.5.2 Pendidikan

Hasil penelitian Megawangi (1994) dalam Herdiana (2009) membuktikan bahwa tingkat pendapatan dan pendidikan suami berhubungan nyata dan positif terhadap kebiasaan merencanakan anggaran biaya. Dengan demikian, rumahtangga yang dikepalai oleh seseorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih miskin dibandingkan dengan rumahtangga yang dikepalai oleh mereka yang berpendidikan tinggi.

2.5.3 Pengeluaran Rumahtangga

Pengeluaran rumahtangga dibagi menjadi dua, yaitu pengeluaran pangan dan pengeluaran nonpangan. Kartika (2005) dalam Herdiana (2009) mendefinisikan pengeluaran pangan adalah jumlah uang yang akan dibelanjakan untuk konsumsi pangan, sedangkan pengeluaran nonpangan adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk kepeluan selain pangan seperti pendidikan, listrik, air,


(36)

kosnsumsi, transportasi, tabungan, biaya produksi pertanian dan kebutuhan nonpangan lainnya.

Menurut Tanziha (2005) bahwa secara naluri individu, seseorang akan terlebih dahulu memanfaatkan setiap penghasilan bagi kebutuhan dasarnya berupa pangan. Jika kebutuhan dasarnya tersebut telah terpenuhi, maka tiap kelebihan penghasilannya dialokasikan untuk nonpangan. Proporsi pengeluaran pangan dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan tingkat pemenuhuan kebutuhan konsumsi pangan rumahtangga semakin rendah.

2.5.4 Pengambilan Keputusan Rumahtangga

Menurut Guhardja (1992) pengambilan keputusan merupakan suatu proses menetapkan suatu keputusan yang terbaik, logis, rasional, dan ideal, berdasarkan fakta, data, dan informasi dari sejumlah alternatif untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dengan resiko terkecil, efektif, dan efisien, yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang.

Menurut Sajogyo (1983) menyatakan bahwa pendidikan bukan merupakan satu-satunya sumberdaya pribadi yang paling berpengaruh terhadap kekuasaan. Dikatakan bahwa istri yang mengenyam pendidikan formal lebih rendah dari suami, tetapi mempunyai pengalaman yang memperkaya pribadinya, mempunyai kekuasaan yang setara dengan suami, dan bila perlu istri tersebut mampu mengambil keputusan tertentu. Melalui pengalaman (terutama yang diperoleh istri di luar rumah) istri akan berinteraksi dengan nilai-nilai baru yang pada akhirnya akan menambah pengetahuannya. Istri yang pendidikannya rendah dan tidak mempunyai sumberdaya pribadi lain (selain pendidikan) maka kekuasaan dalam rumahtangga biasanya akan didominasi oleh suaminya.


(37)

Menurut Sajogyo (1983) tingkat keputusan dihubungkan dengan pengeluaran pokok terdiri dari: (1) makanan (biaya hidup, jenis atau menu makanan, distribusi), (2) perumahan (pembelian dan perbaikan), pakaian, pendidikan, kesehatan, dan perabotan rumahtangga. Sedangkan untuk jenis keputusan rumahtangga, dikelompokkan dalam lima tingkatan yaitu: (1) keputusan dibuat oleh istri tanpa melibatkan suami, (2) keputusan dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh lebih besar dari istri, (3) keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami-istri, (4) keputusan dibuat bersama suami-istri tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari suami, (5) keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan istri.

2.5.5 Akses Rumahtangga Terhadap Pangan 2.5.5.1 Ketersediaan Pangan Wilayah

Beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, produksi beras menjadi indikator yang sangat penting untuk diperhatikan pencapaiannya. Selama periode 2001-2005 ketersediaan padi yang berasal dari produksi dalam negeri mengalami peningkatan rata-rata sebesar 1,8 persen per tahun, yaitu meningkat dari 50,46 juta ton gabah kering giling (GKG) pada tahun 2001 menjadi 15,54 juta ton pada tahun 2005 (Bapenas 2007). Namun, ketersediaan pangan secara makro tidak mencerminkan ketersediaan pangan secara mikro.

2.5.5.2. Kemiskinan dan Masalah Pangan dan Gizi

Berbagai faktor masalah pangan dan gizi disebabkan oleh kemiskinan yang dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik. Timbal balik artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat


(38)

pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat (Bapenas 2007).

Tingkat dan kualitas konsumsi makanan anggota rumahtangga miskin tidak memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan. Dengan asupan makanan yang tidak tercukupi bagi anggota rumahtangga menjadi lebih rentan terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Keluarga miskin dicerminkan oleh profesi/mata pencaharian yang biasanya adalah buruh/pekerja kasar yang berpendidikan rendah sehingga tingkat pengetahuan pangan dan pola asuh keluarga juga kurang berkualitas. Keluarga miskin juga ditandai dengan tingkat kehamilan tinggi karena kurangnya pengetahuan tentang keluarga berencana dan adanya anggapan bahwa anak dapat menjadi tenaga kerja yang memberi tambahan pendapatan keluarga. Namun demikian, banyaknya anak justru mengakibatkan besarnya beban anggota keluarga dalam sebuah rumahtangga miskin.

2.5.5.3. Manajemen Stok dan Stabilisasi Harga Pangan

Manajemen stok pangan dan stabilitasi harga pangan yang bersifat strategis menjadi sangat krusial bagi perkembangan ekonomi pangan dan ketahanan pangan. Pangan strategi seperti beras sangat berpengaruh terhadap tingkat konsumsi energi masyarakat karena beras sebagai makanan pokok masyarakat. Kenaikan harga pangan strategis di pasar domestik cukup bervariasi. Kenaikan harga pangan diakibatkan oleh inflasi. Harga pangan yang berfluktuatif


(39)

dapat diantisipasi dengan sistem manajemen stok seperti adanya lumbung padi desa. Adanya lumbung padi tersebut diharapkan dapat menstabilkan stok dan harga bahan pangan.

2.6 Kearifan Lokal dalam Kelembagaan Pangan

Ketahanan pangan di tingkat rumahtangga dapat dipenuhi dari produksi dan cadangan pangan sendiri maupun kelompok. Menurut Kantor (2001) dalam Koesoemowardani (2003) menjelaskan konsep ketahanan pangan komunitas sebagai sebuah konsep yang berorientasi pencegahan yang mendukung pengembangan dan penyediaan pangan yang berkelanjutan dengan strategi berdasarkan komunitas untuk meningkatkan akses rumahtangga miskin terhadap penyediaan pangan.

2.6.1 Konsep Kelembagaan Pangan

Menurut Anwar (2001) dalam Basri (2008), institusi atau kelembagaan merupakan aturan main (the rule of game) dalam masyarakat yang secara lebih formal dapat dikatakan sebagai alat manusia guna mengatur perilaku individual anggotanya yang membangun pengaturan dalam interaksi antar anggota-anggota dalam masyarakat tersebut melalui norma-norma tertentu. Dalam beberapa hal institusi merupakan kendala-kendala terhadap kebebasan individual angota-angotanya dalam masyarakat. Individual sering membuat tindakan yang menimbulkan eksternalitas (terutama yang negatif) yang sering mengancam kepentingan masyarakat keseluruhan, sehingga masyarakat perlu membatasi kebebasan individual-individual tersebut agar perilakunya bersesuaian dengan kepentingan masyarakat.


(40)

Kelembagaan memilki dua pengertian. Pertama sebagai aturan main (rule

of the game) dalam interaksi interpersonal. Dalam kaitan kelembagaan pangan

masyarakat, kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik yang formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan kewajiban dalam kelembagaan. Kedua kelembagaan sebagai suatu organisasi dalam pengertian ekonomi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh sistem harga, tetapi oleh mekanisme administratif dan kewenangan.

Kelembagaan dalam masyarakat merupakan nilai dan norma yang mengatur tata kehidupan sosial masyarakat. Salah satu bentuk kelembagaan masyarakat dalam pengembangan dan penyediaan pangan bagi masyarakat melalui kelembagaan pangan. Menurut Departemen Pertanian (2002) kelembagaan pangan merupakan organisasi yang tumbuh dari dan oleh masyarakat sendiri yang didasari kesamaan kepentingan dalam menangani bidang pangan secara formal terorganisasi dan memiliki anggaran dasar dan anggaran rumahtangga tertulis.

Berdasarkan kajian Tim Studi Lumbung IPB (1983) dalam Koesoemowardani (2003) sistem lumbung desa yaitu suatu sistem kelembagaan penyediaan bahan pangan (beras dan non beras) dan bahan-bahan lainnya, yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan, terutama dalam menanggulangi kerawanan pangan dan gizi yang ditimbulkan oleh kemisikinan struktural. Kegiatan-kegiatan pelaksanaan lumbung desa diharapkan didukung oleh peran serta aktif dari masyarakat desa itu sendiri, dengan bantuan pemerintah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi setempat. Sesuai dengan tujuan


(41)

peningkatan kesejahteraan , sistem lumbung desa ini dapat berperan sebagai ujung mata rantai dan juga wadah lokal bagi program-program bantuan sosial pemerintah, padat karya, intensifikasi usahatani, dan PKK.

Sumardjo (2003) mendefinisikan kelembagaan pangan masyarakat sebagai segala bentuk pengaturan atau keteraturan perilaku masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan di masyarakat yang telah menjadi acuan dalam bertindak, karena di dalamnya terkandung nilai, norma, penggunaan/pemanfaatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pendukungnya, serta cara-cara perpola pengendalian sosial agar kelembagaan tersebut senantiasa terjaga dengan efektif sebagai wahana memenuhi kebutuhan masyarakat.

Nilai yang menjadi acuan bertindak anggota dan pengurus kelembagaan pangan (lumbung pangan masyarakat) meliputi kepercayaan, memnuhi kebutuhan pangan dan modal terutama dalam keadaan darurat, dan nilai transparansi (keterbukaan). Sedangkan norma yang menjadi acuan dalam bertindak meliputi sistem jasa, pinjaman, bagi hasil, pengambilan dalam bentuk natura dan fungsi penyangga harga (PSP-IPB 2003) dalam (Basri 2008).

2.6.2 Lumbung Pangan Sebagai Instrumen Ketahanan Pangan

Menurut Kusumowardini (2002) istilah lumbung telah dikenal oleh masyarakat di beberapa daerah. Lumbung yang ada sering dikonotasikan sebagai lumbung paceklik. Lumbung paceklik tersebut dibentuk sebagai cadangan bagi petani di musim paceklik sehingga petani dapat meminjam gabah untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Keberadaan lumbung pangan merupakan lembaga alternatif yang diupayakan dapat menggantikan peran kelambagaan lokal yang sekarang mengalami banyak kehancuran. Keberadaan lumbung pangan tidak


(42)

hanya diperlukan pada masa paceklik saja melainkan sebagai alternatif penyediaan modal bagi petani. Peran yang dijalankan oleh lumbung pangan adalah sebagai berikut:

1. Menampung surplus produksi pangan pedesaan pada saat panen.

2. Melayani kebutuhan pangan pedesaan pada musim paceklik.

3. Melakukan simulasi pemupukan modal melalui iuran dalam bentuk bahan

pangan maupun tunai.

4. Membantu petani yang kesulitan modal usaha dengan cara menyediakan

alternatif kredit mikro bagi warga komunitas sehingga warga terhindar dari praktek-praktek bank harian dari para pengijon.

5. Menghindari petani dari kerugian penjualan dini atas produksi usaha tani untuk memenuhi kebutuhan mendesak dan menghindarkan petani untuk membeli bahan panga pokok dengan harga tinggi pada musim paceklik. Sistem lumbung pangan masyarakat adalah suatu sistem kelembagaan penyedia bahan pangan dan bahan-bahan lainnya yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan, terutama menanggulangi kerawanan pangan. kegiatan-kegiatan pelaksanaan lumbung pangan masyarakat diharapkan dapat didukung oleh peran serta aktif dari masyarakat desa itu sendiri, dengan bantuan pemerintah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi setempat (Tim Studi Lumbung IPB 2003) dalam (Basri 2008).


(43)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Operasional

Kabupaten Sukabumi sebagai Kabupaten terluas di Propinsi Jawa Barat memiliki angka kerawanan pangan, kemiskinan dan gizi buruk yang cukup signifikan. Adanya faktor kemiskinan tentu akan berdampak signifikan pada ketahanan pangan pada rumah tangga yang memiliki multiplier effect terhadap status gizi dan kerawanan pangan. Perubahan terhadap produksi pangan akan berdampak pada ketersediaan dan stabilitas pangan yang akan berdampak pula terhadap ketahanan pangan di daerah tersebut. Pada kenyataannya banyak ditemukan kelembagaan pangan yang tidak memiliki kemampuan untuk berkembang sehingga tidak memiliki kemampuan untuk berkembang. Kelemahan kemampuan kelembagaan diindikasikan akibat adanya kelemahan kultur yang ada di masyarakat serta kurangnya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap tata kelola dan aturan kelembagaan yang dibuat.

Kelembagaan lumbung pangan masyarakat merupakan sebuah wadah yang diharapkan dapat meningkatkan ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga. Lumbung pangan masyarakat erat kaitannya dengan dua aspek yaitu (1) potensi sektor pertanian; dan (2) peran kelembagaan pangan yang ada dalam masyarakat tersebut. Potensi sektor pertanian dikelola melalui kelembagaan sehingga masing-masing masyarakat kasepuhan dapat mengakses sumberdaya secara adil dan merata. Pengelolaan yang demikian diharapkan dapat meningkatkan ketahanan pangan dalam rumahtangga masyarakat kasepuhan. Namun kelembagaan itu sendiri seringkali kurang mengapresiasi kepentingan masyarakat. Oleh karenanya,


(44)

perlu diadakan penelitian mengenai kinerja kelembagaan dalam mencapai tujuanya.

Ketahanan pangan bagi masyarakat adalah kondisi terpenuhinya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Agar anggota masyarakat mendapat pangan yang cukup untuk dikonsumsi maka ketersediaan pangan juga harus dipenuhi. Oleh karena itu, untuk memenuhi kecukupan pangan tersebut masyarakat harus memiliki akses terhadap pangan baik secara fisik maupun ekonomi. Akses secara fisik dapat dijelaskan dengan ketersediaan pangan di suatu daerah yang dapat menjamin kebutuhan pangan individu di daerah tersebut sedangkan akses secara ekonomi dapat dijelaskan dengan daya beli masing-masing rumah tangga untuk mendapatkan pangan tersebut. Menurut Kinseng (2009) preferensi masyarakat terhadap pangan juga dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan lingkungan budaya setempat yang secara langsung dapat mempengaruhi ketahanan pangan di daerah tersebut.

Kelembagaan pangan lokal dipengaruhi beberapa faktor seperti ekonomi, sosial, budaya, dan politik sehingga diperlukan kajian dalam berbagai bidang studi. Dalam hal ini, aspek yang akan dikaji yaitu kelembagaan pangan lokal secara struktural dan kultural yang dapat mempengaruhi ketahanan pangan. Kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini merupakan keterkaitan antara tahapan penelitian dengan tujuan penelitian. Tujuan pertama dan kedua penelitian dilakukan melalui metode survey dengan unit analisis rumah tangga miskin. Kajian mengenai faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan bertujuan untuk mengetahui faktor ketahanan pangan dalam rumah tangga miskin yang tinggal di desa dengan kelembagaan lokal.


(45)

Keterangan: : Aspek yang dikaji

: Aspek tidak dikaji

: Lingkup biaya transaksi Gambar 1. Kerangka Operasional

KELEMBAGAAN LUMBUNG PANGAN

Potensi Sektor

Luas Lahan

Pendapatan

Kinerja Kelembagaan Produksi Pangan

(Ketersediaan Pangan)

2. Keefektifan Kelembagaan:

- Pencapaian

tujuan - Partisipasi 1. Kejelasan

Kelembagaan: - Struktur

- Kejelasan

aturan

- Pengetahuan

terhadap kelembagaan Faktor Input

Ketahanan Pangan Rumahtangga Preferensi

konsumsi


(46)

IV.METODE PENELITIAN

4.1Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan di masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Peta lokasi penelitian ini disajikan pada Lampiran 1. Lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja dengan mempertimbangkan bahwa di lokasi tersebut memiki karakteristik tujuan penelitian yaitu adanya kemiskinan dengan adanya kelembagaan pangan ditingkat lokal. Masyarakat Kasepuhan memiliki kultur yang masih kuat dengan kelembagaan lokal yang masih kental yaitu adanya lumbung padi desa. Penelitian akan dilakukan selama lima bulan. Pengambilan data primer dilakukuan selama bulan April 2011.

4.2Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data cross section. Sumber data berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan responden melalui kuesioner. Data primer meliputi data mengenai ketahanan pangan rumahtangga yaitu pendapatan, tingkat konsumsi pangan, tingkat pengetahuan, dan tingkat pendidikan serta data mengenai karakteristik kelembagaan pangan, analisis kinerja kelembagaan terhadap peningkatan ketahanan pangan, dan biaya transaksi yang ada dalam kelembagaan tersebut. Kuisioner yang digunakan untuk pengambilan data primer ini disajikan pada Lampiran 2. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui pengumpulan data dari Biro Pusat Statistik, Pemerintah Kabupaten Sukabumi, dan literatu-literatur yang relevan dengan penelitian, serta penelitian terdahulu mengenai ketahanan pangan dan kelembagaan pangan. Data sekunder meliputi


(47)

data tingkat kemiskinan, produksi pangan wilayah, dan kelembagaan pangan daerah.

4.3Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini, terdapat dua subjek penelitian yang terdiri dari informan dan responden. Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi untuk memberikan informasi mengenai diri sendiri, keluarga, pihak lain, dan lingkungannya. Pemilihan informan dilakukan dengan

teknik snowball sampling (teknik bola salju) sebanyak tujuh orang. Adapun

informan kunci yang dipilih adalah tokoh-tokoh masyarakat adat setempat. Untuk melengkapi data yang didapatkan dari informan kunci, diperlukan data dari informan-informan lainnya yang kemudian akan didiskusikan dengan informan kunci. Pemilihan tokoh masyarakat setempat menjadi informan kunci didasarkan pada asumsi bahwa mereka adalah orang-orang yang mengetahui secara mendalam terkait dengan pengaturan pangan.

Teknik pemilihan responden dengan teknik purposive sampling dengan

populasi sebanyak 45 orang yaitu rumahtangga miskin yang memiliki hasil panen padi di bawah 300 ikat. Total responden yang akan diambil dalam penelitian dihitung menggunakan Rumus Slovin yaitu sebanyak 31 orang. Rumus Slovin digunakan karena ukuran populasi diketahui dan asumsi bahwa populasi terdistribusi normal (Hasan 2002). Rumus Slovin adalah sebagai berikut:

          


(48)

Keterangan: N : Ukuran Populasi

n : Ukuran Sampel/Responden

e : Nilai Kesalahan yang Ditentukan

4.4 Metode dan Prosedur Analisis

Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan kuesioner. Pengolahan data dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pengkodean. Kegiatan ini bertujuan untuk menyeragamkan data. Setelah pengkodean, tahap selanjutnya adalah perhitungan persentase jawaban responden dan dipresentasikan melalui analisis deskriptif berupa table frekuensi, grafik, ukuran pemusatan, dan ukuran penyebaran. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Excel 2007. Berikut ini matriks keterkaitan antara tujuan penelitian, sumbar data, dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian.

Tabel 4. Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data

No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data 1. Mengidentifikasi kelembagaan

lokal dan tata kelola yang mempengaruhi ketahanan pangan.

Data primer dan sekunder.

Analisis deskriptif

2. Menganalisis kinerja

kelembangaan lokal.

Data primer dan sekunder

Analisis deskriptif 3. Menganalisis biaya transaksi

kelembagaan dan tata kelola pangan

Data primer Analisis biaya

transaksi

4.4.1 Analisis Kelembagaan dan Tata Kelola Pangan yang Berdampak Terhadap Ketahanan Pangan Rumahtangga

Analisis deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik kelembagaan dan aturan masyarakat anggota lumbung pangan yang meliputi


(49)

beberapa parameter yang bersifat kualitatif. Analisis deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran maupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah membuat suatu deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta antar fenomena yang diselidiki.

Kelembagaan pangan dalam konteks penelitian ini adalah kelembagaan yang mengatur secara langsung maupun secara tidak langsung berbagai aktivitas dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat menuju kondisi ketahanan pangan baik ditingkat produksi, konsumsi, dan distribusi. Selain itu kelembagaan pangan lokal yang berperan mengatur kemudahan rumahtangga miskin di pedesaan dalam pemenuhan kebutuhan pangan ini adalah kelembagaan asli maupun kelembagaan yang muncul dan eksis di lingkungan masyarakat.

Analisis kelembagaan yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan pengembangan dari analisis kelembagaan dan pembangunan yang dikembangkan oleh Ostrom (1999), Uphoff (1997), Mackay (1998), dan Furubotn & Richter (2000). Untuk analisis aktor dan aturan kelembagaan menggunakan acuan dari Ostrom (1999), Uphoff (1997), dan Mackay (1998) dalam Syahyuti (2004). Beberapa atribut yang dapat digunakan untuk menganalisis kelembagaan pangan adalah:

Pertama, aktor dalam kelembagaan dianalisis dengan mengidentifikasi struktur kelembagaan yang terdapat dalam Kasepuhan Sinar Resmi. Kemudian masing-masing aktor tersebut diidentifikasi perannya dalam kelembagaan. Kedua, aturan kelembagaan diklasifikasikan dalam empat bagian yaitu: (1) boundary rule


(50)

mengenai aturan tata batas aturan masuk dalam kelembagaan; (2) aturan akses terhadap sumberdaya yang dikelola secara bersama-sama; (3) monitoring dan sanksi dalam setiap pelanggaran yang dilakukan: serta (4) aturan dalam penyelesaian konflik yang terjadi dalam lingkup kelembagaan.

Berikut adalah teknik pengumpulan data yang digunakan dalam menganalisis kelembagaan di Kasepuhan Sinar Resmi sebagai berikut:

Tabel 5. Matriks Analisis Kelembagaan

Parameter Analisis Profil Kelembagaan Kasepuhan

Sinar Resmi:

- Aktor dalam kelembagaan

- Aturan kelembagaan:

1. Boundary rule

2. Akses sumberdaya alam 3. Sanksi dan monitoring 4. Penyelesaian konflik dalam kelembagaan

Analisis aktor dan aturan dalam kelembagaan melalui wawancara dengan tokoh adat.

Aktor dianalisis secara deskriptif dengan mengidentifikasi struktur kelembagaan dengan peran masing-masing aktor tersebut. Aturan diklasifikasi dalam aturan boundary, akses, sanksi, monitoring, dan penyelesaian konflik kemudian dianalisis menggunakan analisis deskriptif.

4.4.2 Analisis Kinerja Kelembagaan

Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan pengguna (Peterson 2003) dalam Syahyuti (2004). Analisis kinerja kelembagaan yang digunakan adalah teori Mackay (1999) dalam Syahyuti (2004) yang dalam penelitian ini terdapat dua hal sebagai parameter analisis yaitu kejelasan kelembagaan dan keefektivan kelembagaan. Penelitian ini juga ditujukan untuk menganalisis kinerja kelembagaan dalam mencapai outcome yaitu ketahanan pangan rumahtangga masyarakat kasepuhan.

Berikut adalah matriks analisis kinerja kelembagaaan dalam penelitian sebagai berikut:


(51)

Tabel 6. Matriks Analisis Kinerja Kelembagaan

Parameter Indikator 1. Kejelasan

kelembagaan

1. Kejelasan struktur kelembagaan yang meliputi: a. Kelengkapan susunan pengurus.

b. Terdapat uraian kerja.

c. Pengetahuan anggota mengenai susunan kepengurusan. d. Keteraturan waktu pergantian kepengurusan.

2. Kelengkapan aturan dibuat secara tertulis atau lisan.

3. Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap aktor dan aturan. 2.Keefektifan

kelembagaan

1. Partisipatif adalah gaya pemimpin yang berkonsultasi dengan bawahan sebelum mengambil keputusan yang meliputi:

a. Memberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat. b. Mengajak berdiskusi guna memecahkan persoalan.

c. Memberi motivasi untuk melaksanakan tugas.

2. Efektivitas kelembagaan adalah tercapainya tujuan kelembagaan meliputi:

a. Perubahan perilaku. b. Perubahan produktivitas. c. Tingkat keberhasilan anggota.

Kedua indikator tersebut dihubungkan dengan pencapaian indikator ketahanan pangan yaitu:

1). Ketersediaan pangan adalah tingkat ketersediaan pangan masyarakat kasepuhan dalam skala rumahtangga.

2). Tingkat pendapatan adalah tingkat perolehan dari kegiatan matapencaharian masyarakat yang diukur dalam uang atau jumlah ikat padi.

3). Preferensi pangan adalah tingkat pengetahuan masyarakat terhadap pemilihan pangan yang akan dikonsumsi.

Tabel parameter dan indikator analisis kinerja kelembagaan yang lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 3.

4.4.3 Analisis Biaya Transaksi

Masing-masing biaya transaksi yang dihadapi masyarakat dalam pengelolaan kelembagaan pangan secara umum mencakup biaya transaksi manajemen (S1j) dan biaya transaksi politik (S2j) (Furubotn & Richter 2000 dalam

Suhana, 2008).

Biaya transaksi manajemen terdiri dari biaya penyusutan, pemeliharaan, atau perubahan desain (S11) dan biaya menjalankan organisasi (S12). Sementara itu


(52)

biaya transaksi politik terdiri dari biaya penyusutan (S21), pemeliharaan (S22), dan

perubahan organisasi politik (S23) formal dan informal, serta biaya untuk

menjalankan politik (S24).

Persamaan yang digunakan untuk biaya transaksi dalam kelembagaan pangan masyarakat Kasepuhan adalah:

TrC = ∑ SIJ………(1)

Keterangan: TrC : Total Biaya Transaksi

SIJ : Komponen Biaya Transaksi

Analisis biaya transaksi pada penelitian ini lebih difokuskan pada biaya menjalankan organisasi seperti: biaya pengambilan keputusan dan biaya operasional bersama yang meliputi biaya kumpul rutin dan upacara tradisi dan biaya saren taun.


(53)

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1. Kondisi Topografi

Desa Sinar Resmi merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis desa ini terletak antara 106° 27´ - 106° 33´ BT dan 6° 52´ - 6° 44´ LS. Suhu rata-rata pada musim kemarau berkisar 28° C sedangkan pada musim penghujan sekitar 21-25° C. Desa Sinar Resmi memiliki curah hujan yang bervariasi antara 2120-3250 mm/tahun dengan kelembapan udara 84%. Batas-batas Desa Sinar Resmi antara lain sebelah utara berbatasan dengan provinsi Banten, sebelah selatan dan barat berbatasan dengan Desa Cicadas, Kecamatan Cisolok, dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Cihamerang, Kecamatan Cisolok.

Desa Sinar Resmi terletak di lereng Gunung Halimun bagian Selatan. Masyarakat kasepuhan dikategorikan sebagai masyarakat yang bertempat tinggal di pinggiran hutan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Desa Sinar Resmi memiliki luas wilayah 4.917 ha dengan ketinggian tanah 600-1200 m dpl, dengan tingkat kemiringan lereng berkisar antara 25-45%. Pemukiman warga masyarakat pada umumnya mengambil wilayah yang relatif datar sementara lahan pertanian pada umumnya berada di lereng-lereng bukit.

Kondisi lingkungan di Desa Sinar Resmi relatif masih alami. Berbagai tamanan keras di sela-sela persawahan atau ladang merupakan pemandangan yang paling dominan. Lahan-lahan persawahan masyarakat berupa lahan terasering dengan irigasi sederhana berupa parit-parit kecil yang airnya relatif mengalir sepanjang tahun yang berasal dari mata air disepanjang lereng perkampungan.


(54)

Jarak Desa Sinar Resmi dari kecamatan sekitar 23 km, jarak dari ibukota kabupaten sekitar 33 km, jarak dari ibukota provinsi sekitar 183 km, dan jarak dari ibukota negara sekitar 168 km. Akses lalu lintas kendaraan menuju desa ini tidak begitu sulit tetapi jumlah kendaraan menuju desa tersebut masih terbatas. Untuk mencapai desa ini dapat ditempuh dengan bus melalui jalur Bogor menuju Pelabuhan Ratu dengan waktu tempuh sekitar empat jam. Setelah sampai terminal Pelabuhan Ratu, dapat dilalui dengan angkutan umum dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Memasuki wilayah perkampungan masyarakat Sinar Resmi dapat menggunakan ojek. Ketika memasuki wilayah Desa Sinar Resmi kondisi jalan masih berbatu dan belum diaspal.

5.2 Kondisi Demografi

Desa Sinar Resmi dihuni oleh tiga kelompok masyarakat adat kasepuhan yang merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul yaitu Kasepuhan Cipta Mulya, Kasepuhan Sinar Resmi, dan Kasepuhan Cipta Gelar. Penelitian ini dilakukan di Kasepuhan Sinar Resmi yang merupakan wilayah pusat kasepuhan. Penduduk desa Sinar Resmi tinggal dalam kampung-kampung kecil yang terdiri dari beberapa rumah yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Posisi kampung dikelilingi oleh lahan sawah pertanian dan hutan.

Berdasarkan data monografi desa tahun 2009, menunjukkan bahwa penduduk Desa Sinar Resmi sekitar 5.007 jiwa yang terbagi dalam 1.497 kepala keluarga dengan jumlah penduduk laki-laki adalah 2.487 jiwa dan penduduk perempuan adalah 2.420 jiwa. Terdapat tujuh kampung atau dusun yang ada di Desa Sinar Resmi yaitu Sinar Resmi, Cibongbong, Cikaret, Cimapag, Situmurni, Cimemet, dan Sukamulya. Penyebaran penduduk pada tiap-tiap kampung hampir


(55)

merata dengan komposisi jumlah laki-laki dan perempuan yang seimbang. Jumlah penduduk terbanyak terdapat pada kampung Cibongbong sejumlah 1.023 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di kampung Cimemet sebanyak 262 jiwa. Gambaran mengenai penyebaran penduduk Desa Sinar Resmi pada tiap dusun dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Jumlah Penduduk Desa Sinar Resmi Tahun 2009

No Dusun Jumlah Penduduk Jumlah KK

L P Total L P Total

1. Sinar Resmi 203 185 388 100 11 111

2. Cibongbong 517 506 1.023 271 31 302

3. Cikaret 384 328 712 203 19 222

4. Cimapag 409 404 813 210 31 241

5. Situmurni 313 291 604 159 12 171

6. Cimemet 288 274 262 163 21 184

7. Sukamulya 437 432 905 326 30 266

Jumlah Keseluruhan 2.587 2.420 5.007 1.342 155 1.497 Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sinar Resmi, 2009

Berdasarkan kategori tingkat usia masyarakat Desa Sinar Resmi dikelompokan menjadi kelompok pendidikan dan kelompok tenaga kerja. Kategori usia tenaga kerja merupakan kelompok usia dewasa yang berjumlah 2.207 jiwa. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penduduk kasepuhan Sinar Resmi memiliki jumlah penduduk usia produktif yang cukup tinggi. Gambaran jumlah penduduk menurut tingkat usia dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 8. Jumlah Penduduk Desa Sinar Resmi Menurut Tingkat Usia Tahun 2009

Kategori Kelompok Menurut Usia Usia (Tahun) Jumlah/Jiwa

a. Kelompok Pendidikan 4-6

7-12 13-15

391 784 124

b. Kelompok Tenaga Kerja 20-26

27-40

805 1.402 Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sinar Resmi, 2009


(56)

5.3 Sarana dan Prasarana Desa

Desa Sinar Resmi dapat dikatakan sebagai desa terpencil yang berada ditengah hutan Gunung Halimun. Hal tersebut dikarenakan akses terhadap desa tersebut cukup sulit dan jauh dari kota. Jumlah kendaraan yang masuk ke desa ini masih terbatas. Meskipun demikian, kegiatan masyarakat sehari-hari ditunjang berbagai fasilitas yang cukup memadai. Program pembangunan desa dari pemerintah telah memberikan pembangunan bagi sektor publik. Apabila dana dari pemerintah tidak mencukupi maka secara swadaya bergotong-royong membangun sarana desa.

Berikut adalah tabel mengenai sarana dan prasarana pembangunan di desa Sinar Resmi.

Tabel 9. Jumlah Sarana Pembangunan di Desa Sinar Resmi Tahun 2009 No Jenis Sarana Pembangunan Jumlah

1. Agama a. Masjid b. Mushola c. Sarana Lainnya

7 buah 8 buah - 2. Pendidikan

a. Pendidikan Umum 1. Pendidikan Dasar 2. SLTP

3. SLTA

4 gedung, 15 guru, 682 murid 2 gedung, 4 gedung, 56 murid -

b. Pendidikan Khusus 1. Pondok Pesantren 2. Madrasah

3. Sarana Pendidikan Non Formal

1 gedung, 8 guru, 21 murid 2 gedung, 13 guru, 212 murid SL-AEP : 14 kelompok PAUD : 7 kelompok 3. Sarana Perhubungan

a. Jalan b. Jembatan

12 ruas 20 buah 4. Komunikasi

Jumlah Komunikasi 1 jenis, 1 buah


(57)

5.4 Mata Pencaharian

Penduduk Desa Sinar Resmi memiliki mata pencaharian utama sebagai petani dan mata pencaharian sampingan yang terdapat diberbagai sektor. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk berdasarkan mata pencahariannya.

Tabel 10. Jumlah Penduduk Desa Sinar Resmi Menurut Mata Pencaharian No Jenis Mata Pencaharian Jumlah/Jiwa Persentase

1. Tani 2.818 88,01

2. Pertukangan 221 6,90

3. Wiraswasta 163 5,09

Total 3.202 100

Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Sinar Resmi, 2009

Berdasarkan Tabel 4. sektor pertanian merupakan sektor yang menjadi sumber penghidupan utama penduduk Desa Sinar Resmi yaitu mencapai 88,01% atau 2.818 jiwa. Hal tersebut dikarenakan sektor pertanian sudah menjadi tradisi bagi masyarakat adat Sinar Resmi. Pertanian juga didukung oleh kondisi alam Desa Sinar Resmi yang cocok untuk kegiatan pertanian. Kegiatan pertanian oleh penduduk Desa Sinar Resmi dibagi menjadi tiga bagian yaitu padi dan palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Berdasarkan luas lahan yang digunakan, sekitar 260 ha ditanami dengan padi dan palawija, 7 ha ditanami dengan sayur-sayuran, dan 8 ha ditanami dengan buah-buahan.

Mata pencaharian lainnya yaitu dalam bidang pertukangan dan wiraswasta masing-masing sebesar 221 jiwa (6,9%) dan 163 jiwa (5,09%). Kegiatan pertukangan dan wiraswasta sebenarnya bukan sumber nafkah utama melainkan hanya usaha sampingan selain bidang pertanian. Masyarakat menggunakan waktu menunggu musim panen dengan kegiatan tersebut.


(1)

Lampiran 3. Tabel Analisis Kinerja Kelembagaan  Parameter Indikator 1.Kejelasan kelembagaan: Struktur, aturan, dan pengetahuan anggota tentang kelembagaan

1. Struktur kelembagaan berkaitan dengan perbedaan kedudukan antar anggota, dan pembagian tugas. Selanjutnya, bagaimana kelengkapan struktur tugas kelembagaan yang diaturnya dan presentase jumlah anggota yang diberi kejelasan tentang tugas yang diaturnya. Struktur kelompok diukur dengan skala ordinal. Indikator struktur kelembagaan adalah:

a. Kelengkapan susunan pengurus, kategorinya: - Tinggi, jika susunannya lengkap: 3

- Sedang, jika susunannya kurang lengkap: 2 - Rendah, jika susunannya tidak lengkap: 1

b. Terdapat uraian kerja (pembagian tugas dan wewenang) pada pengurus kelembagaan, kategorinya:

- Tinggi, jika uraian kerja jelas: 3

- Sedang, jika uraian kerja kurang jelas: 2 - Rendah, jika uraian kerja tidak jelas: 1

c. Anggota kelembagaan mengetahui susunan pengurus kelembagaan, kategorinya:

- Tinggi, jika paham susunan kepengurusan: 3

- Sedang, jika kurang paham: 2

- Rendah, jika tidak paham: 1

d. Keteraturan waktu pergantian atau penyempurnaan personil pengurus kelembagaan, kategorinya:

- Tinggi, jika pergantiannya teratur: 3

- Sedang, jika pergantiannya kurang teratur: 2 - Rendah, jika pergantiannya tidak teratur: 1

2. Kejelasan aturan merupakan analisis untuk mengetahui aturan informal yang dibuat tersebut secara tertulis atau lisan.

Pengukurannya dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dan dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) lisan, (2) tertulis, dan (3) keduanya.

3. Pengetahuan masyarakat terhadap kelembagaan merupakan analisis untuk mengetahui seberapa besar tingkat pengetahuan masyakat mengenai aktor yang terlibat dalam kelembagaan serta aturan-aturannya.

Pengukurannya dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dan dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) tidak paham, (2) kurang paham, dan (3) paham.


(2)

2.Keefektifan kelembagaan: - Partisipasi - Pencapaian ketahanan pangan

1. Partisipatif adalah gaya pemimpin yang berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan ide serta saran mereka sebelum mengambil keputusan. Indikatornya adalah:

a. Memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk

mengemukakan pendapat dalam membuat keputusan, kategorinya:

- Tinggi, jika diberi kesempatan yang leluasa: 3 - Sedang, jika kurang diberi kesempatan: 2 - Rendah, jika tidak diberi kesempatan: 1

b. Mengajak berdiskusi anggotanya guna memecahkan

persoalan, kategorinya:

- Tinggi, jika melakukan diskusi intensif: 3 - Sedang, jika jarang melakukan diskusi: 2 - Rendah, jika tidak melakukan diskusi: 1

c. Memberi dorongan/motivasi kepada anggotanya untuk

melaksanakan tugas/pekerjaan, kategorinya: - Tinggi, jika memberikan motivasi tinggi: 3 - Sedang, jika memberikan sedikit motivasi: 2 - Rendah, jika tidak memberikan motivasi: 1

2. Efektivitas kelembagaan adalah tercapainya tujuan kelembagaan dihubungkan dengan besarnya kepuasan anggota dalam mencapai dan setelah tercapainya tujuan kelompok. Efektivitas kelompok diukur menggunakan skala ordinal dengan penjabaran variabelnya sebagai berikut;

a. Perubahan perilaku, dimaksudkan sebagai perubahan

rata-rata dalam tingkat penerapan pertanian tradisional. Indikatornya adalah:

1) Rata-rata tingkat penerimaan petani terhadap pertanian

tradisional, kategorinya:

- Tinggi, jika petani menerima: 3 - Sedang, jika kurang menerima: 2 -Rendah, jika tidak menerima: 1

2) Rata-rata tingkat penerimaan terhadap distribusi benih

dan pupuk, kategorinya:

- Tinggi, jika menerima sistem tersebut: 3 - Sedang, jika kurang menerima: 2

- Rendah, jika tidak menerima: 1

b.Perubahan produktivitas petani anggota kelompok,

dimaksudkan sebagai rata-rata produksi padi yang diusahakan selama satu tahun terakhir yang mampu dicapai oleh anggota dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan. Indikatornya adalah:

1)Rata-rata jumlah padi yang dipanen, kategorinya: - Tinggi, jika meningkat dari tahun lalu: 3

- Sedang, jika sama dengan tahun lalu: 2


(3)

c. Tingkat keberhasilan anggota, dimaksudkan sebagai banyaknya (kuantitas) dan mutu (kualitas) hasil yang telah mampu dicapai oleh masyarakat. Indikatornya adalah:

1)Rata-rata tingkat kegunaan dari kegiatan kelembagaan bagi

anggota, kategorinya:

- Tinggi, jika memberikan manfaat: 3

- Sedang, jika kurang bermanfaat: 2

- Rendah, jika tidak bermanfaat: 1

2)Presentase rencana kegiatan kelompok yang berhasil

dilaksanakan, kategorinya:

- Tinggi, jika berhasil dilaksanakan: 3 - Sedang, jika kurang berhasil: 2 - Rendah, jika tidak berhasil: 1

Kedua indikator tersebut dihubungkan dengan pencapaian indikator ketahanan pangan yaitu:

1. Ketersediaan pangan adalah tingkat ketersediaan pangan masyarakat kasepuhan dalam skala rumahtangga. Pengukurannya dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dan dikelompakkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) tidak cukup, (2) cukup, dan (3) lebih.

2. Tingkat pendapatan adalah tingkat perolehan dari kegiatan matapencaharian masyarakat yang diukur dalam uang atau jumlah ikat padi. Pengukurannya dikelompokkan menggunakan skala ordinal dan dikeleompokan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. 3. Preferensi pangan adalah tingkat pengetahuan masyarakat

terhadap pemilihan pangan yang akan dikonsumsi. Pengukurannya dikelompokkan menggunakan skala ordinal dan dikeleompokan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi.

               


(4)

Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian

Kondisi Wilayah Desa Sinar Resmi Lahan Pertanian Desa Sinar Resmi

Pemanenan Menggunakan Ani-Ani Penjemuran Padi


(5)

(6)

iii  

RINGKASAN

DANI RATMOKO. Analisis Kinerja Kelembagaan Pangan Lokal terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan Rumahtangga Miskin di Kasepuhan Sinar Resmi Kabupaten Sukabumi. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT dan KASTANA SAPANLI.

Ketahanan pangan merupakan sektor yang rentan terhadap kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kerawanan pangan dan status gizi buruk yang meningkat di daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Namun, di Kasepuhan Sinar Resmi yang masyarakatnya tergolong miskin dengan sistem kelembagaan lokal yang baik tingkat kerawanan pangan dan status gizi buruk tidak terlalu signifikan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui dampak adanya kelembagaan terhadap peningkatan ketahanan rumahtangga miskin di masyarakat Kasepuhan, Kabupaten Sukabumi yang dilaksanakan selama bulan April 2011 dengan menggunakan data primer dan sekunder. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan biaya transaksi.

Kelembagaan pangan yang terdapat di Kasepuhan Sinar Resmi telah berjalan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya. Meskipuan aturan tersebut hanya bersifat informal dan tidak tertulis tetapi masyarakat taat pada aturan tersebut. Analisis kelembagaan yang digunakan yaitu analisis aktor dan aturan yang meliputi boundary rule, sanksi, monitoring, dan penyelesaian konflik. Adapun aturan kelembagaan yang berdampak terhadap peningkatan ketahanan pangan antara lain: aturan dalam sistem lahan garapan dan sistem penyimpanan pangan. Analisis kinerja kelembagaan dengan parameter

berupa kejelasan kelembagaan dan keefektivan kelembagaan dengan outcome

yaitu ketahanan pangan yang meliputi stabilitas persediaan pangan, pendapatan, dan preferensi pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persediaan pangan masyarakat tergolong cukup sehingga mampu meningkatkan ketahanan pangan masing-masing rumahtangga. Total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh masyarakat kasepuhan setiap tahunnya mancapai Rp 63.125.000. Biaya tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu biaya pengambilan keputusan sebesar Rp 525.000 dan biaya operasional bersama sebesar Rp 62.600.000.

Kata kunci: kelembagaan pangan, kemiskinan, kelembagaan, biaya transaksi.

ketahanan pangan, kinerja