rendah seperti hansip dan penjaga pintu air; 3 Lapisan bawah, yaitu buruh tani, pemilik dan penyewa lahan marginal, pekerja kasar dan pekerja tidak tetap,
pekerja transport tanpa milik, pedagang asongan, dan pembantu rumahtangga.
2.1.5 Konsep Kelembagaan: Perspektif Kelembagaan
Manusia sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak pernah dapat lepas dari kebutuhan untuk berinteraksi dengan sesamanya dalam lingkup
kehidupan bermasyarakat. Setiap melakukan interaksi, mereka kadang-kadang melakukan tindakan-tindakan yang berpola resmi maupun yang tidak resmi.
Menurut Koentjaraningrat 1964 dalam Soekanto 2006, sistem-sistem yang mewadahi warga masyarakat untuk dapat berinteraksi menurut pola-pola resmi
dalam ilmu sosiologi dan antropologi disebut dengan pranata, atau dalam bahasa inggris dengan institution. Tindakan-tindakan yang berpola tersebut ditekankan
pada suatu sistem norma khusus yang menata atau mengatur tindakan-tindakan manusia agar dapat memenuhi suatu keperluan khusus dalam kehidupan
bermasyarakat. Definisi tersebut lebih menekankan pada sistem tata kelakuan atau sistem norma untuk memenuhi kebutuhan.
Koentjaraningrat 1954 dalam Soekanto 2006 membedakan istilah pranata dengan lembaga, dimana menurut Koentjaraningrat pranata adalah sistem
norma atau aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus, sedangkan lembaga atau institut merupakan suatu bentuk konkrit berupa badan
atau organisasi yang mengejawantahkan aktivitas masyarakat tersebut. Uphoff 1986 menegaskan, bahwa kelembagaan dapat sekaligus berwujud organisasi
dapat berwujud kelembagaan. Perbedaannya, kelembagaan berupa seperangkat norma dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan memenuhi
kebutuhan kolektif, sedangkan organisasi berupa struktur dari peran-peran yang diakui dan diterima.
Norma-norma yang berkembang di masyarakat memberikan petunjuk bagi perilaku seseorang yang hidup di dalam masyarakat. Norma mempunyai kekuatan
mengikat yang berbeda-beda, Soekanto 2006 membedakan tingkatan tersebut kedalam empat tingkatan, yaitu:
1. Cara usage menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang lebih menonjol
di dalam hubungan antar individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan
terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman berat, tetapi hanya sekedar celaan dari individu yang dihubunginya.
2. Kebiasaan folkways mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar
daripada cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuataan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai
perbuatan tersebut. 3.
Tata kelakuan mores mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun
tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Tata kelakuan di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain pihak melarangnya
sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut.
4. Adat-istiadat custom merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat
integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat, akan menderita sanksi yang keras.
Jika Koentjaraningrat menggunakan istilah pranata untuk menjelaskan tentang kelembagaan, Soekanto 2006 menggunakan istilah lembaga
kemasyarakatan atau lembaga sosial yaitu himpunan norma-norma yang mengatur segala tindakan atau berisikan segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan
pokok di dalam kehidupan masyarakat. Wujud konkrit dari lembaga kemasyarakatan adalah association.
2.1.6 Konsep Kelembagaan Pangan